Penulis: Aldiantara Kata

Peminat aktifitas sosial, sastra, pemandangan alam, serta obrolan-obrolan di warung kopi. Senang merefleksikan realitas melalui tulisan-tulisan sederhana. Kini masih duduk sebagai mahasiswa magister di salah satu Universitas di Yogyakarta.

Bagaimana Jika Gawai yang Kita Gunakan Tak Berfungsi Sejak Malam

“Bagaimana jika gawai yang kita gunakan tak berfungsi sejak malam tiba?” engkau bilang, ingin membahas jawaban-jawaban dari pertanyaan itu. Ada yang mengalihkan tatapan kita yang sedang menerka-nerka jawaban dalam alam pikiran kita. Sepasang kunang-kunang, yang sedang bersenang-senang di halaman depan.

Manusia akan kelimpungan, kehilangan separuh kesadarannya, mungkin sebagai manusia itu sendiri?

“Engkau mau bilang, bahwa manusia kini sebagai makhluk amfibi, yang dapat hidup di dua alam, alam nyata dan alam media?”

Aku katakan, siapa bilang pada gawai-gawai itu ialah alam yang tak nyata?

Datanglah hujan, yang mendinginkan minuman di meja beranda. Menyamarkan suara-suara. Meredam segenap tawa dan tangis.

Teknologi fast charging, bukankah itu mengakomodir kebutuhan manusia yang rewel seperti bayi, yang tak sabaran, agar semua berjalan secepat mungkin.

Normalisasi. Sesuatu yang berjalan lamban menjadi tak normal. Hal yang mengakar sebagai proses, menjadi sesuatu yang asing, tak mengikuti perkembangan zaman.

Melalui suara lonceng angin, orang-orang memperhatikan hujan yang tak kunjung reda, sambil memerhatikan pepohonan sekitar rumah yang basah oleh rintik derasnya. Mereka saling bertaruh apakah esok pagi cuaca akan cerah?

Obrolan-obrolan di warung kopi, tanpa harus terdistrak dengan bunyi notifikasi.

Tatapan. Tatapan yang kembali berisi memperhatikan dan menghormati siapa lawan bicaranya.

Cerita sebelum tidur yang selesai dibacakan hingga anak terlelap.

Surat kabar terbaru yang ludes terjual.

Waktu berjalan sangat lambat menanti hari esok.

Sepeda dikayuh menuju suatu tempat bertanya perihal kabar. Pengendara menepi lalu bertanya pada penduduk alamat tujuan.

“Bukankah impianmu akan tercapai?” aku mengangguk. Puisi yang bergilir dibaca sajak demi sajak. Pancake hangat yang tersaji menemani diskusi dan kehangatan pembicaraan.

Keheningan setelah fajar, hanya terdengar derap langkah beriringan menuju tempat suci.

Orang-orang mencetak foto, menjenguk album-album kenangan yang bertanda waktu pada pinggirnya.

Doa-doa yang kian panjang. Tanpa interupsi nyala layar pada suasana temaram.

Dan malam, menjadi malam, memeluk manusia, mengembalikannya kepada siapa diri kita tanpa ‘kemajuan-kemajuan’ itu.

apa yang tersisa dari kita, jika yang sibuk dan bising itu padam?

Bumbu Kacang Sate Madura

Surat kabar pagi yang datang terlambat. Kabut yang enggan beranjak menyelimuti pematang seberang beranda. Pemutaran video pada layar gawai looping urung kunjung dimatikan di atas ranjang.

Kabar daring berserak penuhi beranda antri minta dibaca. Pesan-pesan moral, ide-ide konten media, video-video baru, kabar dari ibukota menunggu antrian upload terlingkar pada angka-angka almanak. Di meja rencana.

Dan waktu, tak pernah permisi beranjak pergi. Ia selalu menulis pesan agar jangan sekalipun manusia dihinggapi sesal karena tak pernah memaksa waktu untuk berhenti beribadah dengan caranya.

Kemudian, puisi-puisi yang pada akhirnya terbit di media massa, harus lantang bersuara terpampang pada halaman tengah, bersanding dengan foto pemimpin titipan yang memberi pesan (iklan) moral.

Sementara itu, puisiku enggan berkompromi. Meja redaksi bukan tanpa tekanan. Bertaruh antara jabatan dan keluarga yang telanjur menjadi tanggungan.

