Kategori: Bilik Refleksi

Prediksi Cuaca

aldiantara.kata

Bisakah kata-kata, menjadi diksi yang susah payah seorang susun, yang kemudian ia ungkapkan kepadamu, sekali saja, bahkan berulang-ulang, engkau dengarkan baik-baik, jangan disikapi sama halnya sebagai sikap scroll postingan terbaru media sosial, sesaat lalu menguap dan berlalu.

Sebagaimana langit pagi, yang sudah ditamui awan, sekelebat hilang menjadi terik. Cuaca memang tak taat aturan sebagaimana prediksi pada layar gawai.

Jatah Rindu

aldiantara.kata

 

Sore tadi, katamu, setelah membaca pesanku, aku mengutip puisi Sapardi, yang engkau baca lamat-lamat,

Aku ingin mencintaimu
Dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat
Diucapkan kayu kepada api
Yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu
Dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat
Disampaikan awan kepada hujan
Yang menjadikannya tiada

Engkau tidak bertanya, engkau meminta, di mana kata-katamu,

Malam tadi, katamu, setelah membaca pesanku, aku mengutip puisi Chairil Anwar, yang engkau baca dengan nada lirih,

Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda

Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku

Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka,
Antara kita mati datang tidak membelah

Engkau tidak bertanya, engkau meminta, di mana syair-syairmu,

Hari ini, adakah sudah sampai pada bibir jendela kamar, katamu begitu rapat. Engkau hanya bisa amati melalui kursi meja belajar surat yang terbaring pada ujung-ujung bingkainya yang berdebu.

Boleh saja jika kita menanti hujan, yang akan membuat embun, serta tempias air yang melelehkan kertas dan tinta, memberi kepada kita kisi-kisi terhadap gubahan syair di dalamnya. Yang akan engkau baca dan screenshot.

Kita hanya bisa mengambil jatah rindu, pada sebuah kehidupan yang bukan milik kita, yang kita ambil sedikit demi sedikit.

Tarian Musim Hujan

aldiantara.kata

 

Padahal, musim hujan belum tiba.
Kini bala doa, panjatan puja-puji, tak ada bedanya,
dengan menjilat.
Tuhan dan kekuasaan.
Saat Tuhan bingung,
Gemleleng lihat manusia yang hilang kemanusiaannya.
Saat manusia kelimpungan,
Siapkan sesaji, penentu nasib, memasang pin di dada
menjadi mandor atas kaum papa.
Rupanya sang mandor terlalu optimis,
meminta kaum papa mengais rongsong sejak pagi,
sementara mereka mengorok, terbangun oleh ajudan,
ingatkan tanda tangan.

Padahal musim hujan belum tiba,
di Tugu Adipura, anak-anak (pelajar?) meminta kondektur
bunyikan klakson. (sambil mengangkat kamera)

Padahal musim hujan belum tiba,
yang duluan turun adalah baliho-baliho politik.
yang meminta disirami agar dulang sura-suara cuan,
pada ujung bambunya.

Mendung,
adalah ruang diskusi yang bisu.
Makalah-makalah di meja kuliah yang dibantu robot,
yang lebih pandai dari penciptanya sendiri.

Daripada berdebat perihal konstruksi sosial Berger,
adakah sepisin pancake, dan segelas teh.
Lindungi dari cuaca panas,
dan kemaraunya Bumi dari sikap-sikap bajik.

Barangkali kita perlu mengeja kembali kata-kata,
pada sebuah buku, pada sebuah rak baris kedua.
Dibaca di atas karpet yang tergulung,
tiada suara lain, selain suara bibirmu,
sedikit terbata-bata, disinari matahari sebelum ia pamit.

Pada sebuah tempat makan, di samping lampu merah,
engkau heran dengan seorang perempuan yang mengajarkan kepada kedua anaknya sebuah tarian menyambut musim hujan,
tanpa sebuah panduan, tanpa sebuah aba-aba.

Usia Mekar Teratai

aldiantara.kata

Ada yang berpendar pada pikiranku,

Kupikir engkau lebih membutuhkan puisi, ketimbang mendengarkan kata maaf, engkau lebih membutuhkan kata-kata, ketimbang ucap rinduku, bukan merupa rindu seusia mekar teratai.

