Bulan: Mei 2020

Love Distance Relationship

Tanda pijak langkah kita kini dipijaki berjibun aparat. Terakhir kau menemani ke rumah sakit hingga langit tiba gelita. Tapak silam dihapus hujan, diinjak polisi dan tentara. Beberapa bulan silam kita bebas meminum udara di mana pun. Sekarang engkau bagai Layla Majnun terkekang kamar. Seperti Juliet terbui dalam gelimang hening. Pabila kubicara rindu, pada malam mana kau simpan dan taruh? Aku hendak beranjangsana serta menitip bingkis sama berat dan isi. Pada kunang-kunang mana kau hidupkan cahayanya. Pada ayat mana kau tafsirkan: cinta dan rindu. Di tampuk mana kau khayalkan kita saling mengadu. Kau yang berbicara dalam bahasa tangis. Hingga sempat terlupa jalan kebahagiaan mana yang hendak kau teruskan. Di sela nafas tersisip cemas masa depan. Selagi harap tak kunjung berdamai dengan rasa bimbang.

Dunia kini terjaga oleh negara-negara pahlawan. Namun mereka tak bisa mengekang gerak hati manusia. Negeri kita perlu sosok sealim Nabi Yusuf yang cakap tafsir mimpi dan pengelolaan pangan istimewa. Karena negeri ini banyak orang-orang lapar: tak satu pemimpin pun kelaparan. Namun tak satu pun yang bisa menjamin dahar rakjatnya. Tak satu cenayang pun bisa meramalkan ini sebelumnya. Jeruk-jeruk manis kini beredar di Jakarta. Jeruk-jeruk lain berada di kresek derma sosial. yusuf-yusuf di kampungku bermasalah. Di kampung utara terjerat korupsi, selatan tindakan asusila, barat kriminal dan timur di kampungku keras kepala karena takut kehilangan jamaah masjid hingga berbuat aniaya.

Andai corona ini melenyapkan umat manusia, bukankah Tuhan sayang kepada Bu Mirna. Seorang Ibu lima anak yang ditinggal kabur suami buruh pabrik. Berbahagialah Jackandjhon, petugas keamanan perumahan yang amanah. Walakin, bagaimana mampu beta berjumpa Tuhan dengan kerinduan yang masih utuh, kepadamu. Bekas jejak langkah kita bisa kita bentuk. Tugas akhirmu akan segera selesai. Bioskop kota akan segera dibuka. Ah kekasih. Apakah kau masih kukuh mencintaiku kendatipun kupercaya corona ini adalah ko&*&^%n##%@$p)(irasi?

Idul Fitri

Perasaan kaum muslim bercampur aduk. Kebahagiaan memasuki bulan Syawal tidak bisa disembunyikan meski baru berpisah dengan tamu agung Ramadhan. Tidak ada aksi kerusuhan seperti tahun kemarin. Tetapi Corona seakan merenggut kebahagiaan manusia. Memaksanya menampung rindu. Berjarak dengan keluarga dan kekasihnya. Membuat manusia pandai berkata-kata. Berpuisi. Mencipta ruang imaji angan abstrak kehidupan. Takbir menggema. Asma mu kuulang di bawah-Nya dalam dendam dan penat kesendirianku.

Djiwa manusia terbelenggu dendam, bernoda khilaf. Idul fitri mengusap wajahku dan menengok kedalaman jiwaku sekali lagi, yang buruk. Manusia terlalu bahagia dengan kedatangan Syawal hingga tak bersungguh-sungguh menyapa manusia, sekali lagi. Kini aku hidup di zaman citra dan media. Manusia mengucapkan selamat hari raya idul fitri dalam status media sosialnya, hingga lupa banyak pesan pribadi orang lain yang belum dijawabnya. Manusia lain ucapkan selamat idul fitri dengan mutiara kata indah. Hingga lupa menyertakan hatinya dalam bercakap dan silaturahmi. Ucapan yang kering, seremonial. Ah, manusia itu ternyata adalah aku. Dengan kedalaman hati yang buruk, dengan wajah tebal samudera hati keburukan.

Memahami manusia serumit jalan kehidupan yang kusut dan sulit ditebak. Gigi sensitif sudah ada obatnya, namun hati yang sensitif tidak mudah ‘tuk temukan penawarnya. Dosaku tak terhitung, seumpama bangunan yang tumbuh mekar tak terkendali di perdesaan memakan lahan pertanian. Namun tiada menghalangiku berusaha menumbuhkan mawar dalam lubuk hatimu. Kusebut namamu dengan canda dan kehangatan sebelumku memohon maaf. Berpesan kepadamu sesederhana sapaan dan memastikan keadaannya baik. Kau sapa aku, sebut namaku, membuatku hidup dan dihargai.

