Pada hari ini, dua puluh enam tahun lalu Aku dilahirkan tepat pukul duabelas siang Kehidupan menyapaku dengan raguragu Takdir dituliskan bersama doadoa panjang Mengapa semua orang tertawa? Padahal aku terus menangis! Sial! Aku belum mengerti apapa kala itu!
Pada hari ini, dalam setiap tahunnya Aku merenungi sisasisa usia yang semakin mendekati alpa Ternyata semakin dewasa, isi kepala semakin sesak dengan tanda tanya Mimpi mana yang belum menjadi nyata? Masalah apa yang belum selesai? Mau menjalani hidup seperti apa? Mau jadi apa atau mau jadi siapa? Apalagi yang harus dikejar? Apalagi yang harus dicari? Apalagi yang harus dikorbankan? Apalagi? Apalagi? Dan apalagi? Lantas, mau sampai kapan?
Dua puluh enam tahun, aku telah belajar banyak hal, tapi semakin banyak aku belajar justru semakin banyak aku tak mengerti Aku belajar mencintai banyak orang, tapi orangorang yang kucintai justru membenciku pada akhirnya Aku belajar membenci banyak orang, tapi orangorang yang kubenci justru mencintaiku pada akhirnya Aku belajar menjadi orang baik, tapi orangorang menganggapku jahat Aku belajar menjadi orang jahat, tapi orangorang tak menganggapku baik Dasar bedebah! Mengapa semua ini membingungkan?
Hari ini, aku berdiri mengenang semuanya Melihat pada masa yang telah lalu dan aku belum menemukan sesuatu yang bisa kubanggakan Sebentar! Memangnya manusia diharuskan untuk mempunyai sesuatu bernama kebanggaan? Bagaimana jika satusatunya sesuatu yang bisa dibanggakan adalah ketidakbanggaan? Ah, sudahlah! Lupakanlah!
Dibalik selembar laporan genose. Hasilnya negatif. Pada lembar belakangnya aku menulis spontan mengenai perihal yang kupikirkan. Waktu pengisian ujian tes tulis masuk kerja, lama sekali. Tiga jam. Aku sudah menyelesaikan satu jam sebelum tenggat waktu.
Daripada laporan ini kutaruh di atas meja lalu kutinggalkan, namun tempat yang asing bagiku adalah aksara-aksara yang gemas untuk kurangkai, kucapai, menceritakan apa yang kupikirkan. Belantara kata melayang-layang. Beberapa di antaranya terkulai lemas, kemudian terkubur pada tumpuk dedaun distraksi.
Para pekerja bangunan sedari pagi sudah berkeringat turuti arahan mandador. Aku menguap. Aku tidak sedang mabuk kecubung. Namun mereka terlihat tertawa melihat si jeans dan kemeja rapi tergopoh mencari ruang ujian.
Si Magister kelimpungan kenyang rebahan. Tuntas tunaikan maraton anime. Ada pula yang betah di warung kopi; makan dan mabar, lalu mabuk gagasan…
Siapa tau berguna. Apalagi ada maba-maba baru. Tebar pesona. Bertukar hasil muntahan. Overthinking lagi. Lalu bikin mural di dinding kota…
Tangkap saja, Pak. Siapa tahu ada anggaran untuk makan. Boleh pilah-pilih lauk, bukan? Apa perlu kulemparkan saja ijazah?
Sejujurnya tak terbayangkan bila berkesempatan mengelola uang negara di sana. Sekalian nanti hendak melihat papan informasi di penjara. Ada lowongan pekerjaan, mungkin? Sipir penjara!? Atau sipir-sipir penjara membutuhkan ‘tenaga-tenaga terpelajar’? Siapa tahu ada yang bisa dilakukan.
Jadi?
Bisa juga, ini ide, uang hasil sogokan napi dibuat saja bisnis. Apa saja lah. Asal jangan jadi joki buat tesis. Meski bisa, tapi masa aku harus muntah lagi, di atas muntahan-muntahan yang sudah bau?
Penak yo kae koruptor alias penyintas korupsi iso korupsi duit e rakyat akeh bianget. Iso nggo tuku omah, lemah, perhiasan, ternak, laptop, tetikus, bolpen, dosgreb, nganti BTS meals sak toko-tokone. Pokmen hura-hura tekan anak putune.
Padahal yo lagi pandemi. Rakyat do kebingungan golek duit; sekedar nggo nongkrong neng warkop po angkringan le biasane seminggu nutuk, sak iki mung iso sekali-duakali dalam seminggu. Biasane iso tuku kuota 70GB saiki ming iso 15GB kui we diirit-irit.
Kadang muncul berbagai pertanyaan yang timbul dari alam bawah tanah, eh bawah sadar. Sebenarnya dari mana sih akar kebiasaan korupsi ini muncul. Jadi sedih tau. Karena banyak hak-hak orang lain yang harusnya diterima, tetapi malah temangsang neng sakune wong-wong raceto kae.
Apakah hal ini (praktik korupsi) sudah menjadi kebiasaan rakyat (pejabat kan sebelumnya juga rakyat jelata), sejak masa kanak-kanak?
Apakah memang korupsi menjadi iming-iming ‘paling lezat’ ketika seseorang duduk di kursi kepemimpinan?
