Bulan: Januari 2021

Monolog (W)ak(t)u

Oleh: Azki Khikmatiar

 

Pada persimpangan waktu ini,
Apa yang sebenarnya sedang aku cari?
Apakah sekadar pendidikan tinggi dan pekerjaan bergengsi?
Ataukah seorang perempuan yang menjadi tempat kembali?
Atau mungkin lebih jauh lagi?
Tapi, bagaimana jika sesuatu yang sedang aku cari
adalah sesuatu yang bahkan tidak pernah pergi?
Ah, sial! hidup manusia seakan-akan harus sesak
oleh pertimbangan dan kekhawatiran saban hari!

Pada persimpangan waktu itu,
Apakah hidup terlihat adil bagiku?
Ataukah hanya adil bagi orangorang tertentu?
Setelah aku melalui jalanjalan panjang yang berliku
Menghuni kota yang berisi tubuhtubuh lebam membiru
Memahami kebaikan dari empedu yang getirnya tak menentu
Menziarahi keindahan dari pisau yang menyayat tubuhku
Aku harus percaya! bahwa adilnya hidup justru adalah
hidup yang tak pernah adil bagi siapapun, termasuk bagiku!

Pada persimpangan waktu ini,
Ternyata hidup sesederhana pertemuanpertemuan di kedai kopi
Ada perempuan yang menghabiskan waktunya untuk menulis puisi
Ada lakilaki yang katanya akademisi sedang sibuk berdiskusi
Ada seorang pengusaha yang bisnisnya tersebar dimana-mana
Ada seorang pengangguran yang masih menikmati kehidupannya
Dan ada banyak sekali manusia dengan kehidupan yang berbeda
Lantas, masih mau menganggap perbedaan adalah kesalahan?
Ah! Persetan!

 

Condongcatur, 28 Januari 2021

Satu Nafas Dua Cinta dalam Asmaraloka

Oleh: Abenza’idun

 

Hujan.

Selagi masih musim hujan, menarik rasanya kita menambahkan bumbu pelengkapnya, iya puisi. Puisi masih menjadi jalan alternatif terbaik yang merupakan output dari ekspresi hati. Apalagi, kala musim hujan seperti ini. Hati akan auto-puitis, terlebih pada muda-mudi yang lagi kasmaran. Tidak hanya muda-mudi saja, karena yang dewasa maupun tua terpantau juga demikian. Mereka seketika menjadi penyair dadakan tanpa undangan. Namun, terkadang mereka tidak menyadari itu.

Membahas tentang puisi, cukup banyak buku antologi puisi yang familiar, semisal Aku Ini Binatang Jalang karya Chairil Anwar, Hujan Bulan Juni karya Sapardi, Puisi-puisi Cinta karya W.S. Rendra, Surat Cinta dari Rindu karya Candra Malik, Selamat Menunaikan Ibadah Puisi karya Joko Pinurbo, dsb. Namun, kali ini aku tidak sedang ingin membahasnya, hati tertuju pada sebuah buku antologi puisi karya sastrawan muda yang belum lama ini launching. Seingat saya pada 12 September 2020 di Kafe Main-main Jogja. Buah karya dari Usman Arrumy atau biasa disapa Gus Usman yang berjudul Asmaraloka: Puisi, Nada dan Cinta. Berisi 52 puisi yang ditulis antara tahun 2013-2020.

Secara keseluruhan Usman membawakan puisi-puisinya dengan bahasa yang cukup sederhana. Saking sederhananya justru sarat akan makna. Namun, tetap mudah dipahami tanpa harus menganiaya kamus dengan membolak-balikkan halaman per halaman.

Demi mata yang diciptakan
Untuk memandang matamu

Demi hati yang diciptakan
Untuk menanggung kesedihanmu
Aku bersaksi bahwa tiada cinta selain engkau.
(Kesaksian)

Kelopak mawar seketika layu
Begitu kusebut namamu

Bila kelak kehabisan suara
Aku akan menyerahkan namamu
Kepada mulut waktu
Dan berdetak di jantungku
(Namamu)

Mungkin, suatu waktu
Tuhan akan mengelus wajahku melalui tanganmu

Aku jadi berharap bahwa kelak, entah kapan
Tuhan akan mencintaiku melalui hatimu
(Asmaraloka)

Usman terlihat sengaja menggiring imajinasi pembaca selain untuk mencinta kepada yang dicipta sekaligus pada yang Mencipta. Dengan kata lain, mencintai keindahan ciptaan tuhan (eros) sebagai kekasih hati, menjadikan etos (keyakinan) terhadap yang Maha Rahman-Rahiim. Sehingga membentuk imanensi keajaiban Tuhan yang transendensi. Seperti yang diungkapkan oleh Jokpin (Joko Pinurbo) pada bagian pembukaan bahwa,

“Cinta dalam sajak-sajak Usman sering bermakna taksa pada saat dan ruang yang sama. Ketika ia berbicara tentang kekasih, kau dan mu, misalnya. Bisa tertuju sekaligus kepada kekasih sebagai persona insani dan ilahi. Dengan kata lain, sajak-sajak Usman acap kali memadukan cinta imanen dan transenden dalam satu tarikan makna.

Kalau orang jawa menyebut ngiras-ngirus (sekalian) atau dalam peribahasa sekali dayung, dua-tiga pulau terlampaui.

