Bulan: Maret 2023

Edjaan Lama

aldiantara.kata

Seakan masih akhir tahun. Hujan berada pada pundak kemarau, yang meminta untuk bermain setiap sore.

Saat aku harus berjalan menyusuri jalan-jalan, pada masa lampau, di mana jalan ini aku tak pernah melewatkannya setiap hari.

Ia banyak berubah, namun tak sedikit pula yang masih menetap. Ranting yang kokoh serta genting, mengenaliku dengan sapaan.

Kenangan dengan aksara edjaan lama. Serta bayang pikiran yang masih berwarna kelabu. Ia harus bertemu dengan gambaran nyata yang banyak berubah.

Tikungan dan bunyi klason. Udara dan sinar surya pagi.

Kita mencari kudapan, lalu pergi menuju Selatan. Kita habiskan waktu, hingga lembar-lembar usang yang terekam memori kita harus menggali pusaranya sendiri, sebab detik waktu menjadikannya tiada. Seperti bergantian, kita harus angkat kaki.

Kau percaya pada keabadian edjaan lama, ia adalah kalimat masa lalu yang terus terucap hingga masa kini? Ia berada di pundak dan pikiran. Seperti hujan yang dipangku musim, meminta asuhan.

Kita yang menghadapi masa kini dengan pikiran-pikiran masa lalu. Melalui edjaan lama.

Kita akan terus mengedja. Hingga terbata-bata.

Rembulan dengan cahaya berbeda memasuki jendela kamar malam ini. Ia nampak kedinginan. Mengedja malam.

Apa yang kau edja, sebelum lelap. Degup dada yang meminta kata, namun engkau berikan tubuhmu yang tak habis kuedja.

Perpustakaan Titian Foundation, Geliat Literasi Klaten

aldiantara.kata

Seketika ada sebuah share-share an dari Suci, kawanku, mengenai beberapa lomba bertema literasi, seketika aku melihat lembaga penyelenggaranya. Titian Foundation. Ketika mencari tahu asal dan domisili kantor, aku cukup kaget bahwa itu terletak di Kabupaten Klaten. Tempat di mana aku berdomisili.

Perpustakaan selalu menjadi tempat rekreasi favorit. Terlebih ketika melihat unggahan foto yang tersedia di internet, bahwa mereka menyediakan fasilitas perpustakaan yang terbuka untuk umum, aku kian tertarik sekali untuk sekedar berkunjung.

Perjalanan dari Kota Klaten menuju perpustakaan Titian Foundation hanya sekitar 25 menit, dengan jarak tempuh sekitar 22 kilometer (aku gunakan sepeda motor). Satu alternatif jalan yang kutempuh nampak tidak bagus lantaran bersamaan dengan jalur truk yang dan bus pariwisata.

Sepanjang perjalanan, di samping aku melewati wisata religi Makan Sunan Pandanaran, juga melewati Gereja Katolik Santa Maria Ratu. Setelah hampir sampai menuju lokasi, dari jalan utama, kita mesti melewati jalan desa, cukup terkejut di tengah pedesaan berdiri sebuah kantor yang cukup luas dan asri dengan banyaknya tanaman.

Suasana asri menambah kondusif aktivitas membaca dan diskusi

Suasana nampak tidak terlalu ramai, aku tiba pukul 09.00 WIB. Suguhan suasana yang asri hijau tanaman nan tenang membuat aktivitas membaca kian kondusif. Aku bertemu dengan penjaga perpustakaan yang oleh beberapa remaja memanggilnya ‘budhe’. Budhe menyambut dengan ramah dan meminta untuk mengisi buku tamu.

Rak buku yang tertata dengan rapi, didominasi oleh buku-buku anak.

Tanpa berpikir panjang setelah itu, aku langsung melangkahkan kakiku pada rak buku yang tertata rapi. Bukunya masih belum begitu banyak, didominasi oleh buku anak-anak. Tidak hanya buku berbahasa Indonesia, tersedia pula buku-buku yang berbahasa Inggris.

Buku-buku apa yang kutemukan di rak? Aku menemukan buku dari Ahmad Fuadi, berjudul Anak Rantau, hingga Ahmad Tohari, Orang-orang Proyek, hingga Madilog buah karya Tan Malaka! Ada novel-novel karangan Dee Lestari hingga novel-novel Pramoedya Ananta Toer dengan tetralogi Pulau Buru-nya lengkap.

Nampak dua anak yang sedang membaca buku di beranda perpustakaan.

Di Perpustakaan Titian Foundation, terdapat pula ruang multimedia hingga gazebo outdoor yang bisa digunakan untuk berdiskusi ringan. Namun cuaca hari ini di luar terasa panas sekali. Padahal hari belum terlalu siang. Sambil menghabiskan waktu dan menikmati suasana. Aku mengambil dua buku untuk kubaca, yakni buku terbitan Ma’arif Institute pada tahun 2005, Refleksi 70 Tahun Ahmad Syafii Maarif: Cermin untuk Semua, yang berisi bunga rampai tulisan tokoh-tokoh nasional yang turut memberikan ‘testimoni’ terhadap peran Buya yang kala itu menginjak usia 70 tahun, kaitannya terhadap kontribusi terhadap bangsa Indonesia.

