aldiantara.kata
Kos-kosan pada siang hari. Pemilik kos memiliki beburungan yang berkicau. Dalam suasana jalan yang cenderung sepi. Aku memasuki kamarnya yang dingin. Nyanyi beburung yang saling menyaut, sejenak membuatku lupa di hiruk pikuk perkotaan mana aku hidup.
Di kota ini, lamaran pekerjaan tidak dimulai dari “We’re hiring”, “ We want you” atau “Dibutuhkan” dengan kebutuhan-kebutuhan yang spesifik tertulis. Ia tidak terang-terangan mencari seorang barista kafe, dosen, asisten rumah tangga hingga biduan.
Khalayak tetiba gempar, menerka lowongan pekerjaan berupa video yang tersebar oleh pemerintah setempat. Video tersebut di dalamnya hanya menampilkan seorang kakek yang sedang membaca surat kabar di bangku taman. Space kosong di sebelahnya nampak seekor kucing yang tertidur. Tamat. Itu lowongan pekerjaannya, terangkum dalam video berdurasi delapan detik!
Banyak orang meributkan video tersebut. Tenaga kerja apa yang sungguh sedang dibutuhkan?
Grup chat dan medsos bising berkomentar, semua opsi dan segala jenis pembahasan ada kecuali ujaran kebencian. (cieeeh.)
Seorang berpendapat, barangkali yang dibutuhkan adalah seorang yang mampu menjaga seorang kakek?
Seorang lain berpendapat, barangkali yang dibutuhkan adalah seorang jurnalis, atau mungkin cerpenis, lantaran terdapat surat kabar yang dipegang oleh kakek.
Ada yang membicarakan, mungkin yang butuhkan adalah seorang polisi, lantaran mengira-ngira, video tersebut mengenai kejadian perkara sebelum terjadinya peristiwa kriminal.
Ada pula yang membicarakan, mungkin pula yang sedang dibutuhkan adalah seorang pelukis pemandangan sore itu!
Banyak sekali kemungkinan.
Keesokan harinya.
Para pelamar kerja datang mengunjungi tempat, lalu menyerahkan berkas lamaran. Berkas-berkas terkumpul, nyatanya oleh staