Bulan: Agustus 2021

Adzan Maghrib

Oleh: Sibro Malisi

 

Lirih cengkok dari sudut menara
Menyaut sayup mengetuk hati
Terkulai hamba, mengingat Ilahi
Mengatup mata, memohon segala puji

Tuhan,
Firman-Mu, pedoman hidup penuntun makhluk
Penyembuh lara penyakit hati
Petunjuk jalan akhirat abadi

Tuhan,
Aku terlena cara hidupku
Berjalan mundur di dalam kelam
Terhanyut aku dalam jahanam

Tuhan,
Aku masih berjalan di atas takdir-Mu
Mengeluh dengan segala keluh
Mengupas takdir menjadi hikmah
Menerima takdir menjadi berkah

Waras yang Merapuh

Oleh: Nurhidayah

 

Duka lara seolah memeluk erat
Perkara yang hinggap teramat berat
Hidup terasa kelabu
Langkah yang kuambil melulu keliru

Raga bak tak bernyawa
Sukma seolah melayang di ruang tak bersudut
Pahit getir berpeluk mesra di atas deraian air mata
Pilu membelenggu di relung kalbu

Resah gelisah bercumbu rayu
Patahkan setitik waras yang merapuh
Bak kayu yang melumut di atas punggung tanah
Melapuk terlentang usang

 

Salatiga, 18 Agustus 2021.

‘Mendengarkan’ Dongeng Sulak dalam Buku Creative Writing

aldiantara.kata

 

Tulisan ini termasuk pada kategori ‘bukan sinopsis’ blog diantarakata. Sebab, aku merasa enggan gaya kepenulisanku seakan terjerat kepada struktur-struktur yang baku. Hingga saat buku ini kubaca, buku Creative Writing karya A.S. Laksana ini sudah menuju cetakan kelima yang diterbitkan oleh Penerbit Banana.

 

Aku terkejut lantaran tiba-tiba saja dalam beberapa saat, Sulak menyudahi dongengnya dalam memberitakan tip menulis kreatif dalam Creative Writing. Tidak terasa. Ia seakan-akan sedang mengajak pembacanya berjalan-jalan di taman, dalam perjalanannya itu Sulak menceritakan tip menulis kreatif dengan setiap masing-masing babnya yang berkait kelindan. Tulisan Sulak ‘menyengat seperti lebah’ yang kerap mengkritik penulis yang tak sabaran, sekaligus  mengkritik penulis yang nampaknya ‘malas’ membaca dengan berdalih hendak menelurkan gagasan yang orisinil.

Suguhan Sulak ‘Melayang seperti kupu-kupu’ lantaran ketika mendongengkan tip menulis kreatif dengan menggunakan analogi sehari-hari agar mudah dipahami, kerap membuat imaji pembaca melayang-layang terbayang pada penuturan analogi cerita Sulak. Nampaknya ia begitu mengagumi Muhammad Ali dengan mengutip  sebaris kalimat puitisnya yang kesohor kala berduel tinju, “Menyengat seperti lebah, melayang seperti kupu-kupu” sekaligus mengungkap fakta Muhammad Ali yang kerap menulis dan membacakan puisi yang ia buat guna mengejek calon lawannya sebelum bertanding.

Sapaan pada awal tulisan dari Sulak, panggilan akrab A.S. Laksana, sudah memberi poin penting dasar kepenulisan, “Karena itu, beri kesempatan kepada tangan Anda untuk melakukan apa yang memang menjadi kesukaannya.” Yaitu dengan memberikan kebebasan terlebih dahulu apa yang menjadi kegelisahan pikiran dari penulis, tentunya sebelum masuk kepada pengolahan selanjutnya.

Baca juga: Self Healing dengan Berpuisi di Iran

Sejenak, pikiranku asik sekali, mempertanyakan mengapa Sulak menaruh bab ‘Bacalah’ pada bagian akhir, padahal aktifitas menulis dan cara menjadikan gaya tulisan yang mengalir seringkali didahului oleh aktifitas membaca.