Atau memang mimpi menjadi kaya raya hanya bisa tercapai melalui cara tersebut?
Banyak kabar joni (baca= burung) yang beredar di negara Wakandut (walau kalut selesaikan dengan dangdut) asolole josss! Korupsi menjadi praktik yang lazim dilakukkan oleh para pemegang jabat, hampir di semua lini.
Dampak Tidak Langsung
Tetapi yang lebih miris adalah dampak secara tidak langsung yang diakibatkan dari perilaku burut para oknum pejabat tersebut adalah rakyat jelta juga memiliki keinginan untuk kaya raya, hanya saja jalannya beda, yakni dengan pesugihan.
“Kita akan mencari apa yang kita tidak miliki”, sebuah pepatah Wong Fei-hung muncul dari mulut buaya darat yang tinggal di pantai Trisik yang sekarang baru berjemur dipinggir pantai pakai kacamata hitam biar bisa liat para betina gak pake daster.
Referensi, akses, dan kapasitas rakyat jelata yang tentu sangat berbeda jauh dengan para pemegang kekuasaan melahirkan bentuk atau cara lain. Cara tersebut dinilai cukup jitu, terbukti banyak rakyat lain yang mengikuti cara tersebut walaupun terkesan cukup aneh alias tidak biasa (kalian luar biasa). Cara tersebut adalah jalur kaya via pesugihan.
Seperti ketika mendaki gunung, ketika satu trek sangat padat, terkadang kelompok pendaki tertentu berinisiatif dan coba menjadi ‘Dora’ dengan coba membuka dan mencari trek alternatif. Dengan iming-iming proses yang lebih cepat (memangkas waktu), menjajal pengalaman baru, dan merasa unik karena berbeda dengan yang lain membuat kadang cara tersebut dilakukan. Terkadang cara tersebut sampai mengabaikan risiko yang ada. (wes di warning tep ngeyil, karena ngeyil adalah jalan ninjanya Kabuto).
Pesugihan adalah Koentji
Pesugihan merupakan praktik tidak biasa yang telah menjadi rahasia umum dan telah banyak dilakukan oleh masyarakat Wakandut (walau kalut selesaikan dengan dangdut) asolole josss! Pesugihan menjadi jalur yang dianggap efektif dan efisien untuk mendapatkan kekayaan di dunia.
Banyak faktor yang melatar belakangi praktik tidak baik tersebut; mulai dari jalan cepat ingin kaya seperti tetangganya, karena penderitaan hidup yang tidak kunjung usai seperti sinetron di RCTO, putus asa dalam mencari uang yang halal karena gak punya ijazah sampai tingkat perguruan saulin soker, tertutupnya hati insan tersebut, hingga pengen nyoba aja (emangnya gak boleh? Yaudah, oke fine! kita putus).
Berbagai tata cara pesugihan telah tersebar luas di seluruh penjuru Negara Wakandut.
Berikut adalah daftar terpopuler cara pesugihan di Negara Wakandut (walau kalut selesaikan dengan dangdut) hek hekya!! Data daftar cara ini telah diteliti oleh Tomas Jorday(seorang peneliti luar biasa, yang biasanya beli satu es krim di Wakanmaret, tapi tetep minta kantong plastik di kasir):
Pesugihan dengan babi ngepet;
Pesugihan dengan Tuyul dan Mbak Yul;
Pesugihan dengan siluman kura-kura nindja;
Pesugihan dengan melakukkan ritual seks edukesyen;
Pesugihan melalui proses ‘ngalap berkah’ benda keramat dan pohon tertentu;
Pesugihan dengan kerja sama ‘bilateral’ dengan makhluk gaib;
Pesugihan di gua atau makam keramat;
Pesugihan monyet atau kera yang cukup familiar di daerah helpagung.
Pada praktiknya cara tersebut selalu melibatkan pihak lain (pihak kedua) dalam proses kerja sama bilateral yang akan dilakukkan, seperti makhluk gaib atau benda dan tempat tertentu.
Seringkali pihak-pihak lain tersebut memiliki request khusus yang harus dipenuhi oleh pihak pertama supaya kesepakatan yang didamba-dambakan dapat terjadi. Request yang diminta oleh pihak kedua tersebut seringkali berupa tumbal atau korban sebagai bentuk kesepakatan yang dibuat.
Kerugian dan Dampak Buruk
Nah jika dipikir secara jernih, sebening air mata ibu, praktik tersebut nantinya akan memberikan kerugian yang lebih banyak. Mulai dari tuduhan tetangga dan sanak saudara sebagai bentuk kerugian sosial. Apalagi dapat dikucilkan dimasyarakat bila terbukti benar. Tumbal dari anggota keluarga (seringkali anak atau janin menjadi isu tumbal paling populer), penyakit misterius menahun, hidup tidak tenang karena kebingungan ngecakke duit mergo rung siap sugih, hingga peringatan dosa dan bentuk siksaan yang kelak akan diberikan. Maka dari itu guys, mari kita kampanyekan hubungan bilateral yang baik antara manusia dan Sang Pencipta supaya nantinya kita diberikan kemudahan jalan dalam mendapatkan rezeki yang baik dan syukur-syukur dapat memberikan manfaat baik untuk sekitar kita.
