Lirik menarik yang mengusik didengar setelah jeda. Kertas yang berisi lirik-lirik lagu yang huruf-hurufnya tercetak kecil terurai dibaca sembariku mendengarkan nada-nadanya. Dulu rasanya seorang selalu membaca kertas lirik sembari mendengarkan kaset lagu. Kini seperti sia-sia. Tiada saat teduh yang membuat seorang tertegun menikmati seni itu. Yang indah itu.
Apalagi bait dari seorang penyair asing, yang kini tak lagi dirapal, dihafal, dibahas, didebat, yang diejek diksi susunannya, yang diberi nada, yang menggugah. Seni kata-kata (puisi) harusnya tidak bisa jadi artifisial. Sebab ia adalah inti, yang tidak bisa ditiru.
Seorang mendengarkan lagu yang dianggapnya baik, ia lalu jalankan aplikasi untuk identifikasi. Sesekali, jika ingat, ia akan titip sejarah-sejarah pada sebuah kolam bernama ingatan. Sementara liriknya bisa kita jumpai pada buku digital yang bisa ditamui saban waktu.
Sementara, kepada kantung waktu pula kita semestinya menitipkan keajaiban-keajaiban itu, lalu kita berada pada jeda keheningan. Membiarkan keindahan itu menubuh melalui selipat jarak. Karena lupa kepada jarak dan jeda itu sendiri, seni menjadi sesuatu yang bising, yang terulang-ulang hingga jemu. Dan kita tak bisa menikmatinya lagi.
Kabari jika nada-nada itu berkemul pada selimut waktu sementara, lalu kita kembali kepada percakapan-percakapan klasik, dengan senang hati aku akan menikmati lagu yang berisi kecanggungan-kecanggungan, sembari kulihat kedua matamu yang berputar menjemput bait-bait percakapan selanjutnya. Pada suatu waktu tanpa kita terka. Meski akan terlupa. Fragmen yang akan menjadi masa lalu itu tetap bisa kita jemput melalui lagu yang akan membawa kita kesana.
Engkau menjuluki seorang sebagai penyair, barangkali ia hanya mengunjungi makam ingatannya.
Tinggalkan Balasan