Beri tauku jalan menuju pintu maafmu, menyapamu sekali lagi. Meski salahku membekas dalam ingatanmu. Aku hanya selalu mengingat-ingat kebaikanmu. Selamat Idul Fitri. Jangan lupa untuk memperhatikan tetangga kita.

Sim sala Sim

Sim salabim kudengar merupakan bahasa Turki yang artinya adalah “berikut ini”. Kata tersebut populer sejak tahun 1931 oleh pesulap Amerika Serikat, Hary August Jansen. Sim sala Sim? Akronim populer SIM, Surat Izin Mengemudi. Fragmen kehidupan yang lumrah. Tak pernah lengang dari pemohon. Yang cukup sepi dari fragmen tersebut adalah lapangan uji praktek. Hohoho. Ketika khalayak membicarakan Sim, ada yang membahas mengenai harga. Berapa biaya untuk membuat sim motor? Mobil? Masing-masing daerah entah mengapa memiliki harga berbeda. Ada juga yang membahas mengenai sim yang hilang, atau kadaluwarsa. Ada juga yang membahas kendaraan yang ‘tidak fit’ kala ujian prakteknya. Dan lain-lain.

Tentu saja momen yang seringkali ditunggu-tunggu pemohon dikala sim sudah selesai cetak. fokus menuju foto sim seraya berucap: “Jelek!”. Tapi percayalah, aku tidak bermaksud menggiring pembahasan foto yang kerap jelek ini sebentuk konspirasi atau naturalitas. Dugaanku, yang sudah mendapat sim a dan c, serta sekali perpanjangan, kenyataan selalu menabrakku dengan pengalaman yang serasi: sesi foto untuk sim selalu dilakukan oleh polak, alias polisi laki-laki, yang selalu menyebut nama dengan datar dan tanpa emosi serta tanpa editan. Ah sudah kutebak, kau yang sedang membaca ini sudah gatal untuk berkomentar: “sudah begitu SOP-nya!”

Ini bukan soal gender. Akan tetapi, antara seorang polak dan polwan punya suatu hal yang ‘berbeda’ dalam memberikan instruksi. Ketika seorang polwan memberikan instruksi, “Selanjutnya silahkan untuk ujian praktek”. Ah, waktu terasa lambat. Tidak hanya diksi-diksi detil yang kupahami dan benar-benar kuyakini bahwa aku tak akan salah paham akan perintahnya, tetapi rambut bak aurora Finlandia memberikan aura positif.

Aih, keajaiban ini juga bukan sekali ini saja. Dua tahun baheula dalam pelawatan dari Kebumen menuju Jogja pagi-pagi sekali lewat jalur selatan. Tiba di Jogja sekitar pukul tujuh, beberapa polwan sudah begitu rajin berjaga menertibkan lalu lintas, senyumannya yang dilemparkan pada para pengendara membuatku hendak ditilangnya, dan disapanya sekali lagi. Tubuhku yang begadang semalaman tiba-tiba pulih dibuatnya. Kasih sayang seorang Ibu dan polwan memang tipis sekali. Jiwa kebapak-an ku meronta meskipun kini masih berjibaku dengan tugas akhir perkuliahan.

Kembali, singkatnya aku hanya memiliki usulan, serahkan urusan per-sim an dari pendaftaran hingga ujian praktek pada polwan. Terutama soal urusan foto sim. Biasanya polak sebelum foto hanya mengatakan, “Kepalanya agak miring ke kiri sedikit.” Tetapi kalau polwan, “Mangga A, badannya ditegakkan. Eh, si Aa mah saya kaya Teteh, stay at home malah jadi jerawatan ya di rumah? pakai skincare apa di rumah?” belum-belum si pemohon menghabiskan kegirangannya karena diperhatikan, Polwan sudah memberi instruksi tambahan: “Lihat ke kamera A…Hayo, Teteh merhatiin Aa lho.” Ah tapi apa betul imajinasi dalam tulisanku ini, jangan-jangan nanti foto-foto pemohon sim terlihat salah tingkah semua. Apapun itu, dalam pendapatku, polwan pasti akan lebih kreatif dibanding polak. Hasil foto pemohon tidak langsung ditetapkan, tetapi agak diedit menggunakan filter-filter biar agak glowing dan menyamarkan jerawat. Setidaknya. HAHAHA.

