Bulan: Agustus 2020

Pukul 5 Sore

Sumber Gambar: Pixabay

 

 

Menulis ini pada tanggal 20.8.2020. Bakda asar. Pukul lima sore, lima belas tahun lalu, aku berlari menuju Warung Pak Haji Sadun menunggu bis kantor yang membawa Ayahku tiba pulang kerja, kupanggil ayahku: Abi. Bahagia sekali ketika Abi turun dari bis, melihatku, dan aku tertawa bahagia: minta uang jajan!

Yeah. Seribu. Kumasukkan ke dalam saku celana. Sangking baiknya, Abi sering ajakku mampir di warung Pak Haji Sadun. Tentu saja aku jajan teng-teng kacang dan nano-nano. Lalu setelah kupastikan Abi sampai rumah, aku kembali ke lapangan perumahan untuk main bola.

Pukul lima sore. Setiap hari dengan bahagia aku menjemput Abi di gapura. Menunggu bis kantor yang membawa ayahku tiba. Dengan tas kantor hitam, diselempangkan di lengan kiri. Biasanya membuka tangannya ketika aku berlari ke arahnya. Bersalaman.

Paling menyenangkan lagi, pukul lima sore. Hujan. Mama bekali aku dengan payung besar lalu aku berpetualang di bawah hujan menuju gapura. Kuinjakkan kaki-kakiku pada setiap genangan yang yang bergelombang ketjil mengarah padaku.

Di samping gapura, aku menunggu di bawah payung yang besarnya melebihi tubuhku yang kerempeng: bus kantor yang membawa Abi tiba. Lalu, bus pun datang. Abi turun dengan menutupi kepalanya dengan tas hitam berlindung dari hujan, aku dengan cepat-cepat berlari ke arahnya, lalu menyodorkan payung. Bersama Abi memayungiku. Berjalan dengan langkah kaki yang tak bersamaan. Masih terasa indra penciumanku mencium wangi keringatnya.

Bila hari jum’at. Biasanya sepulang Abi kerja, Abi selalu membawa sekotak susu ultra cokelat ukuran ketjil, yang kemudian dibagi-bagi untuk kakak, aku, dan adikku. Karena hari jum’at ada jadwal olahraga di kantor, jatah susu yang seharusnya untuk Abi, malah dibawanya ke rumah untuk anak-anaknya.

Mama Abi yang pengasih dan penyayang. Mama cerita tidak ada sosok ayah sepenyayang Abi. Bahkan Mama sering bercerita ada anak di perumahan yang tidak penah merasakan gendongan seorang ayah.

Lima belas tahun lalu, saat badung-badungnya, di masjid perumahan ketika sore hari, aku main-main dengan berjalan di atas pagar masjid hingga akhirnya terpleset, tangan kiriku sobek terkait pagar besi masjid. Aku menangis sejadi-jadinya. Darah membuatku pening mengalir dari tangan. Hingga tetangga yang mendapatiku mengantarku ke rumah.

Aku paham sekali Mama takut dengan keadaanku yang menyedihkan, mungkin sekaligus kesal karna aku sejak dulu berjuluk “cacing kepanasan” alias ngga bisa diam. Namun, Mama dengan berani mengurus luka dan memperbannya sementara. Abi akhirnya membawaku ke RSUD.

Dokter memberitahu harus menjahit tanganku. Aku panik. Tangan Abi yang memegang kepalaku entah membuatku tenang sekaligus berani. Ketika dijait, tangan Abi yang berusaha menutupi mataku agar tak penasaran melihat proses operasi.

Bukan itu saja pengalaman operasi. Ketika menginjak SMP, kaki kananku patah setelah jatuh dari ranjang tingkat dua di Pesantrian. Suatu malam aku tidur di ranjang tingkat dua, namun alam bawah sadarku mengira aku berada di ranjang bagian bawah.

Ketika mati lampu, aku panik dan ngelindur, hendak lari, namun nyatanya aku berada di ranjang atas. Jatuhlah. Kaki kanan menghantam ujung lemari kayu. Masih dalam keadaan tidak sadar, aku berusaha berdiri dan mulai sadar. Dan…kreekk. Ada yang tidak beres dengan kaki kananku. Aku berteriak sekencang-kencangnya.

Mama Abi menuju rumah sakit. Mama yang kulihat pertama kali datang, terlihat memaksa senyum meski harus menahan air mata. Seolah hendak menenangkanku, padahal diri Mama sendiri yang terguncang dan khawatir. Sementara Abi secara sempurna berpura-pura “terlihat dingin” menjengukku.

Meski sebetulnya dahulu Abi pernah fobia gelap, namun Mama cerita setelah Abi masuk STM, fobianya sudah sembuh sendirinya. Sementara aku hingga kini masih dengan fobia yang sama.

Dahulu di rumah Abi masih berlangganan majalah-majalah teknologi. Biasanya pada malam hari antara aku dan kakakku, setelah selesai belajar dan ngga ada kerjaan, bila menemukan sebuah majalah, biasanya mencari wajah orang di dalamnya, kemudian menggambarkan matanya seperti seorang bajak laut, lalu mengkumisi, menjenggoti atau menggambarkan tahi lalat. Parahnya tidak hanya terhadap artis pria, juga wanita sekalian.

Mama menegur. Mama bilang selama mengenal Abi, tidak pernah Abi mencoret-coret bukunya, bahkan hingga menggambari wajah orang lain di buku atau majalah. Alasannya sederhana dan lucu: takut orang yang di buku atau majalah bersangkutan datang main ke rumah. Barangkali pesan moralnya adalah harus menghormati buku. Namun aku setuju dengan Mama: bahkan dengan orang yang Abi ngga suka sekalipun, ketika Abi menceritakannya, Abi selalu mengembelinya dengan “Pak” atau “Bu”.

Dear, pembaca. Ketika tulisan ini diketik, sudah tanggal 21.08.2020. Barangkali engkau mulai bosan membaca kisah fragmen mengenai keluarga. Terlepas dari semua itu, memori-memori lama menyampaikan kepada tangan untuk kemudian kutuliskan. Pada tanggal duapuluh Agustus kemarin, usia Abi menginjak setengah abad lebih tiga tahun.

