Bulan: Januari 2022

Perihal Pilihan

Oleh: Azki Khikmatiar

Hidup adalah sekumpulan pilihan, katamu!
Memilih apapun yang kau inginkan
Memilih menjalani hidup seperti apa
Memilih bagaimana caranya untuk bahagia
Memilih bagaimana caranya sembuhkan luka
Tapi, kau juga punya pilihan lain;
pilihan untuk tidak memilih!

Hei ! Pernahkah kau kuceritakan tentang
seorang pemuda tanpa masa depan?
Yang terbelenggu pada sebuah
keadaan penuh ketidaberpihakan;
Gaya hidup yang membosankan
Impian yang harus terlupakan
Hingga tak sempat mempunyai pilihan
Katanya; pilihan adalah ilusi !

Apakah kau tahu bagaimana rasanya
hidup tanpa mempunyai pilihan?
Apakah kau tau bagaimana rasanya
menjalani hidup tanpa bertanyatanya?
Tentang apa rencana ke depan?
Bagaimana jika gagal?
Bagaimana jika tak sesuai harapan?
Ah! Persetan dengan semua pertanyaan!

Lagipula, kehidupan yang selalu berjalan baikbaik saja itu kata siapa?

Ujung Jelaga, 26 Januari 2022

World Leprosy Day! Tolak Stigmanya, Bukan Orangnya!

aldiantara.kata

World Leprosy Day! Hari Kusta Sedunia yang jatuh setiap minggu terakhir pada bulan Januari. Adapun penyebab minggu terakhir dipilih sebagai Hari Kusta Internasional lantaran sebagai penghargaan atas belas kasih yang ditunjukkan Mahatma Gandhi pada para penderita kusta. Bahkan 30 Januari mendatang bertepatan dengan peringatan kematian Gandhi pada 30 Januari 1948.

Dilansir dari situs aspirasiku.id, tema untuk Hari Kusta Sedunia 2022 adalah “United for Dignity” (Bersatu untuk Bermartabat). Tema tersebut merupakan seruan persatuan dalam menghormati martabat orang yang pernah mengalami kusta.

Kusta dapat disembuhkan!

Terang saja, meski secara medis agar kusta dapat disembuhkan perlu mengonsumsi obat secara rutin dalam jangka waktu tertentu, namun bila stigma sosial terhadap penyakit kusta begitu tinggi, target Kementerian Kesehatan dalam menarget eliminasi kusta pada tahun 2024 tidak bisa direalisasikan. Terlebih target ini terhalang pandemi covid-19. Dampaknya adalah temuan kasus aktif belakangan ini, khususnya pada tahun 2020, mengalami penurunan tajam dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Tolak stigmanya, bukan orangnya!

Bertepatan dengan peringatan Hari Kusta Sedunia, kbr.id kembali menyelenggarakan acara ruang publik secara daring dengan tema “Tolak Stigmanya, Bukan Orangnya”. Acara ini menghadirkan dua narasumber, yakni dr. Astri Ferdiana mewakili Technical Advisor NLR Indonesia, serta Al Qadri selaku orang yang pernah mengalami kusta, juga sebagai Wakil Ketua Perhimpunan Mandiri Kusta Nasional (Permata). Disiarkan secara langsung melalui YouTube dalam kanal Berita KBR.

Tema acara ini menarik sebab seakan mempertegas bahwa ketika seseorang terpapar kusta, sejatinya dengan mengonsumsi obat secara teratur, penyakit akan dapat disembuhkan. Namun stigma sosial yang meresahkan terhadap para penderita kusta akan menghambat penanganan penyakit tersebut.

Host dalam acara ini, Ines Nirmala, membuka acara ini dengan memaparkan fakta-fakta menarik, di antaranya menyebutkan bahwa penyakit kusta, khususnya seiring dengan terjadinya pandemi covid-19 cenderung diabaikan. Indonesia menempati negara tertinggi ketiga di dunia dalam kasus kusta. Sebagian masyarakat cenderung abai dan kurang waspada, namun stigma negatif terhadap para penyintas tetap tinggi. Sementara penularan terus terjadi, disabilitas yang diakibatkan oleh penyakit kusta semakin tinggi.

