Bulan: Maret 2021

Kata yang Menjadi Bait

aldiantara.kata

 

mana manusia tahu akhir harinya.
lagu pagi mendorongku
semesta selalu memiliki peneduh
awal pagi dan pertengahan senja
lagi, dunia melamarku menjadi bidak
aku tidak harus pergi
sebab tak ada yang harus ditinggalkan
orang pikir mampu membunuh jiwa-jiwa
-yang penuh dengan rencana-rencana baik?
di tempat-tempat ibadah yang diberkahi
mereka saling mewarisi nan mengisi
begitupun tinta pena ini yang sementara
akan habis
mereka kira tiada lagi kata-kata
hari masihlah pagi
kata yang menjadi bait
pena ini mewariskan sesuatu
kau mau tahu apa?

Kulacino

Oleh: Abenza’idun

 

Hari itu,
Apa yang bisa ku laku?
Setelah kupesan segelas penuh,
Justru menyisa perasaan meluruh.

Ketika setengah dua belas.
Yang masih setengah gelas.
Dan kasih?

Tak terbalas.
Tak berbelas.

Hadirmu yang kuteguk?
Telah habis menyertai kepergianmu.
Tersisa bekas dingin jejakmu.
Yang meruntuh asa serta rasa.

Tak ingin menunggu angin,
Agar mengering.
Biar kuseka,
Sendiri.

Sebab luka -punya cara sederhana
-untuk bahagia.

 

Grobogan,
Abenz

Akhlak (28)

Oleh: Um Sabah

 

Orang-orang yang memiliki akhlak yang baik mereka memiliki tanda-tanda, dan orang-orang yang memiliki akhlak buruk juga memiliki tanda-tanda. Diantara tanda-tanda akhlak yang baik adalah seseorang telah berusaha dengan sungguh-sungguh mengendalikan jiwanya sehingga ia dapat meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk.

“Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, yang memuji, yang melawat, yang ruku’, yang sujud, yang menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu.” Al-Qur’an (9): 112.

Hidup Normal (?)

Oleh: Azki Khikmatiar

 

Apa definisi hidup normal?
Bekerja di sebuah kantor internasional
Berangkat setiap pagi hari lalu pulang menjelang petang
Mengajukan cuti setiap bulan yang
lebih sering ditolak atasan
Mengambil lembur hingga lupa
bagaimana rasanya pergi berlibur

Mengapa harus hidup normal?
Menjalani harihari tanpa sekalipun
mengerti apa yang akan terjadi esok hari
Menghabiskan sisa waktu yang bisa
tibatiba membujur kaku

Ah! Bodoh!
Sepertinya aku harus mengamini
Bahwa hidup ini harus normal
Meskipun penuh ketidaknormalan
Mengapa terkesan paradoks?
Aku tidak peduli! Itu bukan urusanku!

Sebentar!
Kenapa tidak terima?
Bukankah ini hanya katakata?
Tanpa suara dan tanpa nada
Jadi, abaikan saja!

 

Ruang pening, 25 Maret 2021

Pada Masanya

aldiantara.kata

 

aku adalah masanya
dia adalah masanya
mereka pada masanya
kami adalah masanya
kita adalah masanya

masa yang bergulir
tragedi yang bergilir
cinta yang harus mengalir
benci tiada akhir

cinta pada masanya
benci pada masanya
tragedi pada masanya
setiap-tiapnya pada masanya

agama pada masanya
pemikiran pada masanya
kebenaran pada masanya
kebatilan pada masanya

standar  pada masanya
kehidupan pada masanya
kematian pada masanya
keindahan pada masanya

alasan pada masanya
kesetiaan pada masanya
keberanian pada masanya
kejahatan pada masanya

puisi pada masanya
ihwal apakah yang tak lapuk
dikekang masa?
masa, Tuhan?