Abi cenderung sosok pendiam dan bicara seperlunya, terutama kepada anak-anaknya.

Dengan darah kesundaan tentu canda tawa tidak pernah lepas dari kesehari-harian. Dalam obrolan malam di ruang tengah, untuk memecah suasana biasanya Abi bercerita hal-hal yang jenaka. Memang terkadang beberapa di antaranya diulang, namun selalu saja hangat dan tawa kerap menemukan ruangnya.

Diantara cerita yang kuingat adalah tentang tentara dari Sunda yang komandannya berasal dari Maluku. Suatu ketika dalam upacara rutinan tentara. Semua tentara bersenjata lengkap. Tentara yang berupacara kebetulan kebanyakan dari suku Sunda. Seluruh tentara bersenjata lengkap. kemudian komandan menyiapkan pasukan: “Siaaaaaap Grakk !!!” semua tentara berbaris posisi siap. Lalu komandan berseru: “Letakkan senjataaaa…Grakk !!”. Namun lantaran diserukan dengan logat timur. Seruan terakhir sang komandan didengar oleh para tentara dari Sunda menjadi “Létakkan senjata”. Sementara terma létak dalam Sunda memiliki arti “jilat”. Sehingga yang dipahami berarti “Jilatlah senjata…Grakk !!” akhirnya sebagian dari tentara ada yang menjilati senjatanya. HAHAHA. Ini cerita lucu, intinya soal perbedaan dialek yang unik sekaligus indah. Namun meskipun berkali-kali Abi ceritakan pasti semua tertawa. Terlebih mimik Abi yang terbiasa kalem dan serius, namun ketika bercanda terlihat totalitas mengekspresikan tokoh konten ceritanya.

Sejujurnya, dalam keluarga, aku tidak dekat dengan siapapun. Namun, kalau ada apa-apa, aku lebih nyaman untuk mengutarakan pada Mama. Abi pun sebetulnya so sweet. Kalau pergi ke mana-mana, Mama harus selalu ikut. Bahkan hingga perjalanan dinasnya, Mama harus selalu ikut. Bahkan ketika Mama tidak bisa ikut, Abi malah ajak kawan pria sekantornya sebagai teman dalam perjalanan dinasnya. Pernah suatu ketika sedang makan malam, Abi pernah bilang pada anak-anaknya, “Hati-hati, nanti kalau kalian sudah bekerja dan ada dinas keluar kota, harus ajak istri atau suami.”

Konon kata Mama, sebelum menikah dengan Abi, Abi pernah patah hati dengan seorang perempuan. Namun, obat move on nya kata Abi, mungkin terdengar sedikit klise, “Kalau putus cinta, ibarat layangan putus, biarin aja, ngga usah dikejar lagi.”

Kini sudah tanggal 22.08.2020. Aku seperti memiliki kemampuan menyelami masa lalu yang detil. Duduk melingkar pengajian rumah yang diajari oleh Mama, hingga Abi yang mengantarku ke sekolah dasar hingga depan gerbang. Atau Mama Abi yang harus sabar meminta maaf kepada tetangga lantaran genting rumahnya rusak karena genting rumahku dan tetangga kujadikan wahana bermain layangan.

Kehangatan keluarga kusadari kini merupakan harta sesungguhnya.

Dulu, kata Mama, Abi seorang perokok berat. Hingga akhirnya menikah dengan Mama dan hamil anak pertama, Mama ngga mau Abi tetap merokok. “Ngidam” yang sangat mengerikan. Hihihi. Dengan hebat sejak itu Abi sama sekali tidak pernah menyentuh rokok hingga kini.

Dulu, aku memahami kehidupan yang begitu sederhana. Biasa saja. Pola-pola yang sudah ditebak. Sekolah hingga jenjang yang tinggi, mendapat pekerjaan yang layak lalu berkeluarga.

Hingga kurun 2002-2020, banyak peristiwa-peristiwa terjadi, dimulai dari Mama dan Abi yang memiliki kerja sampingan dengan menjual produk kosmetik. Hal menarik bagiku bukan persoalan untung atau ruginya. Tetapi modal koneksi. Dari usaha ini Mama Abi berkenal dengan berbagai macam keragaman, khususnya dari ormas keagamaan, Mama dan Abi bertemu kawan kawan dari berbagai kalangan seperti Persis, Muhammadiyah, NU, LDII, NII, MMI, dan lain-lain. Tidak jarang orang bertamu dan bercerita macam hal.

Sekitar tahun 2011an, meski usaha sampingan Mama Abi sudah selesai, namun koneksi dengan sebagian pelanggan yang berasal dari berbagai latar belakang tidaklah usai. Mama dan Abi tetap menjadi pendengar yang baik mendengar ragam cerita dan masalah yang diutarakan kepada mereka berdua.

Bertempat tinggal di kota industri, dalam pandanganku yang sempit, lowongan pekerjaan yang tersedia tidak sebanding dengan kesediaan SDM. Industri perusahaan tidak segan dalam memecat karyawannya, toh SDM pelamar melimpah. PHK pada kondisi tertentu menjadi hal biasa. Belum lagi dari cerita-cerita yang kudengar tanpa sengaja, banyak pula para debt collector yang menjadikan kondisi perekonomian kaum papa yang butuh modal usaha atau biaya sekolah anak-anaknya memperparah kondisi sosial sekitarku. Celakanya, pada suatu tempat yang spesifik nan sempit, di daerahku, beberapa debt collector memiliki keyakinan yang berbeda dari pada umumnya, hal ini memperkeruh dan meningkatkan intoleransi pada sebagian masyarakat terhadap penerimaan keberagaman.

Mama dan Abi keduanya sosok yang mudah tersentuh. Mama dan a tiny creative minority, semuanya perempuan, tidak lebih dari lima orang, pada awalnya merupakan jamaah pengajian, namun memiliki keresahan sosial yang sama, seperti mendengarkan cerita dari korban PHK, terlilit hutang atau yang membutuhkan dana pendidikan anaknya, atau bahkan konsumsi harian. Mama dan kawan-kawannya sering menggalang dana untuk kemudian menyalurkannya kepada yang membutuhkan.