Bagaimana jika dimulai dengan sebuah salam, serta kecup punggung tangan yang sudah lama tak saling menggenggam? Sebagai pembuka, untuk mengetuk pintu hatimu.

Bagaimana dengan sebuah doa, kata semoga yang kita simpan pada perahu layar.

Ada sebuah temaram yang menyisakan kepada kita, dingin, pada penghujung waktu, pada sebuah pagi.

Ada sebuah pagi, di atas ranjang. Pejam mata di mana kita sama menuju kepada sukma, yang mungkin abadi.

Aku melihat pejammu malam itu. Di balik suara lagu, engkau berada pada pelukku.

Aku menitip beberapa ingatan pada sebuah brankas rasa. Di mana ia tergubah menjadi kata-kata. Ia berupa cerita-cerita, di mana kita akan saling terhubung manakala kita saling bercerita perihal kesedihan, serta perasaan hilang arah tak menentu. Kita saling mencari dan membayangkan. Apa kita tidak bisa berdua malam ini?

Seolah dengan melihat wajahmu, aku tenggelam dalam taman yang sepi. Menyisakan lampu taman dan anjing yang menunggu kepulangan tuannya.

Sebentar lagi kita akan memasuki musim penghujan. Rintiknya akan menjelma menjadi bait. Sementara kasih sayang, tetap menuju kepadamu.

Kehidupan Masa Lalu

aldiantara.kata

“Kehidupan Masa Lalu”. Kau mencoba menerjemahkan film yang baru saja selesai kita tonton. Past Lives (2023).

“Bagaimana?”

Relate. Kehidupan dewasa memang rumit. Tapi sejujurnya aku suka sekali dengan film-film suasana vintage. Dialog-dialognya ngga bertele-tele. Film yang seperti memberi ruang kepada aktornya untuk memakai bahasa ketiga, bahasa keheningan. Tidak terbatas kepada dialog antar lawan main. Sekejap seperti para aktor saling menatap. Namun kita yang menonton seakan paham dengan bahasa yang mereka ungkapkan melalui bahasa tubuhnya.”

“Film ini juga bergenre drama, tapi ngga lebay. Ini bisa jadi seperti mengajarkan hubungan yang dewasa, terbuka dengan pasangan, namun sekaligus juga membuatku ragu, apakah ada hubungan yang seterbuka itu? Iya sih memang, suami dari Nora memang memperlihatkan mimik cemburu dan frustasi, seakan-akan ia merupakan sosok jahat yang mengambil takdir untuk mengawini Nora, merebut dari Hae Sung, teman masa kecilnya. Tapi rumitnya toh aku yakin Nora hendak mengatakan bahwa ia masih ada rasa dengan Hae Sung, namun ia memilih untuk ngga diungkapkan. Sebaliknya, ia tetap memilih Arthur dan mencintainya.”

Aku mendengarkan ulasanmu sembari meminum es kopi.

“Bayangkan, menurutku ini film dengan alur sederhana dan masuk akal. Namun sekaligus juga memberikan ruang kepada penikmat filmnya untuk memberikan penafsiran-penafsiran.”

“Cerita cinta masa kecil. Aku selalu membayangkan bahwa ada hubungan yang belum usai. Di mana perasaan itu pernah tenang pada sebuah kolam yang bernama ingatan.”

“Sesekali ia pernah keruh, kerapkali langit ingatan berwarna kelabu, yang menjadikannya nampak tenang, pada kedalaman.” Aku menyela.

“Tentu aku harus menonton lagi, untuk yang kedua kali, ketiga kali, keempat kali, kelima kali…”

“Gawat, jangan-jangan film ini sama nasibnya seperti Titanic dan Ada Apa Dengan Cinta 2 yang kau putar berulang-ulang.” Ujarku.

Kemudian, kau memintaku untuk menafsirkan capture-capture gambar yang telah kau ambil selama menonton film.

Kisah masa kecil.

Perasaan saling suka.

