Pada momen aku menangkap tatapmu, menatapku, yang tak berjarak, maka bagaimana engkau menafsirkan waktu, yang kini tak bisa kau peluk? Sayangnya, aku tebak engkau lupa mencatat bagaimana detak-detak jam pada malam itu, saban waktu, menggubah kata-kata.
Almanak pada dinding, di mana beberapa hari engkau lupa mengguratkan tanda pada masa yang telah lalu. Catatan-catatan kecil, mengenai kapan aku baru saja menukar lampu, kapan engkau baru saja mengucap rindu, yang tentu saja tak tertulis pada pinggir angka almanak itu.
Bagaimana jika tak perlu nyalakan lampu sementara waktu, purnama yang sinarnya akan segera masuk begitu aku menyibakkan tirai.
Engkau mau aku menyalakan flashlight yang kuarahkan pada dinding kamar, tubuh yang segera menjadi wayang-wayang siluet. Kita bisa memulai cerita mengenai manusia-manusia yang takut akan sebuah ruang terbuka. Pada perjalanan, kesendirian.
Sinar purnama yang masuk begitu engkau menyibakkan tirai, menerangi mawar yang dingin di atas sebuah vas yang engkau isi dengan air. Merahnya yang nampak berwarna hitam, oleh bayang-bayang malam. Engkau tak perlu membandingkan mana yang lebih terang antara purnama malam ini dengan firasat yang kerap engkau khawatirkan.
Apa yang engkau tafsirkan mengenai waktu?
Jika suatu hal yang muncul pada benakmu, maka sesuatu itulah yang tak boleh engkau utarakan tepat pada jarum yang bernama kebenaran, yang segera cepat-cepat engkau alihkan. Ia harus lekas tenggelam. Gelap itu, bukankah penyair yang kau kagumi itu katakan, melindungi semua warna, semua rahasia?
Bukankah dinding kamar ini adalah opium yang menekan rasa sakit sementara? Bahkan pada sebuah ruang yang kedap dari kebenaran, justru kita takut kepada kejujuran.
Maka apa yang engkau tafsirkan mengenai waktu? Premis-premis yang dapat dikalkulasikan sebagai kepastian? Atau sebagai proyeksi-proyeksi kemungkinan, yang tiba sebagai dejavu.
Tinggalkan Balasan