Adalah kursi kosong, menjadi tatapan khalayak. Adakah setelah sebelum terisi, para pendukung menjadi kian fanatik dan anti-kritik,
Atau mengharapkan keindahan musim gugur, dengan berjalan mundur dan membatalkan semua praduga yang telah lama ia peluk.
Meninggalkan keyakinan lamanya, untuk bersikap arif dan mencatat pada sebuah buku yang ia punya, kelusuhan begitu sering dibuka, serta pena dengan tinta yang tersisa sedikit, menuliskan penerimaan-penerimaan terhadap orang lain, serta membuka simpati atas nama kemanusiaan.
Kini,
Tersisa, perdebatan melawan suara dalam pikiran sendiri, suara hati yang tak terdengar kedalamannya di dalam palung.
Semua menjadi tegang, tiada pembacaan puisi-puisi yang memancing rahmat.
Tinggalkan Balasan