Redaktur media massa yang terhormat, benar bahwa media-media tersisa bercetak kertas, pemimpin yang dieluk-eluk oleh pendukung yang terlanjur deal dengan kontrak dan sponsornya yang tiada hari tanpa pemberitaan mengenai pemimpin titipan itu, kedekatannya dengan rakyat benar adanya.

Buktinya, pagi tadi fotonya disuapi penjual sate Madura dengan siraman bumbu kacang.

Pedes, Mas?”

“Mohon maaf, Bu, saya sejauh ini belum dapat informasi A1, A2, A3, A4, apakah pemimpin titipan yang agung ini suka pedas atau tidak. Tapi rasanya tak nikmat dan agak eneg jika makanan hanya bercita rasa manis saja, jadi pedas sedang saja ya, Bu.”

Kemudian dengan sigap Ibu penjual sate Madura yang biasanya tiba di pertigaan jalan desa pada pukul 06.00 pagi, kepul asap yang terkadang bikin anak yang dibawanya batuk tak henti, menaburkan irisan cabai yang sudah tercampur dengan bawang.

Ah, aku malah lupa, ketimbang irisan cabai, pemimpin titipan dalam foto itu barangkali lebih membutuhkan beberapa campuran bumbu buku sastra dan pemikiran. Padahal aku sudah membawa beberapa buku seperti tetralogi Pulau Buru dan beberapa karya Paulo Coelho.

“Eh, begini saja, Bu…” aku kemudian sampaikan kepada penjual untuk menambahkan alas sate di bawahnya dengan beberapa helai kertas. Nampak beberapa helai kertas tersedia materi coding dan algoritma. Siapa tau pemimpin titipan mau menikmati sate Madura, dalam bingkai foto media massa, sambil membaca buku dalam beberapa helai alas di bawahnya.

“Harga tetap sama kan, Bu?” tanyaku.

“Tergantung, Mas, beda kurikulum beda harga tambahan.”

“Ah, ndak apa-apa, Bu. Asalkan pemimpin kita terdidik. Meski dalam bingkai foto media massa.” Jawabku.

Denyut

Berdenyut. Sebagai isyarat pada langit gelap. Jalan pulang kepadamu, selalu sunyi dalam bahasa, nan ramai menjadi bunyi dalam pikiran.
“Apakah ada aku dalam tatapmu?” tanyamu selalu.

Berdenyut. Dalam lingkar jemari. Ia bisa jadi merujuk kepada kereta, rencana, dan tanya. “Asal engkau tak liat jarum pendek pada arloji itu”, yang putarannya merubah nasib cuaca.

Berdenyut. Sebagai isyarat lirik puisi yang engkau buat di dadaku. Bekas itu perlu dipindahkan menjadi perjalanan, menjadi percakapan yang kita utarakan di belakang masinis kereta, yang telah khatam menghitung jarak.

Pengetahuan kini menjadi bait puisi yang manis. Angka-angka berdenyut, “Engkau tak bisa menghitung sesuatu yang tidak terhingga,” ujarku.

Kalkulasi selalu gagal memahami takdir, Kekasih. Rumus semesta selalu penuh tanda tanya. Kerapnya ia menjadi rahasia. Tak terbaca melainkan hanya berupa celah-celah. Apakah engkau, atau aku, atau rencana-rencana itu, intuisi itu, lembayung senja itu, takdir itu, yang terlambat tiba di stasiun kereta, bukankah selalu ada waktu untuk kembali?

Keterkejutan Kecil

Di antara sebuah sore yang dimiliki manusia, rindu menjadi perayaan atas keterkejutan-keterkejutan kecil yang menyenangkan. Ia menjadi pertemuan. Bercermin melalui kaca jendela kereta yang melaju menuju pemberhentian terakhir. Jejak kaki yang tertinggal di atas peron, sajak yang tersusun pada bangku panjang tempat cerita dan tanya menjadi aduan dan kudapan yang membunuh waktu. Engkau di sore itu pernah memintaku agar koper yang berisi sajak-sajak hasil pertemuan kita, pada sebuah sore yang kumiliki sebagai keterkejutan kecil itu, dibawakannya oleh porter-porter yang menunggu pelanggan. Aku enggan. Meski kau tahu jawabannya. Jangankan sajak-sajak yang berisi hasil pertemuan kita, bahkan jejak-jejak saja, yang kita tinggali sebagai sajak, enggan kubagi jajak. Ia mesti berdiferensiasi sebagai sebuah sajak di antara rima jejak yang meribu jumlahnya. Keterkejutan kecil, yang menjelma menjadi pertemuan itu kemudian, adalah pemberian langit yang menaungi sore sebagai keterkejutan kecil, dengan sisa hujan yang dirayakan secara sederhana, sebagaimana sajak Sapardi mengenai para pecinta yang mencintai kekasihnya dengan sederhana, dengan beragam isyarat.

