Bulan: Juli 2023

Prendjak Hijau

aldiantara.kata

 

Prendjak, di atas dahan yang rapuh. Bukan berada pada waktu tepat ia berkicau. Ia menyadari bahwa langit gulita. Kawannya telah terbang menuju peraduannya yang jauh. Kicauannya tersimpan menunggu waktu. Kaki ajaib membawa tamu yang segera datang untuk manusia.

Benarkah itu? Burung prendjak itu membawa keajaiban. Bagaimana jika tamu-tamu itu adalah kesepian yang panjang?

Prendjak hijau, yang berada di atas dahan yang rapuh, menggubah prosa,

Menuju pagi, momen langka, jeda-jeda kata.
Harap cemas memikirkan rencana.
Pada langit malam, sebelum ia terpejam.
Dingin yang menjadi-jadi.
Engkau yang telah menjadi puisi.

Angin malam yang mengantarkan kepadanya firasat, kawannya akan segera tiba, setelah ia bercinta dengan pasangannya, sembari membawakan kepadanya serangga-serangga lucu yang tak bernyawa.

Bagaimana jika tamu-tamu itu adalah kesepian yang panjang? Padahal cerita yang ia persiapkan sebelumnya, memasuki malam yang dingin, sudah habis dibunuh waktu, hingga memasuki waktu langit gelap.

Prendjak hijau belum bercerita tentang rencana bertengger di lampu merah, dahan-dahan pohon asing, atau saling bertukar bacaan sastra tentang perjalanan spiritual melalui kereta trans Siberia pada novel Coelho.

Bagaimana jika tamu-tamu itu adalah kesepian yang panjang? Padahal cerita yang ia persiapkan mengenai pelarian dari pemburu dirinya, keburu dibunuh waktu hingga memasuki langit kelabu.

Prendjak hijau belum bercerita tentang narasi kata yang berpendar dalam pikirannya, yang sama-sama mencari kata awalan, hingga tak kunjung keluar menuju akhiran. Sama-sama diam, sama-sama memilih sunyi.

Bagaimana jika tamu-tamu itu adalah kesepian yang panjang? Padahal dirinya berusaha berkicau membangunkan manusia dari mitos panjang bahwa ia bukanlah penanda datangnya tamu. Ia malah meyakini satu-satunya tamu adalah kesepian itu sendiri, yang membawanya pada tengah dahan yang rapuh.

Kawannya harus pergi, menyuapi keluarganya dalam sangkar yang luput dari tatap pemburu.

Anak Buah

aldiantara.kata

Anak buah. Tumbuh dari bibit dan tanah. Bibit yang baik. Tanah yang subur. Doa-doa yang menjadi zikir mengiringi tumbuhnya kehidupan. Berbuah. Rindang daun. Peneduh di bawahnya.

Anak buah adalah pohon itu sendiri, yang tumbuh dari bibit dan tanah. Bersemai seiring musim berjalan. Warna cerah di antara rimbun daun menyembul. Ia dipetik, menjadi pujian dan nyanyian syukur.

Menuju Pagi

aldiantara.kata

Cinta menunjuk kepada suatu tempat. Ada kalanya ia menjadi senja, yang kita saksikan pejamnya gelap. Ada kalanya ia menjadi malam, yang kita duduk berteduh di belantara kota menuju pagi. Apakah yang kutunjukkan memiliki mata, selain ia hanya bisa membaca kepada bait-bait yang menggambarkanmu? Waktu, di mana kita akan menemukannya, sebelum ia menjadi masa lalu dan berbuah menjadi gubahan puisi?

Aku mencari padanan kata itu, menujumu, tanpa mengenal cuaca. Bait-baitnya, aku akan menemukannya. Menemukanmu.

Dokter Jaga

aldiantara.kata

Televisi yang urung sempat dimatikan dengan suara yang amat kecil, penyiar berita mengulang record konten hari yang silam. Gigil malam, badan memeluk lutut. Perawat dengan derap langkah perlahan memasuki ruangan menyuntikkan obat. Dokter jaga menyusul di belakangnya.

