Bulan: Maret 2020

Hati Kahlil Gibran: Diantara Kata (2)

  1. Jiwaku mengajar dan mendidikku untuk mencintai apa yang orang lain benci dan menjadi teman bagi siapa yang dicaci-maki. Jiwaku menunjukkan pada diriku bahwa cinta juga merasa bangga terhadap dirinya, bukan hanya orang yang dicintainya. Lebih dari itu, juga kepada orang yang mencintainya. Sebelum jiwaku mengajariku, cinta hatiku seperti benang tipis yang terikat pada dua pasak. Tetapi kini cinta telah menjadi sebuah lingkaran keramat yang permulaannya adalah akhir, dan akhirnya adalah awal. Cinta itu mengelilingi setiap makhluk hidup dan perlahan-lahan berkelana kemana-mana, memeluk siapa saja yang dapat direngkuhnya.
  2. Jiwaku mengajariku dan mendidikku untuk mendengarkan suara-suara yang tidak terucap oleh lidah, taring, dan bibir.
  3. Kemarin kita menunduk-nunduk pada sang raja dan menundukkan kepala kita di hadapan sultan. Tetapi hari ini kita tidak menaruh hormat kecuali kepada kebenaran, dan tidak mengikuti seorang pun kecuali keindahan dan cinta.
  4. Kita adalah pikiran diam yang tersembunyi di pojok-pojok kelupaan.
  5. Aku juga bertanya, adakah di bumi ini orang yang tidak menyembah kata-katanya sendiri?
  6. Masih banyak lagi suku dan marga pembual yang jumlahnya tak terhitung. Yang paling aneh menurutku adalah suku penidur yang anggotanya selalu membuat onar dunia dengan dengkurannya, dan ketika bangun, selalu berteriak-teriak, “Betapa terpelajarnya kami ini”
  7. Seorang cendekiawan tidak dapat menjadi orang yang bersih sekaligus cerdas.
  8. Untuk apakah buku-buku dan berlembar-lembar catatannya yang membusuk dan segera menjadi debu itu? bukankah dia lebih baik bekerja sebagai pembantu, misalnya membantu seorang sopir, sehingga kesehatannya terjamin dan hidupnya lebih berguna?
  9. Akankah datang suatu masa ketika alam menjadi guru bagi manusia, kemudian manusia menjadi buku-bukunya dan kehidupannya menjadi sekolahnya?
  10. Bagaimana mungkin kemanusiaan hidup dapat memperoleh pengetahuan jika jiwa belum bebas dari ikatan dunia?
  11. Tidakkah diamnya malam meninggalkan sebuah lagu di kedalaman hati yang paling dalam dengan harapanmu untuk menemui sang fajar?
  12. “Wahai sang pecinta, di manakah aku bisa memperoleh ketenangan hati? Aku dengar dia datang bergabung denganmu di sini.”. dan sang putri cinta menjawab, “Ketenangan hati telah pergi menasihati pengikutnya, dimana ketamakan dan korupsi menjadi prioritas. Dan kita tidak membutuhkannya.” Keberuntungan tidak butuh ketenangan hati, sebab dia adalah harapan duniawi, dan hasratnya dipeluk oleh penyatuan dengan objek. Sementara ketenangan hati itu sia-sia, namun sepenuh hati. Jiwa yang abadi tidak pernah terisi, ia hanya mencari kemuliaan.
  13. Wahai manusia, perempuan itu adalah refleksi dirimu, dan apa pun engkau, di mana pun kau hidup, dia hidup. Dia laksana agama, dan jika tidak ditafsirkan oleh orang dungu, dia bagaikan bulan di saat benderang, dan laksana angin sepoi-sepoi andai tidak diracuni oleh polusi.
  14. Manusia dan aku adalah sepasang kekasih. Aku rindu padanya dan dia pun merindukanku.
  15. Kekasihku mencintai diriku. Dia mengatakannya padaku, tapi dia hanya menjumpaiku dalam tindakan Tuhan. Dia mencariku dalam gudang besar kemuliaannya yang dia bangun di atas tengkorak penderitaan orang lain. Dia juga mencariku di antara timbunan emas dan peraknya, tapi dia hanya dapat menemukan diriku dengan datang ke rumah kesederhanaan yang telah Tuhan bangun di atas gundukan aliran cinta.
  16. Aku akan memperkaya jiwaku dengan semua rasa cintaku. Kekasihku telah mengenali kegegeran dan kegemparan dari musuhku, yaitu benda. Aku akan mengajarinya meneteskan air mata dan kasih sayang dari padang-padang jiwanya melalui air mata keluh kesah kesenangan yang diungkapkan. Manusia adalah kekasihku. Aku ingin mereka memiliki diriku.
  17. Orang-orang yang menulis dengan tinta itu tidak seperti orang yang menulis dengan darahnya hati. Diam yang tercipta karena rasa bosan itu tidak seperti diam yang terwujud karena rasa sakit. Adapun aku, aku diam karena telinga-telinga manusia telah lari dari kaum lemah dan dari rintihan mereka. Manusia telah memperuntukkan kesenangan hawa nafsu dan hingar bingarnya, sedangkan hikmah-hikmah bagi orang yang lemah adalah diam ketika orang kuat yang berusaha berbicara tentang segala yang ada. Itulah orang kuat yang tidak rela dengan sesuatu selain meriam-meriam sebagai lisan, dan tidak menerima dengan selain bom-bom sebagai ucapan-ucapan.
  18. Alam telah kembali kepada fitrahnya yang suci murni, karena itu apa yang telah dibangun oleh generasi-generasi umat manusia berupa ilmu dan seni telah dirobohkan oleh manusia yang menuruti ketamakan dan hedonis. Karena itu keadaan kita hari ini adalah keadaan para penduduk goa yang tidak membedakan kita dengan mereka, kecuali alat-alat yang kita jadikan sebagai sesuatu indah untuk meruntuhkan, dan kecerdikan untuk menghancurkan.
  19. “Dan sesungguhnya aku, meskipun aku telah menjadi bagian paling akhir zaman, aku pasti datang dengan membawa segala sesuatu yang belum bisa dilakukan oleh orang-orang terdahulu.”
  20. Kini pandanglah aku, yang hanya berupa seuntai kata yang maknanya sangat samar dan membingungkan. Ia sering kali tak memiliki makna. Namun, seringkali pula ia mengerami jutaan makna.

