Apakah masih sama tafsirannya, tentang kereta api, sepeda yang terparkir menjadi pagar, pematang di belakangnya, di antara waktu yang memburu. Di antara candi-candi yang tak pernah sepi dari peziarah.
Bagaimana tentang hujan, yang tiba waktu petang, apakah rintiknya, pernah, singgah, menjadi rintikmu, yang kini jadi rintikku, menakali tubuh kita, juga membasahi kata-kata di dalamnya, yang tak sempat terucap.
Bukankah kelabu langit, ialah sama abu nya dengan pertanyaan “kapan temu itu?” yang tidak ada pada deretan angka almanak pada dinding dingin itu. Barangkali engkau sudah pandai berkilah, bahwa akhir-akhir ini, rintik-rintik yang selalu kusebut-sebut, di mana ia selalu membawa kawannya yang berisik bernama angin, tidak pernah datang terlambat, selepas sembahyang Asar.
Apakah masih sama tafsirannya, tentang rasa sepi, sebuah temu yang selalu mencari ujung temali, batas akhir, meminta kita untuk pulang.
Bagaimana tentang rindu, yang tiba sebagai temaram, apakah masih aku dalam bayang setengah gelapmu itu, dalam dekap, yang tak perlu kata-kata di dalamnya, yang hendak diucap.
Bukankah parau suaramu, yang susah untuk menjelaskan itu, adalah keindahan, ketimbang engkau mudah menitip lewat sebuah lagu.
Tinggalkan Balasan