Yang paling ditunggu-tunggu adalah setelah sesi foto ini, meski agak lama menunggu editan teteh polwan, selanjutnya adalah tanda tangan dan sidik jari. “Diangkat A jempol kanannya.” Polwan sembari membantu menekan jempol kanan pemohon di atas fingerprint. Pemohon: “Aduh…tekan terus Teh yang kenceng ngga apa-apa.” Selain jempol, telunjuk, dan jari tengah pun mendapat kebahagiaannya.

Tetiba pemohon mengernyitkan dahinya karena dalam seragam polwan terdapat tulisan: Republik Jancukers?!

Sim sala Sim.

Corona: Pekerjaan Alternatif (4)

Kabar mengenai Bora yang ‘ribut’ di PSK sudah terdengar ke telinga Pak bos. Nablisi Cahyo sendiri sudah serahkan asistennya tersebut. Pak bos sampai geleng-geleng. Diajaklah Bora berbincang. Meskipun banyak mendapat materi-materi keislaman yang cukup ‘liberal’, namun Pak bos heran dengan sikap Bora yang sangat reaktif seperti Islam garis sweeping. Namun sebenarnya Bora sudah jengah dengan pengkotak-kotakan agamanya ini. Ada garis lucu, garis keras, ada Islam kanan, Islam kiri, Islam tengah. Dan lain-lain.

Memang bukan cuma soal pekerjaan, menghadapi masalah pun membutuhkan jam terbang. Namun, kesimpulan Pak bos, Bora punya kesehatan mental. Maka diajaklah Bora berkeliling Kampung. Hingga akhirnya tiba pada suatu tempat: Rumah Sakit Liberal Jaya. Sebelah bangunan tersebut: Rumah Sakit Konservatif Saklek.

Kini giliran Bora yang geleng-geleng. Kampung macam apa ini. Apakah Pak bos semua yang menjadi otak pembangunan kampung Sumberwaras? Jangan-jangan Pak bos fans berat Mbah Sujiwo Tejo, dan sudah menamatkan berkali-kali Kitab Suci Republik Jancukers. ‘Penodongan’ biaya administrasi publik untuk bikin KTP di Desa atau ngurus surat di Kepolisian bukan hal yang tabu. Tapi kok ini malah polisi punya atasan emak-emak.

Rumah sakit liberal terlihat megah. Rumah sakit konservatif terlihat syahdu. Kata Pak bos, bukan cuma sakit fisik yang harus diobati, pemikiran seseorang bahkan bisa jauh lebih mematikan. Bahkan bisa ‘menular’. Memasuki RS Liberal, dilihat Bora seorang lelaki paruh baya yang didorong oleh kursi roda sambil berteriak, “Jihad! Jihad! Allahuakbar!”. Seorang perawat di belakangnya berusaha menenangkan lelaki tersebut, “Sabar, Bapak. Jihad itu kan tidak mesti dengan pergi ke Suriah yang masih bergejolak. Apakah Bapak masih mempunyai orang tua? Berbakti kepada keduanya termasuk bagian dari jihad lho.”

Setelah berjalan beberapa saat, Bora mendengar percakapan antara dokter dan pasiennya, ia mengeluhkan keadaan yang akhir-akhir ini resah dan gusar. Cukup lama Bora mendengarkan percakapan mereka, sementara si dokter terlihat mengangguk-angguk, sesekali tersenyum. “Bapak, sudahlah, jangan terlalu dipikirkan mengenai poligami. Istri sudah begitu setia dengan Bapak, anak pun Bapak sudah empat. Itu sudah ‘investasi yang sangat bagus lho untuk akhirat kelak. Jelas saja ketika Bapak memberikan buku tentang poligami kepada istri, sang istri merespon dengan merobek buku tersebut kecil-kecil, sedikit-sedikit, itu ekspresi kekecewaan. Monogami juga sunnah Nabi. Memang berapa lama Nabi saw. melangsungkan monogami dengan Khadijah ra.? 25 tahun! Toh masih banyak sunnah-sunnah Nabi yang lain yang bisa diamalkan.”

