Bulan: Mei 2023

Pura-Pura Di Atas Perahu

aldiantara.kata

 

Pernah suatu kali merecall ingatan tentang masa kecil?

Melakukan permainan bersama teman-teman dekat rumah, yang kini sudah canggung ketika bertemu. Gunakan batu dan pecahan genting tanah liat untuk merobohkan bata dan menggurat garis pada tanah. Lipatan tangan petak umpet, menghitung satu hingga seratus, mencari seseorang satu per satu.

Atau berjudi kecil menggunakan kertas gambar, atau sepak bola kartu dengan bola yang dibuat gunakan kertas alumunium foil sigaret.

Bermain lompat tali karet, hingga masak-masakan.

Masak-masakan tanpa ada api, tanpa ada cacah sayuran serta telur yang sedang naik harga. Ia ajak pada perjamuan makan siang sepulang sekolah. Membuatkan makan siang dengan wajan plastik yang diisi dengan pasir. Ia katakan sedang membuatkan masakan kesukaan.

Aku kangen mendefinisikan cinta sebagai masak-masakan dalam suatu perjamuan yang sakral. Tanpa melibatkan orang tua, atau janji-janji yang akan saling menagih terlebih dulu. Senyatanya perjamuan itu tak pernah ada. Sebagaimana makan sungguhan, harus lelah mengunyah, melepeh tulang, serta merasa kenyang dan malas. Tanpa harus menawar harga dan bersilang pendapat, seseorang hanya harus mengajak dan memberi pesan ingin apa.

Kebahagiaan yang didapat sejatinya berasal dari pura-pura?

Aku tidak tahu. Pura-pura barangkali masih berada di atas perahu, yang berkura-kura. Ia terombang-ambing pada arus yang membawa badan dan rumahnya sekaligus.

Komitmen Kemanusiaan

aldiantara.kata

Dampak kegaduhan di antara dua ormas besar menjelang hari raya Idul Fitri, penting untuk kita kawal.  Beberapa waktu silam, kegaduhan itu berupa penolakan ijin penggunaan lapangan shalat id serta ujaran kebencian oleh seorang peneliti BRIN terhadap warga Muhammadiyah. Pada saat yang sama tiba-tiba saya jadi teringat dengan kutipan dari esai yang ditulis oleh Buya Syafii Maarif berjudul, “Dari Keberagamaan Otoritarian ke Keberagamaan yang Tulus”.

“Memang pengalaman sejarah itu harganya mahal sekali. Sikap yang terbaik kemudian adalah agar semua pihak belajar sebanyak-banyaknya dari pengalaman itu untuk mengembangkan budaya kearifan, saling mengerti, saling memaafkan, dan saling menghormati antara golongan-golongan yang berbeda agama dan aliran politik dalam bingkai Republik Pancasila ini.”

Perbedaan dalam menentukan awal bulan Syawal sejatinya bersifat ijtihadi, di antara metode hisab dan rukyat. Keduanya memiliki keabsahan tersendiri. Namun, senyatanya perbedaan yang terjadi ternyata lebih memicu segmentasi di tengah masyarakat ketimbang saling memahami dan menghormati. Dimulai dari munculnya penolakan ijin penggunaan lapangan, ujaran kebencian, hingga perdebatan yang kembali memanas di antara kedua dengan ormas notabene terbesar di negeri ini.

Belum selesai sampai di sana, perdebatan-perdebatan kalangan grass root yang mencemaskan di media sosial, hingga salah satu dari keduanya, entah siapa yang memulai, membuat status melalui WhatsApp dengan menunjukkan kebanggaannya dengan ormas yang diikutinya, memajang bendera ormas berikut lagu mars-nya.

Sudah lebih dari satu dekade sejatinya perbedaan hari raya Idul Fitri ini tidak terjadi terakhir kalinya. Titik kulminasi ini meretakkan bangunan toleransi keduanya yang dianggap paten dalam soal toleransi dan moderasi beragama.

Seketika saya teringat dengan pesan yang disampaikan oleh Buya Syafii Maarif masih dalam esainya tersebut, Buya katakan bahwa organisasi keagamaan harus bekerja sama menjadi alat pembebasan. Ia harus menjadi rahmat sekaligus problem solver dalam mengatasi permasalahan kemanusiaan. Apa yang kita saksikan bersama, setuju atau tidak, keretakan-keretakan di antara umat tidak terelakkan.

Kita harus menyadari bahwa spirit berorganisasi harus bermula dari keresahan untuk memakmurkan bumi, sementara organisasi tak lain adalah sarana perjuangan. Kegaduhan menjelang Idul Fitri waktu silam seakan menunjukkan bahwa organisasi keagamaan menjadi penyekat persaudaraan. Segmentasi yang kejam yang bisa jadi lebih ketat ketimbang menghadapi yang berbeda agama. Pantas saja jika “kotak-kotak” seperti Sunni, Syi’ah, atau sub-sub sekte ini dikritik Buya Syafii Maarif sebagai buatan sejarah yang tidak boleh kita ”berhalakan”.