Ini cerita tentang pergerakan kaum perempuan progresif. Yang membuatku menarik, para suami dari kelompok perempuan ini memiliki peran dalam mencari koneksi untuk penggalangan dana, entah dari baitul maal perusahaan, sumbangan dari dokter spesialis daerah, atau dari donatur-donatur yang berkenan menitipkan dana untuk disalurkan. Hingga jamaah pengajian ini membentuk komunitas yang bernama Amanah Umat.

Amanah Umat kini setahuku hampir berusia sewindu, atau bahkan lebih. Beragam acara sudah dilakukan, seperti pengajian ibu-ibu, santunan yatim piatu, sumbangan dana pendidikan, perbaikan rumah yang rusak, pembebasan dari debt collector, hingga mengadakan pelatihan soft skill pembuatan kue hingga kursus menjahit bagi para perempuan. Agar masyarakat berdaya dan survive mencari rezeki.

Aku belajar dari keteladanan itu. Meski pesan yang akan disampaikan ini terkesan receh, namun bagiku ini penting, tak perlu menunggu menjadi apa dan siapa untuk menjadi manusia yang memberi manfaat.

Tulisan ini memang seharusnya menjadi privasi. Aku meyakini bahwa semua orangtua mewarisi keteladanan bagi anak-anaknya. Semua orang tua adalah pahlawan bagi buah hatinya. Aku memang sedang menyelami masa lalu. Ayah pendiam yang dalam, Ibu yang juga poros inti keluarga. Tiada tradisi ucap mengucapkan selamat ulang tahun di keluargaku, tulisan ini semacam refleksi mengingat bahwa setiap orang tua kita adalah pahlawan.

Bila Abi membaca tulisan ini, Abi pasti sedang berada di ruang kerja atau sedang di kampus. semangatnya adalah keteladanan. Mama seorang sarjana tarbiyah, sementara Abi magister teknik yang menyelesaikan sarjana dan magisternya diusia kepala lima.

Sama seperti tidak perlu menunggu menjadi apa dan siapa untuk bermanfaat, maka tidak perlu menunggu sukses untuk mengucapkan terimakasih dan tindakan bhakti kepada orang tua.

Pukul 5 sore. Abi pulang lalu sampai di rumah. Hal yang bagiku romantis adalah setiap pulang kerja, Mama dan Abi selalu punya waktu 30 menit untuk menghabiskan waktu berdua, mengobrol, dengan suara-suara yang perlahan dan intim. Adik-adikku selalu punya cara untuk bermanja dengan tiduran dipangkuan Mama dan Abi.

Sementara aku, selalu gagal untuk bisa memeluk Abi atau Mama kala harus pergi jauh. Setelah dewasa. Entahlah. Setelah dewasa ini aku ingin sekali memberanikan diri untuk memeluk mereka. Namun pada saat yang sama aku takut momen tangis dan canggung.

Aku bahagia, kini aku berhasil memegang payung sendiri, memayungi Abi atau Mama kala sedang berjalan di luar rumah kala hujan. Menghindari genangan. Mendengar derap langkah masing-masing.

Bahagia rasanya tulisan ini bisa selesai, dengan cerita bejibun tak masuk isi materi, tereliminiasi karena kupikir terlalu privat atau bingung hendak menyambungkan pada narasi ini lewat mana.  Tulisan ini sekaligus menjadi penutup pada bulan Agustus. Bulan kelahiranku dan Abi.

Aku mendengar lagu Dust in The Wind – Kansas juga Wind of Change – Scorpions. Kenangan di mana aku mendengarnya di mobil bersama keluarga. Malam-malam. Syahdu sekali.

Ahlan September.

Kapan aku sidang tesis? Aku hendak segera pulang, makan masakan Mama dan dengar cerita-cerita Abi.

Prasmanan

Sumber Gambar: Pixabay

 

Sudah makan?

Ngomong-ngomong, aku jalankan nasihat kakakku, kalau sudah mikir berat, segera harus cari makan enak. Ada betulnya, setidaknya ketika makan lalu menyeruput es jeruk, pikiran jadi agak terdistract. Tidak betulnya, aku tidak pernah merasa pernah berpikir berat. Jangan-jangan memang aku saja yang lemah, berpikir hingga satu titik saja dah puyeng.

Aku pun baru sadar, bahasa lokal mungkin memang memiliki diksi-diksi yang tiada padanannya di bahasa nasional. Sebulanan ini kurang tidur. Project tugas akhir belum menemukan titik kesimpulan. Ngga apa-apa aku ungkapkan di sini. Siapa tau tahun-tahun kedepan aku bakal bernostalgia membaca ini. Imbasnya, jam sarapan harus dirapel dengan makan siang. Setelah aku membaca salah satu cerpen Nukila Amal “Smokol”, juga obrolan dengan J’tahid, kawanku, makan di jam-jam nanggung di Manado itu istilahnya “Smokol”. Sebulanan ini aku smokol.

Menyebalkan rasanya bila terbangun dan kehilangan momen pagi. Menjadi nocturnal. Mata lengket minta digisik. Pola makan berantakan. Kantung mata menghitam. Pada saat yang sama ketika harus menahan lapar, aku menemukan orang-orang yang sama: Bapak menggendong anaknya yang lemas, bersandar pada tembok kampus atau seorang anak ketjil pemulung dengan membawa karung isi barang yang besarnya melebihi ukuran badannya. Duduk di trotoar perempatan CFC, dekat pos polisi bertuliskan KTL UIN. Aku kira banyak teman memiliki frekuensi yang sama dalam menebak akronim KTL. Namun setelah googling, KTL berarti Kawasan Tertib Lalu Lintas.

Ah, aku benci pikiranku.

