Bulan: April 2022

Hilir Mudik

aldiantara.kata

Jelaslah, perjalanan menuju kampung halaman, kita bisa melihat pohon kelapa lagi, dari jendela kereta. Anak-anak kecil yang mewarnai gambar. Bahasa-bahasa asing bersahut sapa riang menghubungi kawan. Setelah sekian lama mendekam pada penjara-penjara pribadi. Keluarlah hingar keramaian. Sepi yang sesungguhnya.

Ah, jalanan semalam yang biasanya lengang. Kini berani ramai, jajakan banyak jajanan. Patroli-patroli yang purna tugasnya. Jarak-jarak terpangkas memungkas takut. Kini kita bisa lebih dekat, lebih mesra. Tidak apa-apa untuk terdiam menunggu larut. Biar kopi tak terburu kita menghabisi. Semut-semut pun sepertinya rindu mengerubungi makanan kita. Atau suara jangkrik mewarnai malam. Kini kita bisa merencanakan untuk bertemu? Tanpa rasa takut?

Rasanya aku hendak menaburi bunga kepada segala penjuru. Pada alir sungai, pada kursi taman yang lama lengang. Sekian lama berdebu, kini akan banyak khalayak yang akan singgah. Dengan daun-daun gugur yang telah lebih dulu memberi sapa kepada sepi. Matur suksma. Pandemi telah menciptakan banyak rindu dan harapan. Sebanding dengan kehilangannya.

Masih adakah tempat berpulang? Atau ia menjadi sesaji waktu yang harus dibayar. Hilir mudik. Sanak keluarga. Menahun terpisah jarak. Lupa cara menyapa. Segan untuk memulai kembali. Ada yang diam-diam rindu. Namun kembali memutar stream video lucu, ketimbang menulis surat dengan bubuh tanda tangan. Dunia kini banyak cara pengalihan. Menghilangkan sikap berani menghadapi. Bersembunyi dibalik akun-akun anonim. Mengamini quote-quote bertebaran.

Angsa-angsa di atas danau. Beburung berkoloni penguasa udara. Sepertinya pandemi telah berakhir. Jalan lebar terbuka. Saatnya berbagi keuntungan? Di tengah duka yang telah kita sepakati. Di tengah duka yang kita rayakan.

Saku Jaket

aldiantara.kata

Apa yang berada pada saku jaketku? Tebak. Sejak diskusi malam itu, perjalanan di mana air mata menjadi kemarau. Tawamu adalah unggun yang kedapkan suara malam. Kayu bakarnya adalah kata-kata. Apinya adalah suara kita yang menyambung pesan.

“Ada apalagi, ya?” tanganmu merogoh masuk ke dalam.

“Masker!” ujarmu setengah tertawa.

Astaga. Masker siang tadi. kugunakan menutupi berita-berita koran hari ini.

Aku bertanya kepadamu sesuatu, setelahnya kita turun dari kendaraan. Bisakah air mata datang sebagai permulaan. Membayar di awal segala sepi, rindu yang membuncah, atau sakitnya kehilangan. Sisa-sisanya biar kita dapat menari, tanpa membayar akhirnya.

Cinta tak pelak sebagai komersil. Ia harus pandai menawar dan membayar. Siapa gerangan datang membawa penawaran tender janjikan bahagia. Datang pula jaminan sedikit rugi dan duka.

Kita duduk di angkringan. Mengambil nasi teri dan sate brutu. Nyatanya kau mengambil sumber pedas sambal itu, sate brutu tak buatku lupa. Lalu kita membayar harganya masing-masing tanpa saling memberi beban.

Kopi jos yang terjaga hangatnya oleh arang. Pada cangkir yang sama sembari kau perhatikan tanganku yang gatal oleh gigit serangga malam. Memerhatikan malam, kereta melintas. Sungai kecil yang jingga airnya terpantul lampu jalan. Puaskah gerangan abadikan waktu melalui potret kamera? Menyimpan segala hal yang hampiri meski sekejap. Mengunggahnya dengan potret buram. Ungkapkan caption kata-kata meski aku hendak bertanya. Lengkung senyum yang bahkan cukup menjadi jawaban.