Aku belum banyak membaca tulisan-tulisan Sulak, namun buku ini menunjukkan betapa luas pemahaman serta kreatifnya Sulak dalam menyajikan tulisan-tulisan di dalamnya, salah satunya dengan mengutip cerita pada film Fahrenheit 9/11 garapan Michael Moore yang tampak mengolok-olok pemerintahan era George W. Bush yang dinilai tak becus dan serampangan. Sejatinya fokus Sulak bukan pada kritik Michael Moore pada pemerintahan Bush, melainkan pada tulisan di ruang kelas, tempat Bush berdiri kala menceritakan buku kepada anak-anak, “Membaca membuat negeri kita besar.”

Sulak mengkritik pendidikan di negerinya, “Tulisan semacam itu, atau yang bunyinya mendekati itu, tak saya jumpai di ruang kelas SD saya.” Selain itu, “Memang SD saya tidak memiliki perpustakaan sehingga tulisan semacam itu jika ditulis di dinding mana pun, hanya akan menjadi slogan yang mubazir. Guru-guru saya pun tidak ada yang pernah menganjurkan agar murid-murid banyak membaca. Mungkin mereka sendiri pun kurang membaca. Yang biasa mereka sampaikan adalah nasihat agar kami, murid-murid yang selalu naik kelas maupun yang kadang tidak naik, menjadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa.”

Perpustakaan sekolah yang seadanya, di dalamnya berisi kumpulan buku-buku hibah yang lawas dan tak menarik, sebagian besar berdebu, dijaga oleh penjaga yang cuek dan tak suka baca buku serta perihal sebagian guru-guru yang kurang membaca menjadi kritik keras. Visi dan misi menjadi negara besar yang tak ditopang dengan semangat membaca, seakan Sulak katakan bahwa semua itu sia-sia jika para manusianya yang tidak menggandrungi aktifitas membaca.

Sulak berdongeng, “Pikiran Anda, sumber kekuatan imajinasi Anda, tak beda dari perut Anda dan seluruh organ tubuh yang lain: ia perlu makanan.” Maka bahan bakar terbaik bagi pikiran adalah membaca. Creative writing, menulis kreatif, pada perjalanannya tidak bisa tidak dengan membaca!

Namun, apa yang dibaca tentu perlu dituangkan kepada tulisan, sehingga terjadi dialog antara apa yang dibaca, dan terjadi di sekitar pembaca. Sangking gemasnya, Sulak bahkan menyarankankepada calon penulis agar menulis tanpa ide, menulis dengan buruk, serta menulis cepat. Menulis tanpa ide pada intinya adalah salah satu cara untuk memancing datangnya ide.

Menulis dengan buruk, sejatinya Sulak memberi saran agar menulis tanpa beban, jangan berekspektasi tinggi, serta hal terpenting, mencurahkan apa yang menjadi kegelisahan, “…draf pertama yang buruk, ketika ia ada, akan jauh lebih baik dibandingkan tulisan sempurna, tetapi tidak pernah ada.” Sulak seakan hendak katakan, “tulislah apa yang berada di pikiranmu.”

Menulis cepat, berarti segera tumpahkan kepada tulisan, sebelum ide-ide, kegelisahan yang berkecamuk pada alam pikiran serta merta sirna. “Seorang penulis yang baik biasanya juga pencatat yang baik. Mereka mencatat hal-hal penting yang mereka dapatkan dari bacaan. Mereka mencatat kejadian-kejadian yang menarik perhatian mereka.”

“Perkara mood itu hanyalah kemanjaan yang harus diperangi.” A.S. Laksana –

Baca juga: Bekas-Bekas Jari Tanganmu, Sapardi Joko Damono

Analogi Sulak, seringkali terambil dari ilustrasi-ilustrasi sederhana kehidupan sehari-hari, begitu memudahkan pemahaman kepada para pembacanya, seperti kala menjelaskan perihal ‘Jangan menulis sekaligus mengedit’ lantaran ekspektasi penulis yang menginginkan secara instan tulisan bagus pada saat itu juga, Sulak menyuguhkan analogi menarik dengan membayangkan penulis sebagaimana halnya tukang bangunan. “Pasir, batu dan semen tidak akan pernah kita nilai keindahannya. Yang dinilai keindahannya adalah bangunan yang tercipta dari bahan-bahan tersebut,”

“Mungkin hanya penulis yang tidak sabaran yang ingin menulis sekali jadi.” A.S. Laksana –

Adapun pada bagian ‘Show, Don’t Tell’ Sulak banyak menyuguhkan beberapa contoh di mana ia menekankan, bahwa yang terpenting adalah menuangkan gagasan terlebih dahulu. Sebab selalu ada waktu pada upaya penajaman tulisan. Ada diantarakata menarik pada bagian ini yang kutandai.