Sebagaimana Sajak, Sebagaimana Jarak

Sebagaimana sajak, sebagaimana jarak. Sekejap kembang api perayaan yang padam ditiup. Aku melihat asap yang menghilang bersamaan dengan doa doa melangit. Detik detik terasa syahdu. Sempat sunyi barang beberapa detik. Sebelum didengarnya lagi oleh kita bising kota kecil yang gelap kala malam.

Sebagaimana sajak, sebagaimana waktu. Seseorang membenci arloji yang tak mampu menahan dirinya sendiri.

“Kapan kita akan beranjak?”

“Kapan waktu mengkudeta kita pada rentang jarak?”

Bukankah tugas kata-kata, kemudian, yang menjadikannya suatu arca, untuk mengenang bagaimana kejujuran itu lahir melalui rahim bahasa dan pejam mata?

Sebagaimana sajak, sebagaimana warta. Ia menjadi permukaan. Kemudian puisi, yang terdiri dari kenang-kenang, serta penindasan-penindasan, melalui aparat, pun itu berupa jarak terhadap kekasih, tercipta. Kata yang menebal.

“Pukul berapa kita kembali?” Bisikmu kepada takdir.

Aku masih menunggu kereta yang akan tiba tanpa tahu pukul berapa. Membawa kita kepada asal muasal pelukan.

Jika Pagi Telah Jatuh

Jika pagi telah jatuh, sementara engkau seorang yang ingin kutanya kabar.

Jika pagi telah jatuh, sementara sisa ingatan belum beranjak pada hari lalu tentangmu.

Jika pagi tak pernah jatuh, berada pada beranda malam, percakapan-percakapan yang selalu menjadi pagi. Tentangmu, tentang keheningan, tentang suara, tentang tawa, tentang hati yang telah jatuh, sebelum pagi.

Ajaibnya Ide

Apa engkau bisa membayangkan, betapa ajaibnya ide itu. Seorang melahirkan ide. Bersusah payah. Lalu ide itu, berupa tulisan, yang terangkai menjadi kata-kata, diamini dan menjadi keyakinan jasad hidup. Ide itu diyakini dan diperdebatkan sekaligus. Sang empu manis tersenyum di bawah pusara. Terkubur material itu. Bertahun-tahun, berabad-abad. Sementara anak yang lahir menjadi buah pemikirannya, terus bergizi, kian mewujud menjadi amal yang baik bagi kemanusiaan.

Apa engkau bisa membayangkan, betapa berbahayanya ide itu. Ia menyadarkan khalayak yang sepertinya mati, padahal mereka hidup. Ide itu mengganggu kemapanan dan kepentingan yang dirasa akan abadi bagi mereka. Ia harus dibungkam, diringkus, musnahkan jika perlu. Padahal sia-sia. Mereka hanya dapat meringkus aspek materialnya saja. Sementara ide itu abadi, melekat kian erat, melebur melahirkan jiwa. Ia menyatu dengan darah dan air mata sekaligus.

Apa engkau bisa membayangkan, betapa sulitnya melahirkan ide itu. Ia kerap hinggap, namun tak kita anggap. Tak segera kita catat. Ide itu seringkali mengalami keguguran nasib dari kesementaraan hinggap. Dalam kemiskinan perenungan, dan kata-kata. Kita mungkin menyadari, manusia-manusia yang sepertinya hidup, namun pikirannya terkubur mati, sekian hari, sekian tahun. Sementara manusia-manusia yang kita anggap mati, kerap kita perbincangkan idenya, sejak zaman dahulu kala. Ia abadi!

Nutrisi yang Terlupakan

Khalayak gaduh soal nutrisi. Rakyat banyak berburuk sangka (atau mungkin sudah terlampau jengah dengan keadaan?),

“Berita ini lagi, itu lagi, buat nutupin kasus apa sih?”

Pion-pion maju mendistraksi lirik-lirik puisi yang hidup pada jagat maya. Fenomena, komentar, menjadi sorotan publik. Sesuatu sedang bekerja dalam sepi. Ia menjadi bom waktu yang siap meledak.

