aldiantara.kata
Tidak bisa tidur malam ini? Bagaimana jika kubacakan puisi Bakdi Soemanto.
Jika saja nasib baik belum kunjung menghampiri, atau mengenai kesempatan emas yang terlalu cepat berlalu. Maka jangan terlalu cepat untuk memetik sesal, berputar arah ke belakang. Percaya saja kepada waktu. Sambil merapal doa yang terhimpun dari harap dan cemas.
Sebutkan saja judul-judul puisi yang kau suka. “Rumputan dan Topan”, “Hujan Turun Rintik-Rintik”, “Kata”, “Jari”, “Kabut”, “Ruang”, “Hujan”, “Persiapan Pentas Drama”, “Surat”, “Ulang Tahun”, “Rumah Di Desa Pathuk, Wonosari”, “Dekap”, “Ledek Munyuk”, “Tikar”, “Doa”, “Jarak”, “Jendela”, “Di Lapangan Terbang, Di Tengah Hari”, “Penyair”, “Sepeda”, “Bibir”, “Natal Muram”, “Sartre”, “Diskusi Ilmiah”, “Gelas Biru”, “Pernyataan”, “Berhenti di Sini Saja, Tuhan”, “Sepuluh November”, “Doa Pagi”, “Doa Malam”, “Sajak Bayang-Bayang”, “Kaliurang”, “Sajak Gugur”, atau “Balpen”.
Ia mulai melakukan screening lagu-lagu, untuk sebuah nyanyian yang benar-benar hendak ia dengarkan. Ia mulai membaca bait-bait lama, untuk membawa pesan-pesan yang tertinggal pada masa lampau, untuk mengusapi kesepian-kesepian yang datang belum lama ini.
Menulis adalah cara kerja alam, yang rahasia, ia ilmiah, rasional, terkadang tiba-tiba membuahkan pesan. Mau menangkap maknanya? Berkenan sejenak berdiam, mendengarkan kata-kata yang berpendar di kepala.
Meski tak semuanya dapat kau rangkai menjadi untai kalimat. Tetap ia menjadi pergulatan.
Rasanya, berkunjung ke kota lama, hanyalah menebalkan diksi-diksi puisi lama. Kata yang menjadi bait puisi, merenggangkan letak, memberi ruang kepada di antara kata yang baru. Bekas jejak penyair-penyair. Diksi bernas puisi-puisi, memberi ragam pelajaran. Bukan berarti cemas gelisah yang diturunkan. Tentu saja, katakan bila setiap penyair memiliki ruang dan waktu yang berbeda.
Segera aku bacakan puisi berjudul “Dekap” karya Bakdi Soemanto,
kamu tengadah
bibirmu merah merekah
dadamu rapat
siap masuk dalam perangkap dekap
ketika cium gemuruh mendarat landai
dan tubuh gemetar
hidup dan mati
tak bisa dibedakan
ujung bedil yang bisa muntahkan peluru
dan puting susu yang gemas di ujung lidah
terhirup dalam kemabukan dan tahu
di atas plafon itu
cecak bercerecek
tahukah dia
kesejatian dunia tak pernah mulus
selama kehidupan adalah abu dan debu.
[1986]
Dihimpunnya puisi-puisi pilihannya dalam sebuah buku “Kata”. Kusimpan baik-baik maknanya dalam diri. Biarkan katanya, tak perlu mendikte atau klaim penafsirannya. Kata menjadi simbol kemerdekaan itu sendiri.
Bakdi Soemanto, Kata: Antologi Puisi 1976-2006 (Yogyakarta: Penerbit Bentang, 2007)
Menyukai ini:
Suka Memuat...