Dari 52 puisi, Usman juga menyajikan musikalisasi pada delapan puisi (prolog, kesaksian, doa, asmaraloka, huruf cinta, rahasia cinta, sabda cinta, kidung kekasih dan jalan). Audionya dapat didengarkan dengan memindai kode QR pada halaman masing-masing pojok atas. Dengan adanya musikalisasi, pembaca tidak sekedar berimajinasi dengan visual belaka, melainkan juga meresapi lewat audio. Agar pengembaraan para pencinta benar-benar mengena dan terhipnotis seketika.

Namun sayang, menurut saya, ada kekurangan dari musikalisasi puisi tersebut. Karena dari beberapa puisi yang dimusikalisasikan, justru kehilangan marwah daripada puisi itu sendiri. Seakan tidak ada bedanya dengan sebuah lagu. Biasanya musikalisasi hanya penekanan pada intonasi, namun ini melibatkan cengkok-cengkok seperti bernyanyi. Walapun belum ada kesepakatan atau konvensi resmi mengenai musik puisi/ musikalisasi. Tapi, Silahkan cek saja.

Terlepas dari kekurangan yang ada, buku ini tetap recommended untuk para pengembara cinta yang hendak memburu targetnya. Dengan kesederhanaan bahasa (tidak rumit), sehingga dapat diserap oleh semua kalangan. Menjadi stok amunisi yang sewaktu-sewaktu bisa dilesatkan atau sekedar menambah referensi kata.

Mari hidupkan asmaraloka dalam kehidupan agar tidak ada ruang untuk membenci.

 

Jalan Kauman, Grobogan

Abenz

Taman

aldiantara.kata

 

 

Taman

Memang sebuah taman. Bangku tempatku membaca buku. Taman kota yang sedikit kumuh. Kolam yang mengering. Bahkan lampu taman sudah tak menyala, tanaman-tanaman sebagian tak terawat. Waktu tak saja memberi ruang untuk lumut tumbuh, namun juga menyiram ingatan tempat yang tak sekejap aku menetap.

Udara tak bagus. Kendaraan berlalu lalang melewatinya. Namun, aku percaya bahwa keindahan di taman ini terbentuk dari pikiranku yang membuatnya indah. Kucing bercinta setiap paginya. Anak-anak bermain selepas asar. Bahkan bangku-bangku di taman ini selalu hangat bekas duduk manusia.

Biarkan jangan direnovasi. Perasaan yang selalu cenderung. Aku tidak menginginkan tempat yang baru. Selalu ada alasan untuk tidak meninggalkan?

Di sebuah tempat perguruan tinggi beridiri. Megah, bangunan klasik zaman Belanda. Warga setempat membuat kebun lokal pada dinding-dinding pinggiran kampus. Pot-pot nya dari sampah plastik botol minuman.

Selama ini aku tidak menyadari, warga-warga lokal itu setiap sore selalu memperhatikan para pendatang yang melewati kampung mereka tanpa permisi.

Perguruan Tinggi

Pembelajaran secara virtual, bangunan-bangunannya seperti tiada guna. Di pinggiran perguruan tinggi ini, para pedagang masih berjualan meski pelanggan berkurang. Selepas ashar, sebelum maghrib. Mereka sedang menghitung laba. Sebelum hari gelap, gerobak-gerobak ditinggalkan kosong sampai esok.

Apa kabar mahasiswa?

Mereka kini menuntut uang pendidikan semester yang tak berkurang? Keringanan 10% telah ditetapkan,  dibanding keringanan, malah lebih seperti diskonan mall yang sebetulnya tak meringankan. Banyak orang takut mengkritik. Takut kehilangan banyak hal. Dituding ada kepentingan.

Apa kabar mahasiswa?

Apa kuliah berorientasi pada pasar kerja? Sekolah selama ini menyadarkanku, ilmu pengetahuan melayani kemanusiaan. Sekolah mengajarkanku agar bisa membedakan mana teman yang datang dengan rindu. Menanyakan kabar dengan tulus. Atau mereka yang memanfaatkan keadaan.

Kesenjangan sosial kini merupakan kondisi yang adil. Agar kaum menengah, terbagi dua: ada yang menjilat kepada yang di atas mereka, ada pula yang peduli kepada orang-orang yang tertindas.

Pekerjaan seperti gradasi warna yang tak tunggal. Ia tercampur lebih dari satu warna. Menjadi warna yang tentu berbeda antara satu dan yang lainnya. Pekerjaan pokok yang terdapat sampingannya. Kadang lebih menarik menggeluti pekerjaan sampingan yang tak ada uangnya.

 

Pak Ogah

Berjalan ke arah utara, Yogyakarta, di Jalan Solo. Aku dibuat kagum oleh alam. Dari kejauhan, Merapi berwarna kebiruan terlihat jelas tanpa awan menutupi. Terlihat gagah. Bahkan jalur lahar terlihat zahir dengan mata telanjang. Jarang kusaksikan pemandangan ini. Cukup lama. Sebelum awan kembali menjadi selimutnya.

Baru beberapa saat, diumumkan status Merapi waspada. Aku teringat peristiwa sore yang cerah di musim yang sudah jarang turun hujan di kota. Apakah suatu pertanda?

Namun sore hari itu, jalanan raya tidak terlalu padat. Memang karena aku belum mendekati jalan dekat lampu merah.