Bora pun kini sampai di Rumah Sakit Konservatif Saklek. Pada ruangan yang terbuka, Bora pun mendengar percakapan antara seorang pasien dan dokternya. Belum juga si pasien baru memperkenalkan dirinya, belum mengutarakan keluhannya, “Kamu atlet apa?” tanya dokter. Pasien bertopi ‘sutra’ tersebut menjawab, “atlet billiard, Dok”. Dokter jawab, “Mungkin (cedera ini) ada faktor kelalaian, tetapi bagi saya ini teguran dari Allah swt. Kamu tahu ndak olahraga yang disunnahkan itu apa?”. Pasien terlihat diam mendengarkan. Dokter melanjutkan pembicaraannya, bercerita bahwa yang syar’i itu tiga hal; memanah, berenang, serta berkuda. Mengira dirinya baru mengetahui hal itu, pasien tersebut menanggapi, “Setahuku, bukankah ketiga hal tersebut juga bermakna simbolik? Berkuda berarti menguatkan otot, keseimbangan tubuh. Berenang berarti melatih pernafasan dan memanah berarti meningkatkan fokus. Maka, olahraga lain pun jika sejalan dengan beragam manfaat ketiga olahraga tadi berarti bol…” “Mas.” Dokter menyela. “Tidak bermakna simbolik, itu juga bisa pula futuristik kok. Kelak di akhir zaman kita akan kembali ke zaman memanah dan berkuda. Tidak ada yang namanya teknologi atau yang aneh-aneh. Hal ini membuktikan kecerdasan Nabi. Bagaimana lagi, Mas. Teksnya tertulis begitu. Dipahami begitu saja.”

Bora berlalu. Menyisakan pertanyaan di kepalanya. Bagaimana cara masing-masing rumah sakit ‘merekrut’ pasien-pasiennya? Seorang pasien sakit di rumah sakit liberal jaya akan dipandang sehat di rumah sakit konservatif saklek. Begitupula sebaliknya. Ah, kesimpulannya mungkin setiap manusia mungkin penyakitan.

Latar belakang keagamaan keluarga Bora disadarinya beragam. Ibunya dibesarkan dalam lingkungan Muhammadiyyah, namun kemudian menjadi Salafiy. Ayahnya Nahdhatul Ulama. Bora dan kakaknya besar dalam lingkungan Muhammadiyyah tulen, namun sebagian besar teman-temannya juga Nahdliyyin. Peran ibunya dalam menginternalisasi nilai-nilai keagamaan dalam keluarganya begitu dominan. Ibunya sering berpesan dan berharap agar Bora menjadi seorang mujahid bagi agamanya. Meskipun terdidik dalam Universitas Islam, tidak jarang Ibunya khawatir anaknya menjadi liberal. Bora trauma ketika berdialog dengan orangtuanya dahulu perihal sunnah Nabi saw. dalam memanjangkan janggut. Bora berkelakar, “Abu Jahal dan Abu Lahab saja berjanggut.” Ujar Bora sambil mengusap janggutnya yang tak kunjung tumbuh-tumbuh kendati usianya melewati kepala dua. Sontak membuat kedua orangtuanya geram dengan sikap liberal anaknya. Ayahnya merespon, “Bor, jangan nyeleneh! Kamu itu sudah jadi sarjana agama, harusnya memberi pencerahan kepada masyarakat. Jangan membuat masyarakat menjadi bingung.” Ibunya menambahkan, “Ya begitu. Di sekolah hanya bergelut dengan metodologi, tapi hatinya kering.”

Bora merasa jengah. Ibunya menilai perkuliahan Bora hanya membuatnya menjadi liberal dan kering hatinya, sementara dalam hati Bora memberontak bahwa pemahaman ortunya terlalu kaku. Namun tak pernah disampaikannya. Sudah menjadi rutinitas selepas subuh di mana ibunya memberikan kajian tauhid di rumahnya. Bora jengah lantaran di luar pun, pengkotak-kotakan antara pemahaman tekstual dan kontekstual memiliki pengikut ‘fanatik’ masing-masing. Tidak jarang Bora perhatikan tulisan teman-temannya yang kerap menyerang kaum tekstualis, menyebutnya garis keras, dan sindiran-sindiran lain. Bora merasa jengah, apakah dengan tujuan ini ia menjadi seorang yang terdidik? Hanya memihak kepada salah satu kelompok dan menjadi lawan pihak lain? Bahkan Bora ingat dengan perkataan Buya Syafi’i Ma’arif yang mengatakan pengkotak-kotakan ini sebagai ashabiyah, fanatisme golongan, hingga berhala.

Berdiri di antara dua kubu tekstualis dan kontekstualis membuat Bora berada di Punk Hazard (Kartun Onepiece). Secara pemikiran, Bora sudah banyak bergelut dalam pendidikannya dan menyadari metodologi yang ia pelajari dalam mengkaji teks keagamaannya membuatnya menjadi progresif dan aktual merespon zaman. Namun, Bora merasa semakin penat. Bahwa ‘Salafiy’ yang dipahami Ibunya sangatlah unik. Outputnya adalah terbentuknya komunitas pengajian perempuan di kampungnya, yang sangat progresif.