“Bukankah yang menang adalah mereka yang tak membaca berita?”

mungkin saja. Atau mereka yang berhasil menahan diri menahan syahwatnya agar tak sedemikian larut berselancar membaca berita-berita baru tanpa jemu. Hingga lupa waktu.

Kiranya nutrisi gratis banyak dipersoalkan. Adakah jalan pintas yang bisa manusia gunakan selain memasukkan makanan lewat mulutnya?

Demikian pula, nutrisi-nutrisi lewat buku, terabaikan. Berdebu. Tak ada yang peduli. Terabas lalui jalan pintas. Tanpa membaca!

Di samping penting memenuhi nutrisi fisik, jangan sampai pikiran kita kekurangan gizi. Atau memasukkan micin micin berupa hoax atau nutrisi yang belum jelas ke dalam pikiran kita.

“Back to School” dan Alienasi Pendidikan

Slogan “Back to School” sedang ramai menghiasi flyer-flyer yang menjadi status WhatsApp pekan ini. Hiruk pikuk para orang tua yang memenuhi toko alat tulis, sekilas memang menjadi penanda dimulainya semester baru. Sekilas pula, apa yang aneh dari slogan tersebut?

Rutinitas ini jelas hal yang lumrah. Setelah para siswa menyelesaikan ujian semester, bersukacita dengan liburan panjang, selanjutnya tentu memasuki semester baru. Apa yang mengganggu pikiran saya adalah kemiripan narasi yang digunakan oleh publikasi sekolah, “Back to School”. Mengapa harus menggunakan slogan tersebut?

Secara tersirat dari makna yang berlawanannya adalah pada masa liburan, anak tidak sekolah. Atau bisa juga menyiratkan adanya suatu jarak antara sebuah lembaga pendidikan dengan masyarakat.

Saya cukup sering meminta mahasiswa pendidikan di kampus untuk berpikir, “mengapa anak-anak selalu riang gembira ketika ada pengumuman libur?” Kemudian saya selalu memberi jawaban provokatif kepada mereka, “karena selama ini sekolah tidak menyenangkan!” para mahasiswa pun menyambut provokasi itu sembari tersenyum dan mengerutkan kening.

Lalu bagaimana membuat agar sekolah menjadi menyenangkan?

Sebetulnya apa yang menjadi tujuan dari pendidikan, sehingga seolah antara lembaga pendidikan dan masyarakat menjadi dua entitas yang berbeda. Hal tersebut secara tidak langsung menyiratkan pendidikan (berikut para siswanya) menjadi teralienasi dari masyarakatnya.

Masih belum sembuh dalam ingatan masyarakat, mengenai kasus koruptor yang merugikan negara ratusan triliun, merusak alam, namun mendapat vonis hukuman ringan ketimbang si pencuri ayam. Akhir tahun lalu, masyarakat sempat dihebohkan dengan (salah satu) kasus parisida, di mana seorang anak (siswa sekolah) tega menghabisi keluarganya. Padahal sang anak dikenal baik, taat beragama dan berprestasi.

Selain dua kasus di atas, tulisan ini tentu saja tidak mampu menampung semua permasalahan aktual, belum termasuk di dalamnya perihal pengangguran, kemiskinan, kesenjangan sosial hingga judi online yang kian meresahkan.

Tentu saja saya tidak sudi jika pendidikan justru melahirkan luaran trouble maker, bukan menjadi problem solver. Trouble Maker sebagai film tahun 1995 yang dibintangi Boboho (Steven Hao) dan Paman Tat (Ng Man-tat) tentu saja membuat khalayak terhibur karena aksi jenaka. Namun jika menjadi trouble maker dalam bangsa ini rasa-rasanya sudah kian menjengahkan.

Belum kita membahas bagaimana materi-materi yang diajarkan di sekolah, apakah materi tesebut relevan merespon kebutuhan suatu masyarakat, atau tidak lebih sebagai penyiapan manusia yang akrab dengan kebutuhan pasar?

Sekolah atau “School” mestinya melampaui suatu bangunan yang terbatas. Ia tidak mengacu kepada suatu tempat. Pun ia tidak memiliki jam. Sekolah idealnya menjadi suatu proses pembelajaran tiada henti, pengaktualisasian diri terhadap realitas dan masyarakat di mana siswa tinggal.

Jika meminjam bahasa Talcott Parsons, pendidikan mestinya berfungsi untuk menjaga keseimbangan dan keteraturan dalam masyarakat. Pendidikan harus dikembalikan perannya dalam proses sosialisasi dan perpindahan nilai yang diperlukan agar seseorang dapat mengaktualisasikan dirinya dengan baik di masyarakat.