Sirine berbunyi, seseorang bermotor putih mengawal dua mobil berplat hitam di belakangnya. Pak Ogah yang biasanya membantu  menyeberangkan kendaraan di pertigaan jalan besar, berjalan menghadang. Seorang bermotor putih memberi klakson, sirine tak berhenti berbunyi. Pak Ogah mana bisa menebus uang pengawalan motor putih. Rombongan yang terkawal rupanya sedang melakukan perjalanan ke arah selatan. Mereka berhenti. Pak Ogah enggan juga ke pinggir. Sebelum turun dari kendaraannya, Pak Ogah sudah berteriak ke arah mereka: “Mbok yo ojo terlalu sibuk. Lihat ke utara! Merapi sedang terlihat cantik-cantiknya tanpa awan. Cerah.”

Aku mengigau. Pak Ogah sedang asik menghitung receh pendapatan hari ini. Ia terlihat lemas seharian terbakar matahari. Masa iya berani menghadang orang (berduit) penting. Sudah gila, apa?

Akhlak (19)

Oleh: Um Sab’ah

 

Hak seorang Muslim terhadap Muslim lainnya terdapat enam. Pertama, apabila berjumpa, ucapkanlah salam. Kedua, apabila diundang, maka datanglah. Ketiga, apabila diminta nasihat, berilah nasihat. Keempat, apabila ia bersin lalu memuji Allah, doakanlah. Kelima, apabila ia sakit, jenguklah. Keenam, apabila ia meninggal, iringilah jenazahnya. (Nabi Muhammad saw.)

Hikayat Kepala Suku

aldiantara.kata

 

Suatu negeri Nenek Moiang, yang sudah ditinggal kakek entah dari zaman apa. Negeri tersebut dipimpin oleh seorang kepala suku. Dengan sikap yang aneh. Membingungkan. Ia bukan seorang terpelajar, agamawan, atau seorang yang kaya raya.

Ikatan Dokter Nenek Moiang (IDN) bahkan masih memvonis kesehatannya baik-baik saja, disuntikkan vaksin secara berkala tidak berpengaruh apa-apa. Kepala suku tak kalap dengan tawaran jabatan dan ribuan kilo emas meski sudah dihadapan.

Kepala suku yang sudah memutuskan sesuatu, takkan berubah. Tak bisa disuap. Ia hanya bisa makan dari kedua tangannya sendiri. Sebetulnya masyarakat memiliki hak untuk tidak setuju terhadap kebijakan-kebijakannya, namun  selalu saja mereka memilih untuk menyerahkan urusan kepada kepala sukunya.

Padahal kedua tangannya tidak terlalu tampak kekar, tak terlalu kuat, wajahnya biasa saja, jauh dari kata rupawan. Apalagi disandingkan dengan Arya Saloka. Kepala suku yang nyaris tak memiliki keistimewaan apapun.

Kepala suku sudah sedari awal terpilih, karena ia terlahir sebagai seorang pemimpin. Tinggal sejak lama di negeri Nenek Moiang. Paling tahu soal sejarah masyarakat yang sangat bergantung pada ca kangkung, tahu tempe dan sambal.

Desas-desus katakan, bahwa ia hanya tertarik pada matahari senja dan hijau alam.

Pernah ada sekelompok pendatang yang tiba dari negeri Cucu Saha. Kepala suku menyambutnya dengan penghormatan sebagai penghuni di bumi manusianya. Mereka pendatang membawa banyak hewan ternak, dan hasil tambang bernilai tinggi.

Kekayaan mereka tak sedikit pun melunturkan kharisma kepala suku. Harta mereka tak bisa membeli pengaruh dan kebijakan di negeri ini.

Banyak kalangan menilai negeri Nenek Moiang sebagai negeri hijau terakhir di bumi, sementara negeri-negeri lain yang meski sudah lebih memiliki ‘kemajuan peradaban’, nyatanya bencana banjir kerap menamui mereka. Membabat alas-alas demi pembangunan serampangan.

Maka negeri Nenek Moiang sangat menghormati hujan. Perlambang rahmat Tuhan, yang memberi kesuburan kepada tetumbuhan dan juga air yang mengalir.

Sore hari, kepala suku  seperti biasa duduk memandangi pantai. Burung-burung yang terbang terlihat seperti siluet. Beterbang ke arah matahari yang terbenam. Seorang warga menghampiri, mengabarkan ada seseorang mencari kepala suku, dari negeri Apa Tere.

Setelah pertemuan selesai. Kepala suku mengabarkan kepada seluruh warga mengenai kabar bahwa di bawah tanah yang mereka pijak memiliki hasil tambang yang menjanjikan bila dilakukan pengolahan.

Warga masyarakat sudah tahu bahwa kepala suku takkan setuju bila harus mempertaruhkan lahan negeri Nenek Moiang. Seorang warga berdiri, mengabarkan bahwa sebelumnya terdapat seorang mata-mata dari negeri Apa Tere yang sedang survei lokasi, bertanya kepadanya,

“Agama mayoritas di sini apa?”

“HAHAHAHAHA” seluruh warga sontak tertawa sejadi-jadinya.

Keesokan harinya, mata-mata negeri Apa Tere belum juga menyerah. Mereka sebelumnya menggali banyak  informasi mengenai negeri Nenek Moiang, sejarah serta apa yang menjadi peluang untuk memuluskan proyek.

