aldiantara.kata
Pamflet Kemenag Soal Covid
Pamflet yang dibuat Kemenag mengenai covid tersebar di media sosial. Pamflet-pamflet tersebut di dalamnya mengutip beberapa hadis yang menguatkan peraturan protokol kesehatan selama pandemi. Di antaranya memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan, membatasi interaksi, serta menjauhi kerumunan.
Kemenag memahami beberapa hadis Nabi saw. yang dianggap sesuai dengan konteks kini dalam menanggulangi pandemi covid-19. Hal ini membuktikan makna universal hadis yang relevan seiring berjalannya waktu yang dinamis.
Pertama mengenai memakai masker, Kemenag mengutip hadis, “Tidak boleh membahayakan/merugikan orang lain dan tidak boleh (pula) membalas bahaya (kerugian yang ditimbulkan oleh orang lain) dengan bahaya (perbuatan yang merugikannya).” (HR. Imam Malik, Kitab Peradilan)
Kedua, mengenai menjaga jarak, Kemenag mengutip hadis, “Jangan campurkan (onta) yang sakit ke dalam (onta) yang sehat.” (HR. Imam Bukhari, Kitab pengobatan)
Ketiga, mengenai mencuci tangan, Kemenag mengutip hadis, “Jika seseorang dari kalian bangun dari tidurnya, maka hendaknya tidak memasukkan tangannya dalam bejana sampai dia membasuhnya tiga kali karena sesungguhnya dia tidak menyadari di manakah posisi kedua tangannya semalam.” (Imam Bukhari, Kitab Wudhu)
Keempat, mengenai membatasi interaksi, Kemenag mengutip hadis, “Jika kalian mendengar wabah tersebut menjangkiti suatu negeri, maka janganlah kalian menuju ke sana, namun jika dia menjangkiti suatu negeri dan kalian berada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar dan lari darinya.” (HR. Imam Bukhari, Kitab Pengobatan)
Kelima, mengenai menjauhi kerumunan, Kemenag mengutip hadis riwayat Imam Bukhari, “…dan larilah dari penyakit kusta seperti engkau lari dari singa.”
Substansi agama yang terlewatkan
Apa yang dilakukan oleh Kemenag sebagaimana sebaran pamflet-pamflet mengenai pentingnya untuk taat kepada protokol kesehatan yang sejalan dengan hadis-hadis Nabi, barangkali senada dengan kutipan menarik dari pandangan Ashgar Ali Engineer, bahwa mengikuti sunnah Nabi, “berarti menggali makna dan menangkap semangatnya dalam rangka menyelesaikan persoalan-persoalan kehidupan yang ruwet dan kompleks sesuai dengan kemampuannya.”
Bukan karena agama tidak saja melayani kekuasaan, namun sepertinya keadaan genting di mana imbas ekonomi yang ditimbulkan menjadikan keadaan kini sedemikian mencekam. Lantas kemana agama kini menghadap, agama pada fungsi ritual pribadi, pelipur lara, menjilat kekuasaan, atau menjadi martir yang mendorong pembebasan dari kemiskinan?
Sejak April hingga kini, berita mengenai para mafia alat kesehatan begitu berjebah. Persoalan serius yang tidak hanya harus ditindak secara hukum, namun juga dikutuk secara agama. Mereka menimbun dan mendapatkan laba melimpah dengan menimbun alat kesehatan yang beberapa di antaranya kian langka, sementara di samping dampak ekonomi yang kian sulit, masyarakat satu per satu kehilangan orang-orang yang disayanginya.
Bernyalikah para ulama yang kini memiliki wewenang pada jajaran kementerian agama menghukumi para mafia tersebut sebagai kafir, apapun aliran agamanya? Perhatikan bagaimana Bani Sadr mendefinisikan kata ‘kufr’, ‘kufr’ berarti “berusaha menancapkan dominasinya dan menindas golongan masyarakat lemah. Termasuk dalam hal ini adalah para penimbun, mafia alat kesehatan, yang memonopoli alat-alat produksi, mengeksploitasi sesama manusia.
Pada sisi yang lain, dalam penjelasan Ashgar Ali Engineer, agama bisa menjadi sumber motivasi yang kuat untuk menggulingkan status quo. Seperti Budha, Yahudi Kristen dan Islam adalah agama yang menentang status quo. Agama mendorong terciptanya tatanan baru yang revolusioner. Yahudi pada zaman Nabi Musa menentang raja Fir’aun yang kejam, adapun Kristen di Filipina merobohkan Marcos.