Al Qadri sebagai OYPMK (orang yang pernah mengalami kusta) menceritakan pengalaman ketika ia terpapar kusta. Ia terpapar kusta ketika masih berusia enam tahun kisaran tahun 1980-an. Saat menginjak SD, ia diketahui pada lututnya terdapat bercak pertanda kusta. Ia pun dilaporkan kepada pihak sekolah agar tidak lagi berangkat sekolah dengan alasan yang diada-adakan, seperti belum cukup umur.

Al Qadri menceritakan bahwa seiring tersebar informasi bahwa ia terpapar kusta, sebagian besar masyarakat semakin takut, mereka menjauh. Diskriminasi menjadi sangat nyata. Tidak hanya dirinya yang mendapat stigma buruk dan diskriminasi, bahkan keluarganya pun juga ikut terdiskriminasi. Ia susah bergaul dengan usia sebaya. “Sakit kusta tidak seberapa, tapi sakit diskriminasi begitu terasa.” Ujar Al Qadri.

Adapun Al Qadri mulai pengobatan setelah sembilan tahun kemudian. Pada rentang tersebut orang tuanya gencar mencari penawar baik medis maupun tradisional, namun kondisi ketika itu tidak semudah mendapat obatnya pada masa sekarang. Sementara kondisinya sudah memburuk di mana jari-jemarinya sudah ada mulai mengalami luka. Pengalamannya itulah yang membuat Al Qadri kini menjadi seorang aktivis yang memperjuangkan hak-hak yang dialami oleh penyintas kusta.

Menurut Al Qadri, masih banyak penderita kusta yang enggan mengakui bahwa dirinya terkena kusta karena tingginya stigma. Orang yang terpapar pun seringkali enggan diajak bergabung dalam komunitas. Stigma negatif semestinya jangan sampai membatasi ruang gerak penyintas. Bahkan penyandang disabilitas kusta lebih berat daripada penyintas disabilitas lain, ia akan mengalami double stigma. Bahkan, masih menurut Al Qadri, Di Sulawesi Selatan, kusta dibuat sumpah untuk meyakinkan seseorang akan sesuatu.

Terkait dengan penyakit kusta ini, dr. Astri mengatakan bahwa bila kusta terlambat dideteksi dan tangani, dampaknya akan menyebabkan disabilitas, seperti pada mata, jemari tangan dan kaki. Tanda-tanda kusta pada umumnya muncul bercak di kulit bisa berwarna merah atau putih, berbeda dengan panu. Bercak sebagai tanda tersebut mati rasa bila mendapat sentuhan. Apabila mendapat tanda tersebut pada organ tubuh, segera mungkin dikonsultasikan kepada puskesmas atau rumah sakit terdekat agar segera dipastikan apakah tanda tersebut merupakan kusta atau bukan.

Dalam rangka menangani tingginya stigma negatif terhadap para penyintas, dr. Astri menyampaikan bahwa stigma itu kompleks. Untuk menanganinya perlu upaya komprehensif dan konsisten. Dr. Astri bercerita sebelumnya pada tahun 2020 di suatu daerah, sebagian masyarakat dan tenaga kesehatan mereka mau bergaul dengan OYPMK, uniknya mereka tetap menjaga jarak, sebagian dari mereka tidak mengizinkan penyintas untuk tinggal di kos, menikahkan anak mereka, atau mempekerjakan mereka.

