Bulan: Juni 2020

Yang Lupa Memberi Harapan, Yang Lelah Memberi Kritik

Ketika membuka dokumen-dokumen laptop, aku sempat lupa memiliki tulisan yang belum terpublish. Terakhir kuedit pada tanggal 23 Juni 2018. Sudah dua tahun berlalu. Tulisan ini muncul dalam konteks kampus yang selalu menjadi sasaran kritik keresahan masyarakat. Kala itu dalam rangka memperingati hari buruh berlangsung demo yang berakhir rusuh hingga diwarnai pembakaran pos polisi di “pertigaan revolusi”.

Yang Lupa memberi harapan, yang Lelah memberi kritik

Pagi-pagi sekali di gerbang barat kampus. Tetiba sudah tergantung beberapa bungkus makanan. Di antaranya ada brownies, ayam goreng, jajanan pasar, gudeg, serta berbagai jenis makanan lain. Tidak tahu, biasanya memang begitu. Banyak orang yang tak dikenal berlalu meninggalkan bungkusan-bungkusan yang asasi itu. Sebagian orang kemudian mengambil satu makanan, kemudian (bila tidak habis) mengembalikan ke tempat semula.

Sudah banyak berubah kampus yang dahulu sering dihujat ini.

Anehnya meskipun tidak tahu polanya seperti apa, tidak ada makanan basi yang berceceran. Masyarakat di kampus ini lebih banyak menolak makanan karena alasan kekenyangan daripada saling rebutan. Makanan seringkali tersisa dibawa ke rumah masing-masing untuk dibagikan ke sekitarnya.

Tidak hanya soal makanan, beberapa orang tua yang tinggal di sekitar kampus pada setiap sore membawa putra putri mereka meminta mahasiswa yang ditemui untuk diajari mengaji. atau mereka datang seorang diri datang untuk bertanya suatu persoalan baik mengenai agama atau sosial.

Andai para mahasiswa demo di “pertigaan revolusi”, para pengendara serentak menurunkan standar motor atau mematikan mesin mobil mereka. Bersama mereka berjalan di belakang mahasiswa, bersama-sama menyuarakan apa yang disuarakan sang orator. Karena mereka sadar bahwa suara mahasiswa adalah masalah masyarakat itu sendiri. Mendemo berarti mereka yang ingin menyeka air mata masyarakat yang tertindas, yang tidak berani menyuarakan di depan publik. Maka mahasiswa sebagai penyambung lidahnya.

Baliho-baliho dahulu yang berisi hujatan terhadap mahasiswa dan kampus, kini beralih menjadi bunga yang hampir setiap hari di kalungkan dan ditaburkan di sepanjang jalan kampus mulia ini. Testimoni positif tak henti diucapkan kepada perguruan tinggi ini.

Kriminalitas di sekitar kampus berkurang. Meskipun masih banyak pakaian compang-camping berlalu-lalang, tetapi mereka ada dalam keadaan kenyang. Pemerintah tidak lagi perlu memberlakukan undang-undang tentang larangan memberi uang di jalanan kepada pengemis dan gelandangan. Mereka dengan sendirinya akan pergi ke kampus. Mereka makan, diberi pakaian hingga pengetahuan.

Tidak heran jika ‘kampus putih’ sudah tidak lagi menjadi milik mahasiswa saja, atau kunjungan-kunjungan dari Sekolah Menengah Atas (SMA) yang akan melanjutkan ke perguruan tinggi. Namun juga milik semua kalangan masyarakat. Slogan Jogja berhotel nyaman sudah agak lama tak lagi terdengar. Orang-orang yang kehabisan bekal atau sengaja berkunjung ke Jogja lebih nyaman untuk bermalam di ‘kampus putih’ ini. Basecamp dari banyak UKM menyediakan tempat khusus para tamu yang hendak menginap. Bahkan tidak sedikit mahasiswa membuka ruang diskusi malam.