Hingga pada suatu acara smokol, prasmanan pada sebuah tempat makan. Menaksir harga sebuah tempat makan relatif dilihat dari kendaraan yang parkir dan penampilan para pengunjungnya. Sepertinya ngga ada orang berwajah susah di rumah makan ini. sekalipun beriwayat penyakit, itupun penyakit elit seperti jantung, nyeri sendi atau batu ginjal. Sepertinya nyaris tiada yang punya riwayat asam lambung atau maag, kecuali aku dan pekerja kasar yang mengurus taman gazebo.

Bersama teman-teman, mengantri prasmanan ambil piring dan nasi, pilih lauk, lalu membayarnya. Namun ada kejanggalan. Narasi hidup ini kurang asyik. Meski harga makan di rumah makan prasmanan ini relatif terjangkau mahasiswa, tentu tidak bisa sering-sering ke tempat ini.

Rumah makan ini sepertinya tidak cocok untuk korban debt collector. Harganya juga tidak bersahabat dengan seorang Bapak yang mendorong gerobak kosong. Di samping kampus. Kepalanya bersandar pada tangannya sendiri pada besi pegangan gerobak. Menu-menunya terlalu mewah dan lezat bagi pengamen jalan yang berjoged koplo gunakan pakaian badut Upin Ipin di lampu merah. Kulihat sang Bapak sedang beristirahat dengan bermandi keringat, pakaian badutnya dijemur pada sebuah pagar rumah kosong samping lampu merah.

Marilah bergabung pada perjamuan prasmanan yang akan kita rancang dengan bumbu imajinasi absurd: seorang pelanggan menyodorkan piringnya berisi nasi, kikil, pecel, mie dan ayam goreng. Sang kasir kemudian menilik-nilik perawakan dan penampilan luarnya yang terlihat mapan, sang kasir mulai menghitung untuk pembayarannya melalui cash register, jemarinya mulai menari menekan setiap tombol-tombol yang berbunyi wik wik wik wik wik WIK menjumlahkan….69 ribu yang harus dibayarkan. Selanjutnya, dalam antrian prasmanan, giliran di depanku seorang anak yang kemarin malam berbaring pada sebuah trotoar tengah jalan yang dipenuhi tanaman, perempatan lampu merah Gejayan. Memeluk beberapa koran dengan mata terpejam. Kini giliran ia yang menyodorkan piringnya pada kasir. Isinya tidak jauh berbeda dengan pelanggan sebelumnya, bahkan ditambah dua jenang jagung dan dua dadar gulung. Mesin Cash register berbunyi wik wik wik wik WIK. “Total 6 ribu 9 rupiah.”

Aku terkejut. Prasmanan yang pancasilais. Suatu keadilan sosial!!! Tentu saja ini tidak Real. Mungkin karena aku fans Barcelona yang kini sedang puyeng dengan masa depan Messi yang mungkin akan segera hengkang. Heuheuheu.

Pada suatu malam aku tertidur. Bermimpi: dua badut berkostum Upin-Ipin berjoged dengan lagu yang asing di lampu merah, beberapa pengendara terlihat menyisihkan sebagian uangnya kepada mereka berdua. Tak lama, aku termangu. Sebab di kostum badut Upin bukan tertulis huruf “U”, melainkan sebuah poster bertuliskan, “Bagaimana bila aku ini anakmu?” Sementara di kostum badut Ipin bukan tertulis huruf “I”, melainkan sebuah poster bertuliskan, “Pendidikan terakhirku S2”.

Dan dalam mimpi itu, kulihat spion motorku, aku sedang mengenakan seragam pegawai pizza yang harus segera bergerilya menawarkan produk di pinggir jalan yang tidak sejuk.

Anu, ada yang tau kemana arah menuju rumah makan prasmanan terdekat?

Tukang Kayu

Oleh: Sibro Malisi

 

 

Syair tidak melulu diiringi gitar ataupun biola. Paduan tatah dan martil menjadi senandung pengiring syair pak Napi, bukan Narapidana. Ia seorang tukang kayu sekolah yang menunjukkan kepadaku kasih yang tulus.

Jam tunjukkan pukul makan siang sembari bercengkrama dengan sepoi angin Tirtoadi. Tapi memahat sisa kayu untuk mainan anaknya ialah istirahat bagi pak Napi, di sela pekerjaannya. Sampai pada pukul menunjukkan bekerja kembali, pak Napi sisihkan waktu untuk menghadap Hyang  Widhi, sembari bayangkan peluk anaknya.

Bentuk ikhlas ialah tidur, selebihnya ialah kata ucap ikhlas. Begitulah gambaran wajah pak Napi kala mengkreasi mainan truk untuk anaknya, tulus yang senyata-nyatanya tulus. Sampai anaknya beranjak remaja bahkan dewasa, pun tidak akan pernah tau apa yang dulu dilakukan bapak terhadap nafsinya. Lantaran bukankah seorang bapak lebih masygul membahas apa yang kamu butuhkan, Nak?

Senyum orang tua merupa sebentuk komposisi berisi rasa tangis dan takut, berdoa kebutuhan anaknya tercukupi. Doa terpanjat dawam dilimpah selalu untuk anaknya dan mewujudkannya ialah cita-cita mutlak yang harus dilakukan seorang bapak.

Penasaranku terhadap pak Napi, membuahkan lamunan. Memaksa mengingat apa yang dilakukan bapakku dahulu. Memindahkanku yang lelap dari ruang tamu ke kamar, agar tak kedinginan. Menjadi tukang pijit ketika anaknya capek, menjadi dokter ketika anaknya sakit, menjadi pramusaji ketika anaknya merasa lapar, menjadi pembantu rumahtangga setiap saat agar anaknya merasa nyaman, dan menjadi serdadu pelindung bagi anaknya.

Tidak jarang ketika anaknya beranjak dewasa dan merasa lebih pintar untuk meneliti kesalahan orang tuanya, sedikit membentak sesekali terlontar, protes ketidakpuasan gengsi, atau lebih banyak bertanya kabar kepada pasangan dibanding kabar orang tuanya, sedikit waktu untuk keluarga dibanding dengan pasangannya. Sementara panjatan doa orang tua kepada anaknya masih sama: “Tuhan berkatilah anakku.”

