Semula, dalam ceritamu kemarin, seorang gadis yang tetiba menangis di bangku taman kota. Melihat layar gawai dengan serius.
“Padahal masih pagi lho,” ujarmu terheran.
Dengan sedikit nafas yang terengah-engah lantaran berjalan kaki, masih saja berupaya menjelaskan. “Zaman edan! Sepagi ini lho, yang semestinya waktu dipergunakan untuk olahraga, membaca buku dan mengembangkan potensi diri, bisa-bisanya benda kecil yang cukup dengan segenggaman tangan mampu kacaukan emosi manusia. Benda sekecil ini! Aku ngga pernah hepi kalau melihat status-status orang lain, pun itu teman-temanku.”
“Di internet, bahkan orang yang sangat jauh dapat menyakiti kita. Aku suka mereka menyakitiku dari kejauhan. Aku menjadi lebih mencintai diriku dan hal-hal yang sering kuanggap rapuh” –Sejam Sebelum Matahari Tidak Jadi Tenggelam
Seperti biasa, namun aku tidak pernah bosan, engkau mengaitkan apa yang dialami dengan buku-buku yang sudah kau baca.
“Sebetulnya buku Aan Mansyur Melihat Api Bekerja dasarnya kan memang terambil dari salah satu puisi di dalamnya, bukan hal baru sih. Tapi ilustrasi-ilustrasi Emte menarik. Ada ilustrasi manusia dengan kepala berbentuk rumah-rumah sembari menenteng gitar pada punggungnya, atau manusia berkepala pepohon.” Ceritamu.
Ternyata melalui buku ini engkau menemukan momen eureka! Engkau selalu ungkapkan puisi masyhur Aan Mansyur namun mengeluh tak tahu dalam karya yang mana.
“Aku benci berada di antara orang-orang yang bahagia. Mereka bicara tentang segala sesuatu, tapi kata-kata mereka tidak mengatrakan apa-apa. Mereka tertawa dan menipu diri sendiri menganggap hidup mereka baik-baik saja. Mereka berpesta dan membunuh anak kecil dalam diri mereka. Aku senang berada di antara orang-orang yang patah hati. Mereka tidak banyak bicara, jujur, dan berbahaya. Mereka tahu apa yang mereka cari. Mereka tahu dari diri mereka ada yang telah dicuri.” –Menikmati Akhir Pekan
Topeng-bopeng. Istilahmu. Memang semua gincu itu diletakkan di etalase depan. Kesedihan dan hal-hal substansi senantiasa tersembunyi pada ruang yang gelap, bukan? Tak boleh satu setan pun tahu.
Termasuk bagaimana engkau memahami kerinduan sebagaimana ia terletak pada suatu sudut ruang sunyi, yang kerap terjaga. “Aku tahu ketelanjangan tempat bersembunyi bunyi yang lebih nyaring daripada sunyi.” –Mendengar Radiohead
Kerinduan selalu riuh, membuat kepala sesak dengan kata-kata, dan rencana.
Kau pernah berkata, bahwa seseorang terkadang menghindari untuk mendengar lagu tertentu agar tidak kembali patah hati. Akhirnya lagu tidak lantas menjadi suatu pesan tunggal. Bagi penikmatnya, melalui momen tertentu, ia menyimpan memori yang tak dangkal. Bahkan disimpan pula suasana, percakapan-percakapan, hingga noktah-noktah kecil yang bagi sebagian orang mungkin bukan hal penting.
“Ketika mendengarkan musik, ia menyerahkan diri kepada rasa asing yang sakit, dan sunyi yang jauh. Ia senang memasukkan dirinya ke dalam musik yang sama ketika merindukanmu agar ia bisa tahu bagaimana rasanya sangat merindukanmu. Musik yang baik, baginya, adalah musik yang tidak tahu mengentikan dirinya sendiri. Musik yang memiliki dada kosong dan gema.” –Ketika
Pertanyaanmu menarik perhatianku. Kelak seiring dengan berlalunya waktu, apakah orang semakin enggan untuk menjadi penyair? Toh keresahan-keresahan tidak sedikit terwakili oleh gubahan lagu, pun dengan puisi. Hal-hal relate itu kemudian dititipnya sebagai jejak-jejak komentar pada aplikasi streaming atau platform apapun.
“Tapi tunggu dulu,” Aku sudah bisa menebak. Sengaja aku tak terburu-buru berkomentar, toh engkau sendiri yang akan membatalkan keresahanmu sendiri. Engkau bilang problem pikiranmu juga suatu hal yang dipikirkan oleh orang-orang pada zaman di mana penyair hebat itu lahir. Namun buktinya tetap saja penyair-penyair baru bermunculna, karya-karya puisi hebat lahir, pun lagu-lagu yang indah tercipta. Kita memang perlu untuk menjaga jarak dari bacaan-bacaan kita, kemudian mulailah mendengarkan suara hati yang selama ini terpeka-kan oleh rutinitas jemu.
…
Meja nomor tujuh.
Pesanan kita sudah siap. Engkau masih nampak belum teralihkan pada lembar kertas yang kau tandai halamannya. Markah-markah. Sesekali engkau bertanya kepadaku untuk sekadar mengonfirmasi.
“Kau pernah membaca puisi-puisi Sylvia Plath?”