Pada saatnya mereka harus menghadap kepala suku dengan suatu pertemuan rahasia.

“Aku tahu, bahwa selama ini negeri Nenek Moiang bukanlah negeri sekedar nama lama. Nenek Moiang sebetulnya masih hidup, bukan? Ia masih tertidur lelap, namun penyakitnya belum ditemukan obatnya. Di sebuah tempat ia terbaring. Menderita sebuah kutukan.”

Kepala suku terheran dengan rahasia negeri yang selama ini tertutup rapat, tlah diketahui oleh manusia di negeri seberang. Nenek Moiang merupakan seorang ratu. Satu yang pasti bahwa penawar kutukan itu bukan berasal dari rempah-rempah atau vaksin, melainkan ciuman dari bibir Kakek Moiang atau turunannya.

“Di negeri kami, Apa Tere, ada seseorang yang merupakan keturunan kakek Moiang. Bukankah bila Nenek Moiang siuman, negeri ini selama tujuh hari tujuh malam dapat menyaksikan senja terindah yang belum pernah ada dalam sejarah peradaban manusia, tanpa bencana dan manusia yang tiada?”

“Bisakah kita lanjutkan pembahasan kesepakatan tambang?”

Kepala suku bertaruh dengan keputusannya. Setelah bulat dengan keputusannya, seorang yang dianggap memiliki keturunan kakek Moiang datang. Pada suatu tempat rahasia di negeri Nenek Moiang: rumah yang di dalamnya tersimpan jasad Nenek Moiang yang tertidur.

Meski namanya Nenek, namun ia terlihat sama sekali tidak tua, terkenal karena keabadiannya. Bahkan meski sudah berusia lebih dari seabad, namun nampak selintas memiliki perawakan subur, cantik jelita, sedikit mirip dengan Chitose Saegusa. Sebagian malah dengan sembarangan berpendapat lebih mirip dengan Meguri. Adapula yang memirip-miripkan dengan Amanda Manopo.

Hingga tiba ketika mencium Nenek.

Mengecupnya.

Memperhatikannya. Tidak ada reaksi apa-apa. Mata sang ratu tetap tenang. Mencium bibirnya sekali lagi. Bahkan melihat cantiknya Nenek Moiang, seorang tersebut malah bermain-main lidahnya. Hingga kepala suku menghentikannya.

Tak lama. Seorang tersebut tersungkur. Meregang. Memegangi lehernya. Wajahnya menjadi membiru, seperti tercekik. Sesak. Mulutnya berbuih.

Semua akhirnya meninggalkan rumah tersebut. Seorang yang mengaku turunan dari kakek Moiang belum kunjung siuman. Sementara peristiwa ini pada akhirnya diketahui oleh seluruh warga Nenek Moiang.

Warga memahami perasaan dilemma sang kepala suku, yang berujung pada pemberian maaf. Kepala suku benar-benar merindukan Nenek Moiangnya. Juga yang akan membawanya kepada pemandangan senja terindah sepanjang peradaban manusia.

Mau bagaimana pun, warga Apa Tere harus diselamatkan. Penasihat negeri Nenek Moiang mengumpulkan para sastrawannya agar mencari pengetahuan penawarnya lewat karya-karya sastra negeri Nenek Moiang.

Ditemukan! Tanamlah 1000 pohon hingga berbuah: di negerinya sendiri.

Ayat-Ayat Hujan: Buya Hamka

aldiantara.kata

Ayat-Ayat Hujan: Sastra Buya Hamka (Puisi Hujan #12)

 

Pandanganku masih tertuju memperhatikan lalu lalang manusia di Tugu, malam hari.

Taman kecil mengelilinginya dengan bangku taman yang menyala dengan lampu-lampu hias menyala. Tidak ada gemuruh malam itu.

Musisi bekerja menghibur pasangan muda-mudi. Aparat belum waktunya bertugas membubarkan kerumunan. Yang sebelumnya sedang membubarkan kesepian hatinya.

Angin malam bertiup silih berganti seperti memberi tanda.

Hujan.

Manusia-manusia menepi. Berlindung pada tingginya atap. Sederas-deras hujan, manusia tak sampai menutup telinga. Air menghujam tanah menjadikannya senandung.

Tak lama segera mereda, kini menyisakan rintik-rintik kecil, meski bangku taman sudah telanjur basah. Tak lama pula aku mendengar suatu suara yang tak kukenali,

“Hujan jatuh ke bumi menjadi tiga macam: semacam ialah yang menyiram basah seluruh bumi sebagai biasa. Semacam mengendap di gunung-gunung, lalu berkumpul menjadi sungai dan mengalir. Dan semacam lagi mengendap ke bawah tanah.”

Itu. Seperti kutipan yang tak asing, pernah kubaca. Tapi di mana?

Seseorang yang misterius mendatangiku seperti cahaya.

“Hujan ialah kesuburan sesudah kering, kemakmuran sesudah kemarau. Peladang-peladang telah lama sekali menunggu hujan turun, agar sawah ladang mereka memberikan hasil yang baik kembali.

Mereka mengharapkan hujan turun, tetapi mereka takut oleh mendung gelapnya, takut suara guruhnya dan cahaya kilat, dan petirnya yang sambung menyambung di udara. Padahal tiap-tiap hujan lebat sebagai penutup kemarau panjang, mestilah diiringi oleh gelap, guruh kilat dan petir. Kebenaran ilahi akan tegak di alam.

