Bulan: Oktober 2021

Indonesia Darurat Dokter?

aldiantara.kata

Aku kerap mengira bahwa orang dengan profesi dokter sudah bejibun banyak. “Kalau sudah banyak dokter, lalu siapa yang sakit?”. Atau muncul ungkapan “Kenapa tidak banyak minat orang-orang kepada jurusan sosial keagamaan yang bukan ‘lahan basah’; lulusan susah cari kerja. Akan tetapi pandanganku berubah setelah mengikuti suatu acara talkshow yang diselenggarakan oleh KBR.id dengan tema Lika-Liku Peran Dokter di Tengah Pandemi. Acara ini juga sekaligus memperingati hari dokter nasional yang biasa diperingati setiap tanggal 24 Oktober.

Acara ini dipandu oleh Rizal Wijaya. Adapun yang menjadi pemateri acara ini adalah dr. Ardiansyah, selaku pengurus Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan dr. Udeng Daman selaku Technical Advisor NLR Indonesia. NLR sendiri merupakan sebuah organisasi non-pemerintah yang didirikan di Belanda pada tahun 1967 yang berfokus untuk menanggulangi kusta dan konsekuensinya di seluruh dunia. Saat ini NLR beroperasi di Mozambique, India, Nepal, Brasil, dan Indonesia.

Aku pernah mengikuti acara bedah buku karangan Eko Prasetyo yang berjudul Orang Miskin Dilarang Sakit. Penulis buku tersebut memiliki banyak keresahan dalam bidang sosial-kesehatan. terutama mengenai BPJS Kesehatan yang kurang tepat sasaran, anggaran jaminan kesehatan yang banyak menanggulangi penyakit-penyakit gaya hidup yang tidak sehat, tidak meratanya penyebaran tenaga kesehatan hingga pelosok-pelosok terpencil, hingga sekolah kesehatan yang tidak murah. Eko Prasetyo bercerita perihal tenaga kesehatan dibutuhkan di Yogyakarta pada masa pandemi sekitar 300 tenaga kesehatan, namun yang mendaftar hanya sekitar 60 tenaga kesehatan. Angka tersebut perlu dipertimbangkan untuk ukuran Yogyakarta sebagai salah satu kota besar di Indonesia.

Dr. Ardiansyah menjelaskan mengenai rasio ideal jumlah dokter untuk mengakomodir kesehatan masyarakat. “(jika mengacu) rekomendasi WHO adalah satu dokter per seribu penduduk.  Kalau dokter kita sudah diangka 240 ribu, sementara dokter umum sudah di angka 150 ribu, jika dibandingkan dengan penduduk kita (Indonesia) berjumlah 270 juta kurang-lebih, masih kurang jika mengikuti rekomendasi WHO Belum tercukupi. Meskipun ada juga standar yang menggunakan 2.500 atau 5.000 penduduk.  Jika dibandingkan dengan negara Malaysia dan Singapura, mereka sudah lebih satu (jumlah dokter ideal dari penduduknya). Kita masih kurang sekitar 70.000 dokter. Setiap tahunnya kita bisa menghasilkan 12.000-13.000 sarjana kedokteran. Dalam 5-6 tahun sebetulnya dapat terpenuhi rasionya. Namun panjangnya proses pendidikan dokter menyebabkan para calon dokter tidak dapat lulus secara serentak.”

Beliau juga menambahkan bahwa dokter memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat dan negara, diakui atau tidak. Rasio jumlah dokter di Indonesia terbilang sangat rendah sebesar 0,4 per seribu penduduk. Hal itu artinya hanya ada empat dokter untuk melayani 10.000 penduduk,  dan jumlahnya semakin mengkhawatirkan khususnya setelah terjadi pandemi covid-19, hampir dua ribu tenaga kesehatan berguguran, yang dampaknya pelayanan kesehatan menjadi tidak optimal.

Salah satu kelompok terdampak adalah pasien kusta. Pada beberapa kasus mereka terpaksa putus obat dan tidak mendapat pelayanan. Akibatnya temuan kasus baru menurun karena pelacakan terhadap kasus ini menjadi terbatas, sementara angka keparahan atau kecacatan diakibatkan penyakit ini meningkat. Talkshow yang bertemakan lika-liku dokter pada masa pandemi tersebut secara umum berbicara mengenai upaya perjuangan para dokter dalam memberikan pelayanan secara optimal dan tantangan yang dihadapi para dokter dan tenaga kesehatan khususnya kusta di tengah pandemi.

dr. Ardianysah menceritakan bahwa di tengah pandemi, tenaga kesehatan tetap melakukan pelayanan di fasilitas masing-masing. Seperti di Puskesmas, klinik, rumah sakit, atau praktik mandiri, hal itu tentu harus kita lakukan. Selain itu juga dilakukan edukasi kepada masyarakat. Hal terpenting memang kesadaran masyarakat dalam mematuhi protokol kesehatan. Dengan kata lain, di tengah pandemi, selain peran dokter dan tenaga kesehatan, penting kiranya kerja sama masyarakat dalam mematuhi protokol kesehatan yang telah dicanangkan agar tidak terjadi penularan wabah secara masif.

dr. Udeng ketika memaparkan penjelasan mengenai penyakit kusta, berdasarkan data dari Kemenkes, di Indonesia terdapat beberapa kabupaten yang masih belum tereliminasi. “Situasi endemisitas setiap daerah tentu berbeda-beda, mulai dari lingkungan, sosial ekonomi, kesehatan, kepadatan penduduk serta perilaku hidup bersih.” Terlebih jika terdapat penyintas kusta pada sebuah daerah terpencil yang belum terdapat dokternya, hal ini menjadi tantangan tersendiri. Penting untuk meningkatkan kapasitas petugas dan rujukan dalam penanganannya. Setiap pasien kusta yang datang kepada suatu fasilitas kesehatan, perlu pelacakan kontak penyintas terdekat.