12 Maret 2021

Oleh: Dyah Putri

 

Akan ada yang selalu lebih
Tulisanku hanya hadir ketika kepiluan juga singgah
Entah mengapa selalu sesuatu yang menyesakkan begitu menarik untuk dituangkan
Kepedihan-kepedihan ketika datang dan pergi selalu berputar seolah bumi memutari matahari
Siang malam, gelap terang
Aku terjebak di dalamnya
Ketika kata-kata hampir sirna
Semesta membawaku kembali beraksara
Entah berjelaga, berkabut
Atau yang lainnya
Yang selalu dipuja para pujangga
Senja
Tuhan…
Mengapa aku tercipta sebagai manusia?

Air Putih

aldiantara.kata

 

Air yang putih
Air putih.
Panas.
Mendidih seakan melihat amarahmu.

Air yang putih.
Membeku.
Suatu malam, dingin menjadi satu.
Menusuk membawa ingatan.
Rasakah juga, dingin, pada punggungmu?
Pada pucuk dadamu pada gilirnya.
Mencair menyatu dengan liur.
Liar.
Mata terpejam dingin, menjalar kepada sikap.

Air putih menjadi pemuas.
Bedak putih menjadi pudar.

Air putih buatku mual.
Yang serba putih, mereka tak mesti suci.

Sesudah encer, mendarah-mendaging, berteriak.
Menunjuk penjarakan.

Yang putih, yang cantik.
Yang putih, rasa punya kuasa.
Yang putih, banderol harga.
Yang putih, komoditas perebutan.

Putih-putih jadi standar.
Air putih, kebutuhan.

Air putih
Hangat. Terbalur di wajahmu. Kau tertawa.
Lega.

Akhlak (27)

Oleh: Um Sab’ah

 

Masing-masing anggota badan manusia, Allah swt. telah menciptakannya khusus untuk suatu perbuatan, maka tanda-tanda sakitnya adalah ia tidak mampu melakukan perbuatan tersebut. Sakit mata menjadi susah untuk melihat, sakit telinga susah untuk mendengar, sakit hati susah untuk melakukan perbuatan yang khusus dilakukannya yaitu yang Allah telah menciptakannya pada tujuan itu, yaitu iman, ilmu, hikmah dan ma’rifat, cinta kepada Allah swt. dan mengagungkan-Nya, beribadah, dan bersyukur kepada-Nya, serta lebih mengutamakan hal itu daripada nafsu.

Sekiranya manusia mengetahui segala sesuatu tapi dia tidak mengenal Allah swt. maka seakan-akan dia tidak mengetahui apa-apa.

Tanda seseorang itu mengenal Allah swt. adalah cinta. Maka barangsiapa yang mengenal Allah maka dia akan mencintai-Nya.

Perjalanan Rasa

aldiantara.kata

 

Kini, aku tak takut kehilanganmu. Setelah waktu berlalu cukup lamanya, selalu ada masa di mana perasaan menjadi dingin diantarakata, diantarakita.

Kita saling membaca buku-buku jiwa yang sudah lama tak kita sentuh. Aku mungkin ingin tahu apa yang sesungguhnya kau tulis, namun kita sesungguhnya merupakan seorang pengembara yang bertemu di jalan yang berdekatan. Kita berbagi perbekalan, yang terkadang membiarkan kafilah lain berjalan mendahului.

Meski sesekali, atau lebih, kita duduk saling membelakangi, kau menghadap pada cakrawala yang berlainan, namun aku selalu merasa matamu tertuju lurus pada punggungku.

Apakabar?

Langit biru laut, sehabis hujan rintiknya masih terdengar melalui atap bangunan yang kini menaungiku.

Aku tahu mungkin kini kau sedang mendengarkan lagu-lagu original soundtrack drama. Kita boleh berbeda selera, bukan? Heuheuheu.

Rasanya, kau pun tidak terlalu suka pada sastra, meski kau mengaku membeli banyak buku yang sudah lama tak kau baca. Katamu. Berdebu berada pada raknya.

Dalam perjalanan hidup kita, banyak sekali percakapan-percakapan yang kauhindari. Enggan menjawabnya.

Banyak orang bertanya dan memastikan bahwa aku sudah mengenalmu dengan baik sekali, cukup lama sekali. Dalam rangka meresponnya, seringkali aku melempar senyum simpul. Tak bisa menjawabnya. Semakin banyak aku melakukan banyak perjalanan denganmu, kupikir, kita sama-sama misterius, tak banyak bicara, memendam rahasia saling. Semakin banyak aku tak mengetahui tentangmu.

