Bulan: April 2020

Manusia Bebal: tuhan sebenarnya

Menelisik sejarah banyak orang mengisyaratkan kerinduan pada masanya. Romantika lama dapat diadopsi kembali substansinya. Keemasan Islam pernah terjadi ditandai dengan penerjemahan buku-buku berbahasa Yunani dan Romawi ke dalam bahasa Arab. Melahirkan tokoh sekaliber Rhazes dan Avicenna. Karya-karyanya bahkan digunakan oleh Eropa, diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Dan menjadi bahan pembelajaran. Dahulu kaum muslim begitu terbuka dan positif terhadap pengetahuan dan kebudayaan bangsa-bangsa lain, khususnya Yunani. Singkatnya, Islam sedari awal menjunjung tinggi semangat penelitian, bukan penerimaan dogma dan kepasrahan. Semangat keterbukaan akan karya-karya apapun, bukan membatasi buku-buku yang harus dibaca. Wabah corona masih banyak memakan korban. ‘Kabar gembira’ hari ini adalah menyaksikan manusia-manusia yang beribadah dengan cara ‘sempurna’. Tetap ‘berjamaah’, ‘rapatkan shaff barisan (kaki)’. Mereka begitu bebal dan abaikan pengetahuan. Merasa dekat dengan Tuhannya dan sempurna dalam sikap beragamanya. Seolah menghadapi wabah adalah dengan cara bersikap masa bodoh dan cukup hanya dengan yakin pada setiap doa. Tuhan dalam kitab sucinya isyaratkan progresifitas dalam membaca, umat seharusnya beriman secara ilmiah. Mereka tidak sadar bahwa orang yang mereka sebut sebagai ‘kafir’ telah mencuri (spirit) ‘kitab suci’ mereka dan lakukan jihad medis lebih awal. Dan kita seperti menjadi pemeluk agama yang buruk, dari agama yang sempurna.

Mataku mungkin menjadi rabun, bahwa kini ketika shalat, sajadahku terbalik, mengarah kepada diriku sendiri, bukan kepada Tuhanku. Aku bebal tak pahami maksud firman Tuhan. Afala yatadabbaruna al-Qur’an. Afala ta’qilun. Manusia bebal kini menyembah diri sendiri. Manusia bebal menjadi ‘tuhan’, menjadikan Tuhan biang kerok wabah ini, hingga ‘menyuruh’ Tuhan hilangkan wabah. Manusia bebal tinggal berpangku tangan menunggu kabar. Qum fa Andzir. Kini manusia bebal menunggu diberi peringatan ilmiah. Setidaknya pahamilah temuan para ilmuwan jika tidak bisa meneliti secara langsung. Menjadi setan yang sebenarnya, dan menggoda Tuhan agar menghentikan skenario ini dan sembuhkan bumi manusia. Tuhan bacakan ayat kursi, manusia bebal kepanasan dan semakin ‘taat’ pada kebebalannya.

Deja Vu

Manusia hidup dengan mengikuti rangkaian deja vu berserakan. Setiap peristiwa menuju peristiwa lain dilalui dengan usaha aktif, namun pada akhirnya kembali pada deja vu yang telah lewat. Manusia kelak terlahir menjijikan. Wajahnya sudah dipenuhi janggut dan kumis. Rambut berantakan sebagiannya beruban.  Sikap arogan. Tangan memeluk tubuhnya sendiri. Perangainya buruk, suka memerintah, dan serakah. Tangisannya adalah umpatan-umpatan dan tipu daya. Feses dan urine tercecer di mana-mana. Manusia lahir banyak yang menghampiri, menyaksikan bayi merah tersebut menimbun banyak makanan untuk dirinya sendiri. Terkadang bersikap layaknya tiran. Orang tuanya mendidik agar kehidupan semakin membaik. Mengajarkan cara merawat rambut agar bersih dan terlihat rapi. Merapikan janggut dan kumis. Bersikap rendah hati dan bekerja keras secara efektif. Diajarkan agar manusia dapat mengolah sampahnya sendiri. Termasuk mengolah feses dan urinenya. Berbagi makanan kepada sesamanya. Menurunkan standar hidupnya di tengah arus konsumerisme. Melaksanakan amanat pemerintah untuk ‘Wani’ (Wajib Petani) selama 3 tahun. Serta melakukan ekspedisi mengelilingi seluruh wilayah negaranya dengan berjalan kaki. Berjalannya waktu, rambutnya mulai menghitam serta kulitnya mulai halus. Semakin manusia dibekali pengetahuan perawakannya semakin lucu dan menggemaskan hingga menua. Manusia lahir untuk menjadi kecil, lucu dan menggemaskan. Siapapun manusia yang tetap dalam keadaan bebal, sejak merahnya dari kelahiran hingga tua pun akan tetap terlihat tua. hal tersebut menjadi aib. Dan…blup!!! Manusia yang mati menjadi buah. Ada yang melon, semangka, mentimun, dan lain-lain.

