Slogan “Back to School” sedang ramai menghiasi flyer-flyer yang menjadi status WhatsApp pekan ini. Hiruk pikuk para orang tua yang memenuhi toko alat tulis, sekilas memang menjadi penanda dimulainya semester baru. Sekilas pula, apa yang aneh dari slogan tersebut?
Rutinitas ini jelas hal yang lumrah. Setelah para siswa menyelesaikan ujian semester, bersukacita dengan liburan panjang, selanjutnya tentu memasuki semester baru. Apa yang mengganggu pikiran saya adalah kemiripan narasi yang digunakan oleh publikasi sekolah, “Back to School”. Mengapa harus menggunakan slogan tersebut?
Secara tersirat dari makna yang berlawanannya adalah pada masa liburan, anak tidak sekolah. Atau bisa juga menyiratkan adanya suatu jarak antara sebuah lembaga pendidikan dengan masyarakat.
Saya cukup sering meminta mahasiswa pendidikan di kampus untuk berpikir, “mengapa anak-anak selalu riang gembira ketika ada pengumuman libur?” Kemudian saya selalu memberi jawaban provokatif kepada mereka, “karena selama ini sekolah tidak menyenangkan!” para mahasiswa pun menyambut provokasi itu sembari tersenyum dan mengerutkan kening.
Lalu bagaimana membuat agar sekolah menjadi menyenangkan?
Sebetulnya apa yang menjadi tujuan dari pendidikan, sehingga seolah antara lembaga pendidikan dan masyarakat menjadi dua entitas yang berbeda. Hal tersebut secara tidak langsung menyiratkan pendidikan (berikut para siswanya) menjadi teralienasi dari masyarakatnya.
Masih belum sembuh dalam ingatan masyarakat, mengenai kasus koruptor yang merugikan negara ratusan triliun, merusak alam, namun mendapat vonis hukuman ringan ketimbang si pencuri ayam. Akhir tahun lalu, masyarakat sempat dihebohkan dengan (salah satu) kasus parisida, di mana seorang anak (siswa sekolah) tega menghabisi keluarganya. Padahal sang anak dikenal baik, taat beragama dan berprestasi.
Selain dua kasus di atas, tulisan ini tentu saja tidak mampu menampung semua permasalahan aktual, belum termasuk di dalamnya perihal pengangguran, kemiskinan, kesenjangan sosial hingga judi online yang kian meresahkan.
Tentu saja saya tidak sudi jika pendidikan justru melahirkan luaran trouble maker, bukan menjadi problem solver. Trouble Maker sebagai film tahun 1995 yang dibintangi Boboho (Steven Hao) dan Paman Tat (Ng Man-tat) tentu saja membuat khalayak terhibur karena aksi jenaka. Namun jika menjadi trouble maker dalam bangsa ini rasa-rasanya sudah kian menjengahkan.
Belum kita membahas bagaimana materi-materi yang diajarkan di sekolah, apakah materi tesebut relevan merespon kebutuhan suatu masyarakat, atau tidak lebih sebagai penyiapan manusia yang akrab dengan kebutuhan pasar?
Sekolah atau “School” mestinya melampaui suatu bangunan yang terbatas. Ia tidak mengacu kepada suatu tempat. Pun ia tidak memiliki jam. Sekolah idealnya menjadi suatu proses pembelajaran tiada henti, pengaktualisasian diri terhadap realitas dan masyarakat di mana siswa tinggal.
Jika meminjam bahasa Talcott Parsons, pendidikan mestinya berfungsi untuk menjaga keseimbangan dan keteraturan dalam masyarakat. Pendidikan harus dikembalikan perannya dalam proses sosialisasi dan perpindahan nilai yang diperlukan agar seseorang dapat mengaktualisasikan dirinya dengan baik di masyarakat.
Di samping itu, pendidikan juga seharusnya menjadi saluran untuk mobilitas sosial dan pengembangan keterampilan yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Saat saya ikut kegiatan ronda pada salah satu desa di Klaten, tidak jarang saya melihat beberapa warga keluar untuk membuang sampah pada sungai kecil yang mengalir. Kini saya masih melihat dan menikmati luasnya sawah, alir sungai yang jernih, serta luas kebun jagung.
Kesadaran lingkungan jika tidak dijaga, satu atau dua dekade ke depan kita tidak akan menemukan keasrian lagi di Klaten dan Solo Raya, selain kelak akan kita saksikan maraknya hotel, kavling perumahan serta bangunan-bangunan tinggi demi memuaskan hasrat para pemodal yang tak pernah tidur mencari peluang bisnis. Kesadaran tersebut lah yang perlu dibangun dan dijaga dari proses internalisasi pengetahuan lembaga pendidikan.
Selanjutnya, jika akhir-akhir ini marak membincangkan tujuh gerakan kebiasaan anak Indonesia hebat yang diluncurkan oleh Kemendikdasmen, maka upaya untuk mengatasi alienasi pendidikan adalah dengan poin ibadah, gemar belajar dan bermasyarakat.
Antara belajar dan masyarakat tentu saja berkait kelindan, namun kita tidak boleh lupa, bahwa aspek spiritual menjadi sangat penting sebagai pemandu moral kemanusiaan.
Terakhir, saya ingin menutup tulisan singkat ini dengan lirik lagu yang saya suka dari Kepal SPI yang berjudul, “Belajar Sama Sama”.
Semua orang itu guru, alam raya sekolahku, sejahteralah bangsaku.