aldiantara.kata
Dampak kegaduhan di antara dua ormas besar menjelang hari raya Idul Fitri, penting untuk kita kawal. Beberapa waktu silam, kegaduhan itu berupa penolakan ijin penggunaan lapangan shalat id serta ujaran kebencian oleh seorang peneliti BRIN terhadap warga Muhammadiyah. Pada saat yang sama tiba-tiba saya jadi teringat dengan kutipan dari esai yang ditulis oleh Buya Syafii Maarif berjudul, “Dari Keberagamaan Otoritarian ke Keberagamaan yang Tulus”.
“Memang pengalaman sejarah itu harganya mahal sekali. Sikap yang terbaik kemudian adalah agar semua pihak belajar sebanyak-banyaknya dari pengalaman itu untuk mengembangkan budaya kearifan, saling mengerti, saling memaafkan, dan saling menghormati antara golongan-golongan yang berbeda agama dan aliran politik dalam bingkai Republik Pancasila ini.”
Perbedaan dalam menentukan awal bulan Syawal sejatinya bersifat ijtihadi, di antara metode hisab dan rukyat. Keduanya memiliki keabsahan tersendiri. Namun, senyatanya perbedaan yang terjadi ternyata lebih memicu segmentasi di tengah masyarakat ketimbang saling memahami dan menghormati. Dimulai dari munculnya penolakan ijin penggunaan lapangan, ujaran kebencian, hingga perdebatan yang kembali memanas di antara kedua dengan ormas notabene terbesar di negeri ini.
Belum selesai sampai di sana, perdebatan-perdebatan kalangan grass root yang mencemaskan di media sosial, hingga salah satu dari keduanya, entah siapa yang memulai, membuat status melalui WhatsApp dengan menunjukkan kebanggaannya dengan ormas yang diikutinya, memajang bendera ormas berikut lagu mars-nya.
Sudah lebih dari satu dekade sejatinya perbedaan hari raya Idul Fitri ini tidak terjadi terakhir kalinya. Titik kulminasi ini meretakkan bangunan toleransi keduanya yang dianggap paten dalam soal toleransi dan moderasi beragama.
Seketika saya teringat dengan pesan yang disampaikan oleh Buya Syafii Maarif masih dalam esainya tersebut, Buya katakan bahwa organisasi keagamaan harus bekerja sama menjadi alat pembebasan. Ia harus menjadi rahmat sekaligus problem solver dalam mengatasi permasalahan kemanusiaan. Apa yang kita saksikan bersama, setuju atau tidak, keretakan-keretakan di antara umat tidak terelakkan.
Kita harus menyadari bahwa spirit berorganisasi harus bermula dari keresahan untuk memakmurkan bumi, sementara organisasi tak lain adalah sarana perjuangan. Kegaduhan menjelang Idul Fitri waktu silam seakan menunjukkan bahwa organisasi keagamaan menjadi penyekat persaudaraan. Segmentasi yang kejam yang bisa jadi lebih ketat ketimbang menghadapi yang berbeda agama. Pantas saja jika “kotak-kotak” seperti Sunni, Syi’ah, atau sub-sub sekte ini dikritik Buya Syafii Maarif sebagai buatan sejarah yang tidak boleh kita ”berhalakan”.
Pada saat yang sama kita senantiasa berdebat yang menguras energi. Berkutat pada permasalahan internal. Padahal sejatinya permasalahan-permasalahan sosial yang berada di depan kita masih sangatlah banyak. Belum lagi kita akan bersama-sama menghadapi tahun politik. Fokus permukaan dan cangkang tidak boleh mengalihkan kita dari sikap keberagamaan kita yang tulus dan saling menghormati antara satu dengan yang lain.
Dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 104, ayat tersebut dikenal sebagai ayat berorganisasi, “Hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar…”
Penting untuk dicatat, bahwa sebelum kita berjuang pada wadah organisasi keagamaan di mana kita berada, komitmen baik tersebut perlu diimbangi dengan memperhatikan dua ayat sebelumnya, yakni agar kita terlebih dahulu menebalkan karakter takwa (ayat 102) serta komitmen untuk menjaga persaudaraan dengan saudara kita yang memilih wadah yang berbeda agar tidak bercerai-berai yang memantik perpecahan (ayat 103), hingga mengabaikan komitmen persatuan dan kemanusiaan. Tanpa memperhatikan dua ayat sebelumnya, sangat dikhawatirkan tekad mengabdi akan berubah menjadi fanatisme yang buta. Wallahu A’lam Bishawab.
Tinggalkan Balasan