Pesan Mawar Kepada Tanah: Hari Kartini

Aku sudah melihat banyak perempuan-perempuan hebat di negeri ini. Hanya dalam perspektif sempitku. Mawar perlambang cinta dan keindahan, duri harga dirinya, berdiri di atas tanah merdeka. Tumbuh besar mengkritik pembangunan dan kesenjangan sosial. Berkembang melawan ketidakadilan. Mawar kini bertangkai besi. Berhati lembut mewarisi kerahiman Tuhan. Mawar suci berani bermandikan lumpur dan bangkai. Lelaki-lelaki banyak memilih menjadi caleg daripada mengabdi kepada bangsa negara. Kulihat Ibu Pertiwi, sedang bersusah hati. Sebuah lagu. Apakah kini Ibu Pertiwi sudah menjadi janda dan lemah ekonominya? Menggadaikan dirinya untuk kepentingan-kepentingan dapur. Anak-anaknya banyak, namun diwarisi banyak hutang. Di mana kah Bapak Pertiwi? O, jiwa Bapak Pertiwi mungkin sedang menulis tulisan ini. Salah-satunya. Kini Ibu sedang lara, tidak hanya merintih berdoa. Ibu Pertiwi menjelma menjadi mawar bertangkai besi.

Aku melihat mawar merah. Tumbuh menentang otoritas keagamaan yang kolot dan tidak adil. Mawar merah merupakan jamaah pengajian mingguan, di dalamnya wadah pembelajaran al-Qur’an juga kajian tauhid. Wadah tersebut tidak cukup berhenti di forum, masing-masing berefleksi dengan keadaan sosialnya: Banyak disekeliling kaum dhuafa yang perlu diberdayakan.

Bulan suci Ramadhan menjadi titik balik. Bunga suci ini adakan santunan anak yatim dan fakir miskin. Refleksi yang berbuah amal nyata sebagaimana pesan universal semua kitab suci manusia. Mawar-mawar merah bertangkai besi ini meminta kepada manusia ‘berada’ untuk memberikan hak kaum dhuafa yang terdapat di dalam harta-harta mereka. Sekeras apapun para dhuafa bekerja dengan mengasong dan berkeliling, bahkan menjadi ‘budak’ di rumah orang lain, tidak sama kesempatan yang diperoleh dari orang-orang ‘berada’ yang bekerja dengan struktural yang sudah mapan dan koneksi yang bagus.

Bulan berikutnya, mawar merah adakan khitanan massal kaum dhuafa. Seremonial-seremonial tersebut diikuti dengan penggalangan donatur, kemudian dialokasikan kepada keluarga yang terlilit hutang rentenir, biaya konsumsi keluarga dhuafa, hingga pemberian beasiswa agar anak-anak bisa bersekolah. Mawar merah. Mawar merah. Ketika masjid tidak secara merata membagikan daging qurban. Bahkan dhuafa yang tinggal 10 meter di sebelah masjid. Diabaikannya. Qurban seperti hajat pengurus dewan kemakmuran masjid. Dhuafa hanya melihat prosesi penyembelihan dibalik pintu sembari memegang perut sendiri. Tanpa ditanya. Perempuan-perempuan hebat yang menjelma menjadi mawar bertangkai besi bergerak. Menyembelih dua ekor sapi di tempat pejagalan. Kemudian menjadi gerakan alternatif dengan membagi-bagikan daging kepada mustahiq korban ketidakadilan.

Perempuan-perempuan hebat mawar-mawar merah bertangkai besi. Membetulkan rumah dhu’afa yang hampir roboh, memberi suntikan semangat kepada orang yang putus harapan berselimut penyakit. Memberi makan kepada orang yang lapar. Memberi keterampilan agar korban PHK berwirausaha. Melunasi bunga-bunga rentenir yang bengis menyita rumah. Terlebih saat tulisan ini berjalan, wabah corona belum menunjukkan tanda-tanda penurunan jumlah korban. Korban PHK di kota besar bertambah. Sebagian orang kehilangan pekerjaan lantaran dipaksa untuk berdiam di rumah. Perempuan-perempuan hebat bergerak sebagai perpanjangan Tangan Tuhan di bumi.