Hm. Saatnya pergi ke bioskop. Rumah sakit liberal jaya atau rumah sakit konservatif saklek bukanlah pilihan bijak.

Tik Nang

Sebelum populer budaya tik tok, di Sunda sudah populer budaya tik nang. Tik nang merupakan lagu kaulinan barudak (lagu bermain anak). Permainan apapun. Aku mengalaminya. Sebelum ada medsos yang ribut mengenai haramnya musik, aku menyanyikannya bersama teman-teman. Lagu tik nang dinyanyikan misalnya ketika hendak bermain petak umpet. Tik nang dinyanyikan untuk menentukan siapa yang jaga. Mulanya, lima anak melingkar, kemudian ditentukanlah siapa yang jaga dengan suit dan lagu tik nang. “Tik nang Tik nang … nu saeutik … Meuuunang …” (Kit … Nang … Kit … Nang … yang sedikit … Meeeeenang).

Kemudian 5 anak mengulurkan telapak tangan mereka, ada yang mengulurkan telapak tangan atas (berwarna gelap), ada yang telapak tangan bawah (berwarna terang). Siapa yang berbeda sendiri di antara teman-temannya, dia yang harus memisahkan diri dari lingkaran, kemudian dinyanyikan lagi tik nang sampai dapat dua orang anak terakhir. Jika dalam satu putaran uluran tangan semua anak mengulurkan telapak tangan atas dengan kompak atau telapak tangan bawah semuanya (belum ditemukan yang berbeda sendiri dari kelima anak), maka semua anak dengan kompak pula berseloroh, “Baliiiikeun” (Balikkan ‘kedua telapak tangan’), si anak-anak pun ada yang membalikkan telapak tangannya, atau ada saja yang tetap pada posisi yang sama. Kedua anak terakhir harus suit kertas gunting batu untuk menentukan siapa yang jaga dalam petak umpet.

Hm.

Diinsafi atau tidak, lagu sehari-hari tersebut relevan pada masa kini. Minoritas seharusnya dimuliakan. Bukan dikebiri hak-haknya. Minoritas harus diperhatikan hak-haknya, bukan dikucilkan, minoritas harus ‘dimenangkan’ (dihormati). Bukan ‘ditindas’. Apapun. Entah minoritas etnis, agama, budaya, dan lain-lain.

Seorang gadis yang sudah sepuh, tinggal seorang diri di sebuah petak sempit. Untuk memasuki ke area petaknya harus memasuki gang berlebar 1,5 meter. Suasana sepi menyelimuti enam petak berbaris pagi ini. dari enam petak, hanya terisi dua kamar petak saja. Hanya gadis sepuh berusia 60 tahun ini saja yang menempati, bersama seorang janda yang tak bekerja, dalam jarak dua petak. Janda tersebut tinggal bersama anaknya yang baru menikah. Gadis sepuh ini diamanatkan oleh pemilik petak untuk mengurus komplek petak ini. Kalau keenam petak terisi penuh, gadis sepuh biasanya menerima uang sekitar lima ratus ribu setiap bulan untuk memenuhi kehidupannya sehari-hari.

Berkaitan dengan lagu tik nang, ketika aku kecil, keluargaku biasa menyanyikan lagu berikut, “abi teh ayeuna gaduh hiji boneka, nu kinten saena sareng lucuna, ku abi diacukan, acukna sae pisan, cik coba tinggali, boneka abi.” (arti bebasnya kurang lebih: Aku mempunyai satu boneka, yang sangat bagus dan lucu, kukenakan padanya pakaian, pakaiannya sangat indah, lihatlah kemari pada bonekaku). Sebagai seorang yang mengalir dalam tubuhku darah Sunda, lagu ini menggunakan diksi bahasa yang sangat sopan. Setidaknya menunjukkan pengenalan sekaligus pembelajaran orang tua kepada anak-anaknya bahasa lokal yang sangat halus dan sopan. Kini kalau lagu boneka abi dinyanyikan, terlebih setelah muncul di salah satu film layar lebar, orang-orang akan menilainya lagu mistis. Justru lagu boneka abi memiliki nilai sosial yang baik, boneka saja dipakaikan baju yang sangat bagus, apalagi orang-orang yang papa, yang kekurangan. Mencukupi pakaian juga sekaligus kebutuhan sandangnya. Akankah lagu tik nang diadopsi menjadi film layar lebar dan menjadi lagu mistis?

