aldiantara.kata

 

Kau terkejut tidak, jika aku bisa mengetik pesan ini dari jarak yang sangat jauh. Padahal kau sudah mewanti-wanti agar aku menjaga diri baik-baik saat berada di Pluto. Nyatanya, sesungguhnya aku tidak yakin bahwa pesan ini akan sampai di tanganmu. Aku hanya teringat sebuah cerita tentang seorang lelaki saleh yang menitipkan utangnya kepada laut sebab ia tidak mendapat kapal untuk berlayar, lalu secara mukjizat botol yang yang botol berisi uang untuk melunasi utangnya itu sampai juga di tangan kawannya nun di seberang lautan.

Saat melalui benakmu timbul sebuah tanya, “Bagaimana aku menulis surat ini?” Jawabannya adalah saat kita kuliah filsafat berdua dan membahas dunia ide sambil makan nasi goreng kambing telur setengah matang. Ide adalah senjata perubahan yang paling ampuh!

Lalu, eureka! Tulisan ini mewujud. Meski jika akhirnya meleset tak sampai kepadamu, aku berusaha sangat yakin bahwa engkau akan membaca deretan aksara-aksara ini.

Aku penasaran sedang apa engkau saat membaca surat ini. Sementara aku masih di Pluto, menyibukkan diri menghadapi dingin yang teramat ekstrem.

Tidak seperti di bumi di mana melalui balon mainan yang dapat mengingatkanku padamu. Saat malam hari, di alun-alun kota itu. Engkau merajuk, mencari telur gulung panas yang baru ditiriskan dari minyak panas. Membunuh dingin dan sunyi sekaligus.

***

Simak. Malam ini keadaan langit menampakkan pemandangan super moon. Aku penasaran berapa kali engkau mendongak melihat langit. Sementara aku sedari kejauhan memandang satelit planetmu yang sedang cantik-cantiknya. Engkau percaya pada suatu cerita tentang perubahan emosional makhluk hidup? Atau lebih percaya perubahan mood itu berdasar pada kecemasan terhadap waktu, di mana kita sama-sama menunggu sebuah kepastian takdir.

Isi kepala menjadi ramai. Sesak kata-kata.

Kawasan tartarus dorsa di sini malah membuatku melihat fatamorgana ikan-ikan koi besar yang kita saksikan melalui balkon atas. Matahari yang redup di sini membuatku merasa selalu berada dalam dekapan malam. Saat masih di Pluto.

Engkau enggan keluar kamar, katamu dingin, sembari melangkahi ketapang kering yang menjadi tamu di bibir pintu. Engkau mesti tak sadar. Aku sangat jeli menscreenshoot fragmen-fragmen ingatan itu. Saat engkau merabaku demam, membenarkan lampu, hingga membenarkan selimut, serta lagu payung teduh yang kau dengar samar-samar saat kuputarkan. Kau bahkan lebih dahulu mendengkur sebelum jam tepat di angka dua belas.

Sebenarnya aku hendak membangunkanmu untuk sekadar mengingatkan apakah engkau telah selesai membaca buku To Kill a Mockingbird, Harper Lee, di atas meja, dengan lampu belajar yang urung engkau padamkan, serta halaman 87 dengan keadaan buku terbuka. Hingga akhirnya kau telah membayar sewa untuk sepotong bahuku untuk engkau jadikan sandaran lelap. Apa dalam kembang tidurmu, adakah suatu firasat bahwa aku akan berada di Pluto?

Melalui syair-syair kicau prendjak, tafsirannya adalah unggas itu memotret mode flash sekeliling kita, lalu menjadi tamu bagi ingatan kita, memasukinya, satu per satu.

Rambut ikalmu yang basah. Apakah kita akan menemukan pagi milik kita kembali dengan alunan saksofon?

Ataukah kelak saat malam menafsirkan kidung senja prendjak sebagai kesepian panjang yang akan kita masuki? Serta tangkapan layar gawai yang menjadi rencana-rencana semu yang akan terabaikan seiring waktu berjalan.

***

Kendaraan langit akan membawaku kembali ke bumi. Tiba saat fajar. Kabar takdir mengatakan engkau telah menyiapkan croquette mayo menyambutku, sembari mengucapkan kepadaku ucapan selamat datang. Rasa-rasanya aku senang engkau tak bertanya lagi perihal jarak seberapa jauh bentang jarak antara Pluto menuju bumi. Aku selalu menjawab, ia kadang menjadi dekat, kadang menjadi sangat jauh, meski hanya jarak selangkah saat kau menutup pintu kamar. Bukankah pecinta itu pandai mengatur kulminasi rindunya sendiri?