Ia pernah bersemi. Pada sebuah taman. Pernah saling sembunyi, namun masing-masing saling menemukan perasaannya yang menjadi cermin bening.

Terpisah belasan tahun. Kisah yang sudah terlanjur berjalan menemukan takdir masing-masing. Menyadari tentang in-yun (nasib dalam budaya Korea). Hingga akhirnya Hae Sung pergi ke Amerika untuk menemui kekasih masa kecilnya yang sudah menikah dengan Arthur. Keduanya seakan tidak percaya pada akhirnya mereka dipertemukan kembali oleh takdir. Takdir usia mekar bunga teratai.

Sementara Hae-Sung pernah menjalin hubungan dengan seorang yang lain, namun hubungan mereka putus.

Berdua berpelesir menuju tempat yang ramai, di mana kata-kata dapat dengan mudah menggapai langit. Engkau perhatikan bagaimana seorang pecinta menatap?

Tempat yang bahkan belum pernah dikunjungi oleh Nora dan Arthur. Nora dan Hae Sung kesana.

Aku teringat bagaimana Nora bercerita perihal pernikahannya. Ibarat menanam tanaman dalam satu pot. Seperti menggambarkan sesuatu yang menyenangkan sekaligus rumit.

Bila engkau berada pada posisi seperti Nora dan Hae-Sung, apa yang akan kau lakukan? Bertindak seperti Hae-Sung, menikmati takdir cinta seusia mekar kembang teratai, atau apa. Seperti Rose dalam Titanic yang mengatakan bahwa kedalaman hati perempuan sedalam palung lautan yang tak bertepi.

Namun Nora memilih melanjutkan hidup dan memperjuangkan tujuan-tujuannya untuk meraih penghargaan Pulitzer.

Menuju penghujung waktu pertemuan, selalu ada, terselip bahasa-bahasa kejujuran. Di mana para pecinta berusaha menahan waktu.

Lalu masing-masing pecinta memilih untuk menahan air matanya masing-masing.

Jika tersisa dua menit menuju perpisahan yang panjang. Tanpa tahu kapan waktu bertemu, engkau akan memilih diksi apa selain template sampai jumpa?

Jayakarta, Suara Sayup Ibu

aldiantara.kata

Bintang melintang, horizontal, titik, ternyata adalah lampu malam yang kulihat nun jauh.
Sesekali cahaya-cahaya melesat, melampaui stasiun-stasiun kecil. Di sini, di kereta Jayakarta.
Ada sayup-sayup memanggil, agar segera saja pulang, memeluk Ibu dengan manja. Mengalihkan suasana sendu dengan canda, berbasa-basi menanyakan apakah ada genting bocor, atau semut-semut yang enggan mencari sumber gula agar segan memamah jatah masakan Ibu, atau perihal musang yang tak lagi nampak di kawasan industri berudara buruk, atau perihal bingkai foto baru yang terpajang pada dinding dengan cat baru, atau rak buku dengan letak berbeda, di mana pertanyaan-pertanyaan itu, sambil kusapu wajah Ibu dengan air mata. “Kau tak lupa jalan pulang, Nak?”

Saat Engkau Berulang Tahun

aldiantara.kata

Saat engkau berulang tahun. Waktu akan berjalan dengan cepat. Ucapan berdatangan.

Saat engkau berulang tahun. Tawa khalayak seakan menjadi lilin yang enggan segera engkau tiup padamkan. Gulir waktu menjadi make a wish harapan yang tak usai hingga bergantinya waktu keesokan harinya. Ada gumam bahwa akan lama sekali menanti perayaan berikutnya.

Pergilah berziarah kepada seseorang yang kau sayangi, habiskan waktu tanpa sinyal dan sesal. Berziarah menuju tempat air bermuara. Sepoi angin sejuk. Tanpa bising kendaraan yang mendistrak perenungan. Berziarah menuju nyala api unggun sebelum habis ranting-ranting, daun-daun kering, serta umbar kata yang terangkai cerita.

Sampai suatu saat di mana lidah kehabisan kata-kata, antara menikmati waktu atau bergumul mengabadikan waktu melalui pena.

