Bulan: Oktober 2023

Jatah Rindu

aldiantara.kata

 

Sore tadi, katamu, setelah membaca pesanku, aku mengutip puisi Sapardi, yang engkau baca lamat-lamat,

Aku ingin mencintaimu
Dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat
Diucapkan kayu kepada api
Yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu
Dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat
Disampaikan awan kepada hujan
Yang menjadikannya tiada

Engkau tidak bertanya, engkau meminta, di mana kata-katamu,

Malam tadi, katamu, setelah membaca pesanku, aku mengutip puisi Chairil Anwar, yang engkau baca dengan nada lirih,

Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda

Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku

Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka,
Antara kita mati datang tidak membelah

Engkau tidak bertanya, engkau meminta, di mana syair-syairmu,

Hari ini, adakah sudah sampai pada bibir jendela kamar, katamu begitu rapat. Engkau hanya bisa amati melalui kursi meja belajar surat yang terbaring pada ujung-ujung bingkainya yang berdebu.

Boleh saja jika kita menanti hujan, yang akan membuat embun, serta tempias air yang melelehkan kertas dan tinta, memberi kepada kita kisi-kisi terhadap gubahan syair di dalamnya. Yang akan engkau baca dan screenshot.

Kita hanya bisa mengambil jatah rindu, pada sebuah kehidupan yang bukan milik kita, yang kita ambil sedikit demi sedikit.

Tua

aldiantara.kata

Susah dibilang,
Sungai yang nampak mengalir searah menuju muara,
merambat tepi-tepinya, melalui celah-celah kecil.
Seorang tua, lupa, pikun, menyimpan template kotak bernama “maaf” dan “tolong”.

Tarian Musim Hujan

aldiantara.kata

 

Padahal, musim hujan belum tiba.
Kini bala doa, panjatan puja-puji, tak ada bedanya,
dengan menjilat.
Tuhan dan kekuasaan.
Saat Tuhan bingung,
Gemleleng lihat manusia yang hilang kemanusiaannya.
Saat manusia kelimpungan,
Siapkan sesaji, penentu nasib, memasang pin di dada
menjadi mandor atas kaum papa.
Rupanya sang mandor terlalu optimis,
meminta kaum papa mengais rongsong sejak pagi,
sementara mereka mengorok, terbangun oleh ajudan,
ingatkan tanda tangan.

Padahal musim hujan belum tiba,
di Tugu Adipura, anak-anak (pelajar?) meminta kondektur
bunyikan klakson. (sambil mengangkat kamera)

Padahal musim hujan belum tiba,
yang duluan turun adalah baliho-baliho politik.
yang meminta disirami agar dulang sura-suara cuan,
pada ujung bambunya.

Mendung,
adalah ruang diskusi yang bisu.
Makalah-makalah di meja kuliah yang dibantu robot,
yang lebih pandai dari penciptanya sendiri.

Daripada berdebat perihal konstruksi sosial Berger,
adakah sepisin pancake, dan segelas teh.
Lindungi dari cuaca panas,
dan kemaraunya Bumi dari sikap-sikap bajik.

Barangkali kita perlu mengeja kembali kata-kata,
pada sebuah buku, pada sebuah rak baris kedua.
Dibaca di atas karpet yang tergulung,
tiada suara lain, selain suara bibirmu,
sedikit terbata-bata, disinari matahari sebelum ia pamit.

Pada sebuah tempat makan, di samping lampu merah,
engkau heran dengan seorang perempuan yang mengajarkan kepada kedua anaknya sebuah tarian menyambut musim hujan,
tanpa sebuah panduan, tanpa sebuah aba-aba.