Ardiansyah menambahkan, “Kita perlu pemerataan distribusi tenaga medis khususnya di daerah-daerah terpencil, tidak hanya jaminan kesehatan, namun jaminan keamanan, pendidikan, dan lain-lain, semuanya perlu dicarikan jalan keluar. Idealnya distribusi dokter dari jumlah penduduk 270 juta semestinya tersedia 270 ribu.”

Ketakutan tertular saat melakukan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat bagi dr. Ardiansyah adalah manusiawi, namun selama sudah protokol kesehatan, semua menjadi kewajiban, terlebih ada sumpah dokter akan selalu melakukan pelayanan kesehatan bagaimana pun kondisinya.

“Kita ingin pandemi segera berakhir. Kita ingin kehidupan yang normal setelah pandemi.”

Idealnya setiap fasilitas kesehatan harus dapat menangani penyintas kusta. Termasuk dokter praktik swasta hingga rumah sakit harus bisa menangani. Setidaknya dapat aware terhadap kusta sehingga ketika mendiagnosa penyakit kusta dapat memberi rujukan kepada puskesmas terdekat karena obatnya terdapat di puskesmas atau rumah sakit. Semua sudah ada sistem rujukan. Baik puskesmas, rumah sakit dan dinas kesehatan semua sudah terintegrasi dalam penanganan penyakit.

Selanjutnya, menurut dr. Udeng, penanganan kusta harus diperiksa secara langsung. Penggunaan telemedisin hanya membantu untuk mengarahkan suatu pasien terkena kusta atau bukan. Uniknya program di puskesmas kalau ada pasien kusta, harus diperiksa. Tidak bisa jika hanya ditelepon atau dilihat gambarnya. Terdapat kardinal sains yang harus ditentukan itu menjadi diagnosa kusta sehingga dapat diobati. Misalnya jika terdapat yang mengeluh kelainan kulit dan mati rasa. Maka telemedisin hanya membantu mengarahkan, selebihnya perlu pemeriksaan lebih lanjut dengan diperiksa dengan kapas, gangguan fungsi saraf, dan lain-lain.

Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit yang menular, beberapa dijumpai di berbagai daerah, namun tidaklah sederhana. Lantaran stigma terhadap penyakit ini sangat tinggi. Penyintas penyakit ini cenderung lebih banyak menyembunyikan. Terlebih sebagian masyarakat masih menganggapnya sebagai aib. Selain pengobatan yang perlu ditingkatkan, upaya sosialiasi agar tingginya stigma penyakit ini diatasi perlu dilakukan. Sebab stigma yang tinggi terhadap penyakit ini tidak hanya berasal dari masyarakat, namun juga dari petugas kesehatan.

Sebelum pandemi, dalam upaya penanganan kusta memang harus komprehensif, tidak hanya dalam case management, namun juga upaya preventif, pengobatan, dan rehabilitasi medik. Dalam kaitan saat pandemi, penanganan di lapangan tentu ada penyesuaian. Nampak terlihat kegiatan penanganan cukup terbatas, namun tetap ada solusi. Misal dengan pemeriksaan door to door, komunikasi WhatsApp, dan lain-lain. Memang perlu diakui terdapat penurunan terhadap penemuan kasus baru selama pandemi. Kemungkinan karena tidak terdeteksi. Dengan adanya pandemi, keadaan diperparah dengan tidak sedikitnya dokter yang gugur, hal ini berimbas terhadap pelayanan kesehatan terlebih dalam penanganan penyakit kusta dan penyakit-penyakit lainnya. Poin penting dalam penangan kusta saat pandemi adalah menjaga protokol kesehatan. Selama itu dilakukan, pelayanan tetap dapat diberikan secara optimal.

Para pemateri dari talkshow pada akhirnya memberikan gagasan sebagai upaya penguatan tenaga medis di tengah pandemi. Distribusi dokter pada daerah prioritas dengan endemis tinggi harus ada. Kemudian perlu ada peningkatan kapasitas petugas kesehatan. Perlu pelatihan formal dan informal. Hal ini tentunya memerlukan biaya tambahan. Di samping itu pelatihan ini jarang dilakukan. Padahal pelatihan-pelatihan tersebut menjadi penting untuk mempertajam kompetensi dokter dan petugas kesehatan. NLR sendiri memiliki program agar Indonesia bebas kusta, zero leprosy, zero disability dan zero stigma.

Akhir Pekan, Tidak Ada Rencana Kita Bertemu?

aldiantara.kata

Akhir pekan. Tidak ada rencana kita bertemu?

Berada pagi, hujan tiba-tiba menjadi deras. Pikiran yang berbuah tanya, tentang waktu kapan akan mereda. Pertanda rencana yang harus mengada. Saatnya kembali beristirahat? Maaf jika ini mengingatkan, ada draft yang tertinggal? Rencana-rencana yang belum menemukan jalan? Jangan terburu menamui sesal. Ia sedang bersantai pada beranda. Hanya ia yang butuh istirahat. Manusia selalu mention-mention akun “sesal” yang sedang tenar. “Syukur” menganggur. Ia hanya dilirik dan menjadi status media sosial, diketikkan dengan pikiran cemas.

