Bulan: September 2022

Perihal Menikah

Oleh: Azki Khikmatiar

Kapan menikah?
Mengapa belum menikah?
Apakah masih percaya pernikahan?
Ah, Sial ! Mengapa semua orang
selalu bertanya perihal menikah?
Bukankah pernikahan bukanlah satusatunya tujuan kehidupan?

Hei ! Menikah bukan lomba lari; dimana yang tercepat adalah yang terbaik
Menikah adalah sebuah perubahan
Dan kita tau bukan? Bahwa setiap
perubahan seringkali menakutkan?
Takut memulai babak hidup baru
Takut mengambil langkah pertama
Takut menghadapi kemungkinan
yang sebelumnya tak pernah kita tau
Takut membawa serta yang tersisa
Ah! Pasti berat rasanya!

Tapi, kita juga tau bukan?
Bahwa setiap awal yang baru
adalah sebuah kesempatan?
Kesempatan mendapat ruang
untuk saling tumbuh bersama
Kesempatan mempelajari kesalahan
yang sebelumnya pernah kita lakukan
Kesempatan menyiapkan serangkaian perjalanan yang butuh perencanaan
Kesempatan menjalani kehidupan sebagaimana yang kita inginkan
Ah! Pasti sangat menyenangkan!

Negri Para Bedebah, 26 Juli 2022

Istirahatlah Cinta

Oleh: Abenza’idun

Istirahatlah cinta
Riuh Para Bedebah bersumpah-sampah
Liar lidah meludah-ludah
Mengingkar atas ikrar, bersandiwara palsu yang asu.

Engkau lelah dikata-kata
Melangitlah ke singgasana lentera
Dalam rengkuh sang Raja
Menelan gulita

Biarkan insan-insan itu yatim-piatu tanpamu
Atau
Biar mati sekalian kehilangan sukma
Tinggal raga tak bisa apa-apa

Jangan membumi,
Selagi mereka belum bersuci

Abenz, Ungaran, 31 Mei 2022

Perizinan Tuan Rumah

aldiantara.kata

Begitulah, bila seorang memasuki kota asing, yang menawarkan kata-kata pada setiap benda yang dilewatinya, terkadang ia baru bisa menjumput, mengolah tiap aksaranya menjadi tulisan, setelah sekian kali ia dapat berkunjung, menamuinya, hingga sang tuan rumah, yang tak memiliki rumah, yang mendiami kota asing ini, menawarkan suguhan. Lalu ia berbicara seakan aku diberi ruang untuk menetap dan menitip sebagian kata-kata, pada suatu bilik yang masih kosong, yang bercat pudar, yang terlihat mati tak memiliki jiwa.

Kemudian aku bercerita tentang kota yang asing. Gadis kecil penjaja koran di lampu merah yang berlari membawa bunga yang ia kupasi setiap bagian tangkai dan bunganya di atas aspal yang panas.

Tuan rumah menepuk pundakku, agar tak mewarnai bilik di kota yang asing ini dengan buru-buru, kata-katanya akan menjadi muram, tak perlu memburu, gusar hendak segera menyelesaikan. Sebab itu tak akan membuatnya indah, hingga menghidupkan kembali jiwa orang-orang yang tinggal di kota yang asing ini. Terburu-buru hanya akan menjadikan tulisan sebagai proyek, yang menjual kegetiran dan simpati. Namun juga jangan terlalu lama agar tak dipendam sendiri.

Pleburan, Semarang (2022)

Badai Healing

aldiantara.kata

Kata-kata menjadi badai. Teratai yang cantik mekar pada danau yang sering dilewati dan tatap orang-orang sebelum masuk ke dalam ruang kerja. Kadang, kata-kata berlarian merangsek masuk lewat kereta, atau melewati roda kendaraan yang berputar menuju titik melalui dua musim berbeda.

Apakah ada perbedaan jenis syair lagu yang didengarkan laki-laki dan perempuan. Seolah harus ada pemilahan nada, yang mendayu atau terdengar keras milik siapa. Siapa yang menjadi malu, memainkan lagu orang, didengarnya sebagai kelakilakian, atau keperempuanan.

Es kopi yang kau pesan sudah terasa hambar. Akankah kau tambahi sesuatu di dalamnya, atau cukup menikmati manis obrolan yang sedang berada di episode tengah menuju geli klimaks.

Sudah butuh healing dengan melihat darah dan komedi? Berita atau video-video pendek yang lucu. Masalah yang asik diperbincangkan. Cerita yang diulang-ulang hingga bosan didengar. Tambahan pekerjaan dan circle baru hingga ciptakan imej baru.