Aku bertanya, “yakin akan tetap bergegas? Di luar sedang hujan. Tak menunggu sedikit reda?”
Kau jawab, “Dia sudah membuatkanku masakan, aku harus segera tiba di rumahnya.”
Menghisap sebatang rokok terakhir, sebelum pergi, sembari bercerita perihal kekasihmu yang pandai memasak. Jarak tempuh tidak dekat. Pertemuan yang sudah tak bisa ditunda. Gila, bukan? Nasib takdir apa yang akan menghajarmu pada masa datang. Sehelai pun bahkan kalian tak terbesit. Tak peduli! Kuah sup panas serta memandang senyum kekasih di antara belantara hujan di ruang tengah.
Njing! Kopi di atas mejaku masih saja pahit kuseruput. Tapi nikmat sekali.
Aku berniat mengurangi makanan-makanan manis. Namun seporsi pisang keju kutelan bulat-bulat sendiri.
Sedang apa dirinya? Apa sudah berbusana dan menebalkan lipstik yang telanjur memudar.
Cepat sekali kawanku. Jejaknya sudah dihapus genang hujan.
Padahal kuhendak bertanya, apakah ia suka menciumi tengkuk kekasihnya dari sebelah kanan. Membuang hela nafas pada lehernya. Memeluknya dari arah selatan tubuhnya. Apakah ia bersendawa pada sela-sela cumbu desahnya. Serta mencuri pandang pada pejam matanya dalam remang pencahayaan. Apakah kekasihmu menekan dadamu untuk mengambil kendali. Membuatmu pasrah, lalu dengan segera kau menyimpan memori hari ini, sebagai bahan tangis?
Lagu mendung tanpo udan, terulang, berkali-kali. Seorang kawan harus lekas tinggalkan kota. Sementara tanah kelahirannya yang tak menjanjikan apa-apa padanya. Mari pergi ke kedai kopi, tanpa agar atau supaya. Kita pergi saja seakan bukan suatu jamuan terakhir. Mengingat kopi yang tersaji pada malam di mana rembulan terbit sempurna.
Pada malam itu, tawamu adalah yang kuperhatikan disela lamunan. Aku berpikir, bila tertawa adalah suatu kekayaan, maka manusia sudah kaya berkali-kali. Apakah nikmat semacam itu selalu terlintas pada benak kita, yang selalu melalu. Anggapnya sepele. Tanpa tuntas berucap syukur.
Hujan. Buat orang terhenyak sejenak. Beberapa detik lakukan perenungan. Puisi paling sederhana tercipta manakala hujan. Namun sayang sekali, acapkali tiada waktu lagi upaya untuk mereka tuliskan. Semua bermuara pada benak kemudian tenggelam dalam ribuan rintik.
Hujan dan bulan madu. Turunlah hujan pertama pada awal pernikahan yang sendu. Gerimisnya suatu hal yang syahdu. Kekasih, kapan kita saksikan hujan pertama kita, sementara tubuh kita yang telah kewalahan dihujani banyak kecupan.
Aku masih menyukai hujan.
Sebab hujan tak butuhkan agama untuk membuat orang bahagia. Apa agama hujan? Jatuh memeluk bumi yang sepi. turun menciumi punggung bumi yang resah.
Rimis-rimis rintik. Jangan dulu henti. Sebab aku akan kembali tenggelam pada jemu rutinitas.
Setiap hujan, setiap itu pula manusia menggubah puisi, yang tak kunjung menjadi kata dan bait.
Ada keadaan genting di mana hujan turun tiba-tiba. Ada rindu yang menggenang kala kekasihmu tiada di sisi.
Hujan menderas. Cerita-cerita tersampai dengan setengah teriak. Problema-problema yang tak butuh jawaban segera. Ia hanya harus disampaikan kepada orang yang tepat. Kepada siapa yang hendak dengan tulus mendengarkan.
Hujan deras, berarti ada banyak orang yang sedang bercerita.
Namun tanyamu bahwa kini sudah reda. Kau memintaku mendongak ke langit, bulan dan sinarnya di balik ranting-ranting pohon. Sadarkah bahwa aku menjadi jelma serigala yang siap menerkam sepimu.
Nyatanya tidak ada apa-apa malam ini. Kesedihan tetap mengorbit pada bayangan yang selalu mengikuti diri. Serta ucapan selamat tidur yang terlambat untuk kubalas.
Kau bisa tertidur? Meski dengan segudang tanya yang telah menjadi abu?
Di mana tempat terbaik menghabiskan kopi sebelum pergi?
Pikiran yang tak pernah bisa beristirahat. Aku curiga kenangan-kenangan terangkum pada sorot lampu oranye kota ini. Serta gemercik sungai syahdu sempurnakan malam. Jejak kota yang tak puas disinggahi. Raga yang segera berpindah, kapan segalanya bisa terulang.
Pulang. Buah tangan tampil sebagai daftar pemberitahuan. Kota baru belum segera tergapai. Ia sudah brengsek membawa kesibukan.
Dipan yang dingin dibilas embun, padahal merindukan perenungan. Sisa waktu… Hingga berakhir pada kursi penerbangan. Kota yang lamat lamat menjadi jauh dan kecil.
