aldiantara.kata
Prendjak, di atas dahan yang rapuh. Bukan berada pada waktu tepat ia berkicau. Ia menyadari bahwa langit gulita. Kawannya telah terbang menuju peraduannya yang jauh. Kicauannya tersimpan menunggu waktu. Kaki ajaib membawa tamu yang segera datang untuk manusia.
Benarkah itu? Burung prendjak itu membawa keajaiban. Bagaimana jika tamu-tamu itu adalah kesepian yang panjang?
Prendjak hijau, yang berada di atas dahan yang rapuh, menggubah prosa,
Menuju pagi, momen langka, jeda-jeda kata.
Harap cemas memikirkan rencana.
Pada langit malam, sebelum ia terpejam.
Dingin yang menjadi-jadi.
Engkau yang telah menjadi puisi.
Angin malam yang mengantarkan kepadanya firasat, kawannya akan segera tiba, setelah ia bercinta dengan pasangannya, sembari membawakan kepadanya serangga-serangga lucu yang tak bernyawa.
Bagaimana jika tamu-tamu itu adalah kesepian yang panjang? Padahal cerita yang ia persiapkan sebelumnya, memasuki malam yang dingin, sudah habis dibunuh waktu, hingga memasuki waktu langit gelap.
Prendjak hijau belum bercerita tentang rencana bertengger di lampu merah, dahan-dahan pohon asing, atau saling bertukar bacaan sastra tentang perjalanan spiritual melalui kereta trans Siberia pada novel Coelho.
Bagaimana jika tamu-tamu itu adalah kesepian yang panjang? Padahal cerita yang ia persiapkan mengenai pelarian dari pemburu dirinya, keburu dibunuh waktu hingga memasuki langit kelabu.
Prendjak hijau belum bercerita tentang narasi kata yang berpendar dalam pikirannya, yang sama-sama mencari kata awalan, hingga tak kunjung keluar menuju akhiran. Sama-sama diam, sama-sama memilih sunyi.
Bagaimana jika tamu-tamu itu adalah kesepian yang panjang? Padahal dirinya berusaha berkicau membangunkan manusia dari mitos panjang bahwa ia bukanlah penanda datangnya tamu. Ia malah meyakini satu-satunya tamu adalah kesepian itu sendiri, yang membawanya pada tengah dahan yang rapuh.
Kawannya harus pergi, menyuapi keluarganya dalam sangkar yang luput dari tatap pemburu.