Aku menggeleng.
“Sepertinya ada beberapa tempat di mana Aan Mansyur menyebut nama penyair itu.” Jawabmu.
Tetiba engkau tesenyum-senyum menggenapi kegilaanmu. Tertawa puas setelah berdialog dengan baris kata yang kau baca.
“Benar-benar.” Lalu engkau tunjukkan kepadaku sebait puisi, “Memendam dendam kata ibuku, seperti meminum segelas racun dengan harapan membunuh orang lain.” –Melihat Peta
Engkau nampaknya suka sekali dengan bait puisi yang dibaca. Memang benar. Dendam adalah cara alternatif merusak diri sendiri secara fisik dan psikis.
“Sudah?” kau memastikanku selesai membaca baris yang kau tunjukkan. “Kemudian ini,” aku memerhatikan cara telunjukmu mengantar penglihatanku pada puisi yang lain.
“Jika kau ingin mengucapkan selamat tinggal, lakukan seperti matahari tenggelam,” kataku kepada diri sendiri. –Kepada kesedihan
“Aku akan datang ke rumahmu, memegang semua benda yang baru kauletakkan. Aku ingin merasakan tanganmu ketika kau sendiri atau tidak ada.” –Menjadi Tamu
“Dia meninggalkanmu agar bisa selalu mengingatmu, dia akan pulang untuk membuktikan mana yang lebih kuat, langit atau matamu” –Menenangkan Rindu
“Aku mencintaimu seperti televisi tua di gudang nenekmu yang terbakar. Cuma satu kanal dan tidak pakai remot control.” –Aku Menunggu di Kantukmu
Kemudian ini, ini, itu. Hingga engkau tak menyadari, bahwa mataku justru lebih tertarik kepada jiwamu sebagai puisi-puisi yang menyentuhku.
Orang membaca sastra barangkali hanya sekumpulan kalimat yang nampak melangit, sukar dipahami. Membaca sastra adalah membiarkan jiwa-jiwa manusia yang kemudian ditanami benih-benih simpati, empati, kepekaan rasa, hingga kita jatuh cinta (sekali) lagi kepada kehidupan.
…
Ting! Pesan WhatsApp masuk. Aku tahu ini sudah jamnya engkau pamer kepadaku mengenai markah puisi dari buku yang kau baca.
“Mereka yang asing dan tidak mengenal namaku adalah kekasihku—termasuk langit, bunga-bunga, buku-buku tua, pagi, segelas kopi dan anak kecil.” –Ketidakmampuan
“Puisi bertamu ke dalam dirimu. Dia datang dari hal-hal sederhana. Dari bahaya. Dari pikiran-pikiran yang menolak waspada. Dan kau jatuh cinta.” –Memastikan Kematian
Engkau selalu berkelit setiapku tak berkomentar mengenai markah-markahmu itu. “Aku lebih senang kita berbicara ide, ketimbang usahamu untuk memperhatikanku.” Sejujurnya, itu menyinggungku, tapi apa daya. Engkau tak menerima kompromi. Engkau juga menyangkal apakah hubungan yang engkau inginkan bersamaku adalah semacam hubungan platonic.
…
Sepulang kerja, aku menghela nafas di beranda. Tiga kunang-kunang datang, membawa beberapa pesan yang mereka yakini bersumber darimu. Kunang-kunang pertama berbisik,
“Sebagian mimpi harus rela berhenti dan menjadi rahasia. Separuh hidupnya adalah rahasia.” –Ketika
“Kesendirian selalu membuat sesuatu lebih nyata. Ia selalu ingin memilih kesendirian, namun orang-orang sudah memasukkan banyak orang asing ke dalam tubuhnya. Ia tidak mampu menolong diri sendiri.” –Ketika
“Cinta adalah hidangan di atas meja, pelan-pelan dingin dan kau tidak lagi lapar.” –Tentang Sepasang Kekasih yang Melintas Bergandengan Tangan
“Keindahan tidak perlu memiliki kemampuan menyilaukan mata siapa pun. Sederhana umpama tidur yang hampa dan dalam. Seperti puisi yang memakan maksudnya sendiri.” –Ketika
Kemudian, giliran kunang-kunang kedua berbisik,
“Tidak ada yang indah dalam hal-hal mudah.” –Kepada Kesedihan
“Para tetangga lebih butuh pagar tinggi daripada pendidikan. Sekolah adalah cara terbaik untuk istirahat berkelahi di rumah. Anak-anak membeli banyak penghapus dan sedikit buku.” -Melihat Api Bekerja
“Masa lalu hanya indah bagi orang-orang yang tidak menyentuhkan kakinya pada masa kini.” –Sejam Sebelum Matahari Tidak Jadi Tenggelam
“Seluruh yang kaumiliki bukan yang kaumau. Seluruh yang kaumau bukan yang kaubutuh. Seluruh yang kaubutuh bukan yang mampu kaujangkau. Seluruh yang mampu kaujangkau luruh dan sia-sia belaka” –Mengingat Pesan Ibu
Belakangan, aku baru menyadari, kunang-kunang ketiga tidak membawa pesan apa-apa, namun ia memberiku suatu kabar, bahwa engkau lebih menyukai puisi, daripada harus dianggapku sebagai seorang yang membosankan, karena kehabisan bahan obrolan.