Namun apakah waktu bisa tersisa? Sisa yang manusia sebut sisa hanyalah penyebutan sisa. Hanya aku yang mengikat. Lalu kini terkekang lalu mengejar waktu yang tak kemana mana.
Ingin segera terbangun. Asing berdiri di atas tanah kelahiran. Tanpa siapa-siapa selain berhadap ketakutan.
“Kau tak punya apa-apa, pun siapa-siapa. Bertahanlah di kota ini, tinggal kau umbar pencapaian-pencapaian lama yang memabukkan.” Bisiknya.
Bagaimana dengan hari esok?
Hari esok adalah hari ini dengan kesempatan berbeda. Bertengkar dengan bayang sendiri.
Kapan saat terbaik untuk menyimpan kata-kata?
Biarkan diri bekerja tanpa harus memberitahu mereka. Aku bukan penyabar untuk selalu tergesa-gesa.
Selesailah. Segera. Aku hanya ingin terbiasa melakukan apa yang aku suka. Terpendam sejak lama.
Aku tak hendak membelakangi kota kelahiranku. Kutitip rindu kepada setiap jengkalnya. Namun aku tak miliki siapa-siapa di sana.
Soal film, tentu saja menyoalkan apa yang berada sekitar kita. Film selalu memiliki pesan khusus, acapkali melibatkan emosi dan kuras perasaan yang kuat. Bila kusaksikan suatu film melalui media streaming, tidak jarang aku mempause untuk sekedar mencatat ungkapan-ungkapan yang mengena, atau terinspirasi kepada tokoh-tokoh tertentu untuk ditiru pada kehidupan yang sebenarnya (tentu saja meskipun alur sebuah film seringkali berdasar dari kisah yang sungguh nyata).
Tulisan ini sebetulnya akan memberikan informasi bahwa sebuah event besarfestival film, tentunya sangat bergengsi dalam dunia perfilman akan segera digelar bulan ini. Sundance Film Festival!
Mengingat kondisi yang masih rawan untuk diselenggarakan secara luring, acara yang tentunya banyak ditunggu banyak insan perfilman ini masih harus diselenggarakan secara virtual pada tanggal 23-26 September 2021. Festival film ini menjadi spesial karena ditayangkan secara khusus untuk audiens Indonesia. Acara-acara menarik sudah dinantikan pada festival ini. Festival Sundance Film Festival: Asia 2021 akan mempersembahkan delapan film yang telah dikurasi oleh tim program Sundance Film Festival, bersama dengan XRM Media dan IDN Media.
Selain itu, segmen yang ditunggu-tunggu pada festival ini akan menghadirkan program diskusi panel yang dihadiri oleh sejumlah pembicara terkemuka dari komunitas film lokal dan internasional. Diskusi panel akan ditayangkan di platform TikTok (@SundanceFFAsia) serta Sundance Collab. Segmen ini diharapkan dapat membuka lebih banyak topik terkait industri perfilman. Pengumuman Best Short Film Jury Award for the Short Film Competition dan intensive workshop untuk membina para talenta perfilman di Asia Tenggara pun akan diadakan pada kesempatan yang sama.
“Bersamaan dengan berkembangnya film-film fiksi dan dokumenter di Indonesia, kami begitu antusias terhadap peluncuran Sundance Film Festival: Asia edisi pertama kami,” ungkap Kim Yutani, Direktur Pemrograman di Sundance Film Festival. “Merupakan suatu kehormatan bagi kami untuk dapat membawa semangat independen Sundance ke komunitas film yang dinamis di Indonesia. Semoga, kami dapat terhubung dengan penonton lokal dan mendukung seniman Indonesia melalui intensive workshop dan panel discussion yang kami selenggarakan.”
William Utomo selaku COO IDN Media, menambahkan, “Sundance Film Festival: Asia 2021 akan menghadirkan serangkaian program yang intensif dan komprehensif. Harapan kami, para sineas di Indonesia dan regional dapat bertukar wawasan baru mengenai industri perfilman melalui program-program tersebut. Selaras dengan visi IDN Media untuk terus memberi #PositiveImpact bagi masyarakat, Sundance Film Festival: Asia 2021 berkomitmen untuk menemukan bakat-bakat baru di Asia Tenggara, kemudian menghubungkan mereka kepada para pakar di industri perfilman.”
Delapan Film telah Terpilih!
Pada Festival ini, terdapat delapan film (empat film naratif dan empat film dokumenter) yang terpilih untuk ditayangkan pada Festival perdana ini.
Pertama, Amy Tan: Unintended Memoir/U.S.A. (Sutradara: James Redford, Producer: Karen Pritzker, Cassandra Jabola) — film dokumenter ini mengisahkan mengenai Amy Tan yang menetapkan dirinya sebagai salah satu sosok di bidang sastra paling berpengaruh di Amerika. Ia Lahir dari sepasang suami-istri imigran Tiongkok, memerlukan beberapa dekade bagi penulis The Joy Luck Club ini untuk memahami betul trauma yang diwariskan oleh para perempuan yang berhasil menyelamatkan diri dari tradisi pergundikan di Tiongkok.