“Mengongkretkan konsep-konsep abstrak (cinta, benci, dendam, sedih, frustasi, marah, dahsyat, cantik, pengap, dan sebagainya) pada intinya adalah mencari pengucapan tidak langsung terhadap sebuah konsep, dan ini memerlukan detail yang cermat, ingatan yang baik atas kejadian-kejadian, dan kepekaan terhadap keseharian. Anda bisa mendeskripsikan tentang pengap tanpa menggunakan kata itu sama sekali. Anda bisa melukiskan cinta tanpa menggunakan kata itu sama sekali. Anda bisa menyampaikan hati yang pedih tanpa menggunakan kata pedih sama sekali.”

Sampailah daku kepada kata-kata Ernest Hemingway yang kujumpai dalam buku ‘dongeng’ Sulak ini, “Kekuatan emosi tidak lahir dari kata-kata besar, ada kata-kata yang lebih simpel, lebih baik, dan lebih lazim, dan itulah yang digunakan. Kemudian Sulak mengutip ungkapan Isaac Asimov, bahwa rahasia menulis produktif adalah menulis dengan simpel dan apa adanya, yakni dengan menjadi diri sendiri. “Anda hanya bicara dengan cara yang mudah dipahami, dan dengan gaya apa adanya (kecuali Anda politisi yang terbiasa di panggung dan menganggap teman Anda adalah konstituen partai Anda).” Lagi-lagi Sulak ‘menyengat seperti lebah’, menyindir politisi yang selalu berbelit-belit dalam membela pendapatnya.

Sulak sadar bahwa dirinya penuh kekurangan, terlepas dari segala pencapaian hebatnya. Maka aku memahami, bahwa cara terbaik menunjukkan tip menulis kreatif adalah dengan menunjukkan bacaan atau kutipan hebat dari para penulis hebat dunia, sebagaimana yang dilakukan Sulak pada ending bukunya, ia mengutip tulisan Malcom X yang diterjemahkan dari “Coming to an Awareness of Language” yang dimuat dalam Language Awareness. Di dalamnya menunjukkan kesederhanaan kata-kata yang digunakan Malcom X, perjalanan pengetahuan dan pembelajarannya yang justru banyak diambil ketika dirinya di penjara, sehingga satu-satunya cara untuk meningkatkan kemampuan apapun dalam hidup adalah dengan cara melatihnya.

Bila ada pertanyaan, apakah sembari menulis ‘Bukan Sinopsis’ ini, aku sambil mempraktekkan kiat-kiat menulis kreatif a la Sulak? Bisa iya bisa juga tidak. Aku juga hendak berapologi bahwa aku adalah tukang bangunan yang sedang membangun, sembari melihat gedung indah yang sudah jadi! Namun yang pasti, sekaligus pula aku sedang mempraktikkan prinsip Isaac Asimov dengan menulis secara simpel dan apa adanya. Menjadi diri sendiri. Diterima? Diterima? Heuheu.

Meratapi Takdir

Oleh: Nurhidayah

 

Malam yang sunyi…
Jangkrik-jangkrik asik bernyanyi
Kutatap Dewi malam begitu berseri
Sekejap kubergeming teringat pada Si jantung hati yang usai ditelan bumi

Garis takdir masih kuratapi walau pagi usai berganti
Mengikhlaskannya teramat menikam
Melupakannya teramat mencekam
Haruskah rasa ini kuhanyutkan bersama ombak yang menari-nari?

