Bulan: April 2023

Aba-Aba Masinis

aldiantara.kata

“Lihatlah”, padahal aku berbicara kepadamu tanpa suara,
Sudah fajar. Waktu sabur limbur. Sesaat kereta akan tiba pada stasiun pemberhentian akhir.

“Lihatlah”, padahal engkau masih mendengkur pada himpitan lenganku.
Orang-orang sudah sibuk berkemas mengambil barang-barangnya di atas kepala mereka.
Tenanglah sedikit lagi, jangan dulu beranjak. Ada sisa waktu teruskan bunga tidur yang buatmu nyaman.

Sinar mentari pagi kian terang, sawah-sawah terbentang, yang bahkan tak bisa hidupi dirinya sendiri, begitu pun si empu.

“Dengarlah”. Masinis umumkan aba-aba agar kita lekas bersiap.
Bukankah kita yang selalu terjaga, dari dingin malam, serta cemas yang serta-merta datang tanpa aba.

Sebelum Terurai Tanpa Sempat Menoleh Ke Kiri dan Kanan

aldiantara.kata

Seperti melarut, purnama dengan sinarnya memantul pada riak kolam. Julang kelapa yang tegak menjadi siluet. Apa yang membayang, sinar cahaya memasuki jendela kamar. Mata kita terpejam. Rindu memiliki waktu. Derita setiap waktu adalah pengakuan pada batas, di mana kita belum menjadi sadar.

Sudah waktunya. Cinta menggigil. Sayup malam. Kita sibuk menerjemahkan rencana, di mana waktu bak jalan gelap. Tak henti kita pelihara rasa cemas. Bisakah kita memberi jarak, kepada pandangan abstrak, serta waktu yang meminta kita berhenti mencuri perhatian.

Bisakah malam ini. Bersandar pada punggungmu yang resah. Mengaburkan cemas kata-kata, serta kusut benang pikiran yang membuat mata enggan terpejam.

Kala pagi, kita menafsiri raut yang tenang. Kau sedang memimpikan apa? Adakah waktu akan sekejap kembali berlalu, menunggu ia kembali tiba pada waktu yang berjudi.

Gubahan fragmen, menjadi kata-kata. Ia tak terwakili. Kita saja yang menjaga. Dan menolak lupa.

Tidak dosa jika kehabisan kata-kata. Namun jiwa kita tak boleh jemu mengembara. Di atas kereta yang membawa kita pada ketakterdugaan. Stasiun-stasiun di mana kita menepi. Sesekali harus berantrian pada macet yang panjang. Sebelum terurai tanpa sempat menoleh ke kiri dan kanan.

Kita berpayah-payah, bersembahyang agar bisa kuasa menjadi pembeli apapun. Menukarnya dengan sesuatu yang kita anggap sepadan.

Ranting Kering

aldiantara.kata

Lamat-lamat kau kutangkap mengikuti lirik lagu yang sedang diputar mengisi latar. Kesadaran merebah pada remang ingatan.

Sisa-sisa waktu, perubahan rencana. Serta cuaca.

Kau mungkin kalah, tenggelam pada sekujur pemandangan masa lalu. Mungkin pula aku. Membakar unggun pada penghujung malam dekat bibir laut.

Gemintang yang menjadi pasir. Serta angin yang memintaku pulang.

Rindu yang menjadi jalan pulang, kita tinggalkan pada taman yang sepi. Lampu bundar yang kian redup menuju pagi. Kita sama-sama enggan memanggilnya. Hingga waktu mengubahnya menjadi dendam dan prasangka-prasangka.

Hingga aku usai kumpulkan kembali ranting-ranting kering, yang pernah tak sengaja kau pijak, meninggalkan tubuh daun kering musim semi. Aku akan nyalakan unggun serta puisi-puisi yang kusiapkan sebelum gelap. Hingga menunggumu menangkapku melalui skrinsutan langit malam yang masih kelabu. Serta gerimis yang turun diam-diam.