Kebenaran itu adalah laksana hujan. Untuk mengelu-elukan datangnya mestilah gelap dahulu. Yang menggelapkan itu bukan kutuk laknat, tetapi karena bumi itu dilindungi oleh air yang akan turun. Dan guruh berbunyi mendayu dan menggarang; artinya peringatan-peringatan yang keras seiring dengan kedatangan hidayat Ilahi.”

Buya Hamka! Itu merupakan kutipan dari kitab tafsir Al-Azhar!

Bila Buya Hamka menulis-selesaikan kitab tafsir Al-Azhar ketika beliau berada di penjara, bukankah ungkapan keindahan itu hanya bisa diungkapkan oleh seorang yang daripada dadanya diliputi oleh keindahan?

Siapakah seorang ini? Rasanya tak kuasa bila harus melihat wajahnya. Aku takut sikap ketidaksopananku membuatnya lenyap. Aku hanya duduk ditemaninya tanpa menimpalinya.

“Manusia dan binatang ternak sama-sama gembira, bahwasanya hujan yang turun ini akan membawa berkah.”

“Lintuh rasanya tulang, lunglai segala persendian apabila Tuhan memperingatkan ini kepada kita. Betapa pun lengah dan lalai makhluk, betapa pun mereka melupakan Tuhan, bahkan kadang-kadang mempersekutukan-Nya dengan yang lain, namun hujan turun juga dan bumi pun subur, pohon-pohon berbuah. Kita hanya tinggal memetik buah.

Kehidupan manusia di seluruh dunia sangat bergantung dengan turunnya air hujan; kesuburan bumi yang akan mendatangkan hasil, demikian juga makanan bagi manusia sendiri dan binatang-binatang ternak. Bahaya besar menimpa suatu negara kalau sekiranya di sana terjadi kemarau panjang, sehingga manusia kelaparan dan binatang ternak pun habis mati. Sedang zaman modern yang disebut tergantung kepada industri itu pun masih menghendaki hujan. Misalkan saja pabrik wol (bulu) yang akan dijadikan orang pakaian, yang begitu besar di Benua Australia, akan terkaparlah segala pabrik itu kalau sekiranya hujan lama tidak turun sehingga binatang ternak habis mati.

Manusia sendiri pun bagaimana majunya di zaman modern ini, masih saja menghendaki memakan tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan yang segar. Gandum, beras, dan segala makanan yang menghasilkan vitamin dan kalori, semua pada hakikatnya bergantung kepada hujan. Maka diatur Tuhan langit yang berada di atas kita, lalu menurunkan hujan, dan bumi menampungnya dan makhluk hidup di atasnya.”

Kalau kita di zaman modern ini hidup di kota besar, dengan memutar kran air saja, air telah memancar berapa kubik yang kita sukai, maka kenangkanlah betapa ribut penduduk kota kalau sekiranya sentral air itu rusak, sehingga terhenti mengalir ke setiap pipa. Betapa gelisahnya orang di kota ketika itu. listrik tidak jalan. Segala kegiatan terhenti. Ketika itu terasalah bahwa bukan kita yang menguasai air.

Demikian juga kalau musim kemarau telah panjang, sehingga sawah-sawah menjadi kering dan padi yang baru akan besar mati karena kering. Adakah pada waktu itu manusia mempunyai simpanan air sendiri (reservoir) yang mencukupi?

Bukankah manusia kembali menunggu belas kasihan hujan?”

Ternyata, kitab suci tidaklah sederhana berisi perintah dan larangan. Ini soal kehidupan manusia yang pelik dan dinamis. Tidak hanya ancaman, namun juga keindahan-keindahan, obat hati, membuat manusia merenung. Berefleksi. Berdiantarakata. Aku suka sekali diksi seorang ini, “Bukankah manusia kembali menunggu belas kasihan hujan?

“Kadang-kadang kita telah mengharap hujan akan jatuh di bumi kita sebelah sini, karena tanam-tanaman sudah sangat kering tiba-tiba dia jatuh di tempat lain. Maka kedengaran guruh dan guntur, dan kilat pun sabung-menyabung, demikian dahsyatnya hingga mata pun bisa silau memandangnya.

Memang apabila kita naik kapal udara dalam perjalanan yang jauh, benar-benar kelihatanlah kadang-kadang awan itu besar dan tinggi laksana gunung, bahkan lebih besar dari gunung, maka terasalah kecil kapal terbang yang kita tumpangi itu di celah-celah awan-gumawan. Awan-awan laksana gunung itulah persediaan yang disediakan Tuhan buat hidup kita di atas dunia fana ini, karena senantiasa memerlukan air.”

Narasi-narasi keindahan dalam beragama, sebagai kekuatan pembebas, pemersatu manusia, peneguh solidaritas, kekuatan penggalang aksi kemanusiaan.

Malam semakin larut, aku pernah membaca kutipan Buya Hamka mengenai malam. Sebab bagi Buya Hamka, malam adalah puisi.

Dalam sebuah ayat, “Dan Dia yang telah menjadikan malam itu untuk kamu menjadi pakaian, dan tidur untuk istirahat dan siang untuk bangkit bangun kembali.