Perkara hati memang bak benang kusut
Terlalu rumit tuk dijabarkan
Tak seperti bilangan desimal yang mudah dipecahkan
Cukup dibulatkan jawaban sudah ditemukan

Apa Kehendak Kita?

aldiantara.kata

Apa yang hendak kita rayakan, selain kehidupan yang semakin suram. Apa yang hendak kita peringati, selain keadilan yang t’lah lama mati. Apa yang hendak kita ramaikan, selain berziarah dan berdoa di pemakaman, tentang korban-korban pandemi yang silih bergiliran.

Kita sibuk menertawakan pledoi terpidana.
Kita sibuk menertawakan kehendak kita yang sebatas ceramah kosong.

Merah putih melangit malu-malu. Si miskin masih menghormat dengan khusyuk, sembari beriman kepada sila keadilan sosial. Bernyanyi dengan suara bergetar antara lapar dan teror aparat yang bertanya perihal rumah bantaran sungai cemar yang segera digusur. Juga usaha mikro yang merana dijahili aturan lawak.

Indonesia raya berkumandang terlebih dahulu instrumentalia-nya. Orang-orang lupa lirik, seakan lupa tanah airnya. Terlambat mengikuti nadanya. Siapa yang menggadai negeri ini kepada asing? Kehendak kita adalah kehendak pemodal dengan penawaran yang sesuai.

Pemuda pemudi Rengasdengklok mendesak segera merdeka. Pemuda pemudi kini mendesak lapangan kerja. Lapangan upacara belum penuh sedialalu, tusuk hidung dulu, uang recehan tak genap hingga kemudian jaminkan ginjal.

Tolong jangan bahas Dwitunggal Sukarno-Hatta pada pidato upacara.

Tiada tanah tumpah darah, tanah milik pemodal. Apa kehendak kita, kehendak kita adalah kehendak yang sejalan dengan kekuasaan. Kemerdekaan kini adalah penangkapan-penangkapan kritikus pemberi saran, mereka yang berani bersuara dibungkam dengan ancaman persekusi dan ragam siksaan. Kita manusia manusia yang dipaksa tak boleh berkehendak. Apanya yang merdeka. Apanya yang berdaulat dan cita cita keadilan sosial yang luhur.

Jangan-jangan penghormatan kita kepada merah putih adalah baliho yang penuh kepalsuan. Penghormatan kepada merah putih adalah kepentingan-kepentingan lima tahunan serupa wujud bhakti mengabdi diri sendiri. Hanya ibu pertiwi yang tak kunjung menurunkan tangannya dalam penghormatan sebagai dirinya sendiri. Manusia berbakti kepada tanah tumpah darahnya, tidak kepada pemangku kuasa yang menindas.

Ah, menghormat jangan sebagai profesi, apalagi menjadi twibbon-twibbon pencitraan yang busuk! Seolah menghormat, padahal berkhianat!

Apakabar tanah airku yang malang. Sesakit apa korporat-korporat mengekangmu dari kemerdekaan. Perjuangan dahulu mengangkat senjata dengan musuh yang sama dari negeri yang nun jauh. Perlawanan masa kini terhalang ragu melawan kenaifan bangsa sendiri.

Pemuda-pemudi mendesak dwitunggal untuk segera merdeka di Rengasdengklok, proklamator bersiap bacakan naskah buah pikirannya. Naskah piutang negara kini menjadi tanggungan anak cucu nanti. Naskah pekerti siapa mau mengabdi.

Apa kehendak kita?
Negeri merah dan putih berjalan tertatih. Tahun ini masih bermasker dan biaya PCR mahal. Pendidikan masih lesu. Lapar dan takut mati menjadi pekikan meriah setelah kata, “merdeka!”

“Merdeka!” diteriakkan dengan lantang dan hampa. Seni bertahan hidup menjadi perlombaan menjanjikan. Siapa yang hendak merdeka duluan? Cari orang dalam! Jarah tiap tiap kesempatan. Sikut yang berpotensi ancaman. Cinta tanah air mewujud menjadi cinta pragmatis!

Bukan tidak percaya kepada harapan, melainkan sudah terlampau mual dengan janji-janji pada baliho sepanjang desa. Pengkhianatan terhadap bangsa kerap sulit terobati, namun penderitaan rakyat bukankah harus segera ditangani. Agar kesenjangan sosial tak kian menganga. Nyiur tanaman kelapa menemukan kemerdekaannya tak jadi penghias jalan. Serta, kehendak putra putra bangsa yang menemukan jalannya untuk mewujud.