Seperti burung yang menyuapkan makan setiap hari kepada anaknya, mengajari untuk terbang melihat alam tempat tinggalnya. Setelah besar menghilang dan kembali tak mengenalnya.

Emoticon

Gambar: Sibro Malisi

 

Chrome, kawanku, “aku bosan dengan rutinitasku; makan, pergi belajar, tidur, ibadah, tidur lagi. Aku capek, butuh istirahat.” Heuheuheuheu.

Kini Chrome cekikikan tertawakan hidup.

Kawanku yang lain, “Kehidupan jangan dibawa berat.”

Aku, “Kau sedang menasihati dirimu sendiri. Aku justru memikirkan renungan di dataran tinggi, mencurahkan waktu. Dihajar dingin. membaca beberapa buku sastra.”

Percakapan-percakapan intim di Whatsapp sudah berganti dengan emoticon. Simbol-simbol sticker. Percakapan panjang dan intim hanya ada di novel-novel, puisi narasi dan naskah drama. Orang berkenalan malu-malu. Lewat aplikasi kencan. Sisanya hanya koneksi teman kerja, teman sekolah, teman insidental, temannya teman. Sama seperti pekerjaan kini, tanpa koneksi, usaha membutuhkan keringat lebih.

“P”

“P”

Saling membalas dengan isyarat-isyarat. Simbol-simbol. Bahkan ada juga yang membalas “P” dengan “V”. Saling kode untuk meminta bertemu. Lelaki sibuk kumpulkan portofolio pencapaian: ajak dia makan malam. Perempuan sibuk mencari alasan menolak, tuntut lelaki kesungguhan. Keduanya sejatinya tak lepas dari kesepian.

“Dia online. Tapi mengapa pesanku lambat diresponnya.”

Percakapan si jantan dan betina memutar pada topik-topik yang mudah ditebak. Sudah makan? Beri perhatian, kalau perlu minta pap. Punahkan saja buku-buku kamus bahasa. Masa ini rasanya tak butuh kamus atau tesaurus untuk buktikan banyaknya diksi atau diantarakata yang bisa dirangkai menjadi obrolan.

Memulai obrolan, mungkin bagus memulainya dengan, “Rekomendasi lagu yang enak didengar saat ini?” atau “Lagu apa yang mewakili perasaanmu sekarang?” Barangkali akan sedikit manjing.

Hidup memang tak melulu soal pencapaian kelas pendidikan. Semua soal strata dan kedudukan. Hidup mengalir seperti menemukan lagu-lagu enak di kedai kopi. Mencatatnya. Pulang ke peraduan lalu memutar lagunya ulang.

Waiter waitress dengarkan obrolan pelanggannya. Ghibah menjadi mubah. Dalihnya sebagai sejarah. Sepertinya aib-aib manusia tidak hanya menjadi rahasia-rahasia yang dipegang semesta atau malaikat, namun juga ditangkap oleh telinga security, waiter waitress, atau tukang mie ayam di Kaliurang. Aku suka sekali ketika sebagai pelanggan, mereka pura-pura tidak tahu. Pura-pura tak melihat.

Menjelang akhir studi, beberapa teman sidang munaqasyah. Panas. Munaqasyah lebih seperti perlombaan. Penelitian yang dibatasi deadline-nya. Kejar agar tak bayar UKT lagi. HAHAHA. Namun pada suatu hari bahagia di mana kuyakini sudah ada gilirannya, tak lupa aku kirim pesan ucapkan selamat sepanjat doa agar pencapaian strata pendidikan menjadi berkah bagi kehidupan. Seorang temanku jawab, “Makasih. Semoga segera menyusul.” Seperti ucapan klise.

Aku hanya berandai bila aku ada di posisinya, aku jawab: “Terimakasih atas ucapanmu. Aku tahu ini seperti perlombaan. Tapi temukanlah kebahagiaanmu. Bahkan aku pun tidak bahagia dengan pencapaian ini. Tapi maukah kau ikut sedikit senang untuk hari ini?”

Menolak Ingat

Semua berakhir di keuangan. Bangsa ini memang sudah merdeka, tapi mahasiswa masih terjajah di bagian keuangan. Bangsa ini sudah merdeka, tapi mahasiswa masih terjajah di penelitian.

Kata orang bijak antara ilmu dan pekerjaan memang soal lain. Tuntut ilmu saja terus, pekerjaan kelak adalah hal lain. Mahasiswa enggan penelitian, dosen apalagi. Mahasiswa sodorkan penelitian, dosen enggan koreksi.

Mahasiswa mumet dipekerjai.

Chrome, kawanku, katakan, apakah setelah punya jabatan, dosen enggan makan di kantin fakultas lagi? Biarkan saja ia beromong-omong di sambutan wisudanya. Seakan ada harapan, semua berakhir di bagian keuangan. kumpulkan saja quote-quote humanis yang unik. Tiada langkahnya yang berani. Kukira doktor, ternyata debt collector.

Lain kali, sebaiknya kampus tidak usah punya bisnis sampingan seperti hotel atau bisnis sewa gedung serbaguna untuk nikahan. Nanggung. Kampus harusnya punya bisnis pertambangan. Biar staff TU katakan pada mahasiswa, “Alah, Mas, Mas. Seikhlasnya saja bayar UKT-nya. Kampus ngga matok, kok. Kampus ini sudah kaya.”

Sudah bayar UKT, Mas?

Aku butuh gelar, aku butuh gelar. Dunia berbisik, “Lunasi tagihannya dulu, penelitian cuma bumbu.”

Aku gila, aku gila. Sekonyong dunia berteriak, “Karna kau ngga mau dituntut hukum ya, kisanak?”

Haa? Haa? Aku siapa… Aku siapa…

Menolak ingat, aku barusan ngomong apa.

Fotosintesis

Sumber Gambar: Pixabay

 

Bila sebuah lagu mampu melembutkan hati manusia. Antara suara, nada dan ukulele yang dipetik oleh seorang gadis yang wajahnya tersorot sinar mentari pagi melewati jendelanya. Menatapku.