Pada saat yang sama kita senantiasa berdebat yang menguras energi. Berkutat pada permasalahan internal. Padahal sejatinya permasalahan-permasalahan sosial yang berada di depan kita masih sangatlah banyak. Belum lagi kita akan bersama-sama menghadapi tahun politik. Fokus permukaan dan cangkang tidak boleh mengalihkan kita dari sikap keberagamaan kita yang tulus dan saling menghormati antara satu dengan yang lain.

Dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 104, ayat tersebut dikenal sebagai ayat berorganisasi, “Hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar…”

Penting untuk dicatat, bahwa sebelum kita berjuang pada wadah organisasi keagamaan di mana kita berada, komitmen baik tersebut perlu diimbangi dengan memperhatikan dua ayat sebelumnya, yakni agar kita terlebih dahulu menebalkan karakter takwa (ayat 102) serta komitmen untuk menjaga persaudaraan dengan saudara kita yang memilih wadah yang berbeda agar tidak bercerai-berai yang memantik perpecahan (ayat 103), hingga mengabaikan komitmen persatuan dan kemanusiaan. Tanpa memperhatikan dua ayat sebelumnya, sangat dikhawatirkan tekad mengabdi akan berubah menjadi fanatisme yang buta. Wallahu A’lam Bishawab.

I’tikaf dan Pudarnya Nalar Kontemplatif Kita?

aldiantara.kata

Apa yang sesungguhnya menjadi dasar, barangkali bermula dari hadis-hadis berikut. Tentang bagaimana kaitan antara i’tikaf dan “menghidupkan malam” pada akhir Ramadan.

Barangsiapa beribadah (menghidupkan) bulan Ramadan dengan iman dan mengharap pahala, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu,” (HR Bukhari dan Muslim).

Atau pada hadis lain,

Dari ‘Aisyah ra., ia berkata, “Rasulullah Saw. biasa ketika memasuki 10 Ramadan terakhir, beliau mengencangkan sarungnya, menghidupkan malam-malam tersebut dengan ibadah, dan membangunkan istri-istrinya untuk beribadah.Muttafaqun ‘alaih. (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam buku Kontemplasi Ramadan Nasaruddin Umar memahami i’tikaf sebagai sikap ‘uzlah (pemisahan diri) sementara dari hiruk pikuknya pikiran ke sebuah tempat yang sejuk dan nyaman. Di dalamnya diisi dengan membaca al-Qur’an, shalat, tafakur (perenungan) dan berzikir.

Setengah dekade lalu, i’tikaf sebagai sebentuk ibadah pada sepuluh malam terakhir Ramadan masih relatif sederhana. Masjid-masjid yang tak mematikan lampu utamanya setelah tarawih, beberapa di antaranya sengaja redup. Serta para para ibad al-rahman yang mencari posisi yang dianggapnya nyaman, berjarak dengan orang lain dengan menenteng tas berisi al-Qur’an dan buku-buku.

Suara-suara lantunan ayat suci yang dibacakan dengan nada yang lirih, suara lutut yang bertemu dengan tanah saat hendak lakukan sujud salat sunah.

Suasana begitu tenang dan nyaman untuk melakukan kegiatan reflektif pada sela zikir dan membaca kitab suci. Hidupnya malam saya rasa demikian. Terkadang saya membuka catatan lalu menulis outline tulisan dari ide-ide yang tiba-tiba muncul saat perenungan.

Namun, kini situasinya berbeda. Kehidupan manusia nampaknya tidak merasa secara utuh berada dalam dunia interaksi nyata sebagaimana dapat diterawang dan sentuhan langsung. Aktivitas manusia baik secara individu atau komunal mendapat tempatnya di jagat maya atau media sosial.

Pada bulan Ramadan kini, ragam aktivitas dan program komunitas hingga masjid-masjid dipromosikan tidak hanya melalui papan pengumuman atau Pak Takmir yang memberitahukan para jamaah. Melainkan melalui flyer yang dibuat seindah dan semenarik mungkin di media sosial.

Dari info sajian takjil, ‘bintang tamu’ yang menjadi penceramah tarawih, tabligh akbar, hingga di antaranya program i’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadan.

Khusus yang terakhir ini, i’tikaf sebagai sebentuk ibadah yang akrab dalam horizon pengalaman pribadi dalam suasana tenang dan sunyi, kini menjadi gegap gempita, ajang kontestasi hingga komodifikasi.

Memang saya menemukan pemahaman dalam kitab al-Fiqh al-Manhaji ‘ala al-Mazhab al-Imam as-Syafi’i yang menjelaskan mengenai sunah saat melaksanakan i’tikaf, di antaranya menyibukkan diri dengan melaksanakan ketaatan pada Allah, seperti berdzikir, membaca Al-Qur’an dan diskusi keilmuan. Namun kini tidak hanya kepada keilmuan agama, melainkan pelatihan softskill dalam tajuk sharing is caring.