Degup debar dada. Kapan tenang menjadi payung pada hujan pagi. Tempat teduh bagi segala resah. Adakah manusia yang terbangun pada pagi lalu terbebas dari rencana? Ingatan dan kelupaan. Lalu kita pun tersadar bahwa Ayah dan Ibu sudah memberi sinyal panggilan tak terjawab. Nenek jauh di desa yang menanyakan kapan libur panjang sekolah. Tenaga seada-ada, mengapa cinta sedemikian agung bila berkumpul pada wadah rindu.

Video call. Keluarga di rumah. Bertanya tanpa ada rencana. Berkabar sebelum semua menjadi hambar. Screenshot, lalu jangan unggah melalui media apapun. Untuk apa?

Semoga semua dalam keadaan sehat. Baik-baik keadaan yang dalam jarak yang tak dekat.

Sedang menyepi, ditemani suara hujan. Asik juga.

Akhir pekan. Yuk, lagi?

Sebatas Rela

Oleh: Azki Khikmatiar

Setelah segalanya berakhir pucat pasi,
Belum puaskah kau membuatku terus
menulis puisi?
Memungut kata demi kata yang tercipta
dari sebuah lara menuju sebatas rela
Menyusun asa yang telah lama putus
Merajut kabar dari debar yang barbar
Berulang kali; lagi dan lagi!

Seringkali sesuatu yang kuyakini
tak kunjung bisa kau pahami
Amarah terbelah tak tau arah
Rumah berubah tak lagi indah
Ramah merekah bersama gelisah
Melangkah dengan berdarahdarah
Kemudian jatuh hingga menyisakan
segenap luka yang tak kunjung sembuh

Dan kau tau bukan?
Segalanya sempat begitu rapuh
Sebelum kau menjadikannya utuh
Sepertinya kita samasama terjebak
Pada rasa takut yang menyeruak
Pada getir yang telah lama terukir
Ah! Barangkali ini adalah takdir!
Dan untuk yang terakhir kalinya,
Izinkan aku mengabadikanmu
dalam katakata; diantarakata!

Slawi, 26 Oktober 2021

Lalu Kita Tenggelam, Di Bawah Teduh Malam

aldiantara.kata

Lalu kita tenggelam, di bawah teduh malam. Menyaksikan azalea yang terlelap pada bunga mimpi. Waktu berhenti dan tersudut pada lembah yang kita lupakan. Apa yang kau bayangkan sesaat matamu bahkan terpejam kala menguasaiku. Dapatkah daguku bersandar pada punggungmu yang sabar menahan desah. Sepertiku yang membiarkanmu menari di atas bukit yang basah. Adakah bait-bait yang tertinggal sepeninggal kita yang beranjak mencari udara. Mengganggu teduh malam yang tak sabar menyambut fajar. Malam ini bukan malam pertama sebagaimana kehidupan yang rumit duduk pada daun pintu. Kita bersepakat memanjangkan malam meski matahari telah menyinari punggung.

“Adakah seseorang yang sudah kau lupakan?” Tanyamu dengan tak peduli jawabnya.

“Adakah bagian yang belum kurengkuh ?” Tanyaku menjamah risau yang tak berkenan dimintakan restu.

Aku hendak menawarimu segelas air, namun deras peluk menginsafiku bahwa dahagamu bukanlah air. Kau menawariku kudapan di atas meja, namun hujam cumbu membangunkanku bahwa kekosonganku adalah kasih sayang.

Kau ingin kita berjalan-jalan menyalami lampu-lampu yang nyala berganti peran? Namun jangan kita gantikan dengan tawa kita. Bagaimana jika kesibukan merebutmu kembali? Sementara air mata takkan bisa membeli waktu. Sementara kita tak bisa apa-apa dihadap kesepian.

Aku hendak segera menyelesaikan tulisan ini. Namun aku tak bisa melupakan tatapanmu kepadaku lewat sudut cermin. Sambil membenarkan rambutmu. Menyisakan beberapa paragraf, namun tembok ruang ini memberiku bayangan yang tak jua pupus. Bagaimana jika aku mendengar suaramu kala di atas pangkuan. Menceritakan kepadaku sudut pandangmu yang nakal. Dan memaklumi segala manjaku?

Jogja itu Antara Insomnia, Amnesia dan Asunia

Oleh: Abenza’idun

Dipaksa mengingat sesuatu yang lupa, dipaksa melupa sesuatu yang pernah ingat.
Dipaksa membenci padahal cinta, atau dipaksa mencinta padahal benci.

Dari sudut mana lagi Jogja yang tak kau  ingin ceritakan. Tidak ada bukan? Sebab setiap sudut Jogja adalah sebuah cerita. Jojga memang istimewa dan akan selalu istimewa. Baik bagi pribumi maupun turis yang pernah singgah di Indonesia Mini itu. Sebutan kota pelajar, budaya, wisata, mistis sampai romantis bukanlah isapan jempol belaka. Semenjak delapan tahun silam singgah di Jogja saya mendapatkan banyak pengalaman yang luar biasa. Di antaranya mengenal berbagai kultur di masyarakat sekitar, tempat-tempat bersejarah, wisata, mistis dan lainnya. Selama delapan tahun itu pula bisa dikata sepertiga bagian saya sudah menjadi orang jogja. Hehe.

Setiap orang akan memiliki kenangan tersendiri ketika singgah di kota gudeg tersebut. Entah urusan belajar, karir, asmara ataupun lainnya. Banyak teman seangkatan atau kenalan yang masih di sana. Ada pula sebagian memutuskan menetap di sana. Namun, saya harus kembali ke tanah kelahiran pada tanggal 11 Januari 2021, tepat seperti salah satu lagu Gigi.