Mensyukuri kehidupan.

Sebelum list-list harian yang harus dikerjakan membuat manusia-manusia harus bekerja di bawah lampu ruang dan ac, mengabaikan udara luar dan matahari yang membantu tumbuh-tumbuhan berfotosintesis.

Mengapa tidak dulu berancang dan mengambil nafas. Terpejamlah mata dan nafas yang harus kembali diatur. Sebelum kulit manusia lebih terlihat sebagai dokumen atau karat besi robot yang patuh aturan. Mata manusia harus melihat matahari dan air mengalir agar terjaga kemanusiaannya.

Bila sebuah lagu mampu menenteramkan jiwa-jiwa manusia yang butuh temaram. Mengapa kitab suci dibaca bak peringatan dan teror? Padahal ayat-ayatnya adalah cinta dan keindahan. Bacalah dengan jiwa-jiwa pecinta suci. Selamilah maknanya di bawah pepohonan mentari pagi atau malam penuh bintang.

Aku suka sekali sinar mentari yang menerobos masuk pada sebuah kamar. Lalu kulihatnya dengan jarak. Menerangi kursi meja belajar dan kasur, selimut yang belum terlipat rapih. Namun menggelapi almari dan lampu tidur.

Pada malamnya, aku dengarkan kembali lagu When She Loved Me yang dicover oleh Lyn Lapid dengan petikan ukulelenya. Sambil membayangkan bagaimana syahdu pemandangan aurora di Finlandia.

Api cinta yang hangat perlu dinyala. Agar tak mudah membenci sesama.

Pesan Tuhan dalam kitab suci bukan saja terbatas isyarat peribadahan, namun juga kedalaman cinta yang tak terukur.

Apa kabar lampu perkotaan malam hari yang kerlap-kerlipnya terpandang dari kejauhan. Hanya titik-titik kecil sebuah pemukiman.

Aku jadi teringat sedang duduk di atas tanah pada malam hari, Pos III Gn. Merbabu, melihat lampu-lampu seperti nyala kunang-kunang. Lalu kunang-kunang sungguhan terbang menuntun mataku agar melihat bintang gemintang di langitan malam.

Apa kabar jalanan Malioboro yang mulai dingin dan menyepi. Lampu-lampu oranye tetap menyala. Satpol PP masih lakukan penyisiran.

Bagaimana kabar jalanan ring road yang gulita. Bagaimana kabar perempatan gramedia tempat berdiri pemusik jalanan, lampu kuning yang terus berkedip.

Apa kabar, malam? Apakah para tunawisma sudah terlelap. Atau pengusaha-pengusaha sedang berderma dalam kesunyian manusia.

Topeng Avengers

Sumber Gambar: Pixabay

 

Menanti hujan. Dua hari ini yang turun malu-malu. Gerimis. Lalu hilang tiada lagi. Merintik. Merindu. Menitip bekas setitik, cepat mengering berlalu. Disapu kendaraan.

Seperti bercermin pada genangan yang tak berair. Pada fase kehidupan ini. Entah mengapa semesta mempertemukan aku dengan beberapa manusia. Kuamat-amati, aku menilai seseorang di hadapanku ini seperti diriku. Ia sering tersenyum, menyimpan banyak luka.

Keesokan harinya bertemu dengan manusia lain, kuamat-amati, seperti diriku. Tak memiliki banyak teman dan berpura-pura bahagia. Tertawa keras ketika berkumpul, banyak merenung di ujung imajinasinya yang jauh dari keramaian.

Aku tak berusaha mengumpulkan orang-orang yang mirip sepertiku. Aku hanya berlalu. Menanti hujan yang turun malu-malu.

Sudah pagi.

Membuka pintu menghirup udara segar, lima kucing sudah melingkar entah sedang apa. Tiga beraut resah saling memberi isyarat pertarungan berebut wilayah, sementara dua hanya penonton berfose manis. Eh ngga tau ding. Mungkin perebutan selangkangan.

Sesekali seorang kucing melirikku sebagai seekor manusia. Malu-malu lakukan adegan.

Aku menghadap laptop lagi. Ingin kutulis bahwa rahasia hidup kadang harus tetap di dalam kotaknya. Tidak perlu diumbar, meski sudah berpola, biar manjing (manjur). Tapi aku malah hendak mengutarakannya. Seperti pesan Martodikromo, “Kalau mau buat acara, kalo semua mengiyakan, biasanya ngga akan jadi, tapi kalo ada pro-kontra justru acaranya biasanya bakal jadi. Itu ilmu hidup, Mas.”

Atau contoh lain seperti yang pernah kudengar pada sebuah podcast, usia seseorang semakin bertambah, lingkaran pertemanannya semakin sempit.

Kemarin lusa. Pada suatu malam. di pertigaan UNY, aku melihat seorang anak kecil bertopeng avengers Captain America, memeluk tiang listrik pinggir jalan. Entah mengapa itu yang terekam memori pikiranku. Seperti mengkritik keadaan saat ini. Menyuarakan keadilan kini tak memiliki kekuatan apa-apa. Bising. Akhirnya bisu. Semua sama-sama tahu. Sama-sama diam. Dunia memang benar-benar membutuhkan sosok pahlawan super. Lantaran tak tahu lagi bagaimana cara menjalani hidup normal, tak bisa lagi memecahkan permasalahan dengan cara yang normatif.

Di pertigaan UIN semalam, sebagian warga memprotes aksi mahasiswa yang sedang berunjuk rasa menolak Omnibus Law. Ah sial. Kenapa yang diberitakan di media itu harus berdiksi “Simpang Tiga UIN Sunan Kalijaga”. Kenapa tidak Simpang Tiga Museum Affandi. Atau Simpang Tiga CFC. Atau Simpang Tiga Wanitatama. Haruskah nama kampus yang tercoreng, suara mahasiswa makin tiada didengar lagi. Suara mahasiswa kini harus berhadapan tidak hanya horizontal dengan pemerintah, tapi juga dengan warga masyarakat.