Perempuan-perempuan hebat bagai mawar bertangkai besi kini menamai diri mereka sebagai Amanah Ummat. Komunitas kecil beranggotakan inti lima orang. Komunitas itu yang kini memiliki dua belas koordinator. Setiap koordinatornya memiliki kurang lebih lima puluh dhuafa. Mawar tidak perlu diajari oleh mahasiswa atau bahkan dosen berwawasan gender mengenai kecerdasan dan kesetaraan. Mawar yang tidak menahbiskan dirinya sebagai dermawan, bergerak dengan nafas ajaran agamanya dan kemanusiaan. Kini mereka pun ikut andil seperti mawar-mawar lain berusaha menutupi perut orang lapar. Setidaknya ketika memasuki bulan suci Ramadhan ada bagi mereka untuh sahur.

Kalau kini marak kriminal dan penjarahan, jangan berikan bogem mentah. Yang sulit kini adalah menekan keinginan diri untuk konsumtif, menurunkan standar hidup serta menutupi kebutuhan-kebutuhan wong cilik. Cara terbaik hidup di tengah wabah kini adalah dengan saling menutupi kebutuhan sesama.

Aku melihat mawar putih. Yang bergerak mensejahterakan guru-guru agama yang diupah kecil. Mensejahterakan tidak dengan menarik bayaran dari anak didiknya, melainkan dengan mencari para donatur. Agar guru-guru agama tidak usah repot-repot memikirkan dapur, dan segera berfokus kepada pengajaran agama kepada murid-muridnya. Juga agar menjadi guru agama bukanlah pekerjaan sampingan. Melainkan upaya serius menyampaikan pesan-pesan keagamaan yang indah dan menyentuh relung kemanusiaan.

Berseteru dengan dewan kemakmuran masjid perihal doa anak-anak yang dikeraskan dianggap mengganggu jamaah yang lain. Berseteru dengan dewan kemakmuran masjid perihal tempat yang dianggap mengganggu jamaah yang lain. Mawar putih dicurigai radikal lantaran berjilbab besar. Bahkan penuduhnya sendiri menjadikan kitab sucinya pajangan di lemari kamarnya.

Manusia tercipta dari tanah. Mawar tumbuh dari tanah. Manusia-manusia bermental feodal-patriarkhal tak boleh remehkan kekuatan Mawar bertangkai besi. Pesan mawar kepada tanah senada: wabah corona tidak saja berimbas pada bidang kesehatan, namun juga dampak serius ekonomi masyarakat. Anggota DPR terpilih tolong untuk turun ke masyarakat. Lihat secara langsung bagaimana kondisi masyarakat. Bagi mawar bertangkai besi, satu nyawa rakyat yang mati, penjara bagi mereka. Agar mereka bisa merenung bahwa menjadi pemimpin bukanlah sebuah profesi, melainkan sebuah pengabdian. Kalau amanah, Mawar tidak perlu repot-repot berafiliasi dengan dukun santet. Tinggal memilih apa mau membersamai rakyat, atau dengan paku payung berkarat bersarang di perut?

Corona: Pekerjaan Alternatif (2)

Sementara itu, di sekolah dasar dan menengah Sumberwaras, setelah ujian tidak langsung libur. Tetapi ada sepekan refleksi mengenai hasil pembelajaran, evaluasi ujian dan refleksi dua arah guru dan murid. Tentunya sekalian…negosiasi nilai.

Polisi di kampung ini memang tetap punya atasan, tetapi atasan tertingginya adalah Ibu-Ibu. Polisi manapun di Sumberwaras lebih mendahulukan panggilan seorang ibu dibanding laporan pada atasan strukturalnya. Kadang ya disuruh manjat kelapa, sekedar menemani belanja di pasar, atau mengangkat jemuran di rumah karena si ibu yang sedang perpanjang STNK. Sepulangnya polisi biasa pulang dibekali pisang rebus, kacang rebus, atau sepotong bolu pisang. Konon, bahkan polisi yang berpangkat sekalipun manut manut jadi ‘anak angkat’ Ibu-ibu. Konon pula gratifikasi tetiba menurun. Daripada harus menodong uang yang tak seberapa, lebih baik hati gembira makan pisang rebus pemberian buibu.