Pantas saja masyarakat begitu dekat dengan mahasiswa. Kuliah Kerja Nyata (KKN) tidak dilaksanakan pada semester sebelum mahasiswa diberikan wahyu oleh rektorat dan bagian akademik untuk mengerjakan skripsi. Kini KKN dilaksanakan pada semester kedua, sementara pembagian kelompok dan pembekalan sudah terlebih dahulu dilakukan pada semester awal. Kurang dan lebih 4 – 5 tahun mahasiswa terjun ke masyarakat. Selama perkuliahan berlangsung, mahasiswa lebih stress kala menghadapi masyarakat berkonflik soal harta gono-gini, dibanding stress lantaran makalah dan presentasi di ruang kelas.

Skripsi dikerjakan dua tahun setelah terjun di masyarakat. Tema-tema penelitian terambil dari permasalahan-permasalahan yang ditemui di masing-masing tempat KKN. Masyarakat tidak lagi menangis melepas mahasiswa, karena mahasiswa sudah menjaminkan nyawanya kepada masyarakat tanpa pengkhianatan. Mereka tidak khawatir karena mahasiswa pasti akan mengunjungi mereka.

Sudah banyak berubah kampus yang dahulu sering dihujat ini.

Habislah kata untuk membangun harapanku, yang jengah mendengar banyak kritik. Suatu ilustrasi yang sedang, tidak berhenti hanya menjadi akan. Kejadian!

Resep Membuat Teh Terbaik

“Dia yang mencintai, tak pernah menyadari kedalaman dirinya sampai saat berpisah tiba.” Khalil Gibran

 

Selama wabah corona ini, sebagian waktu kumanfaatkan untuk menyelami kesahajaan Mahatma Gandhi. Seorang Mahaguru dari India. Seorang yang sejak kecil pemalu dan tidak suka berteman. Hanya buku-buku pelajaran yang menemani masa sekolahnya.

Gandhi kecil juga seorang penakut: maling, setan, ular. Ada juga beberapa kesamaan denganku, di antaranya takut gelap. Mustahil untuk tidur dalam keadaan gelap. Gandhi tidak bisa tidur tanpa lampu menyala.

Pada akhirnya, Gandhi dikenal tumbuh menjadi pemimpin spiritual serta sosok penting dalam Gerakan Kemerdekaan India. Gandhi pula sebagai sosok yang telah berhenti untuk membenci manusia hingga empat puluh tahun lebih.

Namun, yang hendak kuceritakan di sini bukan mengenai Gandhi secara personal, melainkan dalam penyelaman kesahajaan Gandhi, Ia menceritakan beberapa pengalamannya dengan buku.

Pertama, Gandhi bercerita, “Selama saya masih di bangku sekolah, secara praktis saya tidak membaca apa-apa kecuali buku teks dan setelah saya terjun kehidupan yang penuh dengan kesibukan waktu untuk membaca sedikit sekali. Oleh karena itu saya tidak berani mengatakan mempunyai pengetahuan banyak dari buku. Namun demikian, saya yakin bahwa saya tidak begitu rugi karena keterbatasan ini. sebaliknya, kesempatan membaca yang terbatas ini boleh dikatakan telah memungkinkan saya mencernakan secara menyeluruh apa yang saya baca.”

Kedua, Gandhi berkata, “Pengetahuan ilahi tidak dipinjam dari buku-buku, melainkan harus direalisasi dalam diri kita. Buku memang merupakan suatu bantuan, tetapi seringkali dapat merupakan hambatan.”

Ketiga, Gandhi bercerita, “Tentang buku-buku pelajaran yang begitu banyak dibicarakan orang, saya tidak pernah mempunyai keinginan apa pun untuk membicarakannya. Saya bahkan tidak ingat lagi apakah saya telah banyak menggunakan buku-buku itu yang ketika itu dapat diperoleh.

Menurut saya, para pemuda itu tidak perlu dijejali dengan sejumlah besar buku itu. Saya selalu merasakan bahwa buku pelajaran yang paling benar bagi seorang siswa adalah gurunya. Saya sungguh tidak mengingat banyak dari apa yang diajarkan oleh para guru dari sisi buku pelajaran, tetapi sampai sekarang pun saya masih ingat dengan jelas tentang hal-hal yang diajarkan oleh guru-guru, di luar guru pelajaran.