Sementara Islam secara historis kedatangannya menjadi tantangan yang membahayakan para saudagar kaya Mekah yang kerap bersikap arogan dan mabuk kekuasaan. Mereka tidak menghargai kaum miskin dan menindas kaum lemah, maka Islam mengutuk penimbunan kekayaan, menghapus perbudakan, mengangkat derajat perempuan dan senantiasa berpihak kepada kaum terpinggirkan.
Perhatikan kondisi masyarakat kini
Pada sebuah hadis riwayat Bukhari, Nabi Muhammad saw. bersabda, “Orang-orang sebelum kalian menjadi binasa karena apabila ada orang dari kalangan terhormat (pejabat, penguasa, elit masyarakat) mereka mencuri, mereka membiarkannya dan apabila ada orang dari kalangan rendah (masyarakat rendahan, rakyat biasa) mereka mencuri mereka menegakkan sanksi hukuman atasnya…” (Hadis Riwayat Bukhari, kitab peradilan)
Berdasarkan hadis Nabi di atas hendaknya semangat beragama tidak lepas dari kondisi sosial yang selalu menyajikan permasalahan yang kompleks, sementara pemeluknya hendaknya menjadi martir yang memperjuangkan keadilan sosial, sebagaimana substansi beragama pada mulanya.
Pemflet-pamflet kemenag rasanya perlu banyak ditambahkan, tidak saja mendukung hal-hal normatif penyambung lidah kekuasaan, melainkan lebih berani menyentuh isu sensitif, mengatakan keadaan yang sebenarnya, serta mendobrak kebekuan keadaan dengan menggali substansi beragama berdasarkan hadis-hadis yang disampaikan kepada masyarakat.
Bila berani menyuarakan kepada bermasyarakat, ditambah mengutip hadis Nabi, agar masyarakat menjaga jarak, memakai masker, menghindari kerumunan, seharusnya Kemenag juga berani untuk mengutuk penimbunan alat kesehatan, memberikan alternatif pekerjaan bagi terdampak para pekerja yang dirumahkan, logistik kepada mereka yang kelaparan, memberantas rentenir yang kian memanfaatkan situasi, memberi rasa aman dan kabar gembira kepada masyarakat.
Oknum-oknum brengsek selalu saja ada! Mereka menyuap ketua BEM agar tidak berunjuk rasa, sehingga mengabaikan suara para pedagang kecil yang banyak disita barang dagangannya dan rentan mendapat kekerasan dari aparat. Lantas, di mana peran agama?! Jangan sampai agama direduksi maknanya dengan cukup memberi anjuran ‘kelas anak TK’, agar bermasker dan menghindari kerumunan saja.
Perhatikan beberapa hadis Nabi saw. selanjutnya, “Ada seseorang yang bertanya kepada Nabi saw.; “Islam manakah yang paling baik?” Nabi saw. menjawab: “Kamu memberi makan, mengucapkan salam kepada orang yang kamu kenal dan yang tidak kamu kenal.”
Nabi saw. juga bertanya dalam sebuah hadisnya, “Siapakah di antara kalian yang pagi ini sedang berpuasa?” Abu Bakar menjawab, “Aku.” Beliau bertanya lagi: “Siapa di antara kalian yang hari ini telah menghantarkan jenazah?” Abu Bakar menjawab: “Aku.” Beliau bertanya lagi: “Siapa di antara kalian yang hari ini telah memberi makan orang miskin?” Abu Bakar menjawab: “Aku.” Beliau bertanya lagi: “Siapa di antara kalian yang hari ini telah menjenguk orang sakit?” Abu Bakar menjawab, “Aku.” Selanjutnya Nabi saw. bersabda: “Tidaklah semua itu ada pada seseorang kecuali dia pasti akan masuk surga.”
Al-Qur’an surah Quraisy bila direnungkan sangat relevan pada masa kini, agar hendaknya memberi makan kepada yang kelaparan dan memberi rasa aman dari rasa takut. Nabi saw. bersabda, “Permudahlah dan jangan persulit, berilah kabar gembira dan jangan membuat orang lari.”
Substansi agama melalui hadis tersebut semestinya digali, direnung-pikirkan dan menyusun siasat secara kreatif agar terciptanya suatu gerakan atau kebijakan yang memiliki nilai kemashlahatan pada situasi yang tidak menyenangkan ini. Hadis-hadis di atas juga mengisyaratkan kedekatan secara psikologis dan emosional antara Nabi saw. dengan melakukan dialog langsung dengan para sahabatnya. Kalau hubungan kita, hmmm…
Masih rapat, Pak?
Menyukai ini:
Suka Memuat...