Gadis sepuh kaget dengan kedatanganku dan ibuku. Selama aku kecil, aku sering melewati rumahnya ketika pergi ke masjid. Dahulu aku mengira ia tinggal bersama suaminya. Ternyata tinggal bersama ayah angkatnya. Kini rumahnya telah dibeli seseorang dan dijadikan kontrakkan untuk pegawai-pegawai pabrik. Gadis sepuh pun pindah ke tempat yang cukup jauh dari kediamanku yang kini menempati sebuah petak kecil seorang diri, setelah ayah angkatnya meninggal. Gadis sepuh tiada memiliki saudara lagi selain Luna, anak dari ayah angkatnya, yang kini menitipkan kepada gadis sepuh enam petak untuk dikelolanya.

Seorang janda yang menempati petaknya saja menunggak tiga juta delapan ratus. Kehidupan sang janda ditanggung oleh anaknya. Anaknya sendiri baru berumah tangga. Gadis sepuh jadi sungkan untuk meminta uang kepada anaknya, Luna. Biasanya lima ratus ribu per bulannya, kini gadis sepuh bercerita dirinya mendapatkan dua ratus hingga dua ratus lima puluh ribu rupiah setiap bulannya. Gadis sepuh menanyakan kepadaku mengenai pendidikan. Kujawab aku kini masih menyelesaikan tugas akhirku di Jawa, mata gadis sepuh mengisyaratkan kerinduannya ke tanah Jawa, namun kini ia sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi di sana.

Gadis sepuh di usia senjanya memilih untuk memeluk agama Islam. Menjadi seorang mualaf. Toples-toples di rumahnya berjejer kosong. Gelas-gelas kaca disusun terbalik. Pohon natal kecil disimpan di luar berjejer dengan akuarium lawas, peninggalan ayah angkatnya. Ibuku menanyakan kapan terakhir membaca kitab suci. Gadis sepuh menjawab setiap hari membacanya sebisa-bisanya. Gadis sepuh bercerita dirinya tidak berkenan untuk menghadiri pengajian di sekitarnya. Ibu-ibu pengajian lainnya selalu berkomentar lantaran gadis sepuh bajunya hanya itu-itu saja. Gadis sepuh juga tidak nyaman lantaran bila salah seorang Ibu pengajian berjualan, namun seorang yang tidak membeli akan diomongi.

Setangkai bunga mawar imitasi, berada dalam sebuah vas berdebu. Berwarna merah, agak oranye. Gadis sepuh kembali bercerita. Ia malah lebih akrab bersama seorang nenek berusia 80 tahun yang tinggal seorang diri di rumahnya. Ia sudah tidak bekerja lagi. Namun memiliki sawah yang luas lalu menyewakannya. Nenek tersebut dahulu seorang TKI di Arab selama dua puluh tahun. Kini tinggal serumah dengan saudaranya yang ingin menguasai harta si nenek. Tak jarang terdengar keributan di rumahnya. Nenek kadang menyambangi gadis sepuh, menitip gas melon dan beras. Meminta gadis sepuh untuk masak air dan nasi, kemudian makan bersama-sama. Namun lauknya masing-masing.

Tidak hanya pada Islam sebagai mualaf. Pemeluk baru agama lain seperti Kristen, Buddha, Hindu, Konghucu, tentu tidak semua dalam posisi ekonomi yang mapan, terlebih bila harus memberitahu kepada keluarganya. Bukanlah perkara mudah. Ekonomi sebagian besar masyarakat sudah sedemikian sulit, ditambah wabah corona yang masih ‘kangen’ menggerayangi kehidupan manusia. Corona yang dalam hatinya banyak rasa cinta, hingga banyak manusia yang kini menjadi pengikutnya.

Kami berpamit pulang pada gadis sepuh sembari menyuguhkan beras dan persediaan makanan lain. Nasib mualaf papa seperti ekor cicak yang mudah putus. Mereka menjadi minoritas yang perlu diperhatikan, tidak saja ekonominya, melainkan bimbingan keagamaannya. Dalam pesan agama banyak nilai-nilai keindahan dan kedamaian yang perlu disampaikan. Mereka menjadi minoritas, yang perlu ditik-nangkan. Tidak perlu berpetak umpet, jangan bersembunyi. Pura-pura tidak tahu. Keadaan mereka yang perlu sama-sama angkat-perjuangkan.

Corona: Pekerjaan Alternatif (3)

Bos besar terlihat sudah nyaman dalam petualangan imajinatifnya dalam suasana temaram. Bora dan teman-temannya dari Kampung Sumberwaras mulai beranjak dari sofa. Pembantu terlihat buru-buru namun tetap menjaga agar langkah setengah buru-burunya tak menimbulkan kegaduhan. Sembari menyodorkan tiga amplop cokelat, amanah dari bos besar.