Kedua, The Dog Who Wouldn’t Be Quiet/Argentina (Sutradara: Ana Katz, Penulis Naskah: Ana Katz, Gonzalo Delgado, Produser: Laura Huberman, Ana Katz) — film naratif ini mengisahkan tentang seorang pria berusia tiga puluhan bernama Sebastian, dengan pekerjaan tidak tetapnya, selalu menemukan cinta pada setiap kesempatan. Setelah melewati serangkaian pertemuan dan perkenalan singkat, serta berbagai gejolak kehidupan, Sebastian terlahir menjadi pribadi baru. Pemeran: Daniel Katz, Julieta Zylberberg, Valeria Lois, Mirella Pascual, Carlos Portaluppi.
Ketiga,Try Harder!/U.S.A. (Sutradara: Debbie Lum, Produser: Debbie Lum, Lou Nakasako, Nico Opper) — film dokumenter ini mengisahkan sebuah dunia di mana anak-anak culun dipandang keren, orkestra dianggap sebagai kegiatan paling berkelas, dan menjadi orang Asia-Amerika adalah suatu hal yang umum ditemui, para senior di Lowell High School bersaing untuk mendapatkan hadiah utamanya, yaitu masuk ke perguruan tinggi impian mereka.
Keempat, John and the Hole/U.S.A. (Sutradara: Pascual Sisto, Penulis Naskah: Nicolás Giacobone, Produser: Elika Portnoy, Alex Orlovsky, Mike Bowes) — film naratif ini berlatarkan kenyataan hidup yang begitu meresahkan, kisah nontradisional ini bercerita mengenai proses pendewasaan John, seorang anak yang menahan keluarganya di dalam lubang di tanah! Pemeran: Charlie Shotwell, Michael C. Hall, Jennifer Ehle, Taissa Farmiga.
Kelima, Luzzu/Malta (Sutradara dan Penulis Naskah: Alex Camilleri, Produser: Rebecca Anastasi, Ramin Bahrani, Alex Camilleri, Oliver Mallia) — film naratif ini mengisahkan Jesmark, seorang nelayan dari pulau Malta yang terpaksa meninggalkan tradisi dan mempertaruhkan segalanya bahkan harus memasuki pasar gelap perikanan demi menafkahi pacar dan bayinya yang baru lahir. Pemeran: Jesmark Scicluna, Michela Farrugia, David Scicluna.
Keenam,Passing/U.S.A. (Sutradara dan Penulis Skenario: Rebecca Hall, Produser: Forest Whitaker, Nina Yang Bongiovi, Margot Hand, Rebecca Hall) — film naratif ini diadaptasi dari karya eponim milik Nella Larsen, film Passing berkisah tentang dua perempuan kulit hitam dan kehidupan mereka selama era segregasi di New York pada tahun 1920-an. Kedua perempuan itu menjalani kehidupan yang berbeda di “sisi berlawanan dari garis warna”, hingga akhirnya, pertemuan mereka yang tak direncanakan menghasilkan eksplorasi yang lebih dalam tentang identitas rasial dan gender, kinerja, warna kulit, dan represi. Pemeran: Tessa Thompson, Ruth Negga, André Holland, Alexander Skarsgård, Bill Camp.
Ketujuh, Users/U.S.A., Mexico (Sutradara: Natalia Almada, Produser: Elizabeth Lodge Stepp, Josh Penn) — film dokumenter ini memiliki kutipan yang amat menyentuh, seorang ibu bertanya-tanya, “Akankah anak-anakku lebih mencintai mesin-mesin berteknologi yang sempurna ini ketimbang saya, ibu mereka yang bahkan jauh dari kata sempurna?” Ia kemudian menyalakan sebuah boks pintar yang dapat menimang bayinya hingga terlelap tidur. “Ibu” yang sempurna ini ada di mana saja. Ia mengawasi kita, menjaga kita. Kita mendengarnya. Kita percaya padanya.
Kedelapan, Writing With Fire/India (Sutradara dan Produser: Rintu Thomas, Sushmit Ghosh) — film dokumenter ini dimulai dalam latar lanskap berita yang didominasi oleh laki-laki, suatu ketika, muncullah satu-satunya surat kabar di India yang diinisiasi oleh seorang perempuan Dalit. Berbekal smartphone, Kepala Reporter Meera dan para jurnalisnya mematahkan tradisi dan isu termasif di India, mendobrak batas, mendefinisikan ulang makna kekuatan.
Agenda Diskusi Panel! Dari Ledakan Film Pasca Pandemi Hingga Topik Women in Film Industry…
Adapun program panel diskusi yang juga diselenggarakan Festival ini akan membicarakan tema-tema menarik, seperti tema “Film Outlook”, pembahasan mengenai dunia perfilman tanah air yang sejak 2016 hingga awal tahun 2020 meningkat secara signifikan, namun harus terhenti lantaran pandemik. Pembahasan ini menarik karena selain diisi oleh para pemateri yang merupakan produser ternama tanah air, seperti Mira Lesmana (Pendiri Miles Films), Angga Sasongko (Pendiri Visinema Pictures), dan Chand Parwez Servia (Presiden Direktur Starvision), mereka akan membahas mengenai bagaimana mereka dapat bertahan, mulai dari masa keemasan industri perfilman di Indonesia, era pandemik, hingga ledakan fantastis yang kemungkinan bakal terjadi pasca pandemik.