Belum lama ini seorang ibu harus meminta bantu pada seorang polisi karena anaknya yang badung tetap keluyuran di tengah wabah corona abaikan pepatah mutiara. Tanpa repot-repot dibentuklah satgas gabungan untuk cari anak yang sia-siakan air mata orang tuanya.

Melihat bahagia nya polisi menikmati pisang rebus di pinggiran jalan, Bora sampai hampir tak sadar bahwa ia harus menyerahkan bundelan kertas ke tukang ojek pangkalan Sumberwaras. Si ojek sudah paham itu amanat dari Pak bos. Di samping membantu transportasi warga, ojek pangkalan juga punya tugas untuk membeli logistik yang berisi kebutuhan-kebutuhan pokok warga kampung. Toh joblist berikutnya tidak terlalu merepotkan. Hanya melihat-lihat kegiatan di Kampung Sumberwaras.

Sembari ngobrol-ngobrol dengan ojek, Bora diberitahu bahwa dirinya merupakan maling yang ke-25 yang tertangkap di Kampung Sumberwaras. Pak bos pun mempekerjakan mereka dengan joblist yang tak kalah unik. Seperti memberi makan semut, mencari ikan gendot, budidaya kunang-kunang, tongeret dan papatong, hingga membantu menguras air di rumah-rumah warga yang kebanjiran karena hujan sangat deras. Meski demikian, begitulah cara Pak bos menggaji para pekerjanya, kata salah seorang ojek pangkalan.

Yang tersulit memang menekan keinginan, menurunkan standar hidup manusia. Zaman sudah seperti ini. iklan dan gelombang besar produksi membuat keinginan manusia memberontak. Andai Pak bos berikan uangnya, warga kampung akan gelagapan mengatur keinginan dan kebutuhan, kata tukang ojek. Padahal di antara ke-24 maling yang tertangkap di Sumberwaras, beberapa di antaranya ternyata masih pelajar. Pak bos girang bukan tante. Setelah kontrak kerja diperpanjang, Pak bos tidak puas dengan kinerja mereka yang tidak kreatif. Mungkin pelajar hari ini dididik untuk berjiwa patuh dan menghafal banyak hal, bukan bertanya dan berpikir kritis.

Bora seperti menemukan sesuatu yang baru, sembari berjalan sore, ia melihat pendopo yang dipenuhi gadis-gadis beragam usia dari anak hingga remaja yang berlatih tari. Antara kagum dan penuh birahi si Bora mengamatinya. Melihat remaja mengenakan kebaya yang memperlihatkan lekuk pinggang yang montok menjadi fetish Bora sejak lama, tak terkecuali tatapannya melihat susu emak-emak muda anak satu. Entah bagaimana Bora bersyukur telah diberi kesempatan ini oleh Pak bos. Sementara di teras pendopo, sebagian remaja asyik membaca sastra.

Malam harinya, ia dihubungi Pak bos untuk pergi menuju suatu alamat. Dengan berpikir pendek ia segera laksanakan instruksi. Sudah menunggu di lokasi sepasang lelaki dan perempuan. Melihat kedatangan Bora, pasangan tersebut tidak banyak basa-basi, segera menuju suatu kamar pada sebuah rumah mewah. Ketiganya disambut seseorang yang masih mengenakan pakaian kantor. Terlihat bukan seperti orang kaya biasa. Bora masih berpikir maksud instruksi Pak bos. Threesome? Tentu saja pikiran Bora menuju hal yang iya-iya. Ia sudah baca tentunya novel fenomenal Jakarta Undercover, membayangkan kebiasaan sebagian bos besar perusahaan yang punya fetish aneh-aneh.

Sepertinya pasangan laki dan perempuan ini sudah mengerti apa yang harus dilakukan. Setelah mandi, gunakan piyama, bos besar ini menuju kasur dan tarik selimut. Di sebelah kasurnya terdapat sofa besar dan di sanalah bora dan sepasang lelaki dan perempuan itu duduk. Dengan suara perlahan si perempuan membuka obrolan ringan. Memperkenalkan diri bahwa sebetulnya mereka bukan pasangan suami istri, hanya saja mereka pasangan yang dikenal cerewet di Kampung Sumberwaras. Bora heran dengan pekerjaan alternatif yang ia kerjakan. Tugas mereka bertiga hanya berbincang-bincang santai. Lima menit kemudian datanglah pembantu bos besar ini membawa teh panas dan cemilan. Konon lantaran pekerjaan yang berat hingga tiap malam bos besar tidak bisa tidur. Sudah beragam obat diminumnya, tidak mempan juga. Ternyata obat yang sejauh ini ampuh adalah tidur sembari mendengarkan obrolan-obrolan manusia secara langsung. Ada suara obrolan disahut dengan yang lain. Suara perlahan. Diselingi dengan tawa yang ditahan. Sesekali Pak bos ikut bertanya, kemudian diam lagi.