Di perjalanan pulang, ketiganya membuka amplop tersebut. Segepok uang. Merah semua. Teman-teman Bora tersebut mengambil beberapa lembar uang di dalamnya, mengambil perkakas dalam tas, kemudian memaku uang-uang tersebut di atas tanah. Lalu pergi.

Pagi harinya, setelah laporan pada Pak bos, Bora ditanyai mengenai pengalaman dalam pertanian. Sebagai fresh-graduate, memahami satu buku saja tak tuntas, hidup tak punya inisiatif, bekerja fisik pun belum pernah, tentu saja mengenai perkakas seperti cangkul dan arit belum pernah Bora berhubungan intim dengan perkakas-perkakas tersebut. Malah ketika liburan di rumah, daripada membantu ayahnya membenarkan genteng bocor, atau sekedar membantu Ibunya mencari dan memukul tikus, Bora lebih senang mencuci piring di dapur.

Kebetulan sekali Pak bos meminta untuk mengerjakan joblist berikutnya. Yakni mengunjungi PSK. Alias Pusat Studi Kampung Sumberwaras. Bora diminta untuk menemui dan mengamati seorang peneliti bernama Nablisi Cahyo. Memang agak mirip dengan seorang peneliti terdahulu: An-Nablusi. An-Nablusi merupakan seorang peneliti, pada tahun 1997 melakukan eksperimen di perkebunan Fakultas Sains. Beliau menjelaskan bahwa pohon dan tumbuh-tumbuhan sama seperti benda-benda langit. Mereka bisa merasa, mendengar, bereaksi, dan merespons, baik negatif maupun positif, terhadap pengaruh-pengaruh luar yang berada di sekelilingnya. Hal tersebut merupakan konklusi penelitian yang dilakukannya. Bahwa dengan dibacakan bacaan-bacaan dari surah kitab suci, terdapat pertumbuhan 44% gandum lebih banyak daripada tanaman yang tumbuh standar.

Kini, Nablisi Cahyo melakukan hal yang mirip-mirip dengan An-Nablusi. Pada eksperimen ini, Nablisi membuat empat rumah plastik dengan ukuran yang sama lalu di dalamnya ditanami tanaman gandum jenis tertentu. Keempat rumah plastik ini diisi tanah dengan jumlah yang sama lalu ditanami tanaman gandum dengan kedalaman yang sama, diberi pupuk dalam jumlah yang sama dan dari jenis pupuk yang sama, dan disirami dengan jumlah air yang sama. Beliau lalu menugasi tiga asistennya dengan tugas yang berbeda-beda. Seorang beliau tugaskan untuk membaca beberapa surah dari al-Qur’an, yaitu surah Yasin, al-Fatihah, dan ayat Kursi, dua kali dalam seminggu di dalam rumah plastik yang pertama. Seorang yang kedua beliau tugaskan Bora untuk datang ke rumah plastik kedua dua kali dalam seminggu sambil membawa beberapa tumbuhan yang selanjutnya Bora potong-potong dan ia “siksa” di hadapan tanaman yang ditanam dalam rumah plastik tersebut sambil mengucapkan kata-kata yang kasar dan tidak pantas. Seorang yang ketiga ia tugaskan untuk memukul-mukul tanaman yang ditanam di rumah plastik ketiga  serta memangkas daun-daunnya. Jadi, ada tanaman gandum yang diperlihatkan dihadapannya “penyiksaan” terhadap tanaman lain, ada tanaman gandum yang menerima “siksaan”, dan ada tanaman gandum yang dihadapannya dibacakan ayat-ayat al-Qur’an. Adapun rumah plastik yang keempat tidak diapa-apakan dan dibiarkan tumbuh biasa yang untuk selanjutnya diberi label ‘standar’.

Memang agak prosedural, sesuatu yang membuat Bora memang menghindari hal-hal berbau eksak. Dulu saja ketika Ujian Nasional SMA-nya, ketika ujian fisika, kimia, biologi dan matematika, ia malah pamer-pameran dengan teman di belakangnya kalau ia mengerjakan ujian pelajaran tersebut tak perlu melihat lembar soal. Setelah mengisi data pribadi, Bora malah asik menyusuri lembar jawabannya, memberikan kepercayaan kepada pensil agar berbuat sesukanya. A, A, B, B. C, D, C, D. A, B, C, D. Sambil membayangkan Mie Ayam Mang Olih favoritnya setelah selesai ujian.