Anak Pinggiran Kota Besar

Jatuhku tanpa beban. Ketika sore di usia belia kuiisi dengan hanya bermain bola di lapangan perumahan beralas rumput berbekal uang jajan. Keringat selepas main dibayar oleh air segar untuk mandi dan makanan yang siap di meja makan. Tidur tanpa rasa takut, pikiran hanya menuju: apakah guru akan memarahi akibat PR yang tidak kukerjakan sungguh-sungguh. Orang tua katakan untuk tidak lupa sarapan, sembari mewanti-wanti agar tidak sisakan makanan, minum susu, dan bersyukur kepada Tuhan. Dibekalinya roti dan uang.

Meski darah manusia berwarna sama, lagu nasib tidak semua merdu. Nasib seorang gelandangan yang berlari mengejar Bus Kopaja. Harus jatuh tersungkur di antara keramaian. ‘Anak’, pekikku dalam samudera hati. Bajumu tak membohongi takdirmu. Sejatuhnya dari bus kau bahkan tidak mengekspresikan rasa sakit atau sedih. Orang-orang didekatnya bahkan tak mengejar kemudian membangunkan dirimu. Bahkan preman meneriaki Bus, ‘Sudah tidak usah ditunggu’. Berbekal lap lusuh, dirimu membersihkan mobil plat merah yang bahkan tidak kotor. Memang tidak sedikit manusia mencintai benda dibanding sesamanya.

Anak. Apakah pipimu tidak terluka? Luka yang membekas di aspal jalan akan segera terhapus hujan. bagaimana caranya agar bisa sabar dan memaafkan manusia-manusia serakah. Hatimu begitu besar menerima takdir. Tidak ada yang tahu orangtuamu sudah wafat, bunuh diri lantaran bunga rentenir yang kian mencekik. Atau bahkan dirimu yang masih bertanggung jawab kepada adikmu yang lugu. Bagaimana bisa wajahmu tidak menyimpan dendam. Menangislah, Anak. Bahkan dunia harus mendengar tangismu. Terbuat dari apa hati manusia kini?

