Bulan: Februari 2024

Pidato Pemimpin Partai yang Enggan Aku Sebut Namanya

“Ini bagaimana, kok tidak ada suaranya?” dengan tiba-tiba, menunjukkan kepadaku, seorang kakek, memicingkan matanya, meski telah berkacamata, layar gawainya yang sedang memutar video berisi pidato seorang pemimpin partai yang enggan aku sebut namanya.

Maka aku melihat kepada layar gawai, di mana terdapat simbol bebunyi yang masih dibiarkan sunyi. Aku menyentuhnya. Suara pidato dipenuhi dengan gemuruh tepuk tangan.

Suara pidato pemimpin partai tersebut memenuhi seisi ruang tunggu halte yang memancing perhatian penumpang yang menunggu bus kota yang datang tak dapat dikira-kira.

Aku melanjutkan membaca sebuah manuskrip yang berisi syair-syair.

Rupanya kakek sebelahku sedari tadi memperhatikan apa yang sedang kubaca. Sesekali ia menyapu keningnya yang berkeringat.

Ia berkata, “Bagaimana bisa engkau tak mampu mendengar suara-suara dalam keindahan puisi yang kau baca? Sementara bait-bait di dalamnya berikan kepada kita suara-suara nurani yang tak mampu didengar oleh seorang yang belum dihinggapi cinta?”

Di rumah itu mereka tinggal berdua.
Bertiga dengan waktu. Berempat dengan buku. Berlima dengan televisi. Bersendiri dengan puisi.

“Suatu hari aku dan Ibu pasti tak bisa lagi bersama.”
“Tapi kita tak akan pernah berpisah, bukan?”
Kita adalah cinta yang berjihad melawan trauma.” (Puisi Joko Pinurbo-Jendela)

Claw Machine

Suara, “Lima ribu?” baru saja pecah pada pikiranku, mengingat seorang lelaki paruh baya yang membeli koin-koin untuk bermain claw machine pada pukul sepuluh malam.

Sesekali ia melenguh, boneka yang ia capit, harus terjatuh. Aku masih membenarkan tas berisi kudapan malam yang baru saja kubeli pada sebuah toko kecil yang jauh dari tempatmu berada kini.

Pria tersebut sesekali, kuperhatikan membenarkan tas yang menyelempang pada bahunya yang lebar, lalu ia menghitung sisa-sisa koin tersisa untuk kemudian bermain lagi.

“Lima ribu?” sebagaimana suatu tanya, yang kemudian membuatku teringat, tentang siapa yang berujar tanya, malam itu, yang baru kuingat malam ini, ternyata merupakan suara kasir penjaga yang memastikan pria tersebut hendak bertransaksi membeli koin-koin claw machine untuk kemudian memainkan “dadu”-nya.

Pria tersebut tuna wicara. Berpakaian berbeda, dengan tas yang sama, lenguhan yang sama.

Aku tetap membeli susu untuk malam itu, dengan tas berisi kudapan malam yang kurapikan pada bidang kendaraan, sembari melihat pria paruh baya tersebut memainkan claw machine. Malam itu. Dengan sisa koin-koin yang dengan erat ia genggam.

Aku pulang. Ke rumah.

Ia tercapit oleh keinginannya, kerinduannya, kesepiannya, serta angannya yang membuatnya datang, sekaligus. Malam itu.

Ibu Hendak Pergi Ke mana?

Dalam sebuah lampiran Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, yang dibuat oleh seorang mahasiswa (calon guru) anonim, ia melampirkan soal ujian yang harus dijawab oleh siswa-siswanya.

Di dalamnya tertulis,

Ibu hendak pergi ke pasar membeli dua kilogram jeruk, tiga kilogram alpukat, satu kilogram tomat dan cabai, serta tiga kilogram beras. Tidak ada ungkapan tanya, seperti, “Berapa?” pada cerita ini. Karena Ibu tidak memiliki uang.

Ibu hendak pergi ke pengajian di masjid desa. Namun melalui kabar angin yang entah dapat dipercaya atau tidak, Ibu mendengar di serambi kiri dan kanan masjid, suara ustaz-ustaz bersahut-saing mengambil hati jemaah. Ibu tidak jadi berangkat, Ibu memutar pengajian melalui YouTube.

Ibu tidak kemana-mana. Tidak membeli apapun. Namun Ibu merenung bagaimana caranya memenangkan kehidupan?