Anak-anak pada umumnya dapat menyerap hal-hal lebih banyak tanpa harus berusaha terlalu keras melalui telinga dibandingkan melalui mata mereka. Seingat saya, saya belum pernah membaca sebuah buku dari depan sampai habis bersama murid-murid saya. Tetapi saya memberikan kepada mereka, seluruh yang dapat saya cernakan dari berbagai buku yang telah saya baca, dengan menggunakan bahasa saya sendiri, dan saya yakin sedikit banyak mereka tetap menyimpan isi-isi buku itu dalam ingatan mereka. Sulit bagi mereka untuk mengingat apa yang mereka pelajari dari buku, tetapi apa yang saya tanamkan dalam diri mereka melalui kata-kata atau melalui mulut, mereka dapat mengulangnya dengan mudah.

Membaca merupakan tugas bagi mereka, tetapi mendengarkan kata-kata saya lebih disenangi selama saya tidak membuat mereka bosan karena tidak dapat menyajikan mata pelajaran itu menarik.” (diambil dari buku terjemahan Mahatma Gandhi: Semua Manusia Bersaudara, diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia, 2009)

Cerita Gandhi di atas tiba-tiba kuingat setelah kudengar kabar salah seorang Guruku, Dr. H. Syaifan Nur, M.A. wafat pada hari ini. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Sedih mendalam. Keramahan dan kedalaman ilmu dalam filsafat dan tasawuf tidak menyisakan celah pintu keraguan untuk masuk. Kebaikan beliau terhadap sesama sudah harum tercium bahkan sebelum mengajarku pada matakuliah Pendekatan Studi Islam. Memang pertemuan dengan beliau dalam ruang perkuliahan tidak berlangsung lama.

Berjalan dengan tenang, tatapan yang tajam namun penuh simpati, serta senyum yang tak pernah tenggelam pancarannya melalui wajah beliau mendapat tempat mulia dalam memori pikiranku juga khalayak.

Tidak salah banyak mahasiswa yang menyebut beliau lebih dari sekedar guru/dosen, melainkan sebagai seorang ‘Ayah’.

Kaitannya dengan Gandhi di atas, “Saya selalu merasakan bahwa buku pelajaran yang paling benar bagi seorang siswa adalah gurunya.” Kata Gandhi. Bapak Syaifan Nur seorang dosen teladan. Dengan kedalaman keilmuannya, saat mengajarku, beliau ekstrak ratusan bacaan dalam memorinya ke dalam bahasa yang ringan kepada mahasiswa kala perkuliahan, tentu tak mengurangi bobot pembicaraan. Jarang-jarang bahkan tidak pernah beliau ‘pamerkan’ bahwa beliau membaca melalui buku A, B, C dan D yang menyebutkan bahwa bla..bla..bla.. Bahasanya membisiki, Diksi yang digunakannya menuntun, mahasiswa tidak sedang diajari.

Dalam perkuliahan sudah beliau berikan referensi-referensi penunjang matakuliah.  Adapun selanjutnya lebih kepada nasihat untuk mahasiswa dan cerita-cerita perjalanan akademik, diselingi candaan sederhana yang mendidik, lalu kembali kepada pembahasan topik matakuliah.

Terkadang setelah cukup serius berdiskusi mengenai sebuah topik perkuliahan, beliau alihkan kepada pembahasan yang segar dan mengundang senyuman. Sang Ayah rupanya memahami kepenatan anak-anaknya. Mulai dari nasihat  kepada para mahasiswa yang akan menikah dan menjadi suami istri, kemudian cerita masa kecil Bapak Syaifan Nur yang gemar membaca lewat komik Kho Ping Hoo, hingga life hack sehari-hari. Kehidupannya sendiri adalah teladan yang baik bagi para mahasiswanya.