Saat engkau berulang tahun, engkau akan membaca biografi pendahulu-pendahulu yang hendak kau capai. Hingga waktu terasa sempit hingga memaksa diri untuk menerima keadaan dan rupa alasan.

Saat engkau berulang tahun, lagu-lagu yang terputar di kafe akan terpatri panjang pada ingatan. Ia menjadi playlist. Rupa abstrak yang menjadi kata-kata pada dinding kedap suara, akan berbicara dengan sendirinya pada ingatan. Ia akan terpaku rapat yang bisa kita ziarahi saban memori itu terpanggil.

Saat engkau berulang tahun, gubahlah puisi. Di antara pagi hingga temaram yang menjadi masing-masing bait. Teratur dan rapi. Sebelum malam menjadi epilog dan sebuah perayaan sunyi.

Saat engkau berulang tahun, satu-satunya simpulan pada penghujung hari, bahwa kehidupan adalah apapun, asal bukan pencapaian. Ia adalah suatu refleksi dari cara bernafas dan bersyukur atas segala hal-hal baik yang telah diterima.

Saat Masih di Pluto

aldiantara.kata

 

Kau terkejut tidak, jika aku bisa mengetik pesan ini dari jarak yang sangat jauh. Padahal kau sudah mewanti-wanti agar aku menjaga diri baik-baik saat berada di Pluto. Nyatanya, sesungguhnya aku tidak yakin bahwa pesan ini akan sampai di tanganmu. Aku hanya teringat sebuah cerita tentang seorang lelaki saleh yang menitipkan utangnya kepada laut sebab ia tidak mendapat kapal untuk berlayar, lalu secara mukjizat botol yang yang botol berisi uang untuk melunasi utangnya itu sampai juga di tangan kawannya nun di seberang lautan.

Saat melalui benakmu timbul sebuah tanya, “Bagaimana aku menulis surat ini?” Jawabannya adalah saat kita kuliah filsafat berdua dan membahas dunia ide sambil makan nasi goreng kambing telur setengah matang. Ide adalah senjata perubahan yang paling ampuh!

Lalu, eureka! Tulisan ini mewujud. Meski jika akhirnya meleset tak sampai kepadamu, aku berusaha sangat yakin bahwa engkau akan membaca deretan aksara-aksara ini.

Aku penasaran sedang apa engkau saat membaca surat ini. Sementara aku masih di Pluto, menyibukkan diri menghadapi dingin yang teramat ekstrem.

Tidak seperti di bumi di mana melalui balon mainan yang dapat mengingatkanku padamu. Saat malam hari, di alun-alun kota itu. Engkau merajuk, mencari telur gulung panas yang baru ditiriskan dari minyak panas. Membunuh dingin dan sunyi sekaligus.

***

Simak. Malam ini keadaan langit menampakkan pemandangan super moon. Aku penasaran berapa kali engkau mendongak melihat langit. Sementara aku sedari kejauhan memandang satelit planetmu yang sedang cantik-cantiknya. Engkau percaya pada suatu cerita tentang perubahan emosional makhluk hidup? Atau lebih percaya perubahan mood itu berdasar pada kecemasan terhadap waktu, di mana kita sama-sama menunggu sebuah kepastian takdir.

Isi kepala menjadi ramai. Sesak kata-kata.

Kawasan tartarus dorsa di sini malah membuatku melihat fatamorgana ikan-ikan koi besar yang kita saksikan melalui balkon atas. Matahari yang redup di sini membuatku merasa selalu berada dalam dekapan malam. Saat masih di Pluto.

Engkau enggan keluar kamar, katamu dingin, sembari melangkahi ketapang kering yang menjadi tamu di bibir pintu. Engkau mesti tak sadar. Aku sangat jeli menscreenshoot fragmen-fragmen ingatan itu. Saat engkau merabaku demam, membenarkan lampu, hingga membenarkan selimut, serta lagu payung teduh yang kau dengar samar-samar saat kuputarkan. Kau bahkan lebih dahulu mendengkur sebelum jam tepat di angka dua belas.