“Aku hendak mengutarakan sesuatu kepadamu, tetapi tidak sekarang, waktu pada masa kini belumlah tepat.” Sudah tak bisa dihitung berapa kali kau mengutarakan pernyataan itu.

Kau pikir aku seorang peramal? Seakan masa depan merupa waktu yang akan berpihak kepada kita. Sementara saat ini adalah perjalanan searah yang kebetulan kita tempuh.

Bagaimana pun, toh aku tidak bisa memaksakan kehendakku, aku tidak ingin sampai kau bercerita dengan penuh tekanan. Indah juga dalam perjalanan kita, yang sesekali sama-sama diam memandangi pemandangan malam sambil mendengar deru suara kendaraan bermesin solar.

Bila kau seorang peramal yang baik, tentu itu menjadi kejutan untukku, sekaligus anugerah untuk kita.

Bila tidak?

Dengan senang hati kita akan sama-sama menerima rahasia masing-masing. Menguburkannya dalam-dalam. Meski demikian, aku selalu merasa kau selalu tahu apa yang kusembunyikan, kau pun mengaku demikian bahwa aku selalu tahu keresahanmu.

Hmm. Rahasia terbesar adalah semesta raya. Tuhan pun memiliki rahasia? Rahasia berharga mahal, sudah banyak menjadi judul-judul buku. Namun, bila sudah banyak orang tahu, apakah buku tentang “rahasia” akan beralih nama menjadi “pengetahuan umum”? Pada saat yang sama, suatu rahasia terkuak, menjadikannya embrio telur bagi rahasia-rahasia baru yang dalam. Begitu mungkin seterusnya hingga salah satunya terpecahkan. Rahasia baru akan selalu bermunculan.

Sebelum kita melakukan perjalanan bersama, kita pernah saling bertukar surel. Saling berkirim pesan, balas seminggu kemudian, mengabar keadaan. Hingga suatu waktu kau menggunakan emoticon ‘^^’ sebagai pertanda kau menggurat senyum. Kemudian teknologi dan kemajuan peradaban menggandeng kita kepada keautisan anyar. Emoji-emoji yang dinamis.

Garis takdir bersinggungan sebagaimana halnya dalam pelajaran matematika yang kita pelajari di bangku sekolah. Namun hal ini berupa garis abstrak yang tak bisa orang pelajari. Luap asmara meletup. Dua garis bertemu membentuk X. Lambat laun bertransformasi bersinggungan lurus sebuah garis. Kita pun sama-sama menyadari sedang melakukan perjalanan dengan tujuan yang sama.

Kita menepi mengunjungi banyak tempat yang indah, menapaki jalan berdekorasi debu, guguran daun yang baru jatuh. Tempat makan kesukaanmu, hingga menenggak air pada gelas yang sama.

Di antara hal yang belum kita lakukan adalah bercinta dan berkembang biak. Tapi tidak apa-apa. Aku selalu punya cara dan variasi melampiaskannya.

Kita adalah pasangan yang tidak suka ada masalah. Daripada membahas kepada hal-hal yang membuat kita tidak nyaman satu sama lain, banyak pilihan topik pembicaraan menyenangkan yang mampu membungkam masalah. Menekannya dengan keras.

Hingga obrolan-obrolan yang selalu memanjang bermuara kepada kejemuan kita, mengabaikan satu hal bahwa suatu pasangan terkadang lebih banyak membutuhkan tatapan daripada kata-kata, canda-canda yang membuat terpingkal daripada harus mengerut kening berpikir dalam, lebih banyak membutuhkan pelukan daripada sekedar basa-basi dengan topik yang dicari-cari.

Kita lebih membutuhkan keheningan-keheningan yang secara alami ada. Kita sesungguhnya hanya perlu menerimanya. Hingga masalah tak terelakkan untuk kita hadapi, muncul. Endapan-endapan masalah kian menumpuk menyumbat metabolisme hubungan.