Dengan demikian, bagi dr. Astri, pentingnya kerja sama dengan semua elemen masyarakat. Pada dasarnya adalah dengan membangun kesadaran  bahwa OYPMK memiliki hak yang sama, baik pada kesehatan, pendidikan, hukum, politik, bahkan hak hidup. OYPMK sama dengan kita. Sama-sama manusia. Tidak berbeda dengan kita. Parahnya ada yang sampai  OYPMK yang dicap negatif masyarakat, juga memberi cap negatif kepada dirinya sendiri. Di samping itu, untuk mengurangi stigma negatif ini, perlunya melakukan kampanye kesadaran, misal melalui media talkshow, media massa, hingga advokasi pimpinan daerah agar bersama-sama memperhatikan penyakit kusta dan penyintas kusta di masyarakat.

Sementara itu, cerita Al Qadri semakin meyakinkan bahwa kusta sudah ada obatnya dan dapat disembuhkan bila segera ditangani sebelum terjadinya keterlambatan penanganan hingga menyebabkan disabilitas. Al Qadri yang mengikuti program pengobatan kusta hingga tuntas bahkan tinggal bersama empat saudaranya dalam satu rumah, namun tidak satu pun hingga kini yang terpapar kusta. Ia menikah dengan seorang perempuan yang juga OYPMK. Ia dikaruniai dua anak, diberi asi oleh seorang Ibu yang kakinya diamputasi lantaran kusta, namun hingga pendidikan kedua anaknya tuntas, tidak ada yang terkena kusta.

Menurut dr. Astri Ferdiana, cara mencegah penyakit kusta adalah dengan memutus rantai penularan. Di antara upayanya dengan mendorong pasien kusta untuk berobat sesegera mungkin ke puskesmas, lalu mendapat dukungan sosial agar penyintas semangat dalam upaya berikhtiar sembuh. Harus didorong untuk konsisten meminum obat hingga tuntas. Adapun orang orang yang hidup di lingkungan penyintas kusta, terdapat pula obat pencegahan terhadap penyakit kusta dengan dosis obat sekali minum.

Sudah terlalu lama masalah kusta ini ada di sekitar kita, sudah terlalu lama pula stigma terhadap penyintas kusta teramat tinggi. Padahal obat sudah ada dan kusta dapat disembuhkan. Mari tolak stigmanya, bukan orangnya. Kusta dapat disembuhkan, sekali lagi. Menuju zero leprosy!

Hihi Akhir Tahun

aldiantara.kata

Hihi. Sudah akhir tahun. Mau berharap apa lagi?
Hihi. Awal tahun. Rencana-rencana apa lagi?
Hihi. Awal tahun. Waiting list mengejek
Hihi. Waktu bergulir dengan cepat tanpa mau menunggu.
Hihi. Tak ada apa-apa lagi, selain
Menatap orang dengan iri
Aku juga sama. Hihi.

Kini sudah memasuki page 25 of 365. 300 tweet di Twitter. Tak trending lagi. Tiada lagi peduli. Maka dengan kilat kita akan memasuki page 365 of 365, hingga page 1 of 365 kembali. Namun tiada yang berarti. Rencana-rencana yang masuk keranjang status. Sesal-sesal yang tiada guna.

Hihi. Sudah akhir tahun. Anggap saja begitu.

Lupa introspeksi lagi. Percepatan waktu yang gila. Kita sedang lupa. Kita akan lupa.

Di mana Penamu?

aldiantara.kata

Di mana penamu. Itu dicari kala ide datang menghadang. Agar tak lekas menguap. Tentukan outline-outline yang terbayang sekelibat. Rencana yang sebagai bayang muncul menjadi petunjuk arah. Di mana penamu. Tak ada waktu berkunjung pada rumah rencana. Rencana marah hingga ia pandai berkelit. Rencana-rencana menjadi pemukiman yang kosong. Saling menunjuk, saling meninju.

Di mana penamu. Apa ia muncul sebagai luap panggilan jiwa. Upaya abadikan waktu. Makna kata yang tenggelam. Tersampai setelah lama berada pada palung kedalaman. Kata-kata memerlukan waktu untuk mengurai jubahnya. Kata-kata menggandeng waktu yang tepat untuk diterima pendengarnya. Itu sebab seorang tak cukup mendengar kata-kata hanya sekali. Kata-kata menyihir para pecinta yang sedang mabuk. Hingga menyerpih pada inti jantung tanpa mengenal rasa ampun. Endap mendendam. Ada yang kata-katanya tetap terjaga, atau menghindar dari rasa sakit.