Hamka jelaskan, “Alangkah halus ibarat yang dinyatakan Tuhan pada ayat ini. apabila segala tenaga dan energi kita telah kita tumpahkan bagi kepentingan hidup kita di siang hari, bertani, berniaga, berusaha, berkantor, berpejabat dan belajar. Berjuang ke medan hidup dipelopori oleh cita dan cinta, beransur sebagai beransur turunnya matahari, tenaga pun mulai habis dan hari pun mulai senja, kita kembali ke rumah kita. Kita tinggalkan segala haru-hari yang membisingkan kepala.

Dan hari pun mulai malam.

Cahaya matahari berganti dengan cahaya lampu-lampu. Dengan tidak disadari maka keteduhan malam menenteramkan kembali jiwa dan raga kita. Bercengkerama dengan anak dan dengan istri. Kita bertawajjuh dan bermunajat kepada Tuhan mensyukuri nikmat-Nya. Dan semuanya itulah pakaian (libaas) yang sejati. Pakaian-pakaian yang kita pakai siang hari telah kotor kena keringat dan telah kita tanggalkan. Dan bila hari telah malam, kita mulai melekatkan pakaian yang bersih; bersih lahir dan batin. Kita hidup bersenyum simpul dengan istri teman hidup kita. Kita adalah pakaiannya dan dia adalah pakaian kita.”

Aku hendak bertanya, apakah ketika Buya Hamka menuliskan ini, beliau sedang menatap istrinya terkasih yang masih tertidur lelap?

“Hujan pun turun, sejuk dingin, kelayuan hilang baik pada orang ataupun pada binatang, atau pun pada tumbuh-tumbuhan. ‘Supaya Kami hidupkan suatu negeri yang telah mati, dan Kami beri minum segala makhluk, baik binatang atau manusia yang banyak itu.’

Bila hujan telah turun, walaupun hanya sejam dua jam, bahkan kadang-kadang seperempat jam saja, kelihatan desa yang telah mati menjadi hidup kembali. Kegembiraan terbayang pada segala mata.”

Suatu tafsir terhadap ayat “dibuat pada pagi hari Arba’a tanggal 17 Juli 1963, 26 Safar 1383. Sudah hampir sebulan di Jakarta tidak turun hujan, segalanya kelihatan lesu, kebetulan penyaringan air di Pejompongan rusak pula, sehingga air saluran untuk rumah-rumah penduduk terpaksa dibatasi, sumur mulai kering, bahkan aliran listrik pun sebab air yang menekan meskin listrik telah kurang pula tenaganya. Tiba-tiba pada malamnya hujan sejenak, kira-kira setengah jam. Setelah hari pagi, tanaman-tanaman di hadapan rumah kelihatan menghijau, membayangkan kegembiraan, dan rumput di halaman Mesjid Agung Al-Azhar mengangkat muka, menengadah langit mengucap syukur!”

Buya Hamka teringat pada sebuah ayat, ‘Dan sesungguhnya telah Kami edarkan (hujan itu) di antara mereka agar mereka kenangkan.’ Agar mereka ingat bahwasanya kekacauan sedikit saja dari turunnya hujan itu akan sangat besarlah pengaruhnya atas kehidupan mereka dan sandang pangan mereka.”

“Aku adalah apa yang kamu pikirkan.” Ucap seorang yang datang sebagai cahaya itu menyadarkanku, aku tak sadar bahwa itu merupakan ungkapannya yang terakhir pada pertemuan malam itu.

Buya. Aku tahu bila hujan adalah keberkahan. Hujan seperti doa tetumbuhan kepada Tuhan yang menjadikannya hujan. Kini alam telah menjadi rusak. Manusia barbar memperkosanya tanpa bertanggung-jawab. Bencana hampiri silih berganti, hujan masih deras mengairi apa. Inikah sebentuk tangis hujan menyelami kesedihan kekasihnya di bumi?

Tiada jawaban. Lenyap. Tak ada seseorang di sisiku.

Cuci Setelah Pakai

aldiantara.kata

 

Dari sebuah gelas, aku belajar banyak hal. Aku gunakannya meminum air putih. Lain waktu menyeruput teh panas, kopi dengan sisa ampas hingga minuman bersoda. Tiap kali mencucinya, selintas memang hal biasa, namun aku merasa tidak mudah mengambil sikap ‘mencuci langsung setelah pakai’.

Justru karena tidak ‘mencuci langsung setelah dipakai’ itu, gelas satu-satunya ini terlihat menjijikan, entah karena semut, atau cicak yang entah tiada angin, hujan bahkan pandemi, sudah berenang di sisa ampas kopi yang dangkal.

Kadang pula menjijikan karena dibiarkan begitu lama hingga sisa minuman menjadi basi dan berbau tak sedap. Padahal bekas minumku sendiri.

Korban-korban gelasku sudah banyak. Bila sudah terlihat demikian halnya, tak jarang aku buang gelasnya. Bisa saja aku membersihkannya, tapi ketika nanti aku minum, rasanya aku enggan mengingat-ngingat bagaimana keadaan gelas itu sebelum dibersihkan. Apalagi harus meminum air putih dengan aroma busuk yang masih menempel. Sebab posisi mulut dan hidung berdekatan. Andai posisi mulut sekarang, sementara hidung berada di tengah-tengah paha mungkin akan sedikit berbeda ceritanya.