Kita tidak bisa lagi berpura-pura bahwa hubungan kita baik-baik saja. Kita terlalu takut memiliki masalah. Terlalu takut hingga memikirkan bahwa pada penghujung masalah hanya ada perpisahan. Jangan lagi menghindar, kita perlu berbicara dalam tekanan, suasana yang tidak nyaman, kegugupan-kegagapan dalam menjelaskan. Tidak ada “pokoknya ” dan “yang penting.” Kita perlu berbicara dengan sabar.

Ada yang pernah berkata bahwa dengan saling memberi hadiah maka akan menumbuhkan benih cinta. Namun lambat laun, ketersalingan kita dalam memberi tidak lagi menumbuhkan benihnya. Benih-benih melimpah namun tidak memiliki jarak untuk tumbuh, ia menjadi belantara yang sesak, tak ada ruang untuk berkembang. Saling memberi dalam hubungan kita tak lagi menjadi cinta dan persembahan, kini menjadi kalkulasi yang harus selalu dibalas satu per satu.

Rasa-rasanya. Aku kangen kamu. Sebelum kita melakukan perjalanan, acapkali kau menyiapkan perbekalan. Roti dengan selai coklat. Molen nanas dan ketan yang masih hangat dan renyah. Segelas yoghurt yang sebagiannya masih membeku, hingga kau yang bahkan tak membawa apa-apa, keberadaan dirimu sudah membuatku senang.

Dengan tiba-tiba aku terbangun dan berada pada sebuah keramaian. Namun, kau tak berada disisiku. Aku memikirkanmu. Aku bahkan tak ingat bagaimana sebelum ini aku bisa tertidur. Kapan terakhir bertemu denganmu, saling bertukar perbekalan hingga mendengar cerita dengan suaramu yang sedikit melengking kala bercerita di tengah belantara malam.

Meski nyawaku belum terkumpul, siang hari, rasanya aku kesepian di tengah keramaian. Entah mengapa yang ada pada dekapanku adalah buku diary diantarakata yang penuh dengan tulisanku. Seingatku, aku lebih sering berpikir daripada menulis. Aku bisa meniru tulisan yang ada dalam buku ini hingga aku menyimpulkan segera bahwa ini adalah buku diary diantarakata-ku.

Aku mencari tahu pada buku ini apakah kamu meninggalkan suatu pesan. Atau tanda bibir sebagai pesan terakhir yang kau kecup pada tubuh buku. Kau pernah bilang bahwa bukumu ajaib, sebab bisa mendengar apa yang menjadi keluh kesahmu kemudian tiba-tiba dengan ajaib suara-suaramu sudah terekam menjadi tulisan yang menjadi gaya penulisanmu. Sepertinya kita sepakat bahwa menulis menjadi cara melampiaskan keruwetan pada alam pikir dan belantara rasa.

Setelah kutelusuri, sepertinya tidak ada tanda-tanda pesanmu dalam bukuku.

Kau berada di mana? Apa kau sudah melanjutkan perjalanan? Menemukan saudagar kaya? Atau jangan-jangan kau sudah tiba di negeri Syam. Menungguku? Aku kini tak takut kehilanganmu, karena memang sejak awal kau sudah merencanakan ini? Apakah ini suatu ghosting yang sedang ramai dibicarakan pada keramaian akhir-akhir ini?

Aku belum berani menyimpulkan. Aku hanya harus kembali membaca diantarakataku. Tunggu sebentar.

Ihsan: Rukun Agama yang Diabaikan

Oleh: Atropal Asparina

 

Untuk menjelaskan Iman, Islam dan Ihsan secara analogis (permisalan) saya sangat suka menggunakan teori bangunan. Begini bunyinya: Iman jika diibaratkan bagian dari bangunan (rumah, masjid, gedung, atau apapun) adalah ibarat fondasi. Sedangkan Islam ibarat bangunan di atas fondasi: ada dinding, pintu, jendela, sampai atap bangunan.

