Bulan: Mei 2021

Haruskahku Bandingkan Kau dengan Musim Panas?

Oleh: William Shakespeare

Judul Asli: “Shall I compare thee to a summer’s day?
Diterjemahkan oleh Ratu El Sarah

Rhyme Scheme: ABAB CDCD EFEF GG

 

Haruskahku bandingkan kau dengan musim panas?
Engkau lebih indah dan lebih hangat:
Angin kencang yang mengguncang kuncup Bulan Mei
Dan musim panas berlalu begitu cepat:
Terkadang matahari musim panas begitu terik dan buat nanar,
Terkadang juga ia bersembunyi di balik langit yang berawan;
Dan segala sesuatu yang indah akan lekang dan memudar,
Tak sengaja maupun kehendak Tuhan.
Tapi kau, adalah musim panas yang abadi,
Keindahanmu takkan pudar adanya;
Kematian sekalipun takkan menghakimi,
Karena dalam bait ini kau kan hidup selamanya:
Selama manusia masih bernafas dan mata masih melihat,
Selama itu pula kau kan abadi dalam bait yang tergurat.

***

Shall I compare thee to a summer’s day?
Thou art more lovely and more temperate:
Rough winds do shake the darling buds of May,
And summer’s lease hath all too short a date;
Sometime too hot the eye of heaven shines,
And often is his gold complexion dimm’d;
And every fair from fair sometime declines,
By chance or nature’s changing course untrimm’d;
But thy eternal summer shall not fade,
Nor lose possession of that fair thou ow’st;
Nor shall death brag thou wander’st in his shade,
When in eternal lines to time thou grow’st:
So long as men can breathe or eyes can see,
So long lives this, and this gives life to thee.

Katak Malam

aldiantara.kata

 

I

Ada yang mematung bagai batu.
Katak malam. Tak melawan kala kuusir.
Ia datang kembali menuju jalannya.
Lalu menjadi batu di bawah malam.
Menunggu petuah atau garis waktu yang bersinggungan.

Ritmik lompatan aneh.
Aku tak bisa perhatikan sebab dingin keji.
Hidup berupa komposisi suka dan duka bergiliran.
Cara manusia menghujat menjadi lingkaran dendam yang harus diperbuat kepada sesama.
Ada pula yang mendendam sendiri pura pura sabar.

Manusia tinggal memilih kepada siapa ia mengadu derita.
Semua orang bekerja menjadi pewarta berita.
Tentang sepasang rumah tangga diambang kehancuran.
Antara iba dan tiada niatan membantu.
Merasa senang seolah tahu.

Bayang bejana lebih panjang dari yang nyata.
Kulihat ia di malam, masih kutambahi dengan prasangka.
Gelandangan tak terlihat di gelap malam malam, tiada beri obat dingin yang menjadi demam.
Gelandangan bahkan dengan siang pun menjadi bahan tulisan.
Masih berkelit diadu kata, mereka sudah mau pergi.
Mencium wangi masakan.
Mereka mengumpat masakan enak ini sudah siap saja, waktu berbuka masih jauh.
(Ini sudah Syawwal. Padahal)

II

Di bawah jembatan yang mirip gambar landscape Google.
Sungai kecil tak mengalir berwarna kotoran.
Sabar ikan masih mau berenang.
Manusia saja yang tak mendengar kritiknya.
Pampers bayi masih tetap menggenang di tempat yg sama.

III

Pada suatu desa, orang berjalan menjinjing pahala.
Ia meminta izin berjalan lewat.
Senyum berkembang berbuah sapa.
Bahkan anak yang tipsy masih menoleh pandang.
Bolehkah kukatakan manusia modern semakin ramah dan santun?

Sebuah Rasa yang Hambar

Oleh: Wallace Stevens

Judul Asli: The Plain Sense of Things
Diterjemahkan oleh Ratu El Sarah

Tanpa Rima

 

Setelah daun-daun berjatuhan, kita berpulang
Pada sebuah rasa yang hambar. Seakan
Kita telah tiba pada akhir dari khayalan,
Mati dalam ketiadaan.

Sulit bahkan untuk sekedar memilih kata
Untuk menjelaskan kehampaan yang dingin ini, kesedihan tanpa sebab ini.
Bangunan yang megah itu kini menjadi rumah kecil.
Tanpa orang-orang bertuban yang berjalan di atas lantai landai.