Meja Belajar Kehidupan

aldiantara.kata

 

Meja belajar itu sendiri, terbuka dan terhampar. Tak hanya terbuat kayu, maupun besi, ia terhampar dari apapun di atas bumi.

Di atas meja belajar, seorang anak tersedu sedan tak kuat menghadapi lelahnya belajar. Dalam pengawasan orangtuanya, kini tangan dan teguran orangtuanya sendiri yang memberikan pengajaran. Duduk saling berhadap hadapi ketidak-nyamanan.

Ibu sedikit emosional bercampur iba. Anak banyak menguap dan tak konsentrasi. Mainkan pulpen dan menggambar di belakang buku tulisnya.

Sudah pagi-pagi sekali mandi dan bersiap-siap. Bantu Ibu siapkan makanan untuk Bapak. Rumah menjadi sekolah pertama kembali.

Kemudian duduk, pantatnya bergoyang tak nyaman lama-lama dengarkan pelajaran. Pelajaran dari ibu terlalu serius dan terdengar menekan.

Berat sekali rasanya untuk mendengar, susah sekali rasanya untuk mengikuti keinginannya.

Sebelum semua kembali  kepada keadaan biasanya, sebelum kehangatan yang sesungguhnya menjadi dingin. Kebuntuan-kebuntuan menemukan jawaban matematika kala bersiap menghadapi ujian. Seringkali lebih terjal menemu jalan buntu dalam menguasai dendam dan menerima pengkhianatan dalam kehidupan.

Apa makna kehidupan dan cinta, sebagaimana seperti yang kupahami mengenai ambisi dan sikap kompromi.

Apa makna dari kematian, sebagaimana kepedihan seorang Bapak yang terlebih dahulu ditinggal anaknya, memandikan, hingga mengantarkannya ke pusara.

Apa makna kehormatan diri, keluarga, serta apa makna memperjuangkan cita dan cinta?

Apa makna pertemanan sebagaimana banyak orang seakan berkoalisi mengatasnamakan persaudaraan sepersukuan sepersusuan.

Di meja belajar di mana Ibu menekuni buku dan memberi teladan. Di meja belajar di mana Bapak bekerja dan ajarkan perihal tanggung jawab.

Ibu selalu bercerita dan membanggakan buku-buku yang menjadi hadiahku saat juara kelas. Bapak yang selalu bertitip pesan agar aku menjaga kekasihnya yang esa.

Ibu dan Bapak pernah sampaikan keinginan pada masa senja, mereka hendak habiskan waktu pada sebuah rumah sederhana yang dinding-dindingnya dipenuhi buku-buku dan sepasang meja kursi  menunggu fajar.

Di meja belajar, seorang Ibu senang mengenalkan anaknya penderitaan dalam belajar. Tangisan anak terdengar merdu. Dalam ketidaktahuan apakah kelak setelah dewasa akan menjadi seorang penentang atau pergi jauh dari orangtuanya. Kemudian datang, bahkan di atas pusara, kedua orangtua tetap menjadi simbol cinta yang tulus menunggu anaknya tiba, enggan diberi, selalu ingin memberi.

Bila akan menikah nanti, rasanya ingin mengajak Bapak dan Ibu pergi ke tempat yang hening dan sunyi. Mendengar langsung nasihat-nasihat mereka tanpa ada yang melihat tangisan kami dan sampaikan maksud yang baik. Tidak menjadi klise nasihat pernikahan gunakan pengeras suara di depan banyak hadirin, bahkan saudara dekat, menjelang atau setelah akad.

Bila akan menikah nanti, aku tunduk menghadapi keheningan, Bapak dan Ibu yang sedikit terbata-bata hingga mengalir bercerita. Tak lama lagi rumah akan segera hening. “Aku anakmu, Pak, Bu.” yang akan terasa asing dan seakan bukan milik mereka sepenuhnya lagi. Tragis sepertinya, sudah sejauh-jauh, selama-lama merantau, pulang hanya bermaksud mengutarakan hendak menikah. Kemudian berpisah. Tiada banyak waktu habiskan momen bersama. Meskipun nasihat-nasihat terbaik tertinggal pada memori yang tersimpan rapi sebagaimana mata pandang yang mengcapture, segala teladan yang tak semua bisa ditiru.