Sementara di seberang jalan, seorang Bapak paruh baya menawarkan buku-buku pada mahasiswa. Untuk sekardus buku, si Bapak membutuhkan uang dua ratus ribu rupiah. Sang mahasiswa merasa enggan karena uang yang tempo dulu belum kunjung dikembalikan. Buku-buku yang ditawarkan pun tidak sesuai dengan minatnya. Tidak sedikit Bapak-bapak yang demikian halnya, tidak bisa mengembalikan hutang, atau bahkan orang lain yang menipu. Menipu kini merupakan softskill bertahan hidup. Penipuan pertanda bangsa ini waras. Di samping lapangan pekerjaan yang sedemikian sulit, serta kesenjangan sosial membumi langit. Beruntung pelarian tidak sepenuhnya pada bunuh diri. Pekerjaan apa kini yang bebas dari menipu? Ah. Aku malah tidak bisa membedakan ‘menipu’ dalam denotasi dengan ‘kedok’ yang menjadi baju sehari-hari manusia.

Pada saat tanganku masih menyusun tulisan ini, aku bahkan masih mengingat-ngingat perjumpaan mataku melihat si Anak yang terjatuh dari bus tersebut. Dalam perjalanan menuju stasiun, aku kala itu tak bisa berbuat apa-apa. Anak yang menghabiskan waktunya dengan bekerja. Tempat tinggal yang kekurangan air bersih. Tidur dengan rasa takut. Pikiran menuju: jemput karunia Tuhan sepagi mungkin. Memeluk diri menggigil saat malam. Ternyata tulisan Kahlil Gibran membuat mataku melihat pada sudut-sudut dunia yang ‘terabaikan’. Manusia papa yang ‘kasat mata’ membuat orang-orang lebih memilih kesibukan dan ambisi kantor serta pabrik. Bekerja kini dilakukan demi terpenuhinya keinginan tak berdasar. Sementara industri tak henti-hentinya menyuguhkan barang dan promosi. Gibran dari abad-19 berbicara kepadaku agar manusia modern harus memperbanyak buku-buku sastra.

Gibran katakan, ‘Cinta lebih utama daripada kebaikan yang tak mengandung cinta; karena air mata cinta lahir dari kedalaman jiwa seperti makhluk bernyawa.’ Juga, ‘Harta yang yang jika tidak digunakan untuk kepentingan dan atas nama roh, akan lebih mengerikan daripada segala petaka dunia.’ Juga, ‘Apa yang dapat diperbuat untuk mereka yang sekarat? Penderitaan kita takkan melenyapkan kelaparan mereka. Dan air mata kita takkan memusnahkan kehausan mereka; Apa yang dapat kita perbuat untuk menyelamatkan mereka. Dari tengah-tengah cakar-cakar besi kelaparan? Saudaraku, kebaikan hati yang mendorongmu. Untuk memberikan sebagian dari hidupmu. Kepada seidkit manusia yang tengah berada dalam bayang-bayang kehilangan hidupnya. hanyalah kebajikan yang menciptakan bagimu cahaya siang dan kedamaian malam yang pantas. Ingatlah saudaraku, uang yang kau berikan ke dalam tangan lemah. Yang menadah ke arahmu. Hanyalah rantai emas yang mengikat hatimu yang kaya. Dari hati Tuhan yang penuh cinta.

Mendistribusikan harta tidak lantas membuat diri kekurangan. Sastra yang melembutkan hati, tidak hanya soal percintaan menuju pelaminan.**

Hati Kahlil Gibran: Diantara Kata

 