Tak pernah rumah kaca itu butuh untuk dicat.
Tungku perapiannya sudah 50 tahun kini condong ke satu sisi
Usaha yang hebat telah gagal, sebuah pengulangan.
Pengulangan akan manusia dan lalat.

Tetapi hilangnya khayalan sudah juga sebelumnya
Terkhayalkan. Kolam yang luas,
Kehampaan yang ia pancarkan, tanpa bayangan, tanpa dedaunan, tanpa lumpur, tanpa air yang seperti cermin kotor, meneriakkan keheningan.

Sebanding, dengan kesunyian seekor tikus yang keluar untuk melihat,
Kolam luas itu dengan bunga-bunga lili yang sia sia, semuanya
Harus dikhayalkan sebagai pengetahuan yang tak terelakkan,
Mesti terjadi, sebagaimana mestinya terjadi.

***

After the leaves have fallen, we return
To a plain sense of things. It is as if
We had come to an end of the imagination,
Inanimate in an inert savoir.

It is difficult even to choose the adjective
For this blank cold, this sadness without cause.
The great structure has become a minor house.
No turban walks across the lessened floors.

The greenhouse never so badly needed paint.
The chimney is fifty years old and slants to one side.
A fantastic effort has failed, a repetition
In a repetitiousness of men and flies.

Yet the absence of the imagination had
Itself to be imagined. The great pond,
The plain sense of it, without reflections, leaves,
Mud, water like dirty glass, expressing silence

Of a sort, silence of a rat come out to see,
The great pond and its waste of the lilies, all this
Had to be imagined as an inevitable knowledge,
Required, as a necessity requires.

Akhlak (34)

Oleh: Um Sab’ah

 

Mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang paling baik akhlaknya.  Sedangkan mukmin yang berakhlak mulia menyamai derajat orang yang berpuasa dan mendirikan shalat, dan manusia terbaik adalah yang terbaik akhlaknya, begitu pula mukmin yang terbaik adalah yang terbaik akhlaknya. Berusaha mendapatkan akhlak mulia lebih baik daripada berusaha meraih emas dan perak.

Di Angkutan

aldiantara.kata

 

 

Aku tak harus takut kehilangan, karena tak miliki apa-apa. Syukur itu ada setelah aku pernah memiliki. Sesuatu yang membuat khawatir.

Aku merasa bebas tak ada yang mengekang karena pernah merasa terikat. Aku merasa sepi karena pernah berdua.

Aku bersyukur menaiki kendaraan umum setelah lelah menekan pedal gas dan menanggung biaya perawatan. Sementara kini bisa terlelap sembari melihat apa yang dahulu selalu terlewat.

Seorang menginginkan kendaraan pribadi setelah lelah ditahan kemacetan roda empat dan ketergesaan waktu yang tak menunggu empu.

Kita pernah saling menginginkan, sebab lelah lantaran terpaan keadaan yang buat kita enggan menyendiri.

Kita merasa sepi setelah sekian lama mencari melalui tebakan yang tak sepenuhnya salah.

Sudahi dulu, aku sedang meneruskan perjalanan. Supir angkutan umum kota agak frustasi mencari penumpang. Dua anak kecil berteriak “ada badut!”, kukira di dalamnya pria dewasa, mengabaikan celetukan si gadis kecil yang bergandeng bersama ibunya, padahal boneka kartun tersebut adalah anak kecil yang sedang duduk di halte kosong. Apakah iba ku menjadi sedekah, Rabb?

Aku bersendawa setelah kuteguk sisa susu kental manis. Aku menghinanya, kah? Dalam harap doa hidupnya dalam cukup makan dan kabul cita-cita. Keberkahan.

Seorang kakek, pada sebuah angkot penuh, memberi isyarat akan turun sesampai tujuan, “marangga. Sing saralamet ah.” Mendoakan. “Mari, semoga semua selamat (sampai tujuan), ya.” Aku teringat memori lama, terakhir kudengar itu tahun ’99 kala pergi ke kota bersama Kakek. Lama sekali. Ramah dan mendoakan. Kini cenderung Bersikap asing dan mengasingkan.

Romance de Amour

aldiantara.kata

 

Kapan, sebuah masa, musisi jalanan menjadi bak orang suci. Ia datang banyak diminta, namun ia datang kunjungi tempat yang ia kehendaki.

Dalam hati orang-orang banyak bergumam, “beruntung sekali rumah itu disinggahi.”Setelahnya mendendangkan lagu dari bait-bait syair kontemplasi di taman kota, musisi jalanan berkeliling sekehendak mereka.

