“Ini bagaimana, kok tidak ada suaranya?” dengan tiba-tiba, menunjukkan kepadaku, seorang kakek, memicingkan matanya, meski telah berkacamata, layar gawainya yang sedang memutar video berisi pidato seorang pemimpin partai yang enggan aku sebut namanya.

Maka aku melihat kepada layar gawai, di mana terdapat simbol bebunyi yang masih dibiarkan sunyi. Aku menyentuhnya. Suara pidato dipenuhi dengan gemuruh tepuk tangan.

Suara pidato pemimpin partai tersebut memenuhi seisi ruang tunggu halte yang memancing perhatian penumpang yang menunggu bus kota yang datang tak dapat dikira-kira.

Aku melanjutkan membaca sebuah manuskrip yang berisi syair-syair.

Rupanya kakek sebelahku sedari tadi memperhatikan apa yang sedang kubaca. Sesekali ia menyapu keningnya yang berkeringat.

Ia berkata, “Bagaimana bisa engkau tak mampu mendengar suara-suara dalam keindahan puisi yang kau baca? Sementara bait-bait di dalamnya berikan kepada kita suara-suara nurani yang tak mampu didengar oleh seorang yang belum dihinggapi cinta?”

Di rumah itu mereka tinggal berdua.
Bertiga dengan waktu. Berempat dengan buku. Berlima dengan televisi. Bersendiri dengan puisi.

“Suatu hari aku dan Ibu pasti tak bisa lagi bersama.”
“Tapi kita tak akan pernah berpisah, bukan?”
Kita adalah cinta yang berjihad melawan trauma.” (Puisi Joko Pinurbo-Jendela)