Salah satu life hack yang diajarkan kepada mahasiswanya adalah resep membuat minuman teh terbaik. Beliau jelaskan dari mulai memanaskan air hingga mendidih. Kemudian teh dari berbagai merk dibuka isinya lalu dituangkan dalam satu wadah, dicampurkan, kemudian teh tersebut dimasukkan ke dalam air yang sudah mendidih. “Mantap. Jangan tambahkan gula.” Ujar beliau sembari mengangkat jempol kanan nya.

Bagiku bila direnungkan akan sangat filosofis sekali: Menerima (meracik) perbedaan (ragam merk Teh) apapun sekitar kehidupan manusia. Proses penerimaan perbedaan tentu memerlukan dialog dan konflik (tungku api) yang tidak mudah.

Selamat jalan Bapak Syaifan Nur. Keteladananmu abadi. Bukankah bahkan Tuhan sekalipun takkan mampu menahan aliran deras doa-doa tulus dari anak-anak semestamu ini untukmu, Ayahanda?

Minggu Kelabu

Ah kadangkala media dan sebagian orang cukup berlebihan memframing suatu peristiwa. “Jangan kemana-mana!” “Kota ini sedang dalam penegakkan aturan yang ketat.” Hingga ketakutan kini sedang naik daun. Corona menjadi mafia menerror setiap insan bernafas.

Malam minggu tiba. Ah. Keluar juga kalian. Keluar juga kalian. Keluar juga kalian dengan pasangannya. Sementara aku berada di motor sembari berusaha menghabiskan sisa jok dengan badan yang mulai menggemuk sendirian.

Ingin sekali rasanya berubah menjadi polisi kemudian menilang dan memeriksa KTP mereka satu per satu pasangan kekasih itu, apakah mereka berada pada satu alamat yang sama: “Ah tepat sekali, Bapak. Kami secara sengaja tinggal pada alamat kos bahkan ranjang dan fetish yang sama!”

Sudahlah.

Sepanjang perjalanan malam minggu kelabu ini, toko-toko tidak sedikit yang masih tutup. Jumlah ketersediaan berkurang, namun tidak dengan tukang parkir. Jumlahnya masih tetap. Bahkan ada pula sebuah toko yang dijaga oleh dua tukang parkir.

Sempat sebal. Namun setelah dipikir-pikir, dalam kondisi yang sulit seperti ini, jangan marah pada tukang parkir. Jangan marah pada pencopet. Jangan marah pada rentenir. Jangan marah pada begal. Jangan marah pada penipu. Karena beginilah cara rakjat akar rumput bertahan hidup: bukankah sama-sama bersaing-sama kotornya dengan para kapitalis kelas kakap? Bedanya hanya dari cara berpakaian dan kendaraan…Sementara pada saat yang sama, sebagian agamawan sibuk pada seminar dan webinar.

Minggu kelabu membawaku berkelana menuju kawasan pesisir pantai selatan. Ketakutan akan wabah corona mengkristal sebagai serpihan-serpihan kaca dalam alam pikiran. Di jalan raya, virus berhasil memojokkan manusia dan membiarkan alam kepada muasalnya yang dingin dan sunyi. Bersih dari jejak kaki manusia yang mendekam pada sudut ruang rumah: sibuk mendengarkan berita televisi.

Minggu kelabu menuntun mataku kepada pertunjukkan sulap Indomaret dan Alfamart berubah menjadi Tomira: Toko Milik Rakjat di Kulon Progo. Kau tau sendiri bukan, bila sulap penuh dengan intrik dan kecepatan (~kebijakan) tangan? Hanya nama saja yang berganti dengan dalih sebagai solusi terbaik untuk merawat eksistensi perekonomian lokal di samping tetap mengizinkan toko modern beroperasi, daleman nya tidak sedemikian signifikan berubah. Baca lebih lanjut tulisan yang merupakan hasil penelitian Saudara Johan Ferdian JR yang berjudul: “Toko Milik Rakyat (Tomira): Apakah Benar Milik Rakyat?” dalam www.medium.com.