Teh dalam cangkir-cangkir sudah menuju ambang dasar. Pembantu segera menyadari kemudian menawarkan minuman. Lelaki sebelah Bora mengisyaratkan cukup karena Pak bos sudah mulai terlelap sesekali terbangun gelisah.

Corona: Pekerjaan Alternatif

Bora, alias Borangan, merupakan salah satu warga di suatu daerah asing di provinsi Ambora, alias Amboradul. Ditilik dari namanya saja ada mirip-mirip. Jelas sudah orang tak meragukannya lagi sebagai warga pribumi.

Akhir-akhir ini Bora menjadi bulan-bulanan warganya. Sebagai mahasiswa yang kuliah di jurusan agama, ia justru kedapatan mencuri mushaf al-Qur’an mushalla Kampung Sumberwaras. Tanpa kenal ampun, meskipun di tengah wabah kian menukik angka positif di Provinsi Ambora, warga akhirnya memperlakukan koruptor ini—maksudnya pencuri ini, sejalan dengan amanat pemerintah di tengah wabah corona, dengan dilakukannya Physical Distancing. Terbebaslah si anak dari bogem mentah.

Namun jika dirunut ke belakang, maling-maling lain yang kedapatan basah curanmor di Kampung Sumberwaras. Justru diperlakukan dengan baik. Dikasih makan; diberi suguhan-suguhan khas yang tidak ada di negeri lain, sebut saja cimplung, misro, awug, blukoja dan lain-lain, bahkan disediakan pula tempat istirahat.

Sebelum pulang si maling akan ditanya mengenai dalang dibalik perbuatannya, dicarilah orang tersebut. Konon, si dalang kriminal pun, yang membawahi jaringan maling kelas teri, tidak diberi bogem mentah oleh tim intelijen Sumberwaras. Akan tetapi hanya dipisah-pisahkan saja setiap organ tubuhnya.

Ndilalah, mushaf yang diambil Bora rencananya akan digunakan untuk pembinaan anak-anak kos. Katanya tidak efektif kalau melalui aplikasi android, sementara mushaf dibiarkan dihormati debu, ketimbang oleh lisan manusia.

Warga Sumberwaras sebenernya ngga kagetan. Baru semalam tadi ada curanmor. Ngga ada penggebugan. Motifnya murni kelaparan. Yang ada, si maling mengeluh, “Di kampung para warga (selalu shalat) jama’ah, ada kajian pula, tetapi masyarakatnya ngga peduli wong cilik seperti saya.”

Fresh-graduate pengangguran hal biasa. Si Bora yang semestinya boyong bulan depan, sepertinya harus menunda kepulangan. Para warga sepakat untuk membawa Bora ke hadapan seorang tokoh berpengaruh di Kampung Sumberwaras. Tokoh tersebut dikenal dengan nama Pak Boosoek. Bahkan selama ini sosoknya misterius, tidak dikenal apa pekerjaan dan identitasnya. Yang jelas, ketika berhadapan dengan tokoh tersebut. Semua warga segan kepadanya.

Setelah berhadapan dengan Pak Boosoek. Orangnya bahkan biasa-biasa. Tidak nampak aura-aura kharismatik, apalagi aura kesucian seorang pandita atau pemuka agama. Menurut rumor yang beredar, justru tokoh ini yang ‘menjamin’ perekonomian warga Sumberwaras. Namun tidak ada seorang pun yang tahu apa pekerjaannya. Dilihatnya si Bora, keduanya bertatapan. Tanpa basi-basi, sebagai hukuman, Pak Boosoek meminta Bora untuk menjadi pegawai kontrak bawahannya. Tidak bisa menolak. Toh juga (masih) fresh graduate pengangguran. Tidak ada ‘hitam di atas putih’. Pak Boosoek meminta Bora untuk datang besok pagi-pagi sekali ke rumahnya.