“Apa yang terasa, Pak? Tekanan politiknya tinggi sekali. Apa ndak pusing? Sosialnya bagus ini. Hati-hati persoalan ekonominya ya, Pak. Kurang-kurangi pencitraan yang ndak perlu.”

Jalan Ngaliyan

aldiantara.kata

Aku datang, kota lama. pintu beranda masih terbuka. aku tak mengetuk mengucap salam. engkau terbaring merebah, selimut terlihat acak di sofa, serta televisi yang lupa kau kecilkan suaranya.

potret gambar buram, udara yang mulai panas, pengembara-pengembara asing, jalan ngaliyan. apa udara mengenaliku, yang tiba menyibak tirai membunyikan lonceng angin. vas bunga dengan debu yang menebal. ada kehampaan. tau kah ngkau itu? ia hinggap pada punggung jemari. tak terkatakan bahkan dengan duduk meminum air, sembari berusaha mengingat-ingat. lagu seniman jalanan, petik yang terdengar sunyi. serta pedagang lalu lalang yang membawa kembali jualan pulang.
lampu-lampu syahdu seperti biasanya. langit malam sedikit gerimis.

syair-syair Pablo Neruda, serta tulisan-tulisan yang belum selesai diterjemahkan. pemandangan apakah gerangan dalam imaji yang menemanimu menuju pejam? Ia nyaris takkan kau ingat, begitu cepat. bahkan tak sempat kau masukkan pada keranjang wishlist, yang terlanjur habis membeli lauk dan kuota. Singgahlah di kota lama, menjadi asing, menjadi tak terjamah, menjadi alunan saksofon, menjadi puisi yang tertulis pada bait-bait ingatan yang tak terucapkan. menjadi pesan yang dikirim kepada seseorang yang jauh. menjadi pesan dari hati, yang dialamatkan menjadi doa, serta foto lampiran yang terambil tak presisi. sebelum kota ini menjadi dingin dan siluet yang memburu waktu fajar. bait-bait ini kutitip pada jeruji kendaraan yang masih berlalu lalang, yang berupaya mengejar rumah tempat seseorang menabung rindu dan tidur yang paling lelap. agar berhati-hati dan sampai pada tujuan muasal.

Noah

aldiantara.kata

 

Sebelum kita benar-benar menerawang pada jendela. Antara lamunan serta kata-kata yang tertahan. Apakah bisa jika kerinduan itu adalah barisan tanda koma tanpa hilir. Ia serupa cerita serupa pendengar serupa pandangan yang menyapu wajah yang sebelumnya menjadi igauan.

Ada awan mendung, ada waktu yang mengintai. Ada jarak yang siap menjemput untuk kembali pada peredaran masing-masing. Kesendirian.

Kereta tiba. Waktu tak bisa mengiba.

Kita hanya bisa menitip jejak. Lagu yang terputar di pelataran, hanya terputar sekali. Ia tak lagi sama sepulang berada di rumah pada detik ritmik yang berbeda. Namun pada rahim waktu kita bisa menitip pesan. Pada vintage corak ingatan yang tentu kembali kepadamu.

Sebelum lonceng berdenting. Kereta yang akan membawamu.

Hanya di antara sebentang jarak, kita dapat menyadari betapa gugur daun di pelataran begitu merindukan sang empu. Ia ditimang angin. Danau memintanya bercerita. Hingga ia bersandar pada sebuah perahu Noah yang tertambat pada sebuah tali di pinggiran. Sesekali riak-riak muncul. Beburung yang beterbangan di atasnya.

Sudah tidak ada lagi wajahmu pada cermin air. Barangkali engkau telah menjadi aku. Yang tak lagi sadar pada kegilaan.

Buku Digital

aldiantara.kata

 

Aku sedang membaca puisi “Bulu Burung” Sapardi pada bulan Juni. Aku lupa meminum obat. Aku membuka botol minum, dan mengambil obat. Terburu-buru. Padahal setelah kusadari, halaman buku tidak beranjak, ia masih di tempat dan halaman yang sama. Tidak seperti video-video yang mesti kupause agar tidak terlewat barang sedetik-pun.

Namun di layar itu ia masih sabar. Tidak beralih.