Ah, Tomira mengingatkanku pada suatu bangunan megah, tiada tahun tanpa pembangunan fisik, tiada waktu berlalu tanpa memikirkan akreditasi, konon katanya tempat mencerdaskan anak bangsa. Tertulis pada bangunan tersebut, “Kampus Rakjat”. Aku sedikit ragu dengan kebenarannya. Setelah kuusap kedua mataku, ah ternyata mataku salah lihat. Bangunan ini lihai sekali dalam menggunakan intrik dan kecepatan (kebijakan) tangan. Pertunjukkan Sulap yang unpredictable. Ternyata bangunan itu tak lain bagaikan koperasi: jual beli gelar. Astaga. Selama ini hadirin berikut rakjat ikut tertipoe. “Kampus Rakjat: Benarkah Menguntungkan Rentenier?” Orang tua mahasiswa harus rela meminjam uang demi (~pendidikan anak-anak semestanya) pertunjukkan sulap: Uang pendidikan mahal. Bahkan ditambah beban biaya ekstra!

Setelah sampai di kawasan pesisir pantai selatan, Kiai Seniman sampaikan bahwa perlawanan rakjat menolak sertifikasi tanah oleh TNI semakin membara: aku masih dengan khusyu mendengarkan banyak kisah dan petuahnya.

Sepulangnya,

Minggu kelabu memperlihatkanku pemandangan yang menunjukkan harmoni semesta: seorang pria tampan bertato pada lengannya sebelah kiri, membonceng seorang perempuan cantik berjilbab besar dengan motor matic.

Minggu kelabu belum berakhir, sesampainya di peristirahatan, ketika membuka laptop, cahaya lampu kamar berganti shift dengan kegelapan. Mati lampu! Ah aku phobia. Membuatku sesak nafas dan mencari sumber cahaya persis seperti laron.

Kunyalakan senter handphone. Namun yang terlihat bukanlah keadaan kamarku. Melainkan jiwaku yang kotor, pekat. Terpampang jelas.

Dunia Luas

Aku merindukan dunia yang luas. Kini sempit. Sesempit ruangan sekitarku menghabiskan hari-hari karantina mandiri. Bung Karno pernah mendekam dalam dingin jeruji. Begitupun Ustadz Abu Bakar Ba’asyir. Begitupula Hatta, hatta Tan Malaka.

Namun kini aku mendekam dalam ‘LP level pejabat’ lantaran wabah corona. Tidak seperti Hamka yang menyusun Tafsir Al-Azhar. Aku produktif membuang sampah-sampah makanan hingga tisu bau amis.

Produksi, produksi, produksi. Buatku jengah. Jadilah manusia kreatif banyak duit. Jadilah kreatif yang mengundang banyak khalayak untuk berkunjung, agar banyak endorse iklan: bisa cepat kaya!

Jangan lupa giveaway kontrasepsi agar semakin dicintai viewer.

Di Whatsapp berseliweran iklan pakaian dan obat jerawat. Di kedai kopi borju mahasiswa banyak memesan espresso dan lava cake. Sementara penelitian mereka mengenai “resistensi masyarakat petani”; “Pemberontakan rakyat” hingga “Konsep Kemiskinan”.

Aku merindukan dunia yang luas. Di mana seorang bapak dan anak berada dalam satu atap pekerjaan. Dan sang anak bangun dan terpejam dalam bayang keteladanan hidup sang bapak. Lihatlah di Pesantrian Ombo yang menjadi santri lantaran terdampak kesibukan orangtuanya di rumah.

Aku merindukan dunia yang luas. Tidak sesempit ruangan ini. Aku tidak ingin punya jam kantor, aktifitas rutin-monoton, rekan-rekan kerja yang berbaju rapi kantoran: karena sudah sering kuamati di Pornhub keyword ‘at office’. Namun tak ku download karena kampus tak beri aku pulsa dan kuota. Aku tak berkenan produktif kreatif dalam bayang industri: aku ingin jadi manusia saja.

Kekasihku Belum Terlahir

Kekasihku belum terlahir. Berapa lama daku menunggu. Seperti wisata. Seseorang datang hanya untuk menjadi sejarah dan tinggalkan jejaknya. Senja yang dikau amati takkan terulang kembali.

