Kategori: Bilik Refleksi

Keterkejutan Kecil

Di antara sebuah sore yang dimiliki manusia, rindu menjadi perayaan atas keterkejutan-keterkejutan kecil yang menyenangkan. Ia menjadi pertemuan. Bercermin melalui kaca jendela kereta yang melaju menuju pemberhentian terakhir. Jejak kaki yang tertinggal di atas peron, sajak yang tersusun pada bangku panjang tempat cerita dan tanya menjadi aduan dan kudapan yang membunuh waktu. Engkau di sore itu pernah memintaku agar koper yang berisi sajak-sajak hasil pertemuan kita, pada sebuah sore yang kumiliki sebagai keterkejutan kecil itu, dibawakannya oleh porter-porter yang menunggu pelanggan. Aku enggan. Meski kau tahu jawabannya. Jangankan sajak-sajak yang berisi hasil pertemuan kita, bahkan jejak-jejak saja, yang kita tinggali sebagai sajak, enggan kubagi jajak. Ia mesti berdiferensiasi sebagai sebuah sajak di antara rima jejak yang meribu jumlahnya. Keterkejutan kecil, yang menjelma menjadi pertemuan itu kemudian, adalah pemberian langit yang menaungi sore sebagai keterkejutan kecil, dengan sisa hujan yang dirayakan secara sederhana, sebagaimana sajak Sapardi mengenai para pecinta yang mencintai kekasihnya dengan sederhana, dengan beragam isyarat.

Sebagaimana Sajak, Sebagaimana Jarak

Sebagaimana sajak, sebagaimana jarak. Sekejap kembang api perayaan yang padam ditiup. Aku melihat asap yang menghilang bersamaan dengan doa doa melangit. Detik detik terasa syahdu. Sempat sunyi barang beberapa detik. Sebelum didengarnya lagi oleh kita bising kota kecil yang gelap kala malam.

Sebagaimana sajak, sebagaimana waktu. Seseorang membenci arloji yang tak mampu menahan dirinya sendiri.

“Kapan kita akan beranjak?”

“Kapan waktu mengkudeta kita pada rentang jarak?”

Bukankah tugas kata-kata, kemudian, yang menjadikannya suatu arca, untuk mengenang bagaimana kejujuran itu lahir melalui rahim bahasa dan pejam mata?

Sebagaimana sajak, sebagaimana warta. Ia menjadi permukaan. Kemudian puisi, yang terdiri dari kenang-kenang, serta penindasan-penindasan, melalui aparat, pun itu berupa jarak terhadap kekasih, tercipta. Kata yang menebal.

“Pukul berapa kita kembali?” Bisikmu kepada takdir.

Aku masih menunggu kereta yang akan tiba tanpa tahu pukul berapa. Membawa kita kepada asal muasal pelukan.

Jika Pagi Telah Jatuh

Jika pagi telah jatuh, sementara engkau seorang yang ingin kutanya kabar.

Jika pagi telah jatuh, sementara sisa ingatan belum beranjak pada hari lalu tentangmu.

Jika pagi tak pernah jatuh, berada pada beranda malam, percakapan-percakapan yang selalu menjadi pagi. Tentangmu, tentang keheningan, tentang suara, tentang tawa, tentang hati yang telah jatuh, sebelum pagi.

Ajaibnya Ide

Apa engkau bisa membayangkan, betapa ajaibnya ide itu. Seorang melahirkan ide. Bersusah payah. Lalu ide itu, berupa tulisan, yang terangkai menjadi kata-kata, diamini dan menjadi keyakinan jasad hidup. Ide itu diyakini dan diperdebatkan sekaligus. Sang empu manis tersenyum di bawah pusara. Terkubur material itu. Bertahun-tahun, berabad-abad. Sementara anak yang lahir menjadi buah pemikirannya, terus bergizi, kian mewujud menjadi amal yang baik bagi kemanusiaan.

Apa engkau bisa membayangkan, betapa berbahayanya ide itu. Ia menyadarkan khalayak yang sepertinya mati, padahal mereka hidup. Ide itu mengganggu kemapanan dan kepentingan yang dirasa akan abadi bagi mereka. Ia harus dibungkam, diringkus, musnahkan jika perlu. Padahal sia-sia. Mereka hanya dapat meringkus aspek materialnya saja. Sementara ide itu abadi, melekat kian erat, melebur melahirkan jiwa. Ia menyatu dengan darah dan air mata sekaligus.