Kini memang sedang ramai-ramainya sih. Orang membaca buku, mencari quote, untuk bahan promosi buku, menjualnya. Lalu mendapat omset besar, banyak follower medsos lantaran tajir, lalu suaranya “layak didengarkan”. Tidak semua memang. Namun, suatu kali berpikir bahwa membaca buku itu seperti aib, mungkin ide yang bagus. Agar membaca itu tak perlu diumbar-umbar di medsos. Biar manjing isi bacaannya. Mengkristal menjadi tingkah laku progresif. Heuheuheu.

Perempuan dengan rambut sepinggang, hitam kecokelatan, sedang sarapan. Setelah ia menikah nanti mungkin rambutnya akan dipotong hingga seleher. Ah, senyumannya kupikir mampu hentikan perang.

Limurta dah pulang. Kukira dia akan tidur lebih lama setelah menyaksikan kekalahan Barcelona di Liga Champion. Entahlah aku menyukai ketika menulis ditemani orang yang tidur. Semalam sudah ngopi dengan Ombo, Bahduki dan Limurta. Sepulangnya. Lupa foto momen. Entahlah. Yang tak sempat didokumentasikan justru kadang lebih menyenangkan.

Sama seperti berkenal-berbincang dengan seorang gadis di kereta. Berbicang. Hingga lupa meminta nomer Whatsapp.

Atau saling berbalas pandang dengan seorang asing di tempat makan, lalu saling melupakan.

Puisi Hujan #6

Kekasih. Bila keesokan pagi kau temukan air yang tergenang di depan rumahmu sisa semalam, barangkali airnya mengandung pesan puisi yang mengetuk pintu hatimu. Bila malam ini kau sulit tidur, dengarlah rintik-rintiknya, meski diksi-diksi ini tak seagung air dari langit. Tak se-syahdu malam yang menyatukan para pecinta di bawah derasnya. Setidaknya perasaan cinta dan rindu mampu meredam luka korban PHK. Meski hujan turun sesaat, manusia bisa bertahan hidup dengan harapan dan cintanya yang agung. Hujan memberi kesempatan kepada manusia agar memperhatikan relung hatinya.

Teh panas yang menjadi dingin. Apa kamu masih banyak diam seperti biasanya. Sesudah dewasa, banyak orang ragu bagaimana bisa berjalan di bawah hujan tanpa sebuah kain menutupi kepala. Hanya saat itu perhatian manusia tertuju kepada cara berlari kekasihnya. Mengabaikan semestanya. Kau tak banyak bicara, hanya isyarat lenguh nafas mencari tempat peneduhan.

Aku tak hiraukan canda tawa manusia di kedai kopi. Kaulah engkau akuku. Berpeluklah tanpa diantarakata. Puisi hujan belumlah selesai.

Seloromo

Foto: Sibro Malisi

Konten: Aldiantara Kata

 

Seloromo. Jawa Tengah. Ombo hubungiku dan katakan ia sedang di sana. Saat senja. Seseorang menjala ikan. Sinar lembayung di langit memantul lewat riak air di Seloromo. Banyak orang berteduh di bawah langit indahnya. Meski diam bahasa menjadi cara terbaik menikmati, namun sepertinya pemandangan ini akan memaafkan banyak hal. Menjadi pendengar yang baik tanpa menghakimi. Menerima keluh kesah tanpa merubah riaknya.

Bahkan dengan bahasa yang kutitipkan melalui udara, Seloromo akan menjawab, “tidak apa-apa untuk tak menjadi apa-apa”. “Tidak apa-apa merasa iri dan sebal”. “Tidak apa-apa menjadi pemarah”. Tidak apa-apa tak memaafkan banyak hal.” Banyak hal di dunia yang terjadi tidak seharusnya, sementara manusia berbuat untuk menjadi seharusnya.  Kenapa harus menjadi seharusnya, manusia sepertiku sulit menerima keburukan ini. Berusaha terlihat sempurna dilihat orang.

Di sela kepenatan rutinitas. Aku malah diberi anugerah semesta untuk pergi ke Wonosobo. Dinginnya mengenang. Melewati Kledung, hingga Wonosobo: dingin dan selimut kabut. Perkebunan teh hingga tembakau yang berjajar dijemur di pekarangan. Pepohonan rindang dan keramahan masyarakat sekitar. Aku jadi teringat suasana sore ketika aku turun dari Sindoro via Alang-Alang Sewu. Sesampainya sore. Melewati jalan menurun pemukiman warga. Suasana desa dengan wangi tembakau sepanjang jalan. Kepada alam yang tak pernah membuat kecewa. Moodboosterku. Namun kini orang harus bayar mahal untuk menikmati keindahannya.

Teringat catatanku pada tanggal 3 Agustus 2018 ketika berada di Dieng. Pernah ngga sih kamu datang ke suatu tempat bersama seseorang. Ketika hendak mengunjunginya untuk kedua kali, rasanya tak sama seperti awalnya. Merasa terasing dalam keramaiannya. Hingga benar-benar berharap seseorang itu kembali menemanimu. Meski tersisa foto buram tersimpan, namun mata tidak pernah lupa apa yang pernah dilihatnya: yang terkasih.

“Kucari kamu di desa tertinggi di Pulau Jawa. Kuusap tanah terinjak mencari jejak kita yang lama tertimbun salju yang datang sekejap. Aku salah, Kekasih. Aku menuju Dieng hanya mencari sunyi. Kuberanjak menuju Telaga Warna mencari luka. Aku tak menemukan batinmu yang tersembunyi dalam pandang wajahku. Kau berada di mana?” 3 Agustus 2018.

Kau berada di mana. Ah, kau sudah terlelap.

Salawe

Lima belas menit sebelum ulang tahun, aku mendengarkan video Sujwo Tejo di instagram yang bilang, “Lelaki paling tak berperasaan adalah lelaki yang jauh dari kekasih saat hujan, tapi tak menghasilkan satu pun puisi.”