Kekasihku belum terlahir. Cinta membawaku untuk merindukan alam dan angin yang menyuruhku pulang. Pulang kemana. Aku bahkan lupa rahim mana asal terlahir.

Kekasihku belum terlahir. Seseorang mencintaiku karena kebiasaan. Film televisi memframing cinta sebagai penyatuan. Namun semestaku ajari cinta sebagai kerinduan akan musim semi yang tahu takkan pernah muncul.

Kekasihku belum terlahir. Apakah pacarmu sudah terkulai lemas?

Koe-Tjing

Burung mengabdi. Suaranya menjadi penyembuh luka. Lampu rumahan belum dimatikan. Kutjing sudah tampan disamping motor. Tertegun menghadap Merapi. Setelah kemarin rumah diguncang gempa. Manusia hiraukan tanda alam. Tanda alam bukanlah gunung yang terlihat mata telanjang. Tanda adalah notif dan media daring yang silih berganti. Daun berayun menunggu angin. Manusia bergerak menunggu bencana. Dedaunan di depanku sangatlah indah. Berwarna hijau, berbuah dalam bentuk dan warna apapun tetaplah indah; merah, hijau atau kuning, ranum bahkan busuk sekalipun. Penyair tetap mampu lahirkan puisi.

New Normal

Anton Chekhov gambarkan hidup manusia yang tak seindah dengan yang dicita-citakan. Melalui cerpen-cerpennya.

Manusia sibuk dengan gawai mencari berita: lowongan pekerjaan, melihat kehidupan selebriti dengan keirian, serta tawa-tawa yang sembuhkan luka.

Corona tak melulu tentang identifikasi korban positif. Corona adalah cermin yang tak lagi bening. Bagaimana bisa masyarakat modern setiap individu memiliki keinginan yang sama: pendidikan tinggi dan punya banyak uang.

Fakta sperma kini tiada lagi mencengangkan. Satu yang berhasil membuahi ovum, bersaing saling sikut. Sama sepertiku dan manusia kebanyakannya, kini. Bertarung untuk menjadi orang yang paling banyak memiliki segalanya. Segalanya harus dimiliki sehingga menjadi ‘manusia ‘ dengan cara bertarung.

Manusia bertarung, semesta biar saksikan.
Kaum pemodal bertarung, tukang becak menadah tangan bertahan hidup.

Corona adalah saat manusia menjadi manusia. Manusia adalah topeng. Topeng yang digunakan dalam stori-stori medsos. Atau dalam liput layar kaca televisi. Atau wawancara bersama wartawan.

Pesantrian Tanpa ‘Bangunan’

Ombo sudah tiba di Kota Gudeg. Tidak terasa pertemanan kami sudah tujuh tahun. Dari kota kelahiran RA Kartini.

Ia mengeluh soal pertambangan pasir dan tempat wisata yang belum dikelola dengan baik. Ombo masih berjuang memberikan apa yang ia bisa untuk memajukan desanya.

Tahun lalu ia merantau ke Sumatera Selatan untuk berdagang. Sebelumnya ia melamar pekerjaan di ibukota. Kagum rasanya dengan banyak pengalamannya. Daripada aku yang malah pusing dengan tugas akhir berikut tumpukan kertas prin-prinan yang tak kunjung selesai. Juga gelar yang tak pantas disandang.

Sebaiknya kini universitas menerapkan kebijakan baru. Ketika mahasiswa baru sudah bayar registrasi perkuliahan, berikan saja gelarnya diawal. ‘Yang penting’ mahasiswa mampu membayar SPP rutin, bukan? ‘Yang penting’ mahasiswa membeli dua ratus kertas hvs, bukan? ‘Yang penting’ mahasiswa kerjakan penelitian atas (~inisiatif mahasiswa) ‘perintah’ dosen, bukan? Apa bedanya antara gelar yang diberikan di awal dan di akhir kalau bukan soal (~penguasaan bidang) uang?