Sifat dari fondasi bangunan berada di bawah tanah. Kita tidak akan bisa melihat apakah fondasinya kuat atau keropos. Bentuknya bagaimana dan sebesar apa fondasi itu, tidak bisa ditakar oleh orang lain. Tidak bisa pula fondasi itu dituduh tidak ada ketika bangunan di atasnya terlihat runtuh—misalnya. Demikianlah Iman atau keimanan. Letaknya di dalam hati dan tidak bisa dihakimi sebagai lemah atau bahkan dituduh tidak ada oleh siapapun.

Selama seseorang mengaku beragama atau—sebutlah—mengaku Islam, kita harus mengakui keimanan orang tersebut. Lalu timbul pertanyaan, bagaimana jika orang tersebut secara moral sangat buruk, seperti korupsi, selingkuh, curanmor, dan melakukan perilaku buruk lainnya, apakah masih harus diakui sebagai beriman? Jawabannya, “Ya!” Orang itu tetap harus diakui sebagai orang beriman, apapun kondisinya, selama dia mengaku beragama (misalnya mengaku Islam). Mengapa demikian? Sebab bukan tugas manusia menentukan apakah orang tersebut imannya sah atau tidak, benar atau tidak. Semua itu adalah tugas Yang Maha Bijaksana di atas sana. Lantas pertanyaan susulannya, jika begitu adakah tugas lain manusia untuk memperbaiki kualitas keimanan dirinya dan orang lain?

Islam lain lagi, sebab Islam ibarat bangunan yang berdiri di atas fondasi. Jika fondasi tidak bisa dinilai orang lain (karena berada di bawah tanah) maka Islam bisa dengan mudah dinilai oleh orang lain, seperti halnya dinding bangunan, jendela, pintu sampai atap. Kita bisa dengan mudah berkomentar tentang “keislaman” seseorang.

Islam sebagai agama yang dianut—baik disadari atau tidak—secara otomatis memberi identitas (pengenal bagi orang lain) bagi si pemeluk (Muslim). Identitas keislaman seorang Muslim bisa berbentuk sangat materiil dan bisa berbentuk non-materiil (karakter/akhlak). Masalahnya, jika identitas keislaman itu “hanya” berupa materiil saja, seperti model pakaian, gaya rambut, gaya bicara, tanpa sedikit pun mengadopsi identitas karakter-moral Islam, maka Islam sebagai agama petunjuk keselamatan dunia-akhirat tidak diterima atau tersampaikan dengan baik. Artinya, banyak halangan atau gangguan yang menyebabkan ajaran Islam diterima secara semangat di satu sisi (seperti tampilan atau gaya) dan diabaikan di sisi lainnya (seperti akhlak Islami). Mengapa bisa terjadi fenomena demikian? Apa yang harus diupayakan? Apakah fenomena itu baik atau tidak? Itulah Islam, bisa dinilai, dianalisis bahkan dikritisi, seperti halnya sebuah bangunan.

Sebiadab bagaimana pun seseorang, selama dia mengaku beragama (Islam) dan pernah meski setahun sekali mengerjakan shalat (Hari Raya), atau bahkan pernah hanya sekali shalat (saat diajari waktu kecil), maka dia tetap harus diakui sebagai Muslim. Kita sebagai sesama Muslim harus memperlakukannya sebagai seudara se-Islam. Artinya, jika dia sakit maka dijenguk, didoakan. Jika dia meninggal maka dikafani, dishalati, dan dikebumikan sesuai tata aturan Islam. Itulah Islam, menjadikan siapapun yang memiliki identitas Muslim (baik materiil atau non-materiil atau keduanya) atau yang mengaku Muslim atau diketahui sebagai Muslim meski hanya dari KTP-nya saja, harus diperlakukan secara Islam oleh sesamanya.

Ihsan

Secara bahasa kata Ihsaan berasal dari kataأحسن) ) ah-sa-na [jika mengikuti wazan fi‘il tsulatsi mujarrad], yang mempunyai arti “berbuat baik, melakukan dengan baik, melampaui atau mengetahui dengan baik”. Adapun kata Ihsaan bisa juga berasal dari kata حسن) ) ha-su-na [jika mengikuti wazan tsulatsi majid], yang berarti “baik atau bagus”.