Tema menarik lain yang akan dibahas adalah mengenai “Women in Film Industry”. Sesi diskusi ini akan menyajikan perjalanan industri perfilman di Indonesia melalui kacamata perempuan. Tak hanya memberikan fakta tentang bagaimana mereka dapat bertahan di lingkungan yang didominasi oleh laki-laki, diskusi ini juga akan berbagi informasi mengenai pengalaman mereka saat pertama kali bergabung sebagai pendatang baru, hingga akhirnya dapat menjadi seorang profesional yang dikenal oleh banyak orang. Pembahasan ini patut ditunggu karena melibatkan pemateri dari perempuan-perempuan hebat yang berkecimpung dalam perfilman tanah air; pembuat film Nia Dinata (Berbagi Suami), penulis naskah Gina S. Noer (Habibie & Ainun), dan produser Susanti Dewi (Moammar Emka’s Jakarta Undercover) akan berbagi di sesi percakapan ini.
Selain kedua tema tersebut, ada juga tema-tema lain yang tak kalah menarik, seperti Indonesian Short Filmmaking. Pada sesi ini beberapa sutradara dan produser film pendek kontemporer Indonesia akan mendiskusikan tentang film pendek, bagaimana mereka dapat membawa karya mereka ke panggung internasional, serta bagaimana kesuksesan film pendek dapat melahirkan karya sinematik yang futuristik. Ada juga tema diskusi mengenai para sutradara yang akan bercerita mengenai proses awal karier mereka di industri perfilman, rupanya ada banyak pembuat film yang berhasil memperoleh pengakuan setelah mengikuti serangkaian festival film. Beberapa bahkan juga bertemu dengan mitra kerja yang dinilai potensial. IDN Media mempersembahkan: The Directors – Festivals and the Pathway to Success!
Pemenang Kompetisi Film Pendek Segera Diumumkan! Siapa Jadi Juara?
Short Film Competition Jury Award for Best Short Film di Short Film Competition akan diumumkan di TikTok live streaming (@SundanceFFAsia) pada hari Sabtu 25 September. Kompetisi ini digelar dengan maksud untuk menemukan, membina, dan memberikan panggung bagi talenta-talenta baru di industri film, serta memperkenalkan mereka ke kancah global. Sudah lebih dari 160 film pendek yang diterima dan diseleksi, sepuluh finalis telah terpilih!
Terlalu monumental untuk dilewatkan, bukan? Tiket dapat dipesan dimulai pada Rabu 15 September pukul 09.00! Harga tiket: Rp 30.000 untuk Tiket Single Screening, serta Rp 85.000 untuk Tiket Explorer untuk akses ke semua screening. Untuk informasi lebih lanjut, klik https://www.instagram.com/sundanceffasia/ atau kunjungi sundancefilmfestivalasia.org
Aku mengaduh sepanjang malam Menahan nyeri dibalik rintihan Pucat pasi mewarnai bibir yang menggetar tak karuan Menggigil raga tiada henti
Fajar masih remang-remang Mentari tak kunjung terbit menyambut siang Tubuh membasah bermandikan keringat resah Seolah jengkalan maut memutus nadi
Seketika tubuh terbujur kaku Bibir terkunci membisu Dalam hati aku bertanya “Apakah ini yang disebut sakaratul maut?” Detik-detik menegangkan aku tak sadarkan diri
Sukma dan raga serasa berpisah Pada yang kuasa aku hanya berserah Pada takdir pun aku berpasrah Harapku sempat hilang tuk melihat mentari di lain pagi Kukira aku sudah disurgawi Ternyata aku hanya mati suri
Sampai pada suatu titik, aku bertanya kepada diri sendiri, “untuk apa yang aku lakukan selama ini, sejauh ini, sedalam ini.” Banyak merenung, melakukan refleksi seakan menjadi suatu hal yang sia-sia. Orang memperkenalkan sebagai penulis refleksi bak seorang anak yang gemar menulis diari keseharian, atau orang dewasa yang gandrung menulis jurnal. Rasanya tak ada hal patut dibanggakan. Pada mulanya.
Sudah hampir setahun kira-kira menuju kediaman Ikal, yang bekerja pada sebuah penerbit. Aku kerap duduk di meja kerjanya yang nampak biasa saja, tidak ekslusif. Ada segaris merah secara vertikal pada sebelah kiri layar komputernya kala dinyalakan.
Foto Dian Sastro. Terpampang. Pada dinding yang sudah kusam. Gelas kopi sisa sedikit bercampur ampasnya, yang diejek rekan kerjanya sebagai jamu. Pahit. Sela-sela keyboard berhias pernak-pernik puntung rokok. Namun obrolan semalam, kau bilang malah sebal dengan Raisa yang nyata-nyata pendukung Red Devils. Kau kira Dian Sastro pendukung The Reds?
“Aku baru coli semalam”, kau ceritakan segera. Kau sesalinya dan berdoa a la tarikat yang memulai lembaran baru ketika mandi besar.
Kau cekikikan melihat cermin. Kala yang berada di depanmu adalah bayang masa lalu yang terjaga di sudut ingatan, “Jangan yang kiri terus, Mas. Gantian.”
Cermin yang hingga kini belum kunjung kau bersihkan. Berwarna jenuh.