  1. ‘Cinta lebih utama daripada kebaikan yang tak mengandung cinta; karena air mata cinta lahir dari kedalaman jiwa seperti makhluk bernyawa.’
  2. ‘Harta yang yang jika tidak digunakan untuk kepentingan dan atas nama roh, akan lebih mengerikan daripada segala petaka dunia.’
  3. ‘Apa yang dapat diperbuat untuk mereka yang sekarat? Penderitaan kita takkan melenyapkan kelaparan mereka. Dan air mata kita takkan memusnahkan kehausan mereka; Apa yang dapat kita perbuat untuk menyelamatkan mereka. Dari tengah-tengah cakar-cakar besi kelaparan? Saudaraku, kebaikan hati yang mendorongmu. Untuk memberikan sebagian dari hidupmu. Kepada sedikit manusia yang tengah berada dalam bayang-bayang kehilangan hidupnya. Hanyalah kebajikan yang menciptakan bagimu cahaya siang dan kedamaian malam yang pantas. Ingatlah saudaraku, uang yang kau berikan ke dalam tangan lemah. Yang menadah ke arahmu. Hanyalah rantai emas yang mengikat hatimu yang kaya. Dari hati Tuhan yang penuh cinta.’
  4. ‘Orang-orang yang berduka akan menganggap ratapan sebagai kesenangan seorang pecinta yang menemukan hiburan di dalam gairah jiwanya, sementara orang yang tertindas merasa lega berada dalam doanya.’
  5. ‘Semua itu (harta kekayaan) sama sekali tidak berarti dibanding sekilas waktu berada dalam cinta sejati yang tak memiliki kekayaan apapun, tapi tetap agung’
  6. ‘Aku telah menyaksikan sendiri bagaimana kereta kuda milik suamiku, ditambah harta kekayaannya ruah di gudang harta, sama sekali tidak sebanding dengan kedip mata pemuda miskin yang telah ditakdirkan diciptakan untukku dan untuknya aku diciptakan. Ia begitu sabar menanti dalam duka serta menahan diri dalam perpisahan yang mencabik-cabik.’
  7. ‘Apa yang kalian cari, kaum sebangsaku? Apa yang kalian minta. Dari kehidupan yang tiada lagi. Menganggapmu putra pertiwi?’
  8. ‘Ilmu itu cahaya yang memperkaya. Siapapun boleh mencarinya. Tapi kalian, kaum sebangsaku. Mencari kegelapan dan menghindari cahaya. Menunggu air terbit dari batu. Dan kesengsaraan bangsamu. Adalah kejahatanmu. Tak kuampuni kalian dari dosa-dosamu. Sebab kalian menyadari apa yang dijalani.’
  9. ‘Kemanusiaan adalah sungai cemerlang. Yang bersenandung dalam tamasya riang. Membawa rahasia gunung tua. yang dialirkan ke dalam jantung samudra. Tapi kalian, kaum sebangsaku. Bagaikan genangan rawa-rawa. Yang dicemari hama. Dan ular berbisa.’
  10. ‘Sengsaralah kamu, musuh-musuh Yesus, yang menggerakkan bibirmu dengan doa-doa sementara hatimu ditumpuki nafsu birahi.’
  11. ‘Mereka memenjarakan badannya, tapi jiwanya berlayar bebas bersama angin semilir di antara bukit-bukit kecil dan padang rumput.’
  12. ‘Penyiksaan tak bisa melukai orang-orang yang tegak berdiri bersama kebenaran. Bukankah Socrates dengan bangga mengorbankan dirinya? Bukankah Santo Paulus dilempari batu demi menyelematkan kebenaran?’
  13. ‘Oh Yesus, mereka telah membangun gereja-gereja ini demi diri mereka sendiri dan menghiasinya dengan sutra bercampur emas. Mereka membiarkan makhluk-makhluk-Mu yang terpilih miskin dan dingin. Mereka memenuhi angkasa dengan asap kandil yang menyala dan kemenyan, tapi membiarkan makhluk-makhluk-makhluk-Mu yang beriman tanpa roti. Mereka yang mengalunkan suaranya dengan lagu-lagu pujian, tapi menulikan diri pada tangisan dan rintihan janda-janda dan anak-anak yatim.’
  14. ‘Adakah kedamaian? Adakah dia dalam mata bayi-bayi yang menyusu pada buah dada kering ibu-ibu mereka yang lapar di gubuk-gubuk dingin? Atau apakah dia dalam pondok-pondok kumuh kelaparan yang tidur di atas ranjang keras dan membutuhkan sepotong makanan yang oleh para pendeta dan biarawan diberikan kepada babi-babi gemuk mereka?’
