aldiantara.kata
“Kehidupan Masa Lalu”. Kau mencoba menerjemahkan film yang baru saja selesai kita tonton. Past Lives (2023).
“Bagaimana?”
“Relate. Kehidupan dewasa memang rumit. Tapi sejujurnya aku suka sekali dengan film-film suasana vintage. Dialog-dialognya ngga bertele-tele. Film yang seperti memberi ruang kepada aktornya untuk memakai bahasa ketiga, bahasa keheningan. Tidak terbatas kepada dialog antar lawan main. Sekejap seperti para aktor saling menatap. Namun kita yang menonton seakan paham dengan bahasa yang mereka ungkapkan melalui bahasa tubuhnya.”
“Film ini juga bergenre drama, tapi ngga lebay. Ini bisa jadi seperti mengajarkan hubungan yang dewasa, terbuka dengan pasangan, namun sekaligus juga membuatku ragu, apakah ada hubungan yang seterbuka itu? Iya sih memang, suami dari Nora memang memperlihatkan mimik cemburu dan frustasi, seakan-akan ia merupakan sosok jahat yang mengambil takdir untuk mengawini Nora, merebut dari Hae Sung, teman masa kecilnya. Tapi rumitnya toh aku yakin Nora hendak mengatakan bahwa ia masih ada rasa dengan Hae Sung, namun ia memilih untuk ngga diungkapkan. Sebaliknya, ia tetap memilih Arthur dan mencintainya.”
Aku mendengarkan ulasanmu sembari meminum es kopi.
“Bayangkan, menurutku ini film dengan alur sederhana dan masuk akal. Namun sekaligus juga memberikan ruang kepada penikmat filmnya untuk memberikan penafsiran-penafsiran.”
“Cerita cinta masa kecil. Aku selalu membayangkan bahwa ada hubungan yang belum usai. Di mana perasaan itu pernah tenang pada sebuah kolam yang bernama ingatan.”
“Sesekali ia pernah keruh, kerapkali langit ingatan berwarna kelabu, yang menjadikannya nampak tenang, pada kedalaman.” Aku menyela.
“Tentu aku harus menonton lagi, untuk yang kedua kali, ketiga kali, keempat kali, kelima kali…”
“Gawat, jangan-jangan film ini sama nasibnya seperti Titanic dan Ada Apa Dengan Cinta 2 yang kau putar berulang-ulang.” Ujarku.
Kemudian, kau memintaku untuk menafsirkan capture-capture gambar yang telah kau ambil selama menonton film.
Kisah masa kecil.
Perasaan saling suka.
Ia pernah bersemi. Pada sebuah taman. Pernah saling sembunyi, namun masing-masing saling menemukan perasaannya yang menjadi cermin bening.
Terpisah belasan tahun. Kisah yang sudah terlanjur berjalan menemukan takdir masing-masing. Menyadari tentang in-yun (nasib dalam budaya Korea). Hingga akhirnya Hae Sung pergi ke Amerika untuk menemui kekasih masa kecilnya yang sudah menikah dengan Arthur. Keduanya seakan tidak percaya pada akhirnya mereka dipertemukan kembali oleh takdir. Takdir usia mekar bunga teratai.
Sementara Hae-Sung pernah menjalin hubungan dengan seorang yang lain, namun hubungan mereka putus.
Berdua berpelesir menuju tempat yang ramai, di mana kata-kata dapat dengan mudah menggapai langit. Engkau perhatikan bagaimana seorang pecinta menatap?
Tempat yang bahkan belum pernah dikunjungi oleh Nora dan Arthur. Nora dan Hae Sung kesana.
Aku teringat bagaimana Nora bercerita perihal pernikahannya. Ibarat menanam tanaman dalam satu pot. Seperti menggambarkan sesuatu yang menyenangkan sekaligus rumit.
Bila engkau berada pada posisi seperti Nora dan Hae-Sung, apa yang akan kau lakukan? Bertindak seperti Hae-Sung, menikmati takdir cinta seusia mekar kembang teratai, atau apa. Seperti Rose dalam Titanic yang mengatakan bahwa kedalaman hati perempuan sedalam palung lautan yang tak bertepi.
Namun Nora memilih melanjutkan hidup dan memperjuangkan tujuan-tujuannya untuk meraih penghargaan Pulitzer.
Menuju penghujung waktu pertemuan, selalu ada, terselip bahasa-bahasa kejujuran. Di mana para pecinta berusaha menahan waktu.
Lalu masing-masing pecinta memilih untuk menahan air matanya masing-masing.
Jika tersisa dua menit menuju perpisahan yang panjang. Tanpa tahu kapan waktu bertemu, engkau akan memilih diksi apa selain template sampai jumpa?
Tinggalkan Balasan