Sementara di jalan sebuah desa, ibu yang mengajari seorang anak sepeda roda dua. Ia berjalan sembari memberi semangat kepada anak agar terus mengayuh dan menjaga keseimbangan. Sementara ibu masih menggendong adik dari si kakak yang terjaga dalam tidurnya.

Meja belajar terhampar di atas panggung kehidupan. Memanjang di atas perjalanan waktu dan sisa umur. Bila dadamu terasa sesak, apakah ketulusanku mencintaimu dapat menjadi tambahan nafas, Bu, Pak?

Substansi Agama yang Terlewatkan dari Pamflet Kemenag Soal Covid!

aldiantara.kata

 

Pamflet Kemenag Soal Covid

Pamflet yang dibuat Kemenag mengenai covid tersebar di media sosial. Pamflet-pamflet tersebut di dalamnya mengutip beberapa hadis yang menguatkan peraturan protokol kesehatan selama pandemi. Di antaranya memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan, membatasi interaksi, serta menjauhi kerumunan.

Kemenag memahami beberapa hadis Nabi saw. yang dianggap sesuai dengan konteks kini dalam menanggulangi pandemi covid-19. Hal ini membuktikan makna universal hadis yang relevan seiring berjalannya waktu yang dinamis.

Pertama mengenai memakai masker, Kemenag mengutip hadis, “Tidak boleh membahayakan/merugikan orang lain dan tidak boleh (pula) membalas bahaya (kerugian yang ditimbulkan oleh orang lain) dengan bahaya (perbuatan yang merugikannya).” (HR. Imam Malik, Kitab Peradilan)

Kedua, mengenai menjaga jarak, Kemenag mengutip hadis, “Jangan campurkan (onta) yang sakit ke dalam (onta) yang sehat.” (HR. Imam Bukhari, Kitab pengobatan)

Ketiga, mengenai mencuci tangan, Kemenag mengutip hadis, “Jika seseorang dari kalian bangun dari tidurnya, maka hendaknya tidak memasukkan tangannya dalam bejana sampai dia membasuhnya tiga kali karena sesungguhnya dia tidak menyadari di manakah posisi kedua tangannya semalam.” (Imam Bukhari, Kitab Wudhu)

Keempat, mengenai membatasi interaksi, Kemenag mengutip hadis, “Jika kalian mendengar wabah tersebut menjangkiti suatu negeri, maka janganlah kalian menuju ke sana, namun jika dia menjangkiti suatu negeri dan kalian berada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar dan lari darinya.” (HR. Imam Bukhari, Kitab Pengobatan)

Kelima, mengenai menjauhi kerumunan, Kemenag mengutip hadis riwayat Imam Bukhari, “…dan larilah dari penyakit kusta seperti engkau lari dari singa.”

 

Substansi agama yang terlewatkan

Apa yang dilakukan oleh Kemenag sebagaimana sebaran pamflet-pamflet mengenai pentingnya untuk taat kepada protokol kesehatan yang sejalan dengan hadis-hadis Nabi, barangkali senada dengan kutipan menarik dari pandangan Ashgar Ali Engineer, bahwa mengikuti sunnah Nabi, “berarti menggali makna dan menangkap semangatnya dalam rangka menyelesaikan persoalan-persoalan kehidupan yang ruwet dan kompleks sesuai dengan kemampuannya.”

Bukan karena agama tidak saja melayani kekuasaan, namun sepertinya  keadaan genting di mana imbas ekonomi yang ditimbulkan menjadikan keadaan kini sedemikian mencekam. Lantas kemana agama kini menghadap, agama pada fungsi ritual pribadi, pelipur lara, menjilat kekuasaan, atau menjadi martir yang mendorong pembebasan dari kemiskinan?