Pernah, pernah, pernah, kala itu aku membeli gelas baru, kaca berwarna bening. Tiga buah. beberapa teman berkunjung, membuat minuman manis. Entah bagaimana ceritanya, setelah mereka pulang, rasanya masih malas untuk langsung mencucinya. Kupikir, jika aku tak segera mencucinya, setidaknya aku harus merendamnya saja agar mudah mencucinya. Betul! Aku berhasil merendam ketiga gelas selama….tiga hari. Pppfft.

Ah, kupikir tak apa. Aku mencucinya hingga kinclong. Menyimpannya pada rak perkakas setelahnya. Keesokan hari setelah kucuci, hendak digunakan, ternyata beningnya gelas sudah tak lagi bagus, ia berwarna kusam. Ah, gelasnya tak cantik lagi. Akhirnya, gelas-gelas kaca yang berjumlah tiga itu, kujejerkan di tempat sampah dengan rapi. Aku tak melemparnya ke tempat sampah, lho! Beda ngga, ya?

Hingga kini, sisa satu gelas kupunya. Berwarna putih susu, tak bening tembus pandang. Tidak akan ada lagi kupikir gelas berwarna kusam. Harusnya tidak ada lagi korban-korban gelas berikutnya. Aku tidak dalam perasaan menggebu-gebu. Aku masih dalam kebiasaan jorok. Hanya saja, ketika tiba gelas (satu-satunya) ini masih menyisakan minuman yang sudah basi, atau cicak yang sudah dipanggil Yang Maha Kuasa dalam kubangan ampas kopi, aku hanya memastikan mencucinya dengan baik, sabun yang sedikit lebih banyak agar tak menyisakan bau. Setelah kucuci dan kering. Kubaui… Ah, mantap (lagu TikTok).

Apalagi ketika teman berkunjung di kediamanku, hendak minum, tiada gelas lagi selain gelas yang cantik ini, ia tak berpikir panjang. Kumengernyitkan dahi, dia tak mati setelah minum. Lagipula, ia tak harus tahu bahwa aku tak harus meminjam diksi Danilla Riyadi pada acara Pengadilan Musik YouTube, “bercumbu secara tidak langsung” lantaran satu gelas yang sama, maksudku, bukan hanya bercumbu denganku, tapi juga dengan makhluk-makhluk Tuhan lain, cicak yang lucu, kecoa yang gagah, semut yang pemberani dan sedikit pongah, hingga sayap-sayap patah sang laron. Kita harus minum tanpa berprasangka apapun, mungkin termasuk sianida di dalamnya.

Bentar, bentar, bentar. Sepertinya ketika aku berkunjung ke kediaman temanku, aku pun tak pernah berpikir demikian halnya aku. Siapa jamin? Bisa saja bukan cuma bekas binatang, namun juga bekas batu bara, timah, avtur, kerikil, pasir putih, gypsum atau vaksin?

Lantaran tragedi gelas ini pun, ketika aku berkunjung ke kediaman temanku, bilaku sudah memakai gelas untuk seduhan minuman, segera ku mencucinya sendiri, sekalipun terkadang dihalangi oleh tuan rumah. Entahlah. Takut ada korban gelas lain kali~

Lalu, apa ternyata yang kupelajari?

Akhlak (18)

Oleh: Um Sab’ah

 

Ikhlas kepada Allah pada saat sembunyi dan terang-terangan, adil pada saat marah dan ridha, hemat pada saat miskin dan kaya, dan agar diamku adalah berpikir, ucapan ku adalah dzikir, penglihatanku adalah pengambilan pelajaran.

Ini apabila dinisbatkan kepada diri sendiri, adapun apabila dinisbatkan kepada orang lain terdapat empat pondasi akhlak.

  1. Memaafkan orang yang telah berbuat aniaya kepada kita
  2. Memberikan bantuan kepada orang yang tidak mau memberikan bantuan kepada kita
  3. Menyambung hubungan kepada orang yang telah memutuskan hubungan dengan kita
  4. Berbuat baik kepada orang yang telah berbuat buruk kepada kita.

Kedudukan seorang Muslim di sisi Allah swt. begitu agung dan haknya begitu besar, karena dalam hatinya bertaut kalimat tahlil, yang seandainya tujuh lapis langit dan bumi beserta isinya diletakkan pada satu sisi daun timbangan sementara kalimat tahlil di letakkan di neraca yang lain, niscaya kalimat itu akan mengalahkannya. Dari anggota badannya akan muncul perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan yang datang dari Nabi Muhammad saw., maka  berapa beratnya di sisi Allah swt., berapa nilainya di sisi-Nya Sang Maha Penolong?

Inspirasta (Inspirasi Sastra)

aldiantara.kata

 