Apa engkau bisa membayangkan, betapa sulitnya melahirkan ide itu. Ia kerap hinggap, namun tak kita anggap. Tak segera kita catat. Ide itu seringkali mengalami keguguran nasib dari kesementaraan hinggap. Dalam kemiskinan perenungan, dan kata-kata. Kita mungkin menyadari, manusia-manusia yang sepertinya hidup, namun pikirannya terkubur mati, sekian hari, sekian tahun. Sementara manusia-manusia yang kita anggap mati, kerap kita perbincangkan idenya, sejak zaman dahulu kala. Ia abadi!

Nutrisi yang Terlupakan

Khalayak gaduh soal nutrisi. Rakyat banyak berburuk sangka (atau mungkin sudah terlampau jengah dengan keadaan?),

“Berita ini lagi, itu lagi, buat nutupin kasus apa sih?”

Pion-pion maju mendistraksi lirik-lirik puisi yang hidup pada jagat maya. Fenomena, komentar, menjadi sorotan publik. Sesuatu sedang bekerja dalam sepi. Ia menjadi bom waktu yang siap meledak.

“Bukankah yang menang adalah mereka yang tak membaca berita?”

mungkin saja. Atau mereka yang berhasil menahan diri menahan syahwatnya agar tak sedemikian larut berselancar membaca berita-berita baru tanpa jemu. Hingga lupa waktu.

Kiranya nutrisi gratis banyak dipersoalkan. Adakah jalan pintas yang bisa manusia gunakan selain memasukkan makanan lewat mulutnya?

Demikian pula, nutrisi-nutrisi lewat buku, terabaikan. Berdebu. Tak ada yang peduli. Terabas lalui jalan pintas. Tanpa membaca!

Di samping penting memenuhi nutrisi fisik, jangan sampai pikiran kita kekurangan gizi. Atau memasukkan micin micin berupa hoax atau nutrisi yang belum jelas ke dalam pikiran kita.

Gender dan Antre Toilet

Sebetulnya, saya cukup menyesal karena bertahan menjadi manusia yang tertib. Seperti memilih untuk tidak ngebel saat bangjo baru saja hijau, menegur pengendara yang lupa mematikan sein, hingga antre di toilet. Untuk kasus yang terakhir ini, sebagai manusia tertib, jelas saja saya tidak mau masuk ke toilet bertanda khusus perempuan meski keadaan kosong.

Dalam sebuah fragmen cerita yang akan aku bagikan berikut ini, barangkali juga pernah dialami oleh kalian. Namun, dalam pandangan saya, fragmen ini menunjukkan konstruk sosial masyarakat khususnya mengenai gender.

Masalah gender nyatanya tidak harus muluk-muluk sebagaimana kita membaca berita tentang femisida. Peristiwa-peristiwa yang pernah menggegerkan masyarakat seperti penemuan mayat perempuan dalam koper, mutilasi yang dilakukan oleh suami terhadap istri hingga bagian-bagian tubuhnya dijajakan kepada khalayak sekitar, keduanya contoh kejahatan luar biasa berbasis gender.

Namun, cerita berikut sebagai contoh yang lebih sederhana, yang bisa saja dilakukan dan dianggap normal oleh sebagian besar khalayak.

Mainan Milik Laki-Laki dan Perempuan

Suatu ketika, saya cukup terkejut melihat fasilitas puskesmas yang relatif sudah lebih keren dibanding satu dekade lalu. Fasilitas yang tersedia (saya melihat di beberapa puskesmas daerah Yogyakarta dan Klaten) relatif lengkap. Termasuk di antaranya ada area bermain untuk anak.

Tentu saja, pada hari-hari yang biasanya ramai, akan semakin ramai pada jadwal imunisasi anak. Antrean untuk mendapat imunisasi, jika tidak lekas sedari pagi akan mencapai antrean dua digit. Beberapa ada yang mengantre pada kursi ruang tunggu yang tersedia, sementara beberapa orang tua yang lain mengajak anak balitanya bermain di area yang tersedia agar anak tidak bosan. Terdapat variasi mainan seperti puzzle, buku bacaan, perosotan mini, alat kreativitas hingga kuda-kudaan serta mobil-mobilan.

Dapat diterka, bagaimana pun, terbatasnya alat bermain membuat beberapa anak harus menggunakannya secara bergantian dengan anak lain. Kebetulan, apa yang saya lihat adalah seorang anak perempuan yang dengan asik bermain mobil-mobilan, beberapa anak yang lain yang melihatnya nampak tidak sabar hendak bergantian.