Memasuki bis malam yang akan melintasi batas provinsi, penjaja makanan memasuki bis dengan nada pelan, sementara orang menumpang tak sampai bangun diteriaki. Musisi jalanan mulai naik memberi berkat, memetik gitar mainkan romance de amour. Apa yang menjadi berat adalah mengingat. Seperti kembali tersengat. Musisi jalanan yang bak pemandu ziarah reka adegan memori lama lalui bayang.

Banyak orang-orang berziarah kepada tempat perginya bis yang mengantar orang ke tempat yang jauh. Apa sebab para penumpang selalu datang hampir terlambat, selain sebab meninggalkan sesuatu adalah negosisasi waktu yang dipaksa untuk berjalan lamban.

Ada yang sengaja datang ke tempat titik kepergian bis kota, hanya untuk mendengar musisi yang menyetel alat musiknya, sesekali sebagian dalam lamunan kala memainkan nocturne, Chopin. Ada orang yang mulai jarinya menari menulis draft tulisan pada gawai, untuk dirinya sendiri.

Di taman kota dua musisi jalan yang nampak asing, suatu sore. Orang menyangka mereka berdua sebagai Pat Metheny dan Charlie Haden ketika mengalunkan cinema paradiso. Menggubah angin dan langit sore sebagai wahana bermain bagi ingatan yang t’lah lama mengendap. Tatapan manusia mendengar penuh cinta berpadu kasih sayang.

“Jangan dulu berhenti” pekik suara-suara sunyi. Khalayak sedang menerjemahkan kepada bahasa-bahasa bisu yang tak satu pun punya tafsir sama terhadap kenangan.

“Apakabarmu, aku tak sedang berbasa-basi.”

“Ambilah kursimu pada ingatanku, sudah lama kau terduduk membaca buku, tanpa mau dikau daku sapa.”

“Sudah lama aku mengatakan kerinduan, yang kutitipkan kepada lembayung senja.”

“Aku tak paham dengan bahasa tangismu di bis itu.”

“Cara marahku adalah isyarat kebetulan yang membuat kita tak saling bersinggung takdir. Memang sudah semestinya, begitu, begitu. Sudah setakdirnya aku harus marah, karena itu takdirnya, sebab itu takdir kita. Aku harus marah, agar Kuasa-Nya menyerahkanmu kepada kekasihmu, sepantasnya.”

Akhlak (33)

Oleh: Um Sab’ah

 

Amal-amal saleh bagai akhlak yang baik yang tak lepas dari kekurangan. Hendaklah setiap hamba mencari sifat, akhlak, amalan-amalan, dan perkataan-perkataan nya yang telah hilang. Sibukkanlah dengan pengobatan bertahap, bersabarlah akan hal ini. Apabila Allah menginginkan kebaikan pada hamba, Dia akan memberitahukannya melalui aib-aib dirinya, maka barangsiapa yang telah sempurna pengetahuannya niscaya tidak akan tersembunyi aib-aibnya, seorang hamba yang sudah mengetahui aib-aibnya akan mudah baginya dalam melakukan pengobatan.

Akan tetapi, kebanyakan orang tidak mengetahui akan aib-aibnya sendiri, mereka melihat dosa-dosa kecil pada orang lain, sementara dia tidak melihat dosa-dosa besar pada diri mereka sendiri. Setiap muslim dengan iman, ikhlas, dan amal saleh harus memiliki akhlak yang baik, karena itulah yang akan menjaga amal-amal. Lalu seorang hamba pada hari kiamat datang dengan membawa amal-amal saleh layaknya gunung, itu adalah amal-amal saleh yang telah diterima. Tetapi apabila akhlaknya buruk maka akan memakan amal-amal sholeh tersebut. Dia datang sementara kondisinya telah mencaci fulan, menuduh fulan, mencela fulan, mencuri fulan, berbuat aniaya terhadap fulan, atau ingkar janji terhadap fulan. Maka pahala dan kebaikan-kebaikan apa yang tersisa Jika mereka telah mengambil hak-hak mereka darinya?

Hujan Malam Mulia

aldiantara.kata

 

Hujan di malam mulia. Siapa yang menang, Tuan.

Hujan di malam mulia. Tak usah bangunkan orang hingga kepayahan. Biar mimpi sempurna adalah sebaik-baik nyata yang sementara.

Sementara Tuan nampak undur mengundur jadwal pengumuman pemenang. Sudah jijik dengan yang pamer? Meski Tuan kaya, subscriber Tuan tak akan pernah lampaui juragan di kampung kami, yang pongah dan merasa dermawan.