Sejak April hingga kini, berita mengenai para mafia alat kesehatan begitu berjebah. Persoalan serius yang tidak hanya harus ditindak secara hukum, namun juga dikutuk secara agama. Mereka menimbun dan mendapatkan laba melimpah dengan menimbun alat kesehatan yang beberapa di antaranya kian langka, sementara di samping dampak ekonomi yang kian sulit, masyarakat satu per satu kehilangan orang-orang yang disayanginya.

Bernyalikah para ulama yang kini memiliki wewenang pada jajaran kementerian agama menghukumi para mafia tersebut sebagai kafir, apapun aliran agamanya? Perhatikan bagaimana Bani Sadr mendefinisikan kata ‘kufr’, ‘kufr’ berarti “berusaha menancapkan dominasinya dan menindas golongan masyarakat lemah. Termasuk dalam hal ini adalah para penimbun, mafia alat kesehatan, yang memonopoli alat-alat produksi, mengeksploitasi sesama manusia.

Pada sisi yang lain, dalam penjelasan Ashgar Ali Engineer, agama bisa menjadi sumber motivasi yang kuat untuk menggulingkan status quo. Seperti Budha, Yahudi Kristen dan Islam adalah agama yang menentang status quo. Agama mendorong terciptanya tatanan baru yang revolusioner. Yahudi pada zaman Nabi Musa menentang raja Fir’aun yang kejam, adapun Kristen di Filipina merobohkan Marcos.

Sementara Islam secara historis kedatangannya menjadi tantangan yang membahayakan para saudagar kaya Mekah yang kerap bersikap arogan dan mabuk kekuasaan. Mereka tidak menghargai kaum miskin dan menindas kaum lemah, maka Islam mengutuk penimbunan kekayaan, menghapus perbudakan, mengangkat derajat perempuan dan senantiasa berpihak kepada kaum terpinggirkan.

 

Perhatikan kondisi masyarakat kini

Pada sebuah hadis riwayat Bukhari, Nabi Muhammad saw. bersabda, “Orang-orang sebelum kalian menjadi binasa karena apabila ada orang dari kalangan terhormat (pejabat, penguasa, elit masyarakat) mereka mencuri, mereka membiarkannya dan apabila ada orang dari kalangan rendah (masyarakat rendahan, rakyat biasa) mereka mencuri mereka menegakkan sanksi hukuman atasnya…” (Hadis Riwayat Bukhari, kitab peradilan)

Berdasarkan hadis Nabi di atas hendaknya semangat beragama tidak lepas dari kondisi sosial yang selalu menyajikan permasalahan yang kompleks, sementara pemeluknya hendaknya menjadi martir yang memperjuangkan keadilan sosial, sebagaimana substansi beragama pada mulanya.

Pemflet-pamflet kemenag rasanya perlu banyak ditambahkan, tidak saja mendukung hal-hal normatif penyambung lidah kekuasaan, melainkan lebih berani menyentuh isu sensitif, mengatakan keadaan yang sebenarnya, serta mendobrak kebekuan keadaan dengan menggali substansi beragama berdasarkan hadis-hadis yang disampaikan kepada masyarakat.

Bila berani menyuarakan kepada bermasyarakat, ditambah mengutip hadis Nabi, agar masyarakat menjaga jarak, memakai masker, menghindari kerumunan, seharusnya Kemenag juga berani untuk mengutuk penimbunan alat kesehatan, memberikan alternatif pekerjaan bagi terdampak para pekerja yang dirumahkan, logistik kepada mereka yang kelaparan, memberantas rentenir yang kian memanfaatkan situasi, memberi rasa aman dan kabar gembira kepada masyarakat.

Oknum-oknum brengsek selalu saja ada! Mereka menyuap ketua BEM agar tidak berunjuk rasa, sehingga mengabaikan suara para pedagang kecil yang banyak disita barang dagangannya dan rentan mendapat kekerasan dari aparat. Lantas, di mana peran agama?! Jangan sampai agama direduksi maknanya dengan cukup memberi anjuran ‘kelas anak TK’, agar bermasker dan menghindari kerumunan saja.

Perhatikan beberapa hadis Nabi saw. selanjutnya, “Ada seseorang yang bertanya kepada Nabi saw.; “Islam manakah yang paling baik?” Nabi saw. menjawab: “Kamu memberi makan, mengucapkan salam kepada orang yang kamu kenal dan yang tidak kamu kenal.”

