Bulan: Juni 2022

Mencari Puisi Di Penghujung Bulan Juni

aldiantara.kata

Pada penghujung Juni. Suatu kira, anggapan, akan menjadi bait yang akan menjadi pelengkap. Tidak ada klimaks malam ini. Terlelap saja. Di antara kata. Membaca puisi-puisi Sapardi pada bulan Juni. Sudah menjadi masa lalu yang tak menjadi. Bait-bait yang terulang. Penjara bagi kata-kata. Kau kira bayang tubuh kita ada pada satu bayang gelap yang beradu. Rencana-rencana, yang pernah menjadi selintas, tanpa mau mengetuk pintu. Ada apa di sana? Spasi ganda pada bait pada mesin ketik, yang tertulis secara terburu-buru. Mengakhiri bulan Juni, yang tinggal setarikan nafas, selempar batu kepada bulan mendatang. Waktu barangkali menjelma sebagai rindu, yang sama, tak bisa berhenti, pun dihentikan. Di mana orang-orang meninggalkan harapannya, pada kegagalan di mana mereka tak cukup kuat untuk bertahan, barangkali mereka memiliki diksi untuk kujumput.

Semua waktu menjadi penghujung. Semua takut, semua terburu. Semua ingin memburu, sekaligus takut kehilangan kepada apa yang telah direngkuhnya secara serakah.

Wi-Fi

aldiantara-kata

Tidakkah kata-kata itu kini menjadi dingin. Tidakkah kata-kata itu kini hendak kau dengar sekali lagi. Padahal sudah jam untuk berpulang, namun masih tetap saja harus menggendong desah gelisah. Setiap kali engkau membukakan pintu, setiap kali langit malam yang mendekap para pekerja untuk lekas merebah. Orang-orang menitip puisi pada ingatan mereka. Kesulitan yang pada akhirnya kita tertawakan. Meski tak seorang pun akan membaca biografi dirinya sendiri. Bagaimana jika hidup ini bukan soal pembuktian. Apakah kata-kata bagi penyair adalah sebuah tuntutan. Atau ia akan hadir sebagai tamu, yang diundang oleh kesedihannya.

Kita selalu memperhatikan jam, lalu merasa sesal dan diburu gesa. Tidak ada yang tertinggal. Berhenti menuntut dan syukuri masih ada waktu. Sudah memesan segelas teh di angkringan selatan lampu merah? Kita harus duduk berbeda bangku agar aku tak terkesan sedang menghibur. Lekas api dalam dada mulai perlahan mengecil oleh sapuan angin malam.

Tidak apa-apa bila minumanmu sudah hampir habis. Tidak apa-apa untuk memesan lagi. Toh suasana nampak temaram. Tidak enak untuk engkau urat-oret diksi menambal sulam kata-kata di sini. Bila setiap kegelisahan engkau tangkap dan jadikan draft, kita hanya akan lelah mengeksekusinya satu per satu. Lalu merasa gagal sebab ada satu yang belum berbuah puisi. Penyair bukan sebuah profesi. Iya, kan? Ya, kan? Atau dapatkah kita mengatakan bahwa ia merupakan suatu ‘panggilan’?

Engkau pernah berharap bahwa tempat sakral semacam angkringan tidak boleh disusupi teknologi bernama Wi-Fi. Agar tak seorang pun silau sendiri dengan cerahnya layar ‘dajjal’. Sesekali suara TikTok bocor sebab lupa kecilkan volume.

Hmm. Barangkali engkau lupa. Sedari tadi kau malah aktifkan hotspot pribadi. Berapa banyak device yang tertambat? Sepertinya banyak yang hinggap. Adakah akses gunakan password? Adakah engkau membatasi? Bolehkah aku ikut. Ternyata sedari lama kita saling tertambat oleh sinyal-sinyal kita. Tapi tak ada data di dalamnya. Kita terhubung namun kosong.

-Berapa semua, Pak? (*tanyaku pada penjual angkringan)

+Perihal rasa, kau akan terus merasa berhutang, Mas.

Tidakkah kata-kata itu kini menjadi api. Setidaknya menghangatkan malam ini.

Cahaya Bulan

aldiantara.kata

Setiba-tibanya rindu bermandikan cahaya bulan. Terangnya kini tergantikan gemerlap kota. Ia ketika padam, baru terlihat terangnya. Maka kapan suatu sesaat yang dikatakan nanti, mengunjungi kembali pasak-pasak bumi. Mencecap kembali wangi tanah, serta melihat kota sebagai kunang-kunang cerminan langit saat bertabur bintang. Sehening-heningnya, deru nafas memburu kepada puncak. Lalu turun dengan menabung udara-udara gunung, di bilik paru yang tersedia. Wangi belerang, beberapa daun yang luruh tak sengaja untuk mau gugur. Sisanya terjaga pada alam masing-masing. Mengucap permisi, raut kepenatanku diterima alam. Meminta sedikit minum kepada mata air. Tidakkah engkau juga rindu?