Sebenarnya aku hendak membangunkanmu untuk sekadar mengingatkan apakah engkau telah selesai membaca buku To Kill a Mockingbird, Harper Lee, di atas meja, dengan lampu belajar yang urung engkau padamkan, serta halaman 87 dengan keadaan buku terbuka. Hingga akhirnya kau telah membayar sewa untuk sepotong bahuku untuk engkau jadikan sandaran lelap. Apa dalam kembang tidurmu, adakah suatu firasat bahwa aku akan berada di Pluto?

Melalui syair-syair kicau prendjak, tafsirannya adalah unggas itu memotret mode flash sekeliling kita, lalu menjadi tamu bagi ingatan kita, memasukinya, satu per satu.

Rambut ikalmu yang basah. Apakah kita akan menemukan pagi milik kita kembali dengan alunan saksofon?

Ataukah kelak saat malam menafsirkan kidung senja prendjak sebagai kesepian panjang yang akan kita masuki? Serta tangkapan layar gawai yang menjadi rencana-rencana semu yang akan terabaikan seiring waktu berjalan.

***

Kendaraan langit akan membawaku kembali ke bumi. Tiba saat fajar. Kabar takdir mengatakan engkau telah menyiapkan croquette mayo menyambutku, sembari mengucapkan kepadaku ucapan selamat datang. Rasa-rasanya aku senang engkau tak bertanya lagi perihal jarak seberapa jauh bentang jarak antara Pluto menuju bumi. Aku selalu menjawab, ia kadang menjadi dekat, kadang menjadi sangat jauh, meski hanya jarak selangkah saat kau menutup pintu kamar. Bukankah pecinta itu pandai mengatur kulminasi rindunya sendiri?

Prendjak Hijau

aldiantara.kata

 

Prendjak, di atas dahan yang rapuh. Bukan berada pada waktu tepat ia berkicau. Ia menyadari bahwa langit gulita. Kawannya telah terbang menuju peraduannya yang jauh. Kicauannya tersimpan menunggu waktu. Kaki ajaib membawa tamu yang segera datang untuk manusia.

Benarkah itu? Burung prendjak itu membawa keajaiban. Bagaimana jika tamu-tamu itu adalah kesepian yang panjang?

Prendjak hijau, yang berada di atas dahan yang rapuh, menggubah prosa,

Menuju pagi, momen langka, jeda-jeda kata.
Harap cemas memikirkan rencana.
Pada langit malam, sebelum ia terpejam.
Dingin yang menjadi-jadi.
Engkau yang telah menjadi puisi.

Angin malam yang mengantarkan kepadanya firasat, kawannya akan segera tiba, setelah ia bercinta dengan pasangannya, sembari membawakan kepadanya serangga-serangga lucu yang tak bernyawa.

Bagaimana jika tamu-tamu itu adalah kesepian yang panjang? Padahal cerita yang ia persiapkan sebelumnya, memasuki malam yang dingin, sudah habis dibunuh waktu, hingga memasuki waktu langit gelap.

Prendjak hijau belum bercerita tentang rencana bertengger di lampu merah, dahan-dahan pohon asing, atau saling bertukar bacaan sastra tentang perjalanan spiritual melalui kereta trans Siberia pada novel Coelho.

Bagaimana jika tamu-tamu itu adalah kesepian yang panjang? Padahal cerita yang ia persiapkan mengenai pelarian dari pemburu dirinya, keburu dibunuh waktu hingga memasuki langit kelabu.

Prendjak hijau belum bercerita tentang narasi kata yang berpendar dalam pikirannya, yang sama-sama mencari kata awalan, hingga tak kunjung keluar menuju akhiran. Sama-sama diam, sama-sama memilih sunyi.

Bagaimana jika tamu-tamu itu adalah kesepian yang panjang? Padahal dirinya berusaha berkicau membangunkan manusia dari mitos panjang bahwa ia bukanlah penanda datangnya tamu. Ia malah meyakini satu-satunya tamu adalah kesepian itu sendiri, yang membawanya pada tengah dahan yang rapuh.

Kawannya harus pergi, menyuapi keluarganya dalam sangkar yang luput dari tatap pemburu.