Ada tiga hal tentang Jogja yang melekat dalam ingatan. Yaitu tentang insomnia, amnesia dan asunia.

Pertama, tentang Insomnia

Saya rasa tidak berlebihan jika menyebut jogja adalah salah satu kota 24 jam. Sebab, seharian penuh aktivitas tiada berhenti.  Mulai tengah malam bapak dan ibu-ibu berangkat ke pasar menata dagangan sayur-mayurnya, pagi-pagi para siswa, mahasiswa dan pekerja kantoran atau non-kantor berangkat. Toko-toko mulai buka hingga sore bahkan sampai malam. Aktivitas sore penjual martabak, pecel lele yang jarang ada pecelnya, burjo yang jarang ada  bubur kacang ijonya, nasi goreng, kafe dan lainnya mulai beroperasi hingga tengah malam. Benar-benar full aktivitas. Melihat begitu padatnya aktivitas, tak jarang para pedagang membuka tempatnya 24 jam juga, salah satunya kafe.

Kafe menjadi tempat favorit untuk berkumpul. Entah sekedar kumpul biasa, mengerjakan tugas atau rapat. Seperti namanya tidak afdal jika tidak memesan kopi. Awalnya saya termasuk orang yang sulit diajak ngopi ke kafe, tepatnya saat semester satu, karena waktu itu belum suka kopi, hingga ketika saya mulai bekerja di kafe daerah Nologaten yang sekarang sudah ganti.

Berawal dari situlah saya mulai mencoba kopi hingga akhirnya jatuh hati padanya. Dengan kopi dapat mencairkan pikiran dan merapatkan barisan. Jogja adalah tempat sejuta kopi pun kafe. Berbagai macam kopi disajikan di sana, arabica (gayo aceh, kintamani bali, toraja), robusta temanggung dan masih banyak lagi. Tapi, favorit saya tetap kopi hitam agm (agak manis) atau kopasus (kopi susu) yang harganya merakyat. Maklum mahasiswa budget tepi jurang.

Sebagai penikmat kopi di antara resiko yang harus ditanggung salah satunya insomnia. Insomnia secara lumrah dipahami sebagai keadaan tidak dapat tidur karena gangguan jiwa (KBBI). Tapi gangguan jiwa bukan berarti edan/gendheng. Hanya sajadipaksa mengingat sesuatu yang lupa atau harus mengingat sesuatu yang perlu diingat hingga menyebabkan susah tidur. Entah tugas, jadwal ketemu si Doi, mudik atau hutang. Tak jarang para penikmat kopi sering begadang. Saya pastikan barang siapa yang suka ngopi dan sering bepergian ke kafe mereka adalah pelaku insomnia. Rata-rata sih. Saya pun salah satunya, sampai-sampai sehari tanpa ngopi rasanya kayak kurang inspirasi.

Kedua, Amnesia

Setelah insomnia Jogja, perihal selanjutnya adalah tentang amnesia. Amnesiaadalah kehilangan daya ingat, terutama tentang masa lalu atau tentang apa yang terjadi sebelumya karena penyakit, cacat atau cidera pada otak (KBBI). Berdasar pengamatan dan pengalaman amnesia itu ada dua kemungkinan, yaitu disengaja dan tidak.

Amnesia dalam kategori yang disengaja rata-rata urusan asmara. Terlebih asmara yang kandasnya tidak secara baik-baik. Mereka para mantan, satu sama lain akan mencoba saling melupakan. Si A akan dengan sengaja melupakan si B, begitupun sebaliknya. Malah bisa menjadi fatal jika harus terpaksa. Faktornya karena kekecewaan akibat perselingkuhan atau Doi lebih memilih orang lain. Padahal hubungan yang terjalin cukup lama, tiga, lima tahun bahkan lebih. Kalau kata teman karena cinta bisa gendheng ndadak. Hal demikian sering saya temukan dalam curhatan teman-teman di tongkrongan kala ber-insomnia dengan secangkir kopi.

Ada lagi yang sengaja amnesia, yaitu ketika ditagih hutang atau tugas kuliah. Bukan rahasia umum lagi. Jika kita ditagih mesti sengaja amnesia alias pura-pura lupa. Ada seribu alasan untuk mengelak.

Sedangkan untuk amnesia yang tidak disengaja, nggak usah saya kasih contoh. Karena kalau memang lupa ngapain suruh mengingat-ingat. Namanya juga lupa kan? Hehe.

Ketiga, Asunia

Jangan salah paham dulu ya! Kata ini memang frontal, tapi ini benar-benar membicarakan asu (anjing, Bahasa Jawa). walaupun saya dan teman-teman terkadang guyonan ketika melihat ada cewek yang mentiring alias wuasyu, eh wuayu maksudnya, lewat kami kira sendiri taunya ada cowoknya. Ah… ada asunya. Begitu guyonan kita. Tapi sekali lagi hanya sekedar guyonan belaka, sama halnya jancuk yang menjadi kata mesra dan keakraban orang Jawa Timuran.