  1. “Saya selalu percaya bahwa inspirasi bukanlah sesuatu yang bisa saya datangkan, namun inspirasilah yang mendatangi saya” Djenar Maesa Ayu dalam pengantar dalam buku 1 Perempuan 14 Laki-Laki.
  2. “Yang terlupakan adalah waktu yang mengalir dalam lautan debar, samudra getar, cakrawala harapan.” Djenar Maesa Ayu dalam cerpen “Waktu Nayla” dalam buku Mereka Bilang, Saya Monyet!
  3. “Tapi mimpi juga terbatas waktu. Debaran itu mendadak buyar ketika terdengar suara ketukan pembantu di pintu kamar. Suara kokok ayam. Kicau burung. Kemilau sinar matahari menerobos jendela.” Djenar Maesa Ayu dalam cerpen “Waktu Nayla” dalam buku Mereka Bilang, Saya Monyet!
  4. “Semua orang harus tepat waktu sampai di tujuan. Semua orang tidak punya kesempatan untuk sekadar berhenti memandang embun sebelum menitik ke tanah. Semua orang melangkah bagai tidak menjejak tanah.” Djenar Maesa Ayu dalam cerpen “Waktu Nayla” dalam buku Mereka Bilang, Saya Monyet!
  5. “Karena itu juga Wong Asu menulis? Membunuh kesepian. Memberinya terapi untuk diri sendiri.” Djenar Maesa Ayu dalam cerpen “Wong Asu” dalam buku Mereka Bilang, Saya Monyet!
  6. “Manusia dengan naluri anjing jauh lebih rendah daripada anjing.” Djenar Maesa Ayu dalam cerpen “Wong Asu” dalam buku Mereka Bilang, Saya Monyet!
  7. “Sastra itu bukan sekedar seni menyusun kata-kata, lebih penting lagi adalah bagaimana seseorang telah sampai kepada pilihan kata-kata yang disusunnya itu—yakni bentuk perhatian seorang penulis kepada dunia dan kehidupan sekitarnya.” Seno Gumira Ajidarma dalam testimoni buku Doa untuk Anak Cucu – W.S. Rendra.
  8. “Dalam kuliah itu ia mengatakan bahwa puisi-puisinya merupakan ‘Yoga bahasa’. Yaitu semacam ruang ibadah. Dan, kemudian ia lebih tebal mengatakan: ‘puisiku adalah sujudku’.” Catatan Editor buku Doa untuk Anak Cucu – W.S. Rendra.
  9. “Pernyataan Rendra dalam sebuah wawancara dengan seorang wartawan. ‘Mengapa Anda begitu berani melancarkan protes terhadap praktik pembangunan oleh pemerintah?’ Rendra menjawab, ‘Saya protes dan bersikap kritis terhadap pemerintah bukan lantaran saya berani. Malah sebaliknya, karena saya takut apa yang bakal menimpa anak cucu di masa depan.’ ” buku Doa untuk Anak Cucu – W.S. Rendra.
  10. “Jika kita membuka sejarah hidup sastrawan, menulis baginya adalah kebutuhan, dan sebab kebutuhan itulah maka penyair Carl Sanburg (Chicago, USA) tak demikian peduli apakah sajaknya mendatangkan uang atau tidak. Tetapi baginya, dimuat di jurnal Chicago Poems adalah menjadi harapannya, 20 tahun kontinyu Carl Sanburg mengirim sajaknya ke jurnal itu dan barulah dimuat. Setelah pemuatan pertama itu kemudian terus menerus karyanya dimuat, dan dalam tahun yang sama Sanburg, mendapatkan Pulitzer, hadiah terhormat USA untuk dunia kepenulisan.” Buku Sastra Pencerahan – Abdul Wachid BS

Kabung Patroli

aldiantara.kata

Berkabung

Hampirinya kepadaku, setiap hari berada dalam pengintaian, maut, menunggu perintah-Nya.

Kemajuan pengetahuan, pesat teknologi, seperti memberi tanda, kematian seperti suatu musim. Seperti yang kita ketahui melalui status-status WhatsApp. Memanggil manusia tanpa aba-aba.

Sebab doa adalah senjata. Kala sebagian orang dengan ragu bertanya, apa makna suatu harapan bila sudah waktunya pupus. Kepasrahan. O Tuhan. Selamatkanlah. Jangan beri rasa sakit.

Percakapan yang seperti tanda perpisahan. Tugas dan rezeki yang tlah purna. Memanggil jiwa-jiwa yang tenang. Hujan air mata di luar belumlah reda.

Berkabung.

Sementara aku yang masih hidup, takut bila seperti orang yang tiada. Dalam sebuah buku disebutkan, mengutip perkataan Ibnu Qayyim.

“Teramat jauh bedanya antara orang-orang yang telah mati tetapi hati orang lain dapat hidup ketika menyebut namanya, dan dengan orang-orang yang masih hidup tetapi hati orang lain dapat mati bila bergaul dengannya.”

Kematian yang lain

Aparat sedari malam minggu lalu sudah berpatroli sosialisasikan peraturan pemberlakuan jam malam. Kegiatan masyarakat dibatasi pada dan hingga waktu tertentu. Jam tujuh malam hampir semua jenis usaha harus tutup.

Entah mengapa aku jadi teringat dengan kata-kata Sujiwo Tejo yang kusaksikan di YouTube. Setelah menyanyikan lagu “Pada Suatu Ketika”.

“Orang miskin punya problem, orang kaya punya problem, tapi se-problemproblem nya orang miskin, masih enak-an problemnya orang kaya. Ngga enaknya, orang miskin itu kalau membunuh (secara) fisik. Kita melihatnya tidak tega. Kalau orang kaya membunuhnya: matikan usahanya (lalu) kita jadi leader market, kita ekspor benur (benih udang), dan lain sebagainya, banyak yang mati, tapi ngga kelihatan sadis padahal tiap hari terjadi ‘pembunuhan’. Yaa ayyatuhannafsu al-muthma’innah, irji’i ila Rabbiki radhiyatan mardhiyyah, fadkhuli fi ‘ibadiy, wadkhuliy jannatiy.