Ada suara yang memanggil-manggil dari kejauhan. Ia menembus ruang, sekaligus waktu. Ia beri pesan melalui pena dan tik-tik suara keyboard yang memberi kesempatan. Ia kabarkan tentang hujan dan kabut. Diceritakannya ujaran-ujaran ruang digital tak terbendung. Warta yang tak habis dibaca headline-nya. Segera saja diambil pesan itu dari masa yang lalu. Didengarkannya, dibacanya pada masa mendatang. Sampai aksara itu menemukan pembacanya. Yang menyelam pada ruang hari ini. Berbeda dan otentik. Aksara dan diksi selalu punya keterbatasan untuk bercerita. Nanti pada masa mendatang. Saat pengarang sudah mati, tersisa perdebatan-perdebatan tafsir yang abadi. Tentang siapakah yang lebih dahulu tiba. Apakah cinta yang ciptakan kehidupan. Atau kehidupan yang jiwanya bersalinkan cinta. Manuskrip-manuskrip yang tak bertuan. Menggunakan nama samaran. Tentang ruang yang paling rahasia. Bukankah ia akan tetap beresonansi, tanpa mengenal konsep waktu?
Bulan: Mei 2024
Fana Pertemuan
Ada pada jalan yang lengang, rindu itu. Ada dalam bayang ingatan, wajah itu. Ada dalam kefanaan, pertemuan itu. Gemerlap kota yang disaksikannya waktu malam. Lampu-lampu, serta cemas, yang kupandang melalui pantul cermin kecil ke arahmu, sementara waktu, ada, menitip jejak-jejak kaki, sebelum ia kian tak terjangkau, oleh suara-suara yang resah. Lalu muncul tanya, keterbatasan kata-kata, bisakah langsung saja kita terbuka.
Ada, pada rintik-rintik hujan itu, yang lama tak turun kehadirannya. Tiba waktu petang. Ada derit kereta yang melaju tanpa ampun menurunkan palang. Pernah membawamu pulang, pernah membawaku datang. Ada, kau saksikan semua itu ada, meski hanya bayang-bayang. Apakah bayang, yang merupakan ketiadaan itu, satu-satunya ada, yang disebut keabadian?
Perjalanan waktu, yang tiba sebagai skrinsut-skrinsut kecil, kian menggema sebab seseorang yang senang merawat ingatannya.
Menunggal
Yang tanggal, memilih tinggal. Setelah rindu itu kian menjadi tunggal. Ingatan berbaris mengitari unggun malam. Menyalakan tanya: kita hanya dapat bertemu pada ketiadaan waktu. Serta cemas yang menjadi kudapan.
Sebelum gelap, sebelum lelap. Catatan terbuka tak kuasa mencatat harap. Ia murni tak tertangkap. Berpendar bersama kunang-kunang dan satwa malam. Ibadah senyap adalah upaya mengosongkan keriuhan dalam pikiran. Bagaimana ia bisa ditepikan, jika ia sudah mewujud menjadi jiwa itu sendiri pada dasar atma yang sakral.
Menunggal, tak bisa ditinggal.
Mengeja Sejarah
Sementara, di antara dua musim yang saling menyapa, musim hujan dan musim kemarau, berita tentang penyair yang telah berpulang tuntas menunaikan ibadah puisi, hanya tersisa kutipan-kutipan puisinya yang banyak dicari.
Anak-anak di sekolah sibuk mengeja sejarah, namun adakah bangsa ini mau belajar, dari masa lalu.
Kehidupan ini sejatinya adalah suatu berkat, dari doa-doa yang hinggap pada bunga dandelion, yang selalu engkau bincangkan ketika senja, di mana butir-butir bunganya beterbangan pada seluruh penjuru mata angin, dari orang-orang masa lampau, yang menitip suatu harapan pada generasi selanjutnya.
Berdoalah. Kata-kata terapal menjadi doa adalah mustajab saban waktunya. Ia tidak hanya tertuju secara vertikal kepada Tuhannya, melainkan huruf-hurufnya yang terurai, sampai kepada “kabulkanlah”. Ia menjadi udara, yang dihirup semua makhluk hidup dan mati, yang membantu menjadikannya mewujud.