Lantaran ibu dari gadis kecil itu tidak enak karena harus bergantian, ia berbicara dengan anaknya,

“Dek, sudah, ya. Masa’ anak perempuan mainannya mobil, kan itu buat laki-laki.”

Seketika saja ujaran dari Ibu tersebut secara otomatis ter-screenshot dalam memori ingatan saya hingga kini.

Sumbu pendek pikiran saya melalui fragmen cerita tersebut, sedari kecil memang sudah ada eksternalisasi dan internalisasi pengetahuan mengenai stereotip gender. Anak laki-laki harus kuat, perempuan harus lemah lembut. Cita-cita anak laki-laki menjadi normal untuk menjadi dokter, tentara, atau pilot. Sementara perempuan menjadi normal untuk menjadi guru, ibu rumah tangga, perawat, dan lain-lain.

Mainan laki-laki mobil-mobilan, sementara perempuan harus bermain dengan boneka. Fragmen yang tidak jarang dialami oleh siapa pun dan di mana pun, seringkali dijadikan suatu hal yang normal. Seolah ujaran sang ibu tadi sedikit banyak mewakili konstruk sosial mengenai gender.

Saat yang sama, sebetulnya teori psikologi perkembangan Diane N. Ruble cukup relevan diketengahkan. Di antara teorinya mengenai perkembangan gender, bahwa anak-anak usia satu dan tiga tahun telah “mempelajari” stereotip gender konvensional. Anak-anak dihubungkan dalam konstruk sosial gender ini seperti mobil-mobilan untuk anak laki-laki dan boneka untuk anak perempuan.

Selain itu anak-anak juga belajar mengasosiasikan jenis pakaian, seperti rok untuk anak perempuan dan celana panjang untuk anak laki-laki. Saat awal sekolah, tidak jarang anak-anak menghubungkan keluarga, pekerjaan dan gender, sehingga mereka memahami bahwa anak perempuan tinggal di rumah untuk mengasuh anak, mengurus rumah tangga, sedangkan anak laki-laki pergi keluar untuk bekerja.

Bagi sebagian kalangan, ini bisa jadi cuma urusan kecil. Tapi, hal ini jika disadari menjadi penting bagi anak dalam memahami peran, tanggung jawab, dan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini penting bahwa sosial turut mengonstruk pemisahan-pemisahan ‘mainan’ dan ‘pekerjaan’ laki-laki dan perempuan.

Padahal laki-laki dan perempuan memiliki hak, peluang, dan tanggung jawab yang setara, bukan?

Kesadaran mengenai kesetaraan ini lebih jauh akan memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih minat, hobi, atau karier tanpa dibatasi oleh ekspektasi gender yang mengekang. Kesadaran ini pula yang menjadi penting sehingga menghormati perbedaan dan memahami pentingnya kerja sama terhadap orang lain tanpa memandang jenis kelamin. Pun juga berdampak dalam mencegah perilaku diskriminatif atau kekerasan berbasis gender.

Nyesal Menjadi Manusia Tertib

Singkat cerita, setelah saya mruput mengambil antrean imunisasi untuk anak di puskesmas, dalam masa tunggu yang lama itu, tiba-tiba saya kebelet pipis.

Sesampainya di toilet, saya berhadapan dengan tiga pintu; toilet untuk laki-laki, perempuan, serta difabel.

Sebagai laki-laki, saya memilih untuk antre ketika toilet laki-laki terisi, sementara toilet untuk perempuan dan difabel tersedia. Lama saya menunggu, memang sedikit terbesit untuk masuk saja ke toilet yang tersedia, di samping karena tidak akan lama, juga keadaan agaknya sudah diujung ‘tanduk’.

Saya tetap memilih untuk antre menunggu toilet laki-laki terbuka. Hohoho. (Halah Sebenarnya tulisan ini ditujukan untuk meminta validasi karena saya bersikap tertib di toilet).

Kemudian saya melihat situasi sekitarnya, sepertinya tidak nampak tanda-tanda ada orang yang menuju ke toilet perempuan atau difabel. Saya agaknya tergoda lagi untuk masuk saja ke toilet yang tersedia.

Ah tapi dasarnya saya memang ribet. Saya tetap memilih menunggu.