‘Bagaimana bisa pekerjaan si Bapak saja tidak jelas, apalagi bisa memberiku pekerjaan.’ Lamunan si Bora membayangkan pekerjaan apa yang akan dilakoninya dalam masa hukuman besok. Tidak lama, keesokan harinya. Tepat waktu Bora sampai. Pak Boosoek terlihat sudah sibuk ketak-ketik depan laptop.

Tanpa melihat ke arah si Bora. Pak Boosoek hanya menyodorkan list tugas yang harus dikerjakannya. Tetiba mengernyitkan dahi. Si Bora justru heran dengan apa yang harus dilakukannya. Menuju nomer pertama saja, antara yakin dan tidak. Ini adalah sebuah pekerjaan alternatif! Tanpa baca berulang-ulang. Ia sudah tau apa yang harus dilakukan.

Joblist nomer satu: menghitung jumlah rumah berwarna ungu di Kampung Sumberwaras. Meski terdengar konyol, lumayan juga harus berkeliling kampung seluas wilayah 20 km². Dua kilometer lebih besar dibanding kota Magelang. Bermodalkan onthel, satu buku-pulpen serta smartphone. Tidak mungkin ia harus meminta bantuan search engine internet. Ia hanya harus mengerjakan tanpa banyak bertanya. Setelah menjelang maghrib, selesailah joblist pertama. Laporan dokumentasi serta hasil dikirimkan pada Pak bos. Alias Pak Boosoek.

Joblist nomer dua: mencari 20 pemain sepakbola yang bisa mencetak gol pada menit yang sesuai dengan nomer punggungnya. Kemarin bekerja bak kuli bangunan, kini bak pegawai kantoran. Cukup duduk mantengin cuplikan-cuplikan gol-gol sepakbola streaming-an. Sebagai penikmat bola, rasa-rasanya memerhatikan menit saat terjadinya gol hanya ketika gol datang pada menit-menit akhir. Tidak penting!

Gila saja. bahkan Lionel Messi atau Gareth Bale yang dawam mencetak gol saja belum tentu memerhatikan menit yang tepat untuk mencetak gol. Apalagi harus pas pada menit 10 atau 11 sesuai nomer punggungnya. Namun mau tidak mau, pekerjaan alternatif ini harus dilakoni dengan dengan lapang suntuk, ketimbang lapang dada. Dirinya pun tak yakin, secapek ini bekerja memangnya si Pak bos bisa gaji berapa. Setelah dipikir-pikir, toh ini karena dia ketangkep basah jadi maling. Palingan dia hanya diupahi makan siang bareng.

Belum selesai pekerjaan, Bora sudah melihat list pekerjaan selanjutnya yang tak kalah mengherankan. Namun, pada akhirnya, joblist kedua dapat diselesaikan selama dua hari semalam. Baru saja hendak dikirimkan, tetiba dapat telepon Pak bos.

Besok gajian!?

Kata Pak bos, bagi fresh-graduate menyedihkan seperti Bora, menerima gaji pertama sangatlah berkesan. Meski Bora sudah tak berharap apa-apa. Hadiah apa pun takkan terlupakannya. Setelah berbincang dengan Pak bos. Makin lemaslah sarjana itu. Benar saja Pak bos tak memberinya uang. Ia hanya menyodorkan selembar kertas kosong. Lalu meminta untuk menuliskan semua kebutuhan pokok selama sebulan. Si Bora makin yakin bahwa ada yang tidak beres dengan otak Pak bos ini. Meski sadar ini merupakan ‘pekerjaan’ pertama, Bora sepenuhnya yakin tidak ada pekerja yang diberi gaji seperti ini sebelumnya.

Akhirnya mau iya mau, ia tuliskan kebutuhannya dari mulai listrik pulsa yang pajaknya lebih mahal daripada isi kwh-nya, beras kualitas standar, gula yang melambung tinggi harganya, uang sampah lantaran belum bisa mengurus sampahnya sendiri, telur, sayuran, dan lain-lain.

Baru saja selesai tuliskan semua. Hendak menyodorkan. Pak bos terlebih dahulu menyodorkan selembar kertas kosong serupa. Rupanya ia meminta agar Bora sekalian antarkan kertas tersebut pada pekerja bangunan masjid yang sedang sibuk renovasi kejar tayang agar rampung saat Ramadhan. Pak bos cerita bahwa ketika ia melewati masjid tersebut menjelang dzuhur, ia melihat seorang jama’ah masjid di pelataran memperhatikan pekerja bangunan yang ngecat. Pakaiannya lusuh. Kusam. Badannya kekar. Pak bos tak suka. Berbeda dengan jama’ah tersebut yang wangi dan rapih. Pak bos bilang tak suka dengan cara jama’ah tersebut menatap. Pak bos bilang tatapannya seperti melihat siamang di kebun binatang!