Sepuluh menit sebelum berulang tahun, aku mendengarkan lagu The Moon – Embun yang bilang: “Seharusnya kau ada di sini”, yang bilang: “Engkau adalah rasa gelisahku”; “Engkau adalah bayangan diriku”; “Sadarkah engkau bagaikan embun pagi yang sejukkan mataku.”

Lalu setelah itu playlist lagu otomatis menuju lagu Hard to Say I’m Sorry yang dibawakan Westlife yang bilang, “Everybody needs a little time away; Even lovers need holiday; I just want you to stay, after all that we’ve been through; You’re just a part of me I can’t let go; I could never let you go.” Ah kenapa lagu-lagunya terdengar melankolis.

Ah tidak! 1 menit menuju perayaan. Menuju tanggal 7. Bahkan kini aku mengetiknya dengan terburu-buru, dan tak terhitung kutekan tombol backspace di laptop ini karena typo.

00.00

Alhamdulillah. 7 Agustus 2020. Usiaku tepat menginjak salawe.

Aku berdoa agar bertambahnya usia,  bertambah pula kebaikan dan keberkahan hidup, seiringnya. Tulisan ini akan kubaca pada tanggal 8 Agustus, 9 Agustus, 10 Agustus 2020, lalu menghilang. Lalu kubaca lagi pada tanggal 1 Agustus 2021, 6 Agustus 2021. Semoga masih berada di alam yang sama. dan kesempatan waktu yang menjadi anugerah.

Rasanya menyenangkan bisa menulis dalam keadaan senang dan berdebar-debar. Kini sudah pukul 00.02. Teriring dalam hatiku kini segala harap kebaikan. Selain tahun ini banyak lulusan angkatan corona, banyak pula perayaan ulang tahun kala corona. Seiring bertambah pula angka korbannya.

Ah tidak terasa, tulisan ini sudah 323 kata. Aku menikmati fase hidupku yang semakin dewasa dan mesum ini.

00.05. Lagu selanjutnya dari Winter Sonata – From The Beginning Until Now, terputar otomatis.  Ah kenapa harus lagu-lagu sendu pada perayaan ini. Sedikit aneh, hati sedang senang, namun kudengar lagu-lagu melow.

Ah sebentar, kuganti lagu yang agak keras. Lagunya Avenged Sevenfold – Hail The King. Aku jadi ingat pada tanggal 6 kemarin hari di mana Jerinx memenuhi panggilan penyidik di Polda Bali karena dianggap melakukan pencemaran nama baik IDI dan ujaran kebencian. Namun hashtag #sayabersamaJRX dan #savejrxsid memenuhi timeline medsos.

00.20. aku masih menatap laptop dengan tulisan ini, sementara pertandingan sepak bola Sevilla dan AS Roma sedang berlangsung di Liga Eropa.

Kubuka tulisan Leo Tolstoy, A Calender of Wisdom, pada tanggal 7 Agustus tertulis: “Aturan, ‘Kau harus bersikap seperti orang lain bersikap’ adalah salah satu aturan paling buruk” –Jean De La Bruyere.

Usia seperempat abad. Kehidupan yang disebut-sebut bak lautan itu rasanya masih nanggung. Asin yang tak terlalu asin. Manis yang sedikit hambar, juga tak terlalu pahit.

Maka yang kusukai adalah tanggal enam, yang tak kusukai adalah tanggal 8, sebab butuh waktu lama rasanya untuk kembali pada hari ini.

Jika jatah hidupku 63 tahun, ingin rasanya menjadi sutradara di mana aku mengulang hidupku 63 hari di mana setiap harinya adalah pengulangan pada setiap tanggal 7.

Hari ini. mengunjungi banyak orang. Melihat manusia-manusia di kedai kopi. Jalanan yang panas siang hari. Mata-mata manusia yang tak perhatikan sekelilingnya. Fokus bekerja, atau sibuk bekerja.

Pesan masuk ucapkan selamat ulang tahun. Hati gugup antara bahagia atau perasaan melankolis. Soda gembira yang esnya mulai memberi hambar pada kedalaman rasanya. Serta rokok yang padam diinjak serdadu yang berlari.

Obrolan-obrolan yang menyenangkan, yang kupahami melalui bahasa raut wajah yang menipu. Usaha yang sedikit demi sedikit menemukan pelanggannya. Laris ditarik Tuhan diberikan hak rizkinya. Manusia yang sibuk mencari kebahagiaan. Hatiku yang sibuk berdebar berkoordinasi dengan mata penuh kesadaran perhatikan sekeliling. Lagu payung teduh diputar tanpa suasana temaram dan sunyi. Lagu Naff – Kau masih kekasihku adalah lagu berikutnya di kedai kopi.

Poster-poster menarik acara masih tertempel di dinding mading dengan waktu yang sudah berlalu.

Sebuah mobil menepi lalu pergi kembali.

Aku ingin berterimakasih kepada kehidupan sebelum mood menarikku pada kerunyaman kata-kata. Seorang aktifis memakai kaos bergambarkan RA. Kartini duduk di depanku. Secangkir kopi favorit. Topi usang. Serta laptop yang keyboardnya mengalunkan bunyi-bunyi irama ketikan ide yang tak bisa kutangkap. Antara qwerty dan spasi. Alfabet berputar di angkasa pikiran tertuang pada sebuah tulisan.

13.17 penjual gorengan merapat siapkan lapak gerobak.

14.00 menghubungi teman melalui video call. Melihatnya tersenyum terkembang. Tawanya. Menabung mood baik.

14.18 di jalan seorang Bapak menarik gerobak. Sepasang anak kembar dibawa di dalamnya sama-sama kenakan jaket bertudung beruang cokelat yang lucu. Di belakangnya sang Ibu membantu mendorongnya.

Selepas maghrib menghubungi Bapak dan Ibu.

19.30 mengunjungi Ibu dukuh KKN. Berbicara masa lalu dan bercerita mengenai kejadian susur sungai Sempor yang memakan banyak korban.

Aku senang hari ini mengunjungi banyak orang. Terimakasih O Allah. Terimakasih kehidupan.