Gerangan sedang apa? Meminta air pada bibir-bibir yang lama mengering. Pelabuhan bahu telah bersandar pesiar yang menambat sementara.

Kau kembali merogoh saku jaketku, sebuah pesan yang paling rahasia terbaca.

Puasa Berpuisi II

Oleh: Azki Khikmatiar

Kasih!
Bulan puasa sudah menyapa kembali
Lihatlah! kisah kita telah bertahan
bertahuntahun bersama sepi
Mengapa waktu berjalan cepat sekali?
Rasanya kita belum selesai memahami
tentang makna sebuah rasa bersalah
Sekarang kita telah menyadari bahwa
semuanya harus kembali indah

Kasih!
Sudah waktunya kita berjalan kembali
Bersama benci yang lebih sering kita cintai
Melampaui sederetan bagaimana
Meneriakkan segenap rasa kecewa
Membela sesak yang sedari lama digariskan
Menyesali pilihan yang dikuasai kehampaan

Kasih!
Mari melanjutkan puisi yang hampir mati
Serangkaian perih ini tak bisa lagi dihindari
Hei! Untuk apa terus menulis puisi?
Bukankah diksi kita selalu berbeda?
Bukankah kisah kita tak pernah sama?
Bukankah kita enggan memberi ruang
pada sebuah kesempatan?
Tanyamu, bertubitubi!

Kasih!
Mengapa harus berhenti menulis puisi
jika luka yang kau beri nyatanya abadi?
Mengapa kita lebih memilih beralih
daripada melatih segala perih?
Mengapa kita saling menyulang bahagia
jika pada akhirnya kita bersulang air mata?
Ah, sudahlah!
Mungkin benarbenar sudah waktunya;
Puasa berpuisi!

Pekalongan, 14 April 2022

Tuhan, Aku Deadlock

aldiantara.kata

Yang meminta ampunan. Kuat bersimpuh termangu lalu lalang mereka yang telah lekas berdoa. Melalui dinding di mana Engkau mendengar lirih suara pinta. Sekejap aku berpikir aku hendak menjadi orang yang kuat menghadapMu. Pandai bercerita mengakui keakuan yang shagir dan daif. Namun pintu rumah ibadah segera ditutup. Hanya kesepian di episentrumnya yang membuat diri tak nyaman. Semua sudah pergi setelah pintanya terpanjat. Masjid kembali dingin. Menunggu waktu yang berjalan maju menuju bunyi beep kumandang adzan. Doa-doa template. Draft doa dan pinta yang sama. Barangkali Engkau adalah Maha Penyabar, dari skrip doa yang membosankan. Aku memeluk lututku. Engkau masih kuat untuk tetap mendengar?

Tuhan, bukankah di luar terdengar begitu gaduh? Kian samar sekali mana perkara baik dan buruk. Sementara aku duduk, mengadu. Saat aku berbisik malu meminta suatu, apa takdirku bak dadu. Angka hasilnya rahasia. Hasilnya diterima sebagai suatu keadilan?

Tuhan, aku deadlock. Aku hendak bercerita, namun Engkau Maha Mengetahui. Mesjid ini, mungkin seperti halnya gua hira yang sepi dan sejuk. Tidak banyak manusia-manusia kuat yang tengil sepertiku, kan, Tuhan? Mumpung, masalahku sedang banyak, Kemaha Mendengar-Mu, tidak kusadari Engkau telah meracik jawaban.

Simbol-simbol agama kini menjadi kontestasi perlombaan. Berlomba mencari pengikut. Hingga menjadi abu-abu kala ia hidup berpedoman agama atau menyembah keakuannya sendiri. Semua hal tak bisa ditahan. Semua hendak diraih sendiri. Dimakan sendiri. Menjadi si paling. Membuncah. Kekerasan. Angan mengawang menjauhkan yang dekat. Ambisi-ambisi runyam. Debar dada menghadapi waktu.