Bora terlihat masih gelisah. Sepertinya ada kebutuhan yang lupa ia tulis. “Yakin ini saja, cukup?”. Si Bora mengambil kertas dari tangan Pak bos, menulis dalam ingatan remang berselimut ragu. Poin baru. Ia tuliskan dalam kebutuhannya. Poin dua belas. Biaya kos. Poin tiga belas……………………Kondom.

Menanti Datangnya Maghrib

Virus corona bertasbih menuju bulan suci. Orang mengira musuh, ia adalah simbol perenungan. Corona bertasbih menyampaikan pesan akan kefanaan dunia. Corona bertasbih menyentuh relung kemanusiaan yang memudar. Sementara media masih fasih melaporkan kuantitas korban, prediksi berakhir, hingga perusahaan yang merugi, namun gagap mengartikulasikan penjual makanan keliling yang masih penuh dagangannya menuju basi. Sebagian jama’ah masih berdebat mengenai shaff yang renggang di masjid. Manusia dipaksa melihat manusia lain lewat layar kaca. Manusia lain membagikan foto-foto kebersamaan melalui jendela whatsapp mengenang hari-hari terakhir bersama. Manusia lain menghibur bosan. Bosan menyadarkan keceriaan yang berpura-pura. Musik baru muncul ke atas panggung komersialisasi. Dokter bersahabat dengan corona. Pasrah berdebat dengan Izrail. Melawan sesak seragam menahan penderitaan. Manusia mengutuk tahun yang memberi mereka sinar matahari yang indah dan hujan yang syahdu. Terlihat kelam karena kecemasan. Manusia bahkan tak membayangkan kehidupan pada bulan Juni. Melihat hari esok dengan rasa sesak. Aneh. Sebagian manusia bersyukur duduk bersama keluarga. Sebagian bersyukur melihat Ayah dan Ibunya dalam perantauan. Teknologi dan Corona bersepakat untuk menjalin kerjasama. Hingga stasiun televisi menghadirkan tayangan kartun masa kecil agar membuat manusia sedikit berbesar hati. Manusia bersusah payah menyulam kebahagiaan di tengah pandemi. Manusia berusaha tetap hidup dan merencanakan perayaan besar setelah corona pamitan. Dalam waktu dekat sebagian manusia menyambut bulan Ramadhan dengan sukacita, bergandeng kepura-puraan. Tahun ini akan menjadi tahun yang asing bagi manusia. Manusia akan menceritakan pada turunannya kelak akan wabah ini. Manusia mengingat Tuhannya, merapal meracik doa. Menanti maghrib. Virus menginfeksi orang tak kenal pekerjaannya apa. Agamanya apa. Biar masjid tak adakan tarawih, kultum, atau shalat Id. Tetapi masjid harus tetap sediakan takjil, hingga corona menemukan cinta sejatinya: vaksin. Corona mengamuk meminta kekasihnya. Mari menanti datangnya maghrib. Masjid sediakan kepada manusia untuk berbuka dengan cara yang aman. Masjid sediakan makanan untuk semua manusia. Baik kamu yang beragama atau tidak. Menanti datangnya maghrib. Panggilan agama adalah panggilan kemanusiaan. Allahu Akbar Allahu Akbar. Panggilan kemanusiaan: semua yang terjadi adalah kehendak Tuhan. Manusia harus hidup dengan kemanusiaannya. Menuju panggilan kemenangan. Menanti datang maghrib. Tidak boleh ada yang kelaparan. Setidaknya menanti datangnya maghrib. Manusia mendekat menuju rumah ibadah. Manusia harus turunkan dahulu standar kehidupannya. Sedekahkan banyak harta. Jangan sebagian-sebagian! Maghrib menjadi simbol kasih sayang kemanusiaan. Tidak boleh ada yang kelaparan. Tidak boleh. Bahkan jikalau ada yang mati karena infeksi corona, matilah dalam keadaan kenyang. Menanti adzan maghrib.

Corona: Penjamin

Setelah hampir dua windu bekerja dan kontrak habis, terasa sekali bau menyengat nepotisme dikala seorang Bapak melamar pekerjaan. Saudara menejer utamakan sanak famili kerabat terdekat. Mengira gunakan sabda orang suci dalam konteks yang bermasalah. “Perhatikanlah orang-orang terdekatmu.” Orang biasa-biasa tak kenal koneksi, biasanya disuruh untuk bertawakkal dan shalat dhuha untuk didawamkan. Si Bapak anak lima mengelus dada menahan pahit.