Setelah itu, klak! Terdengar bunyi slot kunci yang terbuka dari toilet laki-laki yang saya tunggu-tunggu dalam masa penantian ini. Saya bersiap untuk bergantian masuk, ternyata setelah pintu terbuka, kulihat… perempuan. Badalah!

Melihat Cinta Bekerja, Aan Mansyur

Semula, dalam ceritamu kemarin, seorang gadis yang tetiba menangis di bangku taman kota. Melihat layar gawai dengan serius.

“Padahal masih pagi lho,” ujarmu terheran.

Dengan sedikit nafas yang terengah-engah lantaran berjalan kaki, masih saja berupaya menjelaskan. “Zaman edan! Sepagi ini lho, yang semestinya waktu dipergunakan untuk olahraga, membaca buku dan mengembangkan potensi diri, bisa-bisanya benda kecil yang cukup dengan segenggaman tangan mampu kacaukan emosi manusia. Benda sekecil ini! Aku ngga pernah hepi kalau melihat status-status orang lain, pun itu teman-temanku.”

Di internet, bahkan orang yang sangat jauh dapat menyakiti kita. Aku suka mereka menyakitiku dari kejauhan. Aku menjadi lebih mencintai diriku dan hal-hal yang sering kuanggap rapuh” –Sejam Sebelum Matahari Tidak Jadi Tenggelam

Seperti biasa, namun aku tidak pernah bosan, engkau mengaitkan apa yang dialami dengan buku-buku yang sudah kau baca.

“Sebetulnya buku Aan Mansyur Melihat Api Bekerja dasarnya kan memang terambil dari salah satu puisi di dalamnya, bukan hal baru sih. Tapi ilustrasi-ilustrasi Emte menarik. Ada ilustrasi manusia dengan kepala berbentuk rumah-rumah sembari menenteng gitar pada punggungnya, atau manusia berkepala pepohon.” Ceritamu.

Ternyata melalui buku ini engkau menemukan momen eureka! Engkau selalu ungkapkan puisi masyhur Aan Mansyur namun mengeluh tak tahu dalam karya yang mana.

Aku benci berada di antara orang-orang yang bahagia. Mereka bicara tentang segala sesuatu, tapi kata-kata mereka tidak mengatrakan apa-apa. Mereka tertawa dan menipu diri sendiri menganggap hidup mereka baik-baik saja. Mereka berpesta dan membunuh anak kecil dalam diri mereka. Aku senang berada di antara orang-orang yang patah hati. Mereka tidak banyak bicara, jujur, dan berbahaya. Mereka tahu apa yang mereka cari. Mereka tahu dari diri mereka ada yang telah dicuri.” –Menikmati Akhir Pekan

Topeng-bopeng. Istilahmu. Memang semua gincu itu diletakkan di etalase depan. Kesedihan dan hal-hal substansi senantiasa tersembunyi pada ruang yang gelap, bukan? Tak boleh satu setan pun tahu.

Termasuk bagaimana engkau memahami kerinduan sebagaimana ia terletak pada suatu sudut ruang sunyi, yang kerap terjaga. “Aku tahu ketelanjangan tempat bersembunyi bunyi yang lebih nyaring daripada sunyi.” –Mendengar Radiohead

Kerinduan selalu riuh, membuat kepala sesak dengan kata-kata, dan rencana.

Kau pernah berkata, bahwa seseorang terkadang menghindari untuk mendengar lagu tertentu agar tidak kembali patah hati. Akhirnya lagu tidak lantas menjadi suatu pesan tunggal. Bagi penikmatnya, melalui momen tertentu, ia menyimpan memori yang tak dangkal. Bahkan disimpan pula suasana, percakapan-percakapan, hingga noktah-noktah kecil yang bagi sebagian orang mungkin bukan hal penting.

Ketika mendengarkan musik, ia menyerahkan diri kepada rasa asing yang sakit, dan sunyi yang jauh. Ia senang memasukkan dirinya ke dalam musik yang sama ketika merindukanmu agar ia bisa tahu bagaimana rasanya sangat merindukanmu. Musik yang baik, baginya, adalah musik yang tidak tahu mengentikan dirinya sendiri. Musik yang memiliki dada kosong dan gema.” –Ketika

Pertanyaanmu menarik perhatianku. Kelak seiring dengan berlalunya waktu, apakah orang semakin enggan untuk menjadi penyair? Toh keresahan-keresahan tidak sedikit terwakili oleh gubahan lagu, pun dengan puisi. Hal-hal relate itu kemudian dititipnya sebagai jejak-jejak komentar pada aplikasi streaming atau platform apapun.