Kembali ke asu. Saat pulang ngopi sama teman boncengan lewat Jl. Ori Papringan, tiba-tiba seketika di pertigaan dekat burjo Kang Otong 2 ada asu yang lompat dan mengenai tangan temanku. Kami berdua yang sama-sama takut dengan asu pun terkejut terheran-heran. Sampai temenku bilang, asu marai deg deg serr ngluwihi ketemu dek e.  Itu bukan bagian scene yang didramatisir, tapi serius. Bahkan sempet sesak nafas, saking kagetnya. Dasar asuuu…

Lain hari, hendak pulang dari kafe tempat kerja, terjadi keributan antara tiga asu di tengah jalan tepat pertigaan. Entah yang diperebutkan wilayah kekuasaan atau betina saya kurang paham, mau saya tanyai juga nggak tau bahasanya. Yang jelas jalanan sempat macet. Para asu saling cakar-mencakar dan saling menggigit hingga luka berdarah.

Selang beberapa bulan, eh malah temen di kafe memelihara asu. Yang pertama asunya kecil, nggak tau jenisnya, kedua gede warna coklat jenis Husky dan yang ketiga ini hitam gede, jenis Husky juga. Yang kedua saya masih biasa, perlahan saya mulai nggak terlalu takut sama asu. Tapi, yang hitam pertama kali dibawa ke kafe belakang, karena lampu mati saat lewat, tak sadar kaki si asu terinjak hingga dia langsung menggonggong. O… Asu.

Begitulah, secara tidak langsung dipaksa untuk menyukai asu di atas ketakutanku yang menjadikan Asunia.

Perpus Jalanan Kotagede

aldiantara.kata

Pasar Kotagede, Jalan Mentaok. Malam meredam suara-suara. Transaksi-transaksi terselenggara secara hening. Toko satu per satu tutup. Beberapa orang termangu menikmati malam. Lapak Perpustakaan Jalanan Kotagede tergelar di jalan persimpangan pasar. Beberapa pengendara mencuri pandang terhadap buku-buku.

Kapan terakhir membaca buku. Kapan terakhir menamatkan buku. Kapan terakhir menuju perpustakaan…

Meski perpus jalanan ini sempat terhenti lantaran pandemi, sudah dua minggu kembali berjalan. Dari buku novel ayat-ayat cinta hingga seni bercinta. Dari Fiersa Besari hingga sejarah HMI. Tidak usah buru-buru hendak selesaikan bacaan. Buku adalah pasangan. Jangan terburu untuk ejakulasi.

Robby sebagai founder perpustakaan menyuguhkan kopi. Bekal bercengkerama dengan dingin malam. Tidak ada lagu-lagu saat itu. Suara-suara manusia dan gelak tawa menjadi melodi. Asap-asap rokok mengepul sebagai tarian. Pertanyaan kabar ditujukan kepada kawan yang datang. Gadis kecil datang membaca novel sambil berdiri. Seorang Ibu menghampiri menatapi judul-judul buku satu demi satu. Membaca buku perlu berada dalam situasi yang sunyi. Membaca buku terkadang perlu berada dalam situasi keramaian khalayak.

Kemarilah dan ramaikan Perpustakaan Jalanan Kotagede. Setiap malam Jum’at bakda Maghrib. Pikiran-pikiran perlu bertukar, tidak cuma nikmat tukar saliva saat dalam kegelisahan yang memburu.

Perpus-Jalanan-Kotagede
Perpustakaan Jalanan Kotagede
Sumber: Dokumentasi Pribadi

Aku datang bersama Ikal sisa vulkanik Merapi. Ia katakan, pandemi merubah segalanya. Buku-buku yang dibawa semalam tidak sebanyak biasanya. Aku memilih satu buku untuk dibaca di bawah jingga lampu kota. Sementara Ikal sepertinya tak terbiasa untuk membaca dalam keramaian. Ia asik bermain-main dengan cinta segitiga antara dirinya, dingin malam dan tembakau yang turut menghisap kecanduannya.

Perpus-Jalanan-Kotagede
Perpustakaan Jalanan Kotagede
Sumber: Dokumentasi Pribadi

Lihat si Ikal membawa apa. Ia membawa buku tugas akhir sepasang mahasiswa-mahasiswi fotografi Institut Seni Yogyakarta yang mendokumentasikan Perpustakaan Jalanan Kotagede. Foto yang disajikan begitu ciamik.

Aku malah baru terbesit sesuatu, tentang peran penting seorang pemain versatile. Versatile dalam sepakbola berarti pemain serbaguna yang dapat bermain di beberapa posisi. Biasanya posisi murninya sebagai pemain tengah. Ia bisa dijadikan bek tengah, bisa pula dijadikan sebagai penyerang bayangan. Aku sangat mengagumi Frenkie de Jong! Minim skill tapi visi bermainnya sangat tajam. Bahkan seringkali menjadi otak serangan FC Barcelona! Begitu juga dengan Joshua Kimmich dari Bayern Munich. Ia tak hanya kuat bermain sebagai pemain tengah, namun juga kuat sebagai bek sayap, ia memiliki akurasi umpan yang tinggi. Dalam keadaan sebuah klub yang diterpa badai cedera, terasa sekali pentingnya pemain-pemain versatile ini. Mereka bisa diandalkan ketika pemain-pemain andalan harus menepi lantaran cedera. Bahkan dapat memberikan warna baru permainan.

Aku malah berpikir pemuda-pemuda yang aktif di Perpustakaan Jalanan Kotagede merupakan pemain-pemain versatile! Bukan tujuan mereka sesungguhnya untuk mengumpulkan buku-buku yang baik, lalu melapak dan membuka perpus jalanan. Mereka masing-masing memiliki passion dan pekerjaan yang berbeda. Tentu saja terlepas dari spesifiknya alasan dibalik didirikannya Perpus Jalan Kotagede, semua perjalanan ini perlu diapresiasi. Meski mereka tak membutuhkannya.

