Bagaimana bisa suatu institusi pendidikan plin-plan soal aturan pembayaran. Sekali berganti, manusia sebut itu khilaf. Berkali-kali aturan berganti, kukira institusi ini yang bermasalah. Rektor dipuja bergaya kekinian di berbagai platform medsos, si Budi sibuk cari uang pinjaman bayar UKT.
Lho? Kok jadi bahas itu? aku tak berniat bahas hal tersebut di atas.
Sabtu. Hari ini hujan tak turun. Cuaca paginya aku berjalan tak temukan bayang sendiri. Angin berhembus ayunkan pakaian tergantung kawat. Malam minggu kelabu, sisakan trauma dan pikiran waswas. Penjahat tahu waktu yang tepat. Manusia berkelana dengan tenaga sisa. Barang-barang sepi sendiri di tempat tinggal.
Malam minggu, pukul delapan malam. Tiga puluh menit bukan waktu lama mengeksekusi. Aksi kriminal aksi pintar. Tiga kamar dibobol maling tanpa kekerasan. Tetangga kamar bersantai menonton televisi tak dengar suara mencurigakan.
Tiga kamar dibiarkan sedikit terbuka. Empat laptop dan satu hanphone hilang dari tangan si empunya. Bersyukur flashdisk berisi data penelitian tesis kawanku tergeletak di atas karpet kamar. Aku kaget memahami kejadian. Tak terhitung berapa kali tatapanku kosong. Data-data harus raib sekaligus di dalamnya.
Aparat bertugas mengetik laporan, tak periksa tempat kejadian. Tak ada simpati, hanya cerita di kecamatan ini tiada hari tanpa laporan kehilangan. Beberapa hari setelah itu aku harus berpayah gondol barang ‘berharga’ kemana-mana. Setiap malam minggu tinggalkan kamar, peristiwa silam menghantui pikiran. Tidak jarang aku panjatkan doa agar diberi keselamatan, sambil kuusap-usap tembok kamar.
Tak habis pikir, aku mulai meraba-raba segala kemungkinan yang absurd. Seperti senang mulai mempertanyakan segala hal. Kapan ada bila seseorang pengendara motor ninja yang kecelakaan, jatuh, orang-orang tak lihat motor spesies apa, sorot mata harus menuju pengendara yang terancam keselamatan jiwanya dalam kondisi luka.
Habis pikir, beberapa buku sastra yang baru kubeli, di rak bahkan beberapa di antaranya buku sejarah, kitab suci, tafsir progresif, buku diari kecil yang kutulis dua tahun awal, buku biografi tokoh pembaharu pemikiran Islam hingga buku Seks dan Revolusi nya Jean Sartre tak kusembunyikan di muka. Kapan hingga buku-buku itu menjadi lebih menarik dibanding harus menggarong barang-barang elektronik.
Dan kenapa aku harus begitu sedih menceritakan ini? Ngga terima?
Dan “Kapan” yang menunjukkan waktu yang entah kapan terwujud itu menyisakan hal lucu lain, orang pergi ke luar dengan bekal buku favoritnya yang ia gendong bersama ranselnya. Sementara itu, tidak sedikit pula kasus laptop atau hape yang tertinggal di kedai kopi, halte, atau ketika di panti pijat.
Hingga seseorang melapor pada aparat tentang kasus kehilangan sebuah buku diarinya. Petugas lalu bertanya kepada pelapor seberapa penting isi diarinya tersebut. Pelapor sejenak menghela nafasnya, berbisik kepada petugas.
“…”
“Benarkah?”
Pelapor hanya mengangguk.
“Berapa?” Tanya Pelapor menanyakan biaya pembuatan laporan kehilangan barang.
“Tidak. Kita temukan dulu diarimu itu.”