“Tapi tunggu dulu,” Aku sudah bisa menebak. Sengaja aku tak terburu-buru berkomentar, toh engkau sendiri yang akan membatalkan keresahanmu sendiri. Engkau bilang problem pikiranmu juga suatu hal yang dipikirkan oleh orang-orang pada zaman di mana penyair hebat itu lahir. Namun buktinya tetap saja penyair-penyair baru bermunculna, karya-karya puisi hebat lahir, pun lagu-lagu yang indah tercipta. Kita memang perlu untuk menjaga jarak dari bacaan-bacaan kita, kemudian mulailah mendengarkan suara hati yang selama ini terpeka-kan oleh rutinitas jemu.

Meja nomor tujuh.

Pesanan kita sudah siap. Engkau masih nampak belum teralihkan pada lembar kertas yang kau tandai halamannya. Markah-markah. Sesekali engkau bertanya kepadaku untuk sekadar mengonfirmasi.

“Kau pernah membaca puisi-puisi Sylvia Plath?”

Aku menggeleng.

“Sepertinya ada beberapa tempat di mana Aan Mansyur menyebut nama penyair itu.” Jawabmu.

Tetiba engkau tesenyum-senyum menggenapi kegilaanmu. Tertawa puas setelah berdialog dengan baris kata yang kau baca.

“Benar-benar.” Lalu engkau tunjukkan kepadaku sebait puisi, “Memendam dendam kata ibuku, seperti meminum segelas racun dengan harapan membunuh orang lain.” –Melihat Peta

Engkau nampaknya suka sekali dengan bait puisi yang dibaca. Memang benar. Dendam adalah cara alternatif merusak diri sendiri secara fisik dan psikis.

“Sudah?” kau memastikanku selesai membaca baris yang kau tunjukkan. “Kemudian ini,” aku memerhatikan cara telunjukmu mengantar penglihatanku pada puisi yang lain.

“Jika kau ingin mengucapkan selamat tinggal, lakukan seperti matahari tenggelam,” kataku kepada diri sendiri. –Kepada kesedihan

“Aku akan datang ke rumahmu, memegang semua benda yang baru kauletakkan. Aku ingin merasakan tanganmu ketika kau sendiri atau tidak ada.” –Menjadi Tamu

Dia meninggalkanmu agar bisa selalu mengingatmu, dia akan pulang untuk membuktikan mana yang lebih kuat, langit atau matamu” –Menenangkan Rindu

Aku mencintaimu seperti televisi tua di gudang nenekmu yang terbakar. Cuma satu kanal dan tidak pakai remot control.” –Aku Menunggu di Kantukmu

Kemudian ini, ini, itu. Hingga engkau tak menyadari, bahwa mataku justru lebih tertarik kepada jiwamu sebagai puisi-puisi yang menyentuhku.

Orang membaca sastra barangkali hanya sekumpulan kalimat yang nampak melangit, sukar dipahami. Membaca sastra adalah membiarkan jiwa-jiwa manusia yang kemudian ditanami benih-benih simpati, empati, kepekaan rasa, hingga kita jatuh cinta (sekali) lagi kepada kehidupan.

Ting! Pesan WhatsApp masuk. Aku tahu ini sudah jamnya engkau pamer kepadaku mengenai markah puisi dari buku yang kau baca.

Mereka yang asing dan tidak mengenal namaku adalah kekasihku—termasuk langit, bunga-bunga, buku-buku tua, pagi, segelas kopi dan anak kecil.” –Ketidakmampuan

Puisi bertamu ke dalam dirimu. Dia datang dari hal-hal sederhana. Dari bahaya. Dari pikiran-pikiran yang menolak waspada. Dan kau jatuh cinta.” –Memastikan Kematian

Engkau selalu berkelit setiapku tak berkomentar mengenai markah-markahmu itu. “Aku lebih senang kita berbicara ide, ketimbang usahamu untuk memperhatikanku.” Sejujurnya, itu menyinggungku, tapi apa daya. Engkau tak menerima kompromi. Engkau juga menyangkal apakah hubungan yang engkau inginkan bersamaku adalah semacam hubungan platonic.