Di mana penamu. Rencana-rencana berfigurakan outline-outline tulisan yang buram. Kau tak tahu lagi konteksnya. Temali yang tak kunjung ditemukan pangkalnya. Tak tahu harus berawal dari mana.

Di mana penamu. Menulis melalui pikiran kini seperti mengukir di atas air. Tapaknya hanyut di bawa aliran yang bermuara kepada tanya. Dedaun yang menari bermain hujan. Pintu rumah yang belum sempat ditutup. Buku-buku berserak di atas meja, lampu padam, memaksa mendengar suara rintik membisik gelisahnya. Gadis yang hanya memperlihatkan punggungnya, lalu menoleh ke kiri, mencari tangan yang biasa ia genggam. Kau menjadikan senja itu sebagai outline yang akan kau abadikan melalui tulisan. Namun, di mana penamu?

Di mana penamu. Mulai mencari dibawah cangkir yang membentuk lingkaran sesaat gelas panas terangkat. Kau memilih untuk menyeruputnya sesaat, ketimbang memperhatikan basah kopi yang membentuk lingkaran di atas piring kecil cangkir. Manis, bukan.

Di mana penamu. Tergerak untuk menulis sebuah tulisan?

Sudah terlalu lama pena mengering tintanya. Ia tak berayun, terbujur kaku di samping kaki meja menghadap timur laut. Pena yang membentuk aksara, tersulap menjadi alinea. Menggagas ide anyar yang dirasa belum pernah dilakukan sebelumnya. Seperti, adakah yang menjilat sisa kopi di atas piring kecil yang membentuk lingkaran. Adakah yang benar-benar baru di bawah matahari.

Di mana penamu. Sekali pun adalah jemari yang mencari topik tren pada twitter. Atau menepi di Jalan Solo untuk menuliskan diantarakata baju yang bercerita, “Hidup kadang tidak memberikan apa yang kau mau, bukan berarti kau tidak layak mendapatkannya, melainkan lantaran kau layak mendapat lebih banyak.” Atau slogan, “Utamakan Bahasa Indonesia”

Di mana penamu. Apa yang berpendar pada alam pikiran.

Suara Dua

aldiantara.kata

Kau mengiringi nyanyianku dengan lembut. Suara agak melengking sembari menerka-nerka lirik acakku. Aku bernyanyi mengeping sepi.

Kita bertanya mengenai jalan menuju pesisir. Mengapa kepada alam, jalan yang jauh, kita berencana habiskan waktu. Apa tidak kepada kafe-kafe, jarak yang dekat, kita duduk berbagi cerita.

“Tergantung ceritanya.” Jawabmu.

Apa ada tempat-tempat yang layak menjadi penanda suatu kesedihan kala diri yang tak beranjak dari rasa khawatir. Tak akan dikunjungi lagi. Namun kau menjawab, apa ada suatu tempat yang bebas dari cerita dan peristiwa. Tempat-tempat memang bebas nilai. Namun ingatan para pengunjung kerap meninggalkan bekas yang abstrak.

Jalan jauh menuju pantai sepi dari pemukiman. Nyiur hijau kelapa, sisi-sisi bukit yang sunyi, angin kuat laut selatan.

“Nyanyikan aku sebuah lagu.” Pintamu.

Kau mengiringi dengan suara dua. Terkadang kita meminta angin untuk menjadi instrumennya. Atau suara klakson-klakson kendaraan dengan intonasi yang tak ramah, dim lampu pemeriah malam. Bertukar lagu-lagu pada penghujung tahun yang kerap diputar.

Tiba-tiba seseorang bernyanyi nada perlahan. Suara dua tiba menyempurnakan.