Memang tugas untuk jadi asisten Nablisi ini tidak sulit. Ia berpikir bagaimana cara efektif agar makian-makiannya terdengar ada penjiwaan nan penghayatan. Agar makian dan umpatan kata-kata tak pantas ini terlihat natural. Sehingga penelitian ini tidak main-main. Bora ndilalah punya ide. Sebelum bertugas, ia berikan list kebutuhannya pada Nablisi.

Keesokan harinya.

Bora kini punya asisten. Seorang napi koruptor dan seorang dukun. Sebagaimana tugas bora dalam penelitian ini: datang ke rumah plastik kedua, dua kali dalam seminggu sambil membawa beberapa tumbuhan yang selanjutnya Bora potong-potong dan ia “siksa” di hadapan tanaman gandum yang ditanam dalam rumah plastik tersebut sambil mengucapkan kata-kata yang kasar dan tidak pantas.

Setelah beberapa tumbuhan dipotong-potong dan ‘siksa’ di depan tanaman gandum, ketika hendak mengucapkan kata-kata kasar dan tidak pantas, Bora jalankan skenarionya. Sang dukun memegangi tengkuk leher sang napi koruptor, kemudian ia pun memijiti tengkuknya, tiba-tiba sang napi terlihat mual dan katakan: “proyek, proyek, proyekRakyat, anggaran, anggaran…pengajian, pengajian, sapi, kambing, undangan, buku, rakyat, rakyat, rakyat, demi bangsa dan negara……..” “Kampreeett..” sontak Bora dan sang dukun sama-sama kaget. Kode korupsi macam apa ini!?! Ujar Bora. Sementara sang dukun masih memijiti tengkuk sang napi. “Proyek, liqo, liqo, liqo, satu juz, dua juz, tiga juz, empat juz, kiai, ustad, pesantren, proyek, rakyat, demi bangsa dan negara”. “Anjiiiinnggg…” Umpat Bora. “Astaghfirullaah” pekik sang dukun, padahal selama ini dikenali warga tak beragama. Bora tak bisa menahan emosinya. Bora terlihat reaktif mendengar simbol-simbol agamanya diusik. Kekerasan tak terhindarkan. Berbagai jenis combo, hits, pukulan, menghujani tubuh tak berdaya sang napi. Seakan Bora mempraktikkan jurus-jurus Bakuryu, Gado, sesekali Shen Long di game Bloody Roar 2 yang ia mainkan di PS 1 saat dia masih SD, diselingi pukulan seperti Paul di game Tekken. “Jancooookk..sabar Mas. Sabar Mas.” Teriak sang dukun berusaha melerai.

Sepertinya tugas Bora sebagai asisten Nablisi Cahyo berjalan sangat lancar. Tidak hanya memaki dan menyiksa tanaman tersebut. Bahkan menyiramnya dengan darah manusia. Natural sekali.

Jackandjhon

Jackandjhon penguasa sebenarnya. Covid-19 dilarangnya masuk. Apalagi manusia yang datang tanpa masker. Jackandjhon bukan seorang kapiten. Jackandjhon bukan sebuah brand komersil. Jackandjhon digaji rakyatnya. Diberinya bubuk kopi, untuknya padi, baginya koin ‘tuk sebatang tembakau hisap. Jackandjhon penguasa sebenarnya. Tak berkalung piagam penghargaan. Berjaga malam hangatkan bumi. Berjalan di bawah rembulan berbekal sinarnya. Jackandjhon tak pernah korupsi. Bersikap tegas menghadang seorang perempuan masuk, yang hendak bayar hutang pada rentenir. Berwajah garang, perwakilan Tuhan. Selamatkan ekonomi perempuan barang sehari. Jackandjhon. Namanya tak masuk sejarah nasional. Penguasa sebenarnya. Pakaian sederhana mengkritik rakyatnya yang hedon. Tinggal di rumah sederhana, menurunkan standar hidupnya. Bekerja kasar memperbaiki rumah. Bekerja dengan jiwanya. Jackandjhon penguasa sebenarnya. Menerima bantuan sosial. Mata selalu tertunduk ke bawah. Menikah pada usia senja, usia kepala empat. Jackandjhon belum dianugerahi keturunan. Menyambung sisa hidupnya hari demi hari. Jackandjhon seorang petugas keamanan yang amanah. Dedikasinya tinggi namun upahnya tak dimintanya bertambah. Jackandjhon petugas keamanan perumahan yang jujur, bak penguasa sebenarnya.