Kini Ombo sedang mengabdi pada sebuah pondok pesantrian baru dengan usia setahun berjalan. Terletak pada sebuah desa yang syahdu dan sejuk. Karena santri-santrinya baru angkatan kedua, sangat mungkin bangunan yang ada tidak memuat untuk memfasilitasi para santri pada tahun ajaran baru.

Daripada harus memperluas bangunan dengan menggusur panorama alam, Ombo dan ide semesta menamui kami malam-malam: para santri tidak tinggal pada sebuah asrama khusus. Melainkan tinggal bersama warga sekitarnya. Agar selain selain dididik oleh Kiai, juga oleh masyarakatnya.

Agar diajari semesta cara menjaga kebersihan diri dan lingkungan. Agar diajari cara bangun pagi dan bekerja di sawah jika yang ditinggali keluarga petani. Agar diajari cara memasak dan tidak membuang-buang makanan. Agar diajari rasa malu jika tidak bersungguh-sungguh belajar. Agar santri live in bersama masyarakatnya. Inilah Pesantrian tanpa ‘Bangunan’.

Santri sepulangnya dari kampung halaman membawa buah tangan kepada induk semangnya. Menambah keluarga baru. Mempertajam softskill santri.

Dalam fragmen lain, temanku mengupload status Whatsapp. Mengenai wisuda yang dilaksanakan di sebuah pondok pesantrian. Kini pesantrian yang telah berdiri lebih dari puluhan tahun, tentu memiliki santri yang tidak saja berasal dari daerah pesantrian tersebut berdiri, namun berasal dari berbagai daerah.

Daripada harus diadakan seremoni dengan memajang foto-foto santri melalui bangku berjejer, ide semesta katakan wisuda santri begitu indah jika disambut oleh Kiai setempat di mana santri tersebut lahir.

Pesantren ‘A’ atau ‘B’ hanyalah wadah. Santri adalah kebanggaan milik semesta berikut masyarakatnya. Santri bukan milik lembaga ‘A’ atau ‘B’. Kiai-kiai dapat memberi nasihat-nasihat utuh mengenai keadaan negerinya.

Pesantrian tanpa ‘bangunan’: hendaknya tidak melulu berorientasi ‘pembangunan’ fisik. Pesantrian merupakan lembaga pendidikan semesta. Bila ide semesta ini ada manfaatnya, kupikir hal ini bukanlah suatu hal utopis. Juga tentu hal ini pun bukan satu-satunya ide alternatif.

Keadilan Hukum yang Mabuk

Ada yang hilang ketika corona. Keadaannya dianggap membaik, namun tidak selalu menjadi kabar menggembirakan. Sebuah keluarga yang biasanya berkumpul secara kamil harus mulai ucap berpisah masing-masing menuju peraduannya.

Tidak ada yang lebih baik antara meninggalkan dan ditinggalkan.

Kasur yang berantakan kini ditiduri sepi. Gelas-gelas kotor di atas westafel, kini berbaris rapi menyisakan bau susu yang tak dicuci bersih.

Anak-anak dalam selimut kantuk mendengar pesan agama dari lisan Ibu dalam letihnya. Saban bakda fajar Bapak-Ibu mendekap kami dengan peluk nasihat. Rasa takut akan masa depan duduk menopang jantung dan paru-parunya agar senantiasa terjaga.

Kami bersimpuh berdoa pagi memulai hari.

Namun kini satu-persatu anak-anak Bapak-Ibu harus kembali pada garis jalan hidupnya. yang tak akan pernah lupa kepada kerahiman Ibu dan jalan menuju pulang.

Ada yang hilang ketika corona. Tidak saja nafas kehidupan dan orang-orang yang tercinta, namun juga keadilan hukum. Semua berlalu ketjuali berita melalui media. Akan dikunyah dengan cara yang berbeda. Semua kembali akan membincangnya tanpa bisa berjalan mundur dan memungut sisanya.

Orang-orang tahu bahwa detik yang berlalu tlah menjadi sejarah. Banyak orang enggan berpikir dan justru mengulangi kejahatan yang serupa.