Wahyu Sulaiman Rendra turut sumbang tulisan dalam rangka memperingati 70 tahun Buya Syafii Maarif.

Adapun buku kedua buku terjemahan karya Mark Manson yang meledak di pasaran saat pandemi covid-19, Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat.

Tentu saja aku hanya membaca skimming. Saat mulai membaca buku yang bercerita tentang Buya, aku mencari dan memilih penulis di antara tokoh-tokoh yang turut menyumbang tulisan. Tentu saja, seketika muncul nama Wahyu Sulaiman Rendra, aku tanpa berpikir panjang lagi untuk menimbang-nimbang memilih.

Judul yang dipilih Rendra sederhana, “Hormat untuk Syafii Maarif” sebagai penyair dan dramawan.

Kritik Rendra tak terbendung, “Sayang, bahwa pemerintah dan elite politik tak pernah menganggap bahwa pendidikan dan kebudayaan itu adalah investasi dalam pembangunan, sehingga tak pernah serius di dalam dua bidang itu.”

Lebih lanjut bagi Rendra, kaum idealis di bidang pendidikan, ulama, guru, cendekiawan, budayawan, serta kaum perintis usaha ekonomi rakyat, tidak boleh melangit dan berjarak dengan rakyat. Harus lebih tekun mendampingi rakyat.

Salah satu tokoh yang konsisten demikian adalah Buya Syafii sendiri. Hal tersebut mendapat apresiasi Rendra sehingga suara Buya sebagai pemimpin informal yang berjarak dengan partai dan kepentingan, pantas didengar pendapatnya.

Rasanya malas pulang, panas terik di luar, sementara Merapi ternyata masih menunjukkan keperkasaannya hingga dua dekade terakhir ini. Namun untuk mengunjungi perpustakaan ini lagi rasanya aku akan mengatakan iya.

(belum mau membaca)

aldiantara.kata

 

(Belum mau baca)
(Belum mau baca)
(Belum mau baca)

Bukan lagi oleh mata dan otak
Kini membaca gunakan jempol,
Terkadang kiri, atau kanan.
Tak sengaja menekan tombol like.
Jempol kembali membaca.
Scrolling…
Mencari berita baru, yang dibaca hanya satu kata!

(Belum mau baca)
(Belum mau baca)
(Belum mau baca)

Seseorang beri celetukan,
“Konteks?”
Boleh ikut menghujat dalam hajat?

(Belum mau baca)
Mencari cetak tinta merah, di antara kata bercetak hitam
Pada tubuh berita.
Sementara setiap orang saling berdebat tentang tinta merah masing-masing.

Bahkan membaca latin kini harus dari kanan.
Padahal sedari Taman Kanak-Kanak mengajariku mengeja, “Bu di”
Atau “Mem ban tu I bu”
Ah, kurikulum sudah berubah. Anak-anak sekarang barangkali diajari untuk mengeja, “Pro fe sor”, “M A g”, “S P d”
“Sub rek”, “Cu an”, “Ad sen s”, “Gra Tis”

Kemarau Bulan Maret

aldiantara.kata

Kau ingat, senja terakhir di stasiun saat mengantarmu pulang? Kereta yang membawamu jauh.

Apa seketika pula jika badai yang biasa terjadi menuju senja, tiba-tiba reda, itu merupakan awal dari musim kemarau, menumbuhkan bunga di taman.

Kemana perginya hujan, tanyamu. Yang biasanya deras, selalu tak menentu. Apa ia menunggu awan, di ambang pilu.

Pada Sebuah Buku Sastra yang Kau Peluk Malam Ini

aldiantara.kata

Pada sebuah buku sastra yang kau peluk malam ini. Adakah kau bernafsu dalam mencari kata-kata? Masih menuduh penyair-penyair yang gemar menjual kesedihannya. Atau mencari padanan kesedihan agar sama seperti penyair-penyair seperti yang kau baca?

Pada sebuah buku sastra yang kau peluk malam ini. Kita berlari pada rentang jarak, mencari tempat yang nyaman agar menemukan tempat memanjai syair dengan membacanya berulang-ulang. Sebagaimana kopi panas yang dinikmati ketika cuaca dingin dan kabut.

Kata-kata dapat berbicara ketika ia dibaca pada suasana gaduh, namun terkadang butuh sebuah sepi, terkadang perlu beriring alunan nada, terkadang ingin sambil mendengarkan orang-orang lain yang sedang bercakap pada konteks yang tak dimengerti, bahkan jika itu hanya suatu igauan, bisikan ucapan selamat tidurmu.

Pada sebuah buku sastra yang kau peluk malam ini. Ada jarak dan spasi di antara bait. Ada rentang waktu sebagai penanda syair-syair. Ada kata-kata yang tersembunyi. Ada kata-kata yang teramat samar.

Pada sebuah buku sastra yang kau peluk malam ini. Aku mengeja bait-bait syair pada pejam matamu.