  15. ‘Bagi kami hidup ini hanyalah sebuah sel gelap perbudakan’
  16. ‘Kalian begitu banyak dan aku hanya sendirian, maka bicaralah tentangku semau kalian. Biarpun serigala-serigala memangsa anak-anak domba dalam gelap malam, noda-noda darah akan tetap tinggal di atas bebatuan lembah hingga fajar menyingsing dan sang surya bersinar kembali.’
  17. ‘Gunung-gunung serupa elang kesepian dan melewatkan malam-malam pengembaraan di gurun-gurun pasir bagai singa yang gelisah. Maukah kau memedulikan seseorang yang memandang cinta hanya seperti seorang penghibur dan menolak menerimanya sebagai majikannya?’
  18. ‘Akankah kau menerima sebuah hati yang mencintai, namun tak pernah memberi? Yang membakar, namun tak pernah meleleh? Akankah kau merasa senang dengan jiwa yang menggigil di hadapan badai, namun tak pernah menyerah? Akankah menerima seseorang sebagai sahabat yang tak menciptakan budak-budak? Akankah kau memiliki diriku tapi bukan mempunyaiku dengan mengambil tubuhku dan bukan hatiku?’
  19. ‘Bangsaku mati karena kelaparan. Dan dia tidak binasa karena penderitaan kelaparan dibunuh dengan kiluan pedang. Dan aku di negeri yang jauh. Mengembara di tengah-tengah bangsa yang bergembira. Dan tidur di atas ranjang-ranjang lembut. Tersenyum pada hari-hari tersenyum padanya.’
  20. ‘Bangsaku mati kesakitan dalam kematian yang memalukan. Di sini aku hidup makmur dan damai. Inilah tragedi mendalam yang selalu bermain-main di atas panggung hatiku yang pedih. Sedikit orang yang mau menyaksikan drama ini. Karena bangsaku serupa burung-burung dengan sayap-sayap patah. Yang ditinggalkan oleh kawan-kawannya.’
  21. ‘Jika aku lapar dan hidup di tengah bangsaku yang sangat lapar. Tersiksa di tengah bangsa yang tertindas. Dibebani hari-hari kelam yang akan lebih bercahaya di atas mimpi-mimpi resahku. Dan kegelapan malam yang berkurang gelapnya di hadapan mataku. Dan ratapan hati dan jiwa yang luka. Karena dia yang menanggung dukacita dan penderitaan bersama kaum sebangsanya. Akan merasakan kesenangan tertinggi. Yang hanya diciptakan oleh penderitaan dalam berkorban.’
  22. ‘Tapi aku tidak hidup kelaparan dan menganiaya orang-orang. Yang berjalan dalam arak-arakan kematian menuju kesyahidan. Aku disini di seberang lautan luas. Hidup dalam bayang-bayang kesentosaan yang nyaman dan dalam matahari kedamaian. Aku jauh dari arena yang menyedihkan dan menderita. Tak bisa membanggakan sesuatu, karena bukan dari air mataku sendiri.’
  23. ‘Apa yang bisa dibuat seorang putra terbuang untuk bangsa yang tengah mati kelaparan. Dan apakah maknanya bagi mereka yang meratapi seorang penyair yang telah tiada?’
  24. ‘Aku telah berkata, ‘Mati demi kemerdekaan lebih mulia daripada hidup lemah. Karena dia yang memeluk kematian dengan pedang kebenaran dalam genggaman tangannya. Akan mengabdi bersama keabadian kebenaran. Karena kehidupan lebih lemah dari pada kematian. Dan kematian lebih lemah daripada kebenaran.’
  25. ‘Betapa menyakitkan kata-kata nasihat dari yang beruntung untuk hati yang sengsara! Dan betapa kesahajaan adalah kekuatan manakala ia berdiri sebagai penasihat di antara yang lemah!’
  26. ‘Inilah saatnya ketika orang-orang berlaku ramah kepada orang lain. Yang kaya mengingat si miskin dan yang kuat merasa kasihan kepada yang lemah.’
  27. ‘Manusia telah menyembah diri sendiri sejak permulaan, menyebut dirinya dengan gelar terhormat, hingga sekarang. Apabila ia menggunakan kata Tuhan berarti sama dengan dirinya.’
  28. ‘Tiada pidana yang lebih berat daripada yang dijalani oleh seorang wanita yang mendapati dirinya terperangkap antara seorang pria yang dicintainya dan seorang pria lain yang mencintainya.’