Sepulang kerja, aku menghela nafas di beranda. Tiga kunang-kunang datang, membawa beberapa pesan yang mereka yakini bersumber darimu. Kunang-kunang pertama berbisik,

Sebagian mimpi harus rela berhenti dan menjadi rahasia. Separuh hidupnya adalah rahasia.” –Ketika

Kesendirian selalu membuat sesuatu lebih nyata. Ia selalu ingin memilih kesendirian, namun orang-orang sudah memasukkan banyak orang asing ke dalam tubuhnya. Ia tidak mampu menolong diri sendiri.” –Ketika

Cinta adalah hidangan di atas meja, pelan-pelan dingin dan kau tidak lagi lapar.” –Tentang Sepasang Kekasih yang Melintas Bergandengan Tangan

Keindahan tidak perlu memiliki kemampuan menyilaukan mata siapa pun. Sederhana umpama tidur yang hampa dan dalam. Seperti puisi yang memakan maksudnya sendiri.” –Ketika

Kemudian, giliran kunang-kunang kedua berbisik,

Tidak ada yang indah dalam hal-hal mudah.” –Kepada Kesedihan

Para tetangga lebih butuh pagar tinggi daripada pendidikan. Sekolah adalah cara terbaik untuk istirahat berkelahi di rumah. Anak-anak membeli banyak penghapus dan sedikit buku.” -Melihat Api Bekerja

Masa lalu hanya indah bagi orang-orang yang tidak menyentuhkan kakinya pada masa kini.” –Sejam Sebelum Matahari Tidak Jadi Tenggelam

Seluruh yang kaumiliki bukan yang kaumau. Seluruh yang kaumau bukan yang kaubutuh. Seluruh yang kaubutuh bukan yang mampu kaujangkau. Seluruh yang mampu kaujangkau luruh dan sia-sia belaka” –Mengingat Pesan Ibu

Belakangan, aku baru menyadari, kunang-kunang ketiga tidak membawa pesan apa-apa, namun ia memberiku suatu kabar, bahwa engkau lebih menyukai puisi, daripada harus dianggapku sebagai seorang yang membosankan, karena kehabisan bahan obrolan.

Sajam

Di ambang cuaca yang tidak menentu. Hujan itu turun melalui pipi langit. Menjadi penengah di antara pepohon dan polusi-polusi kendaraan. Lajunya tak terhenti, dikejar waktu dan perbudakan-perbudakan modern. Sekelompok manusia yang dipaksa untuk menipu dan meminta manusia lain untuk berjudi dan dapatkan materi. Sementara pada laju bus yang berjalan ugal berknalpot polusi tebal, seorang pengendara bermotor mengangkat gawai dan merekam plat dan asap tebal. Ia menyalip, waktu berjalan masih merekam fragmen peristiwa. Polisi yang menciumi polusi tiba menegur pengendara dengan gawai yang belum ia matikan rekamannya, “Tolong jangan gunakan senjata tajam!”.

Akar

Ia tidak banyak bicara, namun ia tumbuh. Ia tidak banyak memberi tahu, namun ia bergerak. Ia senyap, merambat. Ia mengakar, sangat kuat. Ia tak menunjukkan, ia bekerja. Ia tak dangkal, menggantung pada algoritma viralitas. Ia berada pada ruang sunyi dari pamrih, namun ia melaju. Ia tak mempercantik diri, namun ia tabah. Ia berpuasa dari kuasa. Ia berpuasa dari retorika, mengalir. Ia kemudian menjadi, dari proses yang jauh dari media dan omon-omon.

Laci

Ada suatu waktu di mana masa lalu terangkum sebagai berkas-berkas lama. Ia terserak. Aku merogoh kepada suatu laci yang enggan kuhampiri lagi. Ruang yang dalam itu tetaplah sebagai aku. Debu-debu. Sisa percik air menguning pada kertas. Kata-kata memudar. Tanda pesan tergurat. Deadline. Almanak yang lupa terpasang, dengan deret angka yang telah tanggal. Sisa-sisa dokumen. Waktu tidak kemana-mana. Ia berada di laci kantor dengan usia yang sama. Sungai ide yang membeku terstaples. Tak bisa kemana-mana. Meski kini ia mengental. Secarik puisi, yang lupa untuk kualamatkan kepada diri sendiri. Sayap kupu-kupu. Hinggap sebagai pembatas. Buku bersampul daun kering. Ada suatu waktu di mana rindu itu terangkum sebagai berkas-berkas lama. Kasat mata. Enggan kubereskan.