Di samping itu, pendidikan juga seharusnya menjadi saluran untuk mobilitas sosial dan pengembangan keterampilan yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Saat saya ikut kegiatan ronda pada salah satu desa di Klaten, tidak jarang saya melihat beberapa warga keluar untuk membuang sampah pada sungai kecil yang mengalir. Kini saya masih melihat dan menikmati luasnya sawah, alir sungai yang jernih, serta luas kebun jagung.

Kesadaran lingkungan jika tidak dijaga, satu atau dua dekade ke depan kita tidak akan menemukan keasrian lagi di Klaten dan Solo Raya, selain kelak akan kita saksikan maraknya hotel, kavling perumahan serta bangunan-bangunan tinggi demi memuaskan hasrat para pemodal yang tak pernah tidur mencari peluang bisnis. Kesadaran tersebut lah yang perlu dibangun dan dijaga dari proses internalisasi pengetahuan lembaga pendidikan.

Selanjutnya, jika akhir-akhir ini marak membincangkan tujuh gerakan kebiasaan anak Indonesia hebat yang diluncurkan oleh Kemendikdasmen, maka upaya untuk mengatasi alienasi pendidikan adalah dengan poin ibadah, gemar belajar dan bermasyarakat.

Antara belajar dan masyarakat tentu saja berkait kelindan, namun kita tidak boleh lupa, bahwa aspek spiritual menjadi sangat penting sebagai pemandu moral kemanusiaan.

Terakhir, saya ingin menutup tulisan singkat ini dengan lirik lagu yang saya suka dari Kepal SPI yang berjudul, “Belajar Sama Sama”.

Semua orang itu guru, alam raya sekolahku, sejahteralah bangsaku.

Gender dan Antre Toilet

Sebetulnya, saya cukup menyesal karena bertahan menjadi manusia yang tertib. Seperti memilih untuk tidak ngebel saat bangjo baru saja hijau, menegur pengendara yang lupa mematikan sein, hingga antre di toilet. Untuk kasus yang terakhir ini, sebagai manusia tertib, jelas saja saya tidak mau masuk ke toilet bertanda khusus perempuan meski keadaan kosong.

Dalam sebuah fragmen cerita yang akan aku bagikan berikut ini, barangkali juga pernah dialami oleh kalian. Namun, dalam pandangan saya, fragmen ini menunjukkan konstruk sosial masyarakat khususnya mengenai gender.

Masalah gender nyatanya tidak harus muluk-muluk sebagaimana kita membaca berita tentang femisida. Peristiwa-peristiwa yang pernah menggegerkan masyarakat seperti penemuan mayat perempuan dalam koper, mutilasi yang dilakukan oleh suami terhadap istri hingga bagian-bagian tubuhnya dijajakan kepada khalayak sekitar, keduanya contoh kejahatan luar biasa berbasis gender.

Namun, cerita berikut sebagai contoh yang lebih sederhana, yang bisa saja dilakukan dan dianggap normal oleh sebagian besar khalayak.

Mainan Milik Laki-Laki dan Perempuan

Suatu ketika, saya cukup terkejut melihat fasilitas puskesmas yang relatif sudah lebih keren dibanding satu dekade lalu. Fasilitas yang tersedia (saya melihat di beberapa puskesmas daerah Yogyakarta dan Klaten) relatif lengkap. Termasuk di antaranya ada area bermain untuk anak.

Tentu saja, pada hari-hari yang biasanya ramai, akan semakin ramai pada jadwal imunisasi anak. Antrean untuk mendapat imunisasi, jika tidak lekas sedari pagi akan mencapai antrean dua digit. Beberapa ada yang mengantre pada kursi ruang tunggu yang tersedia, sementara beberapa orang tua yang lain mengajak anak balitanya bermain di area yang tersedia agar anak tidak bosan. Terdapat variasi mainan seperti puzzle, buku bacaan, perosotan mini, alat kreativitas hingga kuda-kudaan serta mobil-mobilan.

Dapat diterka, bagaimana pun, terbatasnya alat bermain membuat beberapa anak harus menggunakannya secara bergantian dengan anak lain. Kebetulan, apa yang saya lihat adalah seorang anak perempuan yang dengan asik bermain mobil-mobilan, beberapa anak yang lain yang melihatnya nampak tidak sabar hendak bergantian.