Nabi saw. juga bertanya dalam sebuah hadisnya, “Siapakah di antara kalian yang pagi ini sedang berpuasa?” Abu Bakar menjawab, “Aku.” Beliau bertanya lagi: “Siapa di antara kalian yang hari ini telah menghantarkan jenazah?” Abu Bakar menjawab: “Aku.” Beliau bertanya lagi: “Siapa di antara kalian yang hari ini telah memberi makan orang miskin?” Abu Bakar menjawab: “Aku.” Beliau bertanya lagi: “Siapa di antara kalian yang hari ini telah menjenguk orang sakit?” Abu Bakar menjawab, “Aku.” Selanjutnya Nabi saw. bersabda: “Tidaklah semua itu ada pada seseorang kecuali dia pasti akan masuk surga.”

Al-Qur’an surah Quraisy bila direnungkan sangat relevan pada masa kini, agar hendaknya memberi makan kepada yang kelaparan dan memberi rasa aman dari rasa takut. Nabi saw. bersabda, “Permudahlah dan jangan persulit, berilah kabar gembira dan jangan membuat orang lari.”

Substansi agama melalui hadis tersebut semestinya digali, direnung-pikirkan dan menyusun siasat secara kreatif agar terciptanya suatu gerakan atau kebijakan yang memiliki nilai kemashlahatan pada situasi yang tidak menyenangkan ini. Hadis-hadis di atas juga mengisyaratkan kedekatan secara psikologis dan emosional antara Nabi saw. dengan melakukan dialog langsung dengan para sahabatnya. Kalau hubungan kita, hmmm…

Masih rapat, Pak?

Terlahir Dungu

Oleh: Karina RSF

 

Apa benar kaum kami itu tumpul otak?
Hanya karena pengaruh paham yang terkotak,
Atau justru memang ada yang mengatak?
Ah, jangan sampai si lutut tanpa tatak

Apa salah kami?
Satu demi satu keturunan kami pun kalian hakimi
Belum lagi yang dicabuli,
Brengsek! Ku balas kau dengan kebiri

Mual mulut kami untuk selalu menunduk
Tanpa sadar kami pun terkutuk
Ah lihainya lidah para penguasa penduduk
Hanya dengan membual sembari tak henti menunjuk

 

Rindu yang Menggebu

Oleh: Nurhidayah

 

Kanvas…
Punggungnya kulumuri tinta
Dikala rindu datang menggebu
Kau kujadikan pelampiasan tak terbatas

Rindu yang menjalar diotakku
Terhampar dalam dinding yang membeku
Merebak kesegenap denyut nadi
Membuatku seakan mati berdiri

Kau memang terlalu indah untuk kulupa
Tapi aku harus bagaimana?
Merindu sendirian aku tak tahan
Semesta pun tak kunjung mempertemukan

Bertanggung jawablah wahai tuan atas rasa yang kau sita
Rawatlah cinta kita hingga berbunga
Jagalah agar tak layu ditelan waktu
Bunuh saja hama-hama yang mengganggu tak usah ragu

Gadis Mimpi Jelita!

Oleh: Azki Khikmatiar

 

Pada malam yang jelaga
Aku bermimpi bertemu
gadis berkacamata
Beraut jelita penuh tanya
Mempunyai lesung pipit
dengan mata sedikit sipit
Sungguh mempesona!
Laksana rembulan kala purnama
yang menerangi bumi manusia
Cahayanya mendamaikan jiwa
siapapun yang memandangnya

Kau! Gadis di mimpi itu!
Sepotong tawa kecilmu membuat
senyum lamaku kembali merekah
Tatap matamu seakan merupa
rumah tempat aku merebah lelah
Candamu yang candu tumpah ruah
laksana perayaan paling meriah
Ah! Semuanya begitu indah!

Ketika aku menjelma malam jelaga
kau menjelma gadis mimpi jelita
Menghirup harap dalam dekap
Menyapa sepiku diantarakatamu
Membawa pelita dalam gulita
Merawat renjana dalam nestapa
Ah! Apakah ini yang disebut cinta?

 

Jatinegara, 7 Agustus 2021