Sekat-sekat kehidupan kita terlalu menjemukan. Kita terlalu malas keluar dari zona nyaman bahkan merintis segala yang baru. Biar pemain-pemain versatile ini yang turun tangan. Bukan tugas mahasiswa perpus saja yang harus menanamkan pentingnya literasi, atau bahkan duta baca yang sibuk plesiran hingga tak tau ujung pangkal. Kegelisahan memang tak bisa tidak untuk bergerak. Entah seberapa abu-abu eksekusi ide pada akhirnya. Toh penajaman tujuan kadang-kadang dilakukan setelah cukup jauh berjalan dan mengamati situasi.

Perpustakaan-Jalanan-Kotagede
Perpustakaan Jalanan Kotagede
Sumber: Dokumentasi Pribadi

Aku mengisi malam itu dengan membaca. Sama seperti Ikal. Aku memilih buku yang berada di pojok kiri bawah. Penyusunan buku-buku barangkali dilakukan secara acak. Aku membaca buku Aku Malu Jadi Manusia, kumpulan puisi Cupay yang diterbitkan oleh Penerbit Ruaaksara pada tahun 2019.

Perpustakaan-Jalanan-Kotagede
Buku Aku Malu Jadi Manusia
Sumber: Dokumentasi Pribadi

Baru saja membuka lembar cover, sudah ada kata-kata menarik: “Sayang, cinta itu terlalu picik, jika hanya bicara rindu dan selangkangan.” Entah buku ini secara khusus dihibahkan kepada perpus ini atau memang pesan ditulis oleh Cupay kepada para pembacanya. Atau bahkan bukan Cupay yang menulis, melainkan yang mengaku sebagai Cupay.

Perpustakaan-Jalanan-Kotagede
Halaman awal buku Aku Malu Jadi Manusia
Sumber: Dokumentasi Pribadi

Sekeliling mulai terabaikan. Buku mulai hendak memperkenalkan dirinya. Ia memegang kerahku agar mendengarkan ceritanya. Puisi-puisinya ditulis dibanyak tempat. Kegelisahan kerap mengikuti sang penulis seiring tempat yang disinggahi. Hampir setiap puisi yang ditulis selalu di tempat yang berbeda. Kritik sosial menjadi nafas dalam buku ini. Suatu kali ia berbicara mengenai pembredelan buku. Membatasi setiap  ide pemikiran yang dianggap mengganggu. Bila pembredelan masih relevan, maka kini melalui era media sosial, ide-ide yang dianggap menganggu sudah menyebar pada status, catatan-catatan, hingga buku-buku yang bahkan secara tak sengaja turut mengemukakan pemikiran-pemikirannya.

Hal terparah, tiada lagi pembredelan, sebab tidak sedikit orang-orang yang benar-benar membaca sebuah buku. Kapan perdebatan-perdebatan terakhir memanas membincang ketidaksetujuan terhadap kalimat sebuah paragraf buku. “Buku-buku masih saja dibredel agar HAM terbelenggu.”

Perpustakaan-Jalanan-Kotagede
Puisi Bredel dalam buku Aku Malu Jadi Manusia
Sumber: Dokumentasi Pribadi

Bredel

Di detik demi detik
Jam berganti
Bulan makin kelabu
Tahun pun ingin mati
Buku-buku masih saja dibredel agar HAM terbelenggu

Puisi Cupay yang berjudul “Morse” pun menarik untuk dibaca. Rasanya tidak perlu bersusah payah untuk memahami maksud puisi di dalamnya. Puisi tersebut berbicara mengenai kerusakan alam dan pembangunan liar tak terkendali. Alam selalu memiliki caranya sendiri membalas keserakahan manusia. Maka jangan katakan ‘dampak’ yang terjadi sebagai bencana alam. Namun begitulah cara alam menjaga keseimbangan.

Perpustakaan-Jalanan-Kotagede
Puisi Morse dalam buku Aku Malu Jadi Manusia
Sumber: Dokumentasi Pribadi

Morse

Jika petir memberikan morse kepada klannya
Makhluk-makhluk bumi harap siaga
Karna alam mempunyai caranya sendiri

Tangan-tangan serakah manusia
Akan dibalas oleh alam semesta

Jangan
Jangan katakan ini bencana alam
Tetapi ini bencana karna kita manusia
Kita manusia yang membayangkan alam adalah ladang duit

Buku Aku Malu Jadi Manusia selesai kubaca. Tak lupa kutaruh di tempat sediakala. Entahlah, sepanjang perjalanan pulang, kegelisahan kubawa. Nyaris tiada pesan-pesan harapan dalam kumpulan puisi bernada kritik ini. Dalam hal apapun kita butuh keseimbangan, bukan? Dalam gelapnya kenyataan, segetir apapun keadaan, pesan harapan dan optimisme harus tetap ada.

Kemarilah sesekali luangkan waktu untuk berkunjung ke Perpustakaan Jalanan Kotagede. Datang dengan senang, kemudian pulang dengan mengantongi kegelisahan. Tak perlu bersolek kenakan pakaian formal dan rambut klimis. Tak perlu kantongi alas kaki, simpan rapi agar tak hilang. Tiada pendingin ruang lantaran diganti selimut malam. Pesan kudapan atau kopi lalu bacalah buku sesuka hati. Membaca tak perlu syarat selain kesungguhan hendak membuka diri.