Pertanyaanya sekarang, lantas ketika Ihsan menjadi salah satu rukun agama, dengan megikuti makna bahasanya, seberapa penting terma Ihsan sesungguhnya? Jawaban singkatnya mari kita lanjutkan analogi bangunan di atas.

Jika Iman adalah fondasi dan Islam adalah bangunan di atas fondasi, maka apakah gerangan Ihsan? Dari sinilah posisi penting Ihsan dalam beragama terlihat jelas. Ihsan merupakan upaya membaguskan keimanan dan keislaman. Apakah anda yakin akan menempati bangunan yang dinding batanya belum diplester dan dicat? Terus mengapa setiap pintu rumah atau jendela selalu dibuat sebagus (se-Ihsan) mungkin disertai hiasan ukiran sedemikian rupa. Bahkan pegangan pintu juga mencari yang paling enak dipandang. Keramik untuk lantai dipilih yang paling mengkilat. Itulah Ihsan, membaguskan—meski tanpa diperintah atau diancam—Iman dan Islam.

Kembali pada kasus orang yang asal mengaku beragama dan Islam KTP di atas. Asal mengaku beragama/beriman adalah lebih baik ketimbang kafir. Begitupun seseorang yang mengaku Islam lebih baik ketimbang kafir atau memusuhi Islam sehingga bertindak mengerikan. Dalam konteks kajian Iman dan Islam, hal-hal itu sudah cukup dan sah (“asal” Iman dan Islam). Tapi pertanyaanya adalah, apakah keimanan dan keislaman orang tersebut sudah Ihsan? Termasuk kita semua, apakah keimanan dan keislaman kita sudah Ihsan? Sudah dibuat sebagus-sesempurna mungkin meski tanpa terbebani perintah atau ancaman? Seperti yang selalu dilakukan pada bagunan rumah atau pakaian kita—misalnya?

Seorang yang Iman dan Islam-nya sudah Ihsan, pasti selalu akan berbuat sebaik mungkin dalam segala hal. Shalat yang sejatinya hanya diwajibkan lima waktu sehari semalam, akan selalu ditambah dengan shalat rawatib, meskipun tidak melakukan rawatib-pun tidak ada ancaman siksa. Membayarkan zakat fitrah sebanyak 2,5 kg beras, bagi si Ihsan belumlah dikatakan terbaik, sebab ukuran itu adalah batas minimal kewajiban. Si Ihsan dengan sadar-tulus akan senantiasa melampaui batas minimal itu demi kebaikan yang lebih dan lebih besar baik bagi dirinya dan yang lain, begitu seterusnya.

Demikianlah, sebagaimana yang selalu Nabi Muhammad saw. lakukan. Setiap aktivitas dibuat sebaik mungkin tanpa terbebani oleh perintah atau ancaman. Sebab itu, Ihsan melampaui konsep benar-salah, adil-zalim, wajib-haram. Ketika melakukan sesuatu, si Ihsan bukan tak memerhatikan benar-salah, tapi sudah tak “terbebani” oleh diperintahnya benar dan dilarangnya salah. Ia begitu menikmati melakukan sesuatu itu, sampai hal terkecil sekalipun.

Dari sini sangatlah masuk akal, jika kemudian berdasar hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, secara istilah Ihsan adalah “begitu dekat dan selalu menyadari kehadiran Tuhan”. Redaksinya: an ta’buda Allah ka annaka tarahu fa in lam takun tarahu fa innahu yaraka (Engkau beribadah [beraktivitas kebaikan di dunia] seolah selalu melihat Allah, dan jika engkau tak melihat-Nya, yakinlah bahwa Allah melihatmu). Bukankah Tuhan adalah Dzat Yang Maha Segalanya, bukankah selalu dekat-diperhatikan oleh-Nya adalah kenikmatan yang tak terkira? Bukankah bekerja dengan tulus-ikhlas-semangat sambil “ditemani” yang Maha Segalanya adalah dahsyat? Tapi sayangnya, kebanyakan kita memang masih berada dalam maqam goblok.