Semesta yang tak pernah terlelap terlebih lagi Pemiliknya.

Nurani berbisik memenuhi jiwa Musisi menyanyikan suara kemanusiaan yang terdengar bising di telinga sebagian khalayak. Baginya manusia tidak bisa terkungkung oleh rasa takut. Terjepit lapar. Engkau begitu tegar hadapi hujatan. Demikianlah keyakinan.

Suara hati khalayak diteruskan Komedian menyiram muka keadilan hukum yang mulai mabuk. Berjalan sempoyongan namun masih sadar pada siapa harus mengabdi. Pada yang berkuasa!!!

Sudah memasuki Sore, Pak, Bu. Anak-anak semestamu harus berdoa lagi. Melanjutkan hidup. Meski sadar keberhasilan perjuangan adalah mimpi siang. Bukankah kewarasan nurani harus terjaga senantiasa?

de Fragmen

Ulah ka dokter, bisi disangka corona. Ka mantri wae, ulah diogo.” “(Kalau sakit) jangan pergi ke dokter. Nanti malah disangka terkena corona. Ke mantri aja, jangan dimanja.”

Fragmen rasa di atas menamui telingaku pagi ini. Ditemani nurani, juga sahabat nasib semesta.

Benar kata Eko Prasetyo dalam bukunya, “Orang Miskin Dilarang Sakit” !!!

Sementara,

Seorang dokter kulit memeriksa seorang pasien yang semula enggan untuk memeriksakan diri. Ketika dengan gugup campur malu harus memperlihatkan borok yang basah luka bekas operasi, pada tulang kering kaki sebelah kanannya. Pasien membatin lantaran dokter melihat luka tersebut dengan tatapan jijik.

Rasanya. Menerima tatapan seperti itu lebih menyakitkan dari luka deritanya yang tak kunjung kering.

“Ini sudah profesimu!!!” teriak rasa malu.

Harap pasien agar dirinya mendapat raut dan respon dukungan tiada penyakit yang tak bisa disembuhkan.

Rasanya. Hendak mengadakan audiensi imajiner antara fragmen di atas tentang dokter dan kondisi sebagian agamawan yang gemar mempolarisasi umatnya.

Jadi teringat quote Antonie de Saint Exupery, bahwa ‘jika kau ingin membangun kapal, jangan mengerahkan orang untuk mengumpulkan kayu dan jangan memberi mereka tugas dan pekerjaan. Ajarkanlah mereka untuk merindukan samudera tak bertepi.’

Air Conditioner ruangan majelis belum begitu dingin. engkau sudah takutkan aku siksa neraka. Teh baru disiapkan, engkau sudah gambarkan aku ar-Rahman ar-Rahim yang ‘Maha Penyiksa dan Maha Kejam’.

Mengapa engkau batasi buku bacaanmu. Engkau pisahkan dunia ini pada dua: ambil agamamu, tinggalkan selainnya. Engkau haramkan musik, namun tidurmu nyenyak mendengar orkestra tongeret dan alunan hujan semalam. Engkau pisahkan keilmuan Timur dan Barat.

Sebut aku sesat. Tuding aku kafir.

Aku senang dengan manusia yang gemar memberi harapan kepada sesamanya.

Tiada lagi wong cilik yang enggan ke dokter lantaran biaya. Agamawan yang menanamkan benih cinta kemanusiaan, membangkitkan semangat hidup kepada umat manusia.

Dalam suatu pertemuan, aku pernah diajak untuk menghadiri acara khataman al-Qur’an. Acara tersebut mengundang seorang Ustadz seleb: sepatu sneakers, kenakan gamis perlihatkan lekuk tubuh, rambut klimis, soft lense mata, duduk di barisan akhwat. Heuheuheu.

Berbicara berapi-api memotivasi hadirin agar semangat mempelajari al-Qur’an. Akhirnya, beliau mempromosikan metode cepat menghafalkan al-Qur’an miliknya. “Nenek-nenek usia 70 tahun sudah membuktikan!!!”…tanpa konfirmasi terlebih dahulu pada panitia.