Tak ada salam literasi segala untuk menutup tulisan ini. Bacalah! Rawat kegelisahan agar tak cepat menguap. Membaca itu seperti oksigen, gratis! Seperti slogan Perpustakaan Jalanan Kotagede.

Instagram Perpustakaan Jalanan Kotagede

Kolecer

aldiantara.kata

Dada dengan debar-debar. Mungkin efek kopi. Sedikit mual, merasa goblok karena kerjakan sesuatu yang tak dikuasai. Kok malah dipelihara dan dipikirkan. Beda tipis antara sedang diuji atau memang tak sadar kemampuan diri. Hayo? Kok malah ditulis. Mbok tugasnya dikerjakan. Sambat terus. Berapa jatah sambat manusia setiap harinya. Lagu-lagu diputar malah bikin pikiran seperti kolecer. Pening. Hening. Tumben kamar sebelah tak riuh. Lampunya mati. Barangkali sedang perjalanan pulang. Langit sudah selesai diwarnai, gradasinya sempurna, tak ada bagian yang kurang gelap. Terang kota sok-sokan melawan gelap. Bisa apa. Atau tugasnya tidak demikian. Lampu hingar bingar jadi hiburan bagi manusia. Meski manusia sendiri merasa tak terhibur. Beberapa lampu kota mulai padam. Mungkin hemat listrik. Plis, tanganku, jangan ambil gawai. Agar kerjaku cepat selesai. Atau mengganti pilihan lagu. Bisa lama tentukan banyak saran. Bisa rebahan lagi karena notif media sosial. Malam ini maunya apa. Apa ia tak bisa bernyanyi menghibur pekerja-pekerja malam.

Ojol pengantar makanan mondar-mandir cari alamat. Pemesan makanan sedang mandi usai bercinta. “Kan sudah dibilang, Mas, tunggu di depan gerbang.” Ojol marah sambil geleng-geleng kepala saksikan berita aparat smackdown rakjat. Kedjang-kedjang. Ah itu barangkali berita palsu. Itu barangkali di negara Polandia. Tabayyun lho! Mau hilang? Cari aman. Daripada ribut mereka siap mengokang senjata dan siksa. Apa tidak capek menulis dengan gaya selingkung. Malu-malu mau melawan. Mereka padahal tak segan-segan bawa kompeni. Diciduk nanges. Memang begitu caranya melawan? Cuma mengutip berita kok disangka melawan.  Berserikat saja enggan. Sudah takut duluan. Kesewenang-wenangan bukan cuma tak termaafkan, semua mengendap, jangan takut, bahkan jika harus terulang, setelah mereka meminta maaf, dan meminta lagi.

Sedang Tiba-Tiba

aldiantara.kata

Tiba-tiba. Yang tiba-tiba. Yang sedang rindu. Yang sedang ingat, yang baru tersadar. Yang akan segera lupa.

Seseorang menghubungi, menanyakan kabar, seperti sedang membutuhkan perhatian untuk banyak berbincang denganmu. “Ia sedang tiba-tiba.” Apa manusia kini diciptakan oleh suatu kondisi untuk selalu curiga terhadap perilaku tiba-tiba. Tiba-tiba akan tiba. Perilaku tiba-tiba segera tiba. Banyak sikap manusia berdasar dari proyeksi masa lalu.

Berawal dari rutinitas yang membuat kita kalap warnai banyak jatah waktu. Selepas bekerja, tubuh rebah dalam kekosongan. Menggulir pesan-pesan yang masuk. Perhatikan tanda-tanda tanya, lalu membaca apa yang menjadi jawaban kita kala itu.

Bagaimana kabar saudara dekatmu? Tiba-tiba ada keinginan untuk mengunjungi beranda media sosialnya. Ternyata ia punya akun podcast Spotify! Coba dengarkan, lama tak bertemu membuat suara khas yang didengarkan memunculkan rindu yang membuncah. Padahal ia sedang bercerita mengenai isu-isu sosial yang serius. Munculah keinginan untuk memberi kabar, “Apakabar? Semoga selalu sehat dan dalam keadaan yang baik.”

Jangankan rindu, mudah sekali untuk kita bersikap iri, bukan? Acap merasa takut melihat orang lebih produktif ketimbang diri sendiri. Namun ada juga orang yang merasa bahwa melihat keadaan teman lama di media sosial sebagai hal yang tak penting. Atur janji saja untuk bertemu.

Tiba-tiba merupakan perkara wajar. Kita adalah manusia, bukan? Sebab manusia, kita tidak akan selamanya berada di ladang. Tidak selamanya berada dalam kubangan kotor. Tidak selamanya berada di suatu tempat dan kondisi. Hanya manusia yang dianugerahi kekuatan untuk merubah nasib. Manusia bisa berubah dengan tiba-tiba. Pikiran-pikiran yang mesti kita jaga dengan hati-hati. Meski terkadang penting pula berpikir nekat dan menantang. Pikiran senantiasa terhubung dengan semesta raya. Semesta dengan ajaib seakan mencarikan jalan untuk kita tapaki.

Seberapa jauh kita sudah berjalan, semakin larut semakin kita menemukan kesunyian. Berakhir dengan Aku. Hanya Aku beserta segala kepentingannya. Hal-hal lain berupa bayangan.

Meski berkelit menghujanimu dengan ragam tanya. Apa keadaanmu baik-baik saja. Bagaimana tip merawat kebun. Pakan yang baik untuk ternak ayam kampung. Budi daya ikan cupang. Cuaca yang mendung yang datang setiap sore. Sejatinya akarnya satu: dia rindu.