Hal ini bukan soal keringat, katamu, melainkan perihal gairah yang pernah menemukan muaranya.
“Jangan sampai kau temukan buaya wanita.” Pesanmu.
Duh. Namun yang kutemukan kemudian malah angkringan dekat tempatmu bekerja. Pisang goreng panas, es susu tape serta nasi oseng jamur yang pedas. (Kok kamu ngga bilang sejak dulu kalau ada angkringan seenak ini di dekat tempat kerjamu?)
Kita menyantapnya. Sambil melihat pelanggan menunggu pesanan gembus goreng yang minta dimasak lebih kering.
Beberapa orang pulang kerja merapat menyuapi rasa lapar. Kau selesai makan duluan. Cekikikan membaca komentar kepala desamu yang memberi sticker pada postingan Facebook merespon postinganmu.
“Pesan tersampaikan.” Ujarmu puas.
“Aku cuma nanya dan meminta keterbukaan informasi publik mengenai program desa. Kok yo tiba-tiba gapura desa direnovasi. Apa karena agar truk-truk proyek leluasa masuk ‘membangun’ ndesa? Kok warga tidak ada yang tau. Tau tiba-tiba.”
UU No. 14 Tahun 2008 Pasal 7 tentang Keterbukaan Informasi Publik, “Setiap Informasi Publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap Pengguna Informasi Publik.”
Padahal termasuk kawasan ruang terbuka hijau. Korporasi semakin liar saja membakar ambisi pribadi pemangku kuasa. Mau dibangun apa lagi, sih?
Memang ya, suara dari nurani tidak bisa disangkal. Seakan kau tak sadar bahwa kau telah berteriak melawan. Padahal pemberontak bukanlah sebuah profesi. Namun aku merenung, hal itu termasuk sebentuk syukur atas kepekaan terhadap keadaan sekitar.
Seakan kau bersuara tanpa rencana. Mewakili suara-suara yang tertahan pada kesunyian.
Kupikir-pikir, aku sempat kesal kala aku sebagai ‘tamu’ perantauan, sementara kau adalah si tuan rumah, kau bertanya, “sudah menahun tinggal di sini menempuh kuliah, apa sih yang udah kamu berikan untuk kota ini?” Selama-lama aku berpikir, pertanyaanmu itu sebentuk cintamu kepada tanah airmu, kan? Ah, diksiku salah, cinta memang tak menempati ruang dan batas…
Kau bercerita tentang dirimu yang menjadi relawan membantu para korban ketika Gunung Merapi meletus 2006 dan 2010. Sembari kau membuka topi dan membenarkan rambut, kau bilang, “Dulu rambutku lurus, tapi terkena abu vulkanik, entah kenapa sejak saat itu rambutku jadi ikal.”
Kau nampak berpikir. Tidak ada turunan dari siapapun yang memiliki rambuk ikal. Hanya kau seorang di keluarga. Kau menjadi semakin yakin dengan ‘jasa abu vulkanik’.
Setelah sendawa, kau nyalakan sebatang rokok kretek produksi Kudus, kubertanya, “Kau tak takut hilang?”
Sebenarnya aku tak berharap mendapat jawabannya, aku malah tertarik menafsirkan makna ikal rambut berkat abu Merapi.
Mungkin sedjak itu ia resah. Sedjak itu ia skeptis dengan keadaan yang tenang. Sedjak itu ia gelisah, sedjak itu ia melawan. Sedjak itu pula ia siap menghilang.
Pantas saja menjadi ikal. Sebagaimana keresahanmu yang melingkar jalar.
Apa kau juga membaca berita perihal cukong-cukong di Sangihe yang sedang berpesta dengan izin usahanya yang kontroversial. Apa kau masih memperingati kasus Munir yang takkan pernah terungkap.
Ah, kau sudah pasti pura-pura tak mendengar. Sibuk membenarkan rambut ikalmu yang tak bisa kembali sediakala. Memang tak ada jalan untuk pulang. Dan aku? Aku malah mulai merasa bahwa inilah alasan mengapa aku menulis tulisan refleksi. Kebanggaan mampu menceritakan kisah-kisah hebat si ikal pemberontak.
Kau lihat televisi semalam? Nunung Srimulat sudah terbahak di televisi, setelah sebelumnya pernah candu obat-obatan. Candu kuasa lebih susah direhabilitasi, kan?
Kita juga pecandu. Pada pinggang-pinggang kekasih yang sudah dingin dan merasa rindu berguncang.
Folder baru. New Folder. Pisahkan satu dan yang lain. Folder-folder baru lahir saban hari. Simpan apapun sengaja tak sengaja. Gunakan nama-nama yang tak kau simpan serius.
New Folder (1), New Folder (2)…
Letaknya berada di tiap sudut, desktop tampilan muka, hingga menyisip di antarakata kata yang asing terdengar.
Ia tak diberi nama, namun berisikan aneka. Angka-angka berurutan tampil sebagai asma, dokumen dan tangkapan layar berbaris memanjang ke bawah berkait kelindan di dalamnya.
New Folder menjadi rumah tak terbatas. Ia dapat menyimpan file apapun yang hendak disimpan.