Tuhan, keresahan seperti apakah yang pernah berpendar dari orang-orang mulia yang membuat-Mu mengangkatnya sebagai seorang utusan? Sepertinya mereka tak ingin menjadi apa. Menggembala ternak dengan penuh kasih. Atau berdagang dan melakukan pengembaraan panjang. Berlaku adil hingga membebaskan perbudakan. Membela yang lemah dan yang direndahkan secara sosial. Menjadi pemaaf dan menahan untuk tak bergunjing, menutup rapat-rapat segala aib.

Bila norma-norma petunjuk suci ini serupa halnya lampu-lampu mengatur jalan, maka aku lebih gandrung melihat Ibu yang meneduhkan anaknya dari panas. Atau para pelajar yang nampak murung bergelut pada buku dan berita-berita populer. Atau lukisan yang luput dari gradasi warna. Atau perekonomian rumah-Mu yang menjadi mata air masyarakatnya.

Rumah-Mu, agar tidak menjadi tempat jatuhnya air mata duka.

Tiba sesaat nanti waktu berbuka puasa, apakah hidangan langit sebagaimana Rumi katakan dalam puisi, sudah siap? Sudah memasak takdir apa hari ini? Bisa sedikit tambahkan kecap, menjaga agar hidangan tidak terlalu asin tersaji. Anak-anak berlari berlomba tiba di Sungai Bengawan Solo, melayarkan perahu-perahu kertas yang berisi doa-doa.

Akankah hidangan langit hanya dinikmati segelintir golongan. Serakah, berebut. Apakah jatah-jatah duka benar-benar Engkau bagi secara merata, selaras, dan adil? Aku termangu menunggu panggilan menghadap-Mu. Serupa takbir, mengajak menghadap, mengapa tetap enggan berbagi yang mereka punya. Bukankah tiada Tuhan selain-Mu, melebihi materil juga sesembahan-sesembahan yang dibuat oleh diri.

Saat Engkau turun nanti menuju langit dunia, berkenan mampir ke kedai kopi langganan? Kopi susu tubruk dengan cangkir merah. Aku bisa carikan tempat bebas asap rokok.

Hujan yang Ramah kepada Turis

aldiantara.kata

Hujan belum beranjak dari senja kita. Ia tiba dari hafalan kita terhadap senja serta mendung langit. Apakah sebab ia merasa sepi, hingga masih bertaut pada musim kemarau, yang seharusnya kunjung tiba.

Jalan menuju nol KM seperti merayakan kebebasan dari pandemi. Mereka berpesta dan mengadu polemik. Soal politik hingga kitab suci. Jengah sepertinya berdebat melalui layar-layar gawai. Sebagian kelompok beradu strategi mengklaim atas penguasaan agamanya. Mereka menutup mata terhadap perbedaan-perbedaan yang sejatinya manis.

Hujan.

Hujan di kota ini. Bagaimana ada, tempat populer dan tidak. Padahal nafkah hujan tak pandang tujuan turun. Entah kepada pendatang luar kota atau mereka yang telah lama menetap. Penjaja menawarkan jas hujan berwarna-warni, seperti kerlap lampu juga kerlip ragam bunyi bersahutan.

Hujan, seperti ramah kepada turis. Mau menepi, setelah mencium aroma jahe susu?

Atau duduk pada kursi yang telanjur basah. Sambil bercerita tentang bagaimana kehidupan berikan berkat kepada kita. Bakpia yang dicari keberadaannya. Atau penjual baju oleh-oleh kota yang semua sudah pindah ke satu lokasi. Tidak pada sepanjang jalan biasanya. Mungkin turis datang bergiliran, saling membuat janji dan membayangkan pada waktu yang dipikirkan jalanan akan lengang.

Tidakkah kau merasa sekalipun bosan pada kota ini? Suatu tanya yang kualamatkan kepada tiap pengisi hiruk pikuk yang entah apakah setiap mereka sama, setiap harinya.

Namun nampaknya aku keliru, sebuah tanya menyusul, “Memang siapa yang bukan turis? Kita semua adalah turis!”

Pengembara. Yang turut berteduh. Kota ini milik siapa, berikut berkat kenang-kenang. Siapa yang mengaku memiliki?