I’tikaf kini sebagiannya menjadi program berbayar dengan ragam ‘benefit’ yang akan didapatkan. Seperti tempat tidur, coffee break, snack, dan makan sahur. Makan sahur dalam beberapa masjid disediakan dalam bentuk kupon.

Bahkan saya menemukan program sebuah masjid yang mengadakan program i’tikaf. Setelah mendaftar, peserta i’tikaf mendapatkan: tas bagwash wadah untuk alat mandi, buku dzikir pagi-petang, tasbih digital, bahkan beauty water untuk wajah. Selain itu disediakan pula kopi radix dan pop mie.

Uniknya, ada pula yang memasukkan perlombaan di dalamnya. Di antaranya ada lomba untuk menjadi peserta terbaik i’tikaf. Terdapat pula beberapa lomba seperti hafalan zikir pagi dan petang, hafalan asmaul husna, hafalan ayat popular seperti QS. Al-Kahfi ayat 1-10 dan ayat 1-1-110. Lagi, hingga di penghujung acara penutupan semua peserta i’tikaf mendapatkan ‘benefit’ berupa beras, gula pasir, dan kurma cokelat.

Seiring berkembangnya teknologi dan media sosial, i’tikaf tidak lagi menjadi ibadah yang rahasia nan pribadi. Kini tercapture melalui status-status WhatsApp dan Instagram dengan nuansa narsistik. Beberapa pula ada yang dijumpai asik memainkan gawainya dan streaming sepakbola.

Keadaan yang cukup kontras antara keadaan dulu dan kini perlu dikhawatirkan i’tikaf menjadi kehilangan substansinya dan menjadi sebatas euforia semata.

Saya jadi teringat dengan tulisan-tulisan Cak Nun dalam bukunya Tuhan pun “Berpuasa”.

I’tikaf sebagaimana dalam pemahaman Cak Nun, merupakan ruang kontemplasi untuk memikirkan kepentingan kita, apakah bersifat pribadi kultural yang dikonstruk oleh masyarakat dan capaian-capaian diri, kuantitas pahala atau ketauhidan yang berdampak dalam memeriksa secara reflektif terhadap kesehari-harian kita.

“Cobalah engkau beri’tikaf malam-malam. Engkau hitung hubungan-hubungan global maupun parsial, kaitan-kaitan makro maupun mikro, sentuhan-sentuhan permanen maupun temporer, antara kegiatan puasa dan riuh rendah kepentingan pribadi atau golongan yang bersemayam di dalam hati dan otak kepalamu.”

Seperti biasa, Cak Nun tak pernah terlewat melontarkan kritik sosial dalam cara berpolitik secara ideal melalui ajuan pertanyaan reflektif, “Apakah sesudah memasuki hakikat Ramadan, engkau yang terlibat di dalamnya mampu menghikmahkan puasa padanya? Mampukah seorang pemimpin dan “Bapak” memerdekakan diri dari rantai kepentingan kekuasaan yang notabene bersifat golongan? Mampukah tokoh yang semestinya bersifat mengatasi kepentingan-kepentingan subjektif diri dan golongannya sendiri serta kepentingan subjektif diri dan golongannya…demi kepentingan yang lebih tinggi? Yakni kepentingan kolektif, kepentingan bangsa…kepentingan kemanusiaan…”

Sikap-sikap kontemplatif ini yang nampak pudar dalam ‘seremonial’ i’tikaf kini. Sebab sikap-sikap kontemplatif ini yang menentukan perubahan sikap fundamental dalam sehari-hari manusia. Juga menunjukkan hasil bulan pendidikan dalam puasa Ramadan agar kian progresif menjadi pribadi yang takwa, termasuk di dalamnya saleh secara sosial.

Kaitannya dengan i’tikaf, sikap kontemplatif ini menjadi penting agar tidak hanyut dalam euforia dan konstruk sosial, serta kontestasi-kontestasi di dalamnya.

Bahkan Cak Nun, meluaskan pengertian i’tikaf tidaklah harus dalam keadaan bersila atau bersujud di atas tikar atau karpet masjid. Beri’tikaf dapat dilakukan sewaktu-waku. Tak dibatasi oleh tempat atau aktivitas yang dikerjakan. Dalam semua keadaan itu batin beri’tikaf, yakni jiwa merenung, pikiran yang terkonsentrasi kedalamannya kepada Allah. Wallahu A’lam Bishawab.

 

“Kalau ada orang kesepian, jangan tanya apa partainya, langsung saja sapa dia dan sayangi dia, agar engkau mendapatkan pintu untuk bersamanya meningkatkan diri ke kepentingan yang lebih tinggi, yaitu tauhid ilahiyah.” –Emha Ainun Nadjib