Di masjid, semenjak Corona menyambangi manusia, tangan orang-orang diangkat lebih tinggi, berdoa. Hujan sepulangnya, Mas bakso pulang dengan kuyup dagangan habis. Ibu bercerita di kampung halamannya Mas cuanki berdagang ke luar kota, harus kembali karena dagangan tak laris.

Menyikapi wabah Corona, banyak manusia mengurung diri. Begitupula mas Cuanki dan keluarganya mengurung diri di rumah. Tidur menahan lapar. Mas becak yang tertidur melupakan nasibnya di belantara debu jalanan yang bosan menghinggapinya. Jangan andalkan filantropi mapan! Bahkan tak tahu apa perbedaan antara menyalurkan harta dan pencitraan membesarkan nama persyarikatan.

Berkahlah gerakan-gerakan alternatif. Sebut saja aliansi mahasiswa: Solidaritas Pangan Jogja. Kabar terbaru telah mendapat donasi hingga 100juta lebih dalam bentuk uang. Bermula dari ide sederhana dan perasaan mendalam kemanusiaan.

Nun jauh dari kota tersebut, kota kelahiranku menyisakan cerita lain. Tidak sedikit al-mahrum, kaum miskin struktural yang tak tega meminta-minta. Kini terpaksa untuk meminta. Youtuber bajingan belasan juta subsriber membuat penggalangan dana. Jancuk! Jual setengah asetmu! Tidak tahu malu pendapatanmu setara dengan pendapatan dua juta buruh pabrik kota besar yang kini sedang menyiapkan demonstrasi. Tiga juta buruh tani miskin. Masih pencitraan penggalangan dana. Tidak usah ajari manusia untuk berderma. Di kampungku masih ada kaum papa yang masih berkenan menampung orang difabel tuna wisma yang tak ia kenali.

Cukup ustadz. Barakallahu fikum. Tidak perlu ceramahi kami untuk bersabar. Hibahkan saja toko pakaian muslim, pakaian renang muslim, pakaian dalam muslim, yang kau promo-promo-kan di instagram.

Kini al-mahrum secara pribadi sudah memaksakan diri meminta. Stay at home tidak berlaku bagi pemulung, pedagang keliling dan ojeg pangkalan. Wabah corona tidak lebih menakutkan ketimbang kebutuhan pangan harian.

Dari sabda Nabi Muhammad saw., ‘Demi Rabb yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, tidaklah seorang hamba dikatakan beriman (dengan iman yang sempurna) hingga ia mencintai tetangganya (atau saudaranya) sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”

Masyarakat sedang sulit. Kaum papa melamar kerja, sembari melawan rasa takut wabah. Corona tidak bisa menghentikan pedagang keliling agar tetap di rumah. Kaum borjuis gemetar menanti giliran positif terdamprat wabah. Aku memahami sabda Nabi di atas sebagai salah satu upaya yang bisa dilakukan. Seorang hendaknya menjamin tetangganya. Seorang perhatikan apakah mereka hari ini bisa makan. Apa yang menjadi kebutuhannya. Apa yang bisa meringankan beban kehidupannya. Tanpa wabah kehidupan sudah sulit. Terlebih lagi bila ada bunga rentenir yang melilitnya. Seorang yang lebih kaya menjamin dua hingga tiga keluarga. Seorang yang lebih kaya lagi menjamin lima keluarga. Penjaminan ini bahkan bukan sebagai keluarga dan tak memiliki ikatan darah apapun.

Penjaminan ini signifikan. Agar kaum papa yang berusaha mencari rejeki tidak pulang lunglai lemas menahan lapar. Agar hilang rasa cemas karena rumah yang tergadai karna hutang. Agar seorang pemberontak yang diPHK lantaran mengkritik atasannya yang zalim tetap mendapat jaminan hidup. Bahkan dosen sekalipun tak lagi mengompori mahasiswa untuk turun aksi atas kesewenang-wenangan, melainkan mereka sendiri yang memberi teladan. Semua penjaminan ini hendaknya diatur oleh seorang pemimpin yang terlebih dahulu dimiskinkan. Yang dibekali oleh masyarakat pemilihnya hanya dua fasilitas: sebuah pena dan buku. Siapa yang mau jadi pemimpin?