Orang menjadi hipokrit, ia menyimpan New Folder baru di bawah barisan-barisan dokumen yang telah mapan. Rename “New Folder (13)”, “Lagu Bagus”, setelah dibuka, ternyata benar bahwa didalamnya merupa koleksi suara-suara desahan.
Padahal baru disimpannya semalam, ‘Lagu Bagus’ harus diabadikan sebelum dibanned atau dihapus oleh uploadernya. Penting sekali pada sela-sela waktu yang sempit, cari ‘Lagu Bagus’ buat cepat konak. Lalu eksekusi.
Susah-susah cari angle yang pas! Mengapa saat posisinya sudah ‘pas’ hanya dishoot sepersekian detik.
New Folder menjadi mimik yang menjaga banyak rahasia. Terlihat dingin di luar, ia dapat menjelma menjadi ekspresi kebinalan yang bekerja secara serius dan rahasia.
Dengan cara ini orang-orang akan mengerti, memahami kehidupan berarti berkompromi dengan nilai-nilai yang dianggap absurd. Siapa menyangka bahwa dokumen file matematika akan berdamping dengan foto gadis yang dicintainya diam-diam. Dokumen agama akan berdamping dengan kepentingan ranjang.
Siapa menyangka bahwa rahasia kelam kota akan terkuak menjelang kematiannya.
Hanya pada New Folder manusia-manusia tak menuliskan bahasa-bahasa clickbait. Ia harus ditulis lamat-lamat. Seolah kabut pagi yang dilewati para pejalan menuju praja.
Aku membisikanmu melalui tulisan membahana ini, bukan bermaksud mengumbar kerahasiaan yang tabu dibicarakan. Kerahasiaannya hanya dapat diungkap oleh dirinya sendiri. Keterus-terangan kini lebih memilih untuk bersahabat dengan senyap-senyap yang melubangi kuburannya sendiri.
Manusia pandai bermacam hal hingga tak pandai merawat kepandaiannya. Ia kalap tertular sifat ketuhanan yang ‘gemar’ cipta-mencipta. Keranjingan kekuasaan tertular sifat tuhannya yang maha kuasa-menguasai.
New Folder (3), New Folder (4)…
Ciptaannya kian banyak. Ide demi ide bergelimpangan, tanpa hati, tanpa kaki. Di dalamnya draft-draft berisi gagasan yang belum masak, buah-buah pikiran yang belum tersusun rapi.
“Itu…Itu rahasianya!” Kau setengah teriak seakan menemukan oase di tengah kontestasi kehidupan yang menjemukan.
Pin deadline sama sekali tak membantu dalam proses kreatif menulis. Sambil berlalu seraya memungut bahan tulisan yang masih mentah. Ia perlu direbus bersama gairah, outline dan keterburu-buruan waktu yang tak kenal kesabaran.
New Folder adalah palung gagasan yang diselami kala mengalami writer-block. Ia adalah baris-baris dokumen yang berisikan fragmen yang mewujud kalimat yang perlu dirawat. Kemudian mengangkat salah satu di dalamnya untuk kemudian diproses menjadi tulisan yang dianggap mapan.
Sebab memilih untuk hendak menulis apa, kebiasaanmu, kerap ditentukan oleh intuisi. Terkadang New Folder menjadi tak berguna kala apa yang baru saja kaujumpai lebih menarik hati dan hangat untuk dituliskan.
{
Hanya kala berusaha memahamimu, aku membayangkan banyak New Folder yang di dalamnya ada angka-angka terbalut perasaan tak sebau. New Folder yang serupa ruang-ruang di hatimu, cache-cache yang menunjukkan siapa yang pernah singgah sejenak (banyak sepertinya?).
Ingatan berupa New Folder yang perlu dilawat, menggubahnya menjadi nama-nama yang tepat. Apa kehidupan kita penuh dengan New Folder-New Folder abstrak? Di dalamnya memuat kolase foto lawas yang tersimpan tak beraturan. Kau beri nama apa labirin-labirin di dalamnya?
Jangan jangan aku adalah salah satu New Foldermu, berdebu. Yang tak kau jadikan recent folder yang selalu kau lawat. Jangan jangan aku adalah New Folder yang kau curigai sebagai virus yang selalu kau pindai, sementara New Folder lain kau sisipi file yang kau “hidden”.
Kau menungguku lama memuat semua media mediaku yang cukup berat dan lamban. Alat pemindah file mentransfer datamu kepada New Folderku, lalu tercabut sebelum selesai. Hingga New Folderku terasa lebih padat dan enggan membuatmu menunggu. Kau memilih membuka New Folder baru yang kau simpan secara tidak sengaja berawal dari tatapanmu yang jeli melihat sekitar.
New Folder (kehidupan yang tersekat-sekat)…
Kehidupan bak New Folder yang tersekat-sekat. Kehidupan perihal mengcreate atau mendelete. Butuh waktu lama seorang hendak merapikan file-file berserakan dan mengunci rapat-rapat apa yang ditemui. Biar saja berserakan. Hal ini membuat New Folder merupakan cara seorang dalam membahasakan labirin-labirin di dalam kehidupannya. Sekat-sekat yang sejatinya tak terbatas, mematahkan persepsi pada benak, mengenai ketaraturan dan keseragaman dokumen di dalamnya.