Kehidupan alam seperti hendak mengajari lagi, yang dingin, yang tumbuh, tanpa terburu-buru, sedari dedaun yang kian meninggi, arah alir air kepada muaranya, tanpa keluh menanyakan kemana arah tumbuh, atau kemana jalan menuju muara. Air yang sesekali hendak berubah menjadi padat. Bebatu yang sesekali mampu menjadi rumah bagi ikan-ikan. Namun tetap saja rencana-rencana merayap dengan padat, membutuhkan pemuasan. Ia tak menjadi habis, semakin haus.

Pasar Sore, Di Waktu Malam

aldiantara.kata

Di pasar sore, yang ramai saat kunjung malam. Aku baru mengenali nama-nama yang asing pada tempat-tempat yang sering terlewati. Baru tersadar di mana aku berjalan melawan arah arus. Hujan yang baru reda setiba-tibanya yang bukan pada musimnya. Padahal kau ingin sekali melihatku makan yang banyak. Seorang pedagang yang tak ramah terhadap dialek orang asing di luar kotanya. Perlu kumeminjam bahasamu agar sedikit ramah dan memberi rasa hormat terhadap tamu?

Daripada kau mengeluh perihal waktu, yang belum tentu menjadi milikmu, adakah kesempatan pergi mencari nafas di sela rutinitas yang jemu. Mencari jadwal alam yang kini terbagi antara senja dan fajar. Meja yang bermenu kopi, atau spot foto dengan latar pasak alam atau jurang-jurang dalam. Sisanya adalah hiruk pikuk kendaraan mencari tempat parkir makan.

Di pasar sore, berjalan melawan arus. Memang seharusnya seperti itu, bukan? Daripada terbawa arus, sama-sama menderita, memikirkan keresahan dirinya sendiri, tanpa bisa melawan.

Di pasar sore, di waktu malam, asap mengepul dari makanan-makanan. Pilih mana? Adakah yang menarik hatimu. Simpan dulu gelisahmu pada bayang gelap malam, di bangku taman, agar kelak disapa embun malam. Simpan dulu gelisahmu sebelum butir kekhawatiran itu tercermin pada kedua bola mata sebagai hal nyata. Bisa berhenti bertanya pukul berapa? Atau mencari berita-berita terbaru. Drama-drama baru. Seolah menerka alur, pelaku-pelaku terlibat. Tembok yang tak bersalah berlubang kena peluru.

Di pasar sore, di waktu malam. Tangisan-tangisan seolah diredam dinding-dinding yang dingin. Kini tak banyak protes tentang kebijakan-kebijakan beling. Semua menjadi normal. Semua menerima. Tertawa teralih joget adegan pendek.

Di pasar sore, di waktu malam. Semua menjadi hening, yang seharusnya bising. Apa benar ini adalah pasar sore di waktu malam?

15.55

aldiantara.kata

15.55

Setelah tahu bahwa masih ada detik sisa menuju ambang waktu di mana kereta yang bernama rutinitas akan datang menjemputmu kepada peraduan yang tidak bisa disangka-sangka kapan kau akan bisa mengulangi momen ini.

Setelah kau kerap bertanya pukul berapa kereta akan tiba. Lalu saat kereta melaju kau malah berpikir di luar kereta dengan harap dan cemas.

Dirayu mendung, menawarkan gerimis.
Banyak yang takut, mencari tempat berlabuh.
Termenung menunggu lampu hijau, dipaksa berhenti berjalan bergantian dengan kendaraan-kendaraan.
Kata-kata selalu ada pada setiap jalan yang ditempuh meski dengan sedikit jarak. Apa hendak menerimanya.
Selagi kereta menunggu kita, yang berpura tanpa diawasi waktu dan keadaan.
Beberapa menit kembali kita dipaksa masuk pada gerbong ketiga.

Kita bisa menitip lagu, kita bisa menitip kata.

Lalu kembali malam. Tiada kereta beroperasi. Penumpang siapkan senjata. Yang mereka tembakkan ke atas langit ke sisi kanan ke sisi kiri ke diri sendiri. Mereka merasa paling terluka. Mereka merasa paling prihatin. Padahal setiap-tiapnya miliki senjata. Sebagian merasa paling agul dengan kemutakhiran. Sebagian merasa paling kuat dengan bekingan.

Kereta malam justru datang.

Giliranku untuk masuk, membawa senjata, kutembakkan saja pada bibir kereta. Lalu aku bersembunyi, kembali dengan menjajakan bunga dan harapan jalur lain selain kereta itu.