Lantaran ibu dari gadis kecil itu tidak enak karena harus bergantian, ia berbicara dengan anaknya,

“Dek, sudah, ya. Masa’ anak perempuan mainannya mobil, kan itu buat laki-laki.”

Seketika saja ujaran dari Ibu tersebut secara otomatis ter-screenshot dalam memori ingatan saya hingga kini.

Sumbu pendek pikiran saya melalui fragmen cerita tersebut, sedari kecil memang sudah ada eksternalisasi dan internalisasi pengetahuan mengenai stereotip gender. Anak laki-laki harus kuat, perempuan harus lemah lembut. Cita-cita anak laki-laki menjadi normal untuk menjadi dokter, tentara, atau pilot. Sementara perempuan menjadi normal untuk menjadi guru, ibu rumah tangga, perawat, dan lain-lain.

Mainan laki-laki mobil-mobilan, sementara perempuan harus bermain dengan boneka. Fragmen yang tidak jarang dialami oleh siapa pun dan di mana pun, seringkali dijadikan suatu hal yang normal. Seolah ujaran sang ibu tadi sedikit banyak mewakili konstruk sosial mengenai gender.

Saat yang sama, sebetulnya teori psikologi perkembangan Diane N. Ruble cukup relevan diketengahkan. Di antara teorinya mengenai perkembangan gender, bahwa anak-anak usia satu dan tiga tahun telah “mempelajari” stereotip gender konvensional. Anak-anak dihubungkan dalam konstruk sosial gender ini seperti mobil-mobilan untuk anak laki-laki dan boneka untuk anak perempuan.

Selain itu anak-anak juga belajar mengasosiasikan jenis pakaian, seperti rok untuk anak perempuan dan celana panjang untuk anak laki-laki. Saat awal sekolah, tidak jarang anak-anak menghubungkan keluarga, pekerjaan dan gender, sehingga mereka memahami bahwa anak perempuan tinggal di rumah untuk mengasuh anak, mengurus rumah tangga, sedangkan anak laki-laki pergi keluar untuk bekerja.

Bagi sebagian kalangan, ini bisa jadi cuma urusan kecil. Tapi, hal ini jika disadari menjadi penting bagi anak dalam memahami peran, tanggung jawab, dan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini penting bahwa sosial turut mengonstruk pemisahan-pemisahan ‘mainan’ dan ‘pekerjaan’ laki-laki dan perempuan.

Padahal laki-laki dan perempuan memiliki hak, peluang, dan tanggung jawab yang setara, bukan?

Kesadaran mengenai kesetaraan ini lebih jauh akan memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih minat, hobi, atau karier tanpa dibatasi oleh ekspektasi gender yang mengekang. Kesadaran ini pula yang menjadi penting sehingga menghormati perbedaan dan memahami pentingnya kerja sama terhadap orang lain tanpa memandang jenis kelamin. Pun juga berdampak dalam mencegah perilaku diskriminatif atau kekerasan berbasis gender.

Nyesal Menjadi Manusia Tertib

Singkat cerita, setelah saya mruput mengambil antrean imunisasi untuk anak di puskesmas, dalam masa tunggu yang lama itu, tiba-tiba saya kebelet pipis.

Sesampainya di toilet, saya berhadapan dengan tiga pintu; toilet untuk laki-laki, perempuan, serta difabel.

Sebagai laki-laki, saya memilih untuk antre ketika toilet laki-laki terisi, sementara toilet untuk perempuan dan difabel tersedia. Lama saya menunggu, memang sedikit terbesit untuk masuk saja ke toilet yang tersedia, di samping karena tidak akan lama, juga keadaan agaknya sudah diujung ‘tanduk’.

Saya tetap memilih untuk antre menunggu toilet laki-laki terbuka. Hohoho. (Halah Sebenarnya tulisan ini ditujukan untuk meminta validasi karena saya bersikap tertib di toilet).

Kemudian saya melihat situasi sekitarnya, sepertinya tidak nampak tanda-tanda ada orang yang menuju ke toilet perempuan atau difabel. Saya agaknya tergoda lagi untuk masuk saja ke toilet yang tersedia.

Ah tapi dasarnya saya memang ribet. Saya tetap memilih menunggu.

Setelah itu, klak! Terdengar bunyi slot kunci yang terbuka dari toilet laki-laki yang saya tunggu-tunggu dalam masa penantian ini. Saya bersiap untuk bergantian masuk, ternyata setelah pintu terbuka, kulihat… perempuan. Badalah!