Namun, kapan terakhir kita menerima ketulusan dengan rasa curiga? Kita pun enggan untuk menyapa lebih pagi agar ia tak curiga.

Kebutuhan tiba-tiba selalu ada pula. Tidak mungkin melepaskan baju kemanusiaan kita yang membutuhkan bantuan orang lain. Bila tetap ada yang perlu dibantu, semoga ucapan pertanyaan kabar tetap menjaga ketulusan dan kehangatan.

Siapa yang kini sedang berada dalam benakmu?

Apa yang kini sedang berada dalam benakmu?

Kata dan Kata

aldiantara.kata

Kata, apalagi? Kata terakhir sebelum kau dipaksa mengakhiri waktu. Meninggalkan kesempatan yang terlambat untuk kau sadari.

Kata-kata, kemudian? Kosakatamu sudah habis jelaskan keadaan? Mengulang ungkapan-ungkapan template.

Kata-kata takkan habis, bila kita tak berhenti mencari. Saat kaupikir habis, saat itu kehidupan berputar pada penafsiran-penafsiran yang sama. Kepada rutinitas-rutinitas yang mudah diterka binatang peliharaan kita. Bahkan mereka tau kita hendak kemana yang menggigil sepi.

Kata-kata, senjata? Bagaimana kamu merayu kehidupan. Sebagai sembahan yang terus kita kejar.

Seseorang yang memanggilmu dengan kata-kata. Seseorang kau butuhkan untuk mendengarkan, tiada.

Tentang nasib, berpencar menyalami setiap orang secara bergantian. Baik dan buruk.

Bagaimana kekasih masih memanggilmu. Apakah tetap melalui angka-angka ponsel yang kau hafal. Pernah menyambangimu lewat mimpi secara tiba-tiba. Kau terbangun, lalu tersadar penuh tanya.

Bila angka-angka tiada, dengan apa ia memanggilmu? Sandi-sandi rumput? Raut marah yang enggan memulai sapaan dan katakan bahwa ia rindu. Titik sensitif yang hendak sekali lagi untuk dijamah. Atau bisikan puas dan ucapan terimakasih yang menyebalkan usai bercinta.

Kehidupan kini bersyarat dan menyebalkan: skor bahasa 550. Tinggi 172 cm. Tentang kualifikasi dengan batas-batas angka. Tanpa menampung makna-makna lain.

Ukuran 10 cm, 14 cm, 20 cm
32 C, 35 D

Standarisasi brengsek. Kata-kata menjadi mandul.

Tak Apa, WhatsApp Down

aldiantara.kata

It turns out freedom ain’t nothin’ but missin’ you – Taylor Swift ‘Back to Desember’

Tak apa. WhatsApp down. Sejenak kau bisa beristirahat. Tak ada buru-buru pesan untuk segera kau balas. Tak ada alasan untuk dapat mengabari siapa-siapa.

Sudah berapa lama terakhir kau putar radio? Ada suara penyiar dengan suara yang meneduhkan. Seperti Payung Teduh yang mendendangkan lagu resah. Juga lagu tidurlah.

Sahabat kreatif, seluruh kru yang bertugas undur diri… Penyiar pun beristirahat sejenak hingga pagi. Lagu keroncong membawa kepada perasaan yang tak karuan: ini bukan aktivitas seperti biasanya. Ini bukan rutinitas. Ketiba-tibaan. Berada di jalur yang tak biasa kau lakukan. Terkejut?

Terpikir untuk berolahraga esok? Setidaknya dengan berjalan kaki, kita tak menjumpai hari pada pagi dan remang lampu malam. Tiada kata biasanya, biasanya, dan keselaluan. Memang bahagia kah mereka yang latah katakan ‘selalu’? Apa mungkin kini ‘selalu’ dan ‘jemu’ tak bisa dipisahkan dari kehidupan.

Bagaimana kabar ‘tak pernah’ yang kini telah menemukan ‘kesempatan’ untuk menjadi ‘pernah’? Apa sesuatu yang bebas kini dinamakan ‘tiba-tiba’. ‘Pernah’ lalu menjadi ‘selalu’. Adakah beda ‘selalu’ yang menyenangkan dengan yang tidak.

Tak apa. WhatsApp down. Kita jadi perhatikan buku di rak yang sudah ditiduri debu. Tak apa juga bila kesempatan ini dimanfaatkan untuk sekedar menyentuh buku, untuk kemudian kita kembalikan lagi, tanpa selembar pun dibuka.

Perhatikan. Pesan-pesan masih bersimbol jam tangan. Pending. Kita masih saling menunggu. Hingga saatnya tiba kembali normal. Aku harap kita telah sama-sama beristirahat.

Centanglah. Harap agar segera sampai dan menjadi notif gawai.

Centang seperti list-list yang harus kita lakukan pada setiap hari yang tak pernah sempurna dilakukan. Hingga menuju Desember, hujan berulang kali turun, lagu Back To Desember Taylor Swift terulang di kanal-kanal musik, harapan agar sampai pada tahun yang baru, membawa sejumput angan-angan yang baru. Kemudian kita terjebak pada rutinitas yang asing, lalu terbiasa, dan menjadi ‘selalu’.

Ternyata kebebasan bukanlah apa-apa selain merindukanmu. – Taylor Swift ‘Back to Desember’

Pada akhirnya, tetap kau yang berpendar-pendar di alam pikiran.

Tak apa. WhatsApp down. Agar badut-badut penghibur segera beristirahat. Tak perlu meminta maaf. Kembali memikirkan perasaan mereka sendiri.