Hujan di malam mulia, Tuan belum terlelap tidur. Apa volume deras tuan yang atur, mematah asa pencari Tuan pada malam-malam ganjil.

Penghujung bulan. Apa benar mereka mencari kemuliaan.

Hujan di malam mulia. Orang-orang sibuk berjudi, manusia silver gigil menggigil menahan getir. Musafir sudah jalan jauh, disuruh putar balik setelah kehilangan pekerjaan. Tangis dibawa pudar asinnya oleh hujan polusi pabrik baru, sedikit asam. Dibawa genang mengalir tak tentu hilir.

Hujan di malam mulia. Jangan dulu mereda. Tuan sungguh pandai mengatur jadwal. Rumah-rumah Tuan ramai begitu. Serukan puji-pujian. Melempar dadu peruntungan. Hujan memekakan telinga dari lolong kesakitan tak pernah melahirkan umpatan.

Aku tak sedang menjual air mata. Sudah barang tentu aku bukan wasit perjudian, sebab perjudian kerap tak membutuhkan pengadil kehidupan.

Suatu sore aku melewati petak lembab, dihuni janda anak satu, menunggu maghrib. Membaca dengan lirih surat pesanmu. Dibalik pintu yang t’lah lapuk tipis. Terdengar sedang meringkuk membaca kitab suci. Seakan surat-surat Tuan hanya ditulis untuknya.

Sudahkah Tuan selipkan sari-sari buah pada alif, kudapan surga pada ba’, serta gandum pada ta’. Tuan pemberi rizki.

Gadis-gadis kecil di depan rumah pada pagi hari masih antusias melingkar menalar hafalan surat-surat pendek. Sementara banyak penghuni rumah masih terlelap kekenyangan. Daku seperti melihat mereka menggantungkan tsa’ dan jim pada langit-langit. Mengusapi burung beterbang. Menghinggapi teduh pohon serta memegangi perut cupang yang lupa diberi makan pemelihara. Udara-udara mengandung berkat. Tidak pilih milih siapa menghirup.

Hujan di malam mulia, menderas di tengah daras kitab suci. Sudah lama menunggu penerobos hujan, yang membagi-bagikan zakat sebelum waktunya. Cepat, cepat. Bagikan zakat sekarang. Biar habis nanti kita iuran lagi. Hak mereka pada harta khalayak berlebih. Mau saving sampai berapa banyak?

“Lindungi orang-orang di Palestine, Ya Rabb”, sementara tetanggaku sama berimannya, juga butuhkan jamuan dan perlindungan.

Salamun, salamun. Hingga terbit fajar.

Singgasana Luka

aldiantara.kata

 

Kau paham dengan bahasa tangis?
Itu isyarat yang bisa dipahami tanpa seorang belajar
Jangan nilai air mata sebagai satu-satunya tanda
Ada orang yang kuasa menahan air mata
untuk tetap pada singgasananya
Ia berjalan kepura-puraan
Ia menderita tanpa tinggalkan bekas luka
Ia merasa sepi dalam ramai
Ia merasa sesak di alam terbuka
Acapkali, pertanyaan-pertanyaan semesta, tak perlu kau rangkai jawab gunakan logika

Akhlak (32)

Oleh: Um Sab’ah

 

Akhlak adalah watak terpendam, akhlak baik adalah kecenderungan jiwa kepada perkataan dan perbuatan yang lebih berfaedah, lebih terpuji, beradab dengan adab-adab Allah yang telah disebutkan dalam kitab-Nya. Apabila akhlak manusia baik maka akan banyak yang mencintainya, dan sedikit yang memusuhinya, perkara-perkara sulit menjadi mudah dilakukan, hati-hati yang marah menjadi lunak, pada anggota badannya tumbuh kecintaan, mengalir lisannya setiap ucapan indah dan baik, maka akhlak baik akan pergi dengan membawa kebaikan dunia dan akhirat, dan manusia terbaik adalah yang terbaik di antara mereka ahlaknya.

Nabi Muhammad saw. memiliki akhlak yang baik dan sempurna. Beliau dipuji disisi Allah, malaikat, para Rasul, dipuji oleh seluruh penduduk bumi, dan sifat sempurna yang dipuji oleh setiap orang berakal, beliau adalah makhluk terpuji terhadap Tuhannya. “Sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang agung.” Al-Qur’an surat 68 ayat 4.