Bulan: Februari 2020

Utopia Cinta Berkeadilan Sosial

“Memang mau ngasih makan suami dan anak-anak, apa?” Dunia dan era modern dieluk-elukkan sebagai gejala positif. Ungkapan yang bertahan tetap saja, “Mau ngasih makan istri dan anak-anak, apa?” tanya kepada seorang lelaki lajang. Stigma dipertahankan, bahkan di benak seorang perempuan karir bergaji berlipat-lipat di atas UMR. Perempuan tidak sedikit menetapkan kriteria mutlak untuk menjadi pendampingnya agar ‘setara’ dari segi penghasilan, bahkan harus di atasnya dengan dalih lelaki bertanggung jawab terhadap segala hal dalam bangunan rumah tangga. Kalau pun memang ada pemikiran perempuan yang seperti ini, tentulah pemikiran tersebut menyebalkan.

Dengan sendirinya lelaki-lelaki bersaku egaliter terfilter. Lelaki mana memujanya berpikir keras agar menghasilkan gaji a la kapitalis. Oh oh cara instan memang berisiko. Tentu upaya membangun tidak dimulai dari logika perkulian. Membangun pondasi kuat dengan besi, semen, pasir, kerikil dan batu bata. Solusinya: begal, rampok dan korupsi. Sudahlah, cara tersebut memang terkesan mengada-ada…yang memang ada. Akan tetapi, poin penting tulisan ini, mengapa tidak familiar ungkapan, “Mau ngasih makan suami dan anak-anak, apa?”

Pasangan mana yang tak mengidamkan pernikahan sebagai langkah berikutnya setelah proses saling mencinta. Patut pula dipertimbangkan kata-kata Sujiwo Tejo, kurang-lebih ‘Menikah itu nasib, mencintai itu takdir, seseorang bisa merencanakan nikah dengan siapa, tetapi tidak bisa ia rencanakan cintanya untuk siapa’. Kupahami dengan akal dangkalku, cinta dan pernikahan memang tidak selalu berbanding lempeng, tetapi apakah salah satu penyebabnya adalah karena urusan perekonomian lelaki yang harus mapan. Tidak ada yang tahu. Aku pun tidak bisa meminta bantu kepada ilmuwan untuk menjawabnya lantaran sibuk menangani virus corona. Tidak pula kepada ‘ustadz’ karena takut dianggap kafir karena mengingkari ayat al-rijalu qawwamuna ‘ala al-nisa.

“Mau ngasih makan suami dan anak-anak, apa?” sebuah ungkapan yang bukan dimaksudkan perempuan agar cuma bisa memasak. Lebih dari itu, hal ini persoalan mental dan kesadaran perekonomian tiada lain menjadi keniscayaan dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan. Perempuan kaya menikahi lelaki kaya. Perempuan miskin tiada pilihan lain. Adakah cinta berkeadilan sosial, seperti halnya perempuan kaya menikahi lelaki miskin dengan itikad memajukan perekomian bangsa. Ah bullshit. aku lupa. Cinta memang hal rumit. Kata Sujiwo Tejo, ‘seseorang memang tidak bisa merencanakan cintanya untuk siapa’. Tetapi untuk menikah, nanti dulu. Cinta berkeadilan sosial barangkali hanya ada pada cinta seorang tante/janda kaya kepada brondong. Dan seorang Om pengusaha kepada wanita malamnya.

Pejalan Kaki

Manusia memuja kesempurnaan. Menghindari terik panas, memuja pada peradaban keberadaan majunya teknologi kekinian. Seorang pejalan kaki menghindari pemotor melawan arah. Pada pagi hari sekitar pukul setengah enam. Tidak ada pejalan kaki lain, selain…orang majenun. Apa sebab musabab orang gila terlihat ramai tidak seperti biasanya. Para pelajar tidak banyak berjalan kaki menuju bangku sekolahnya. Orang tua menitipkannya kepada ojek online. Banyak rumah yang hilang ketika seseorang di atas kendaraan. Bahkan tidak menyadari keberadaannya ketika ia sedang berjalan.

Seorang pelajar kini bangga menggunakan kacamata. Seseorang pada masa dahulu bahkan menyebutnya sebagai aib. Kacamata dahulu seakan simbol kecerdasan. Kini adalah isyarat kritik sosial terhadap pembangunan membabi-buta. Mata terbatas pandangannya. Kaum papa bersembunyi dibalik gedung pencakar langit. Buruh bangunan membangun hotel. Pada malamnya pondong rumah kehujanan genting bocor. Upah mereka diberi dengan guyon dan ucapan terimakasih. Anak bos perusahaan hotel sudah kaya sejak dalam kandungan. Uang dimonopoli. Santunan sebagai pencitraan dan penegasan kedermawanan.

Sebagian pelajar dasar diantar oleh Ayah menuju sekolahnya. Pemulung mengais rezeki melalui satu tong sampah menuju lainnya. Sampah menjadi permasalahan serius. Tidak desa-tidak kota. Tidak saja menjadi berita yang diblow-up mengalihkan permasalahan politik. Sampah kini menjadi ‘sahabat’ bagi ekologi. Sampah menjadi ‘kreatifitas’ gagal manusia dalam menjaganya. Sang pejalan kaki berkata dalam hatinya, ‘…Agar tidak menumpuk. Seharusnya sampah tidak dibuang. Manusia harus bisa mengolah sampahnya sendiri. Sampah jangan menjadi rezeki bagi manusia papa.’ Rumah-rumah kini tidak ada yang menyediakan tempat sampah.

“Maaf, Nak, Bapak ngga bisa antar kamu ke sekolah gunakan mobil. Ndak dapat izin dari kepolisian. Teman-temanmu sudah pergi duluan ke sekolah.” Seorang ayah tidak bisa gunakan mobilnya di jalanan. Mobil kapasitas empat orang, harus diisi empat atau lima orang agar mendapat izin kepolisian. Warga tidak bisa semena-mena gunakan kendaraannya. Dua hari silam polisi menilang kendaraan. Tidak lagi karena razia atau pelanggaran rambu lalu lintas, melainkan karena sebuah mobil hanya diisi oleh satu orang. Kepolisian mewajibkan jalan kaki atau onthel, dibanding harus ‘bermanja’ dengan kendaraan.

Anak harus terlambat ke sekolah karena berjalan kaki. Guru tidak memarahinya. Guru katakan, “Sepanjang perjalanan apakah kamu melihat orang yang lapar atau dilanda rasa takut?” Setelah menjawab, sang guru yang tak berpenampilan sepertinya halnya guru, mengumumkan pelajaran selanjutnya adalah pendidikan agama. Pertemuan sebelumnya membahas mengenai sirah Nabi Muhammad saw. Semua anak dari berbagai agama, dengan antusias mendengar cerita dari guru mengenai keteladanan Nabi dalam membela orang-orang lemah ekonominya. Giliran pertemuan kali ini adalah pembahasan mengenai agama hindu. Giliran Mahatma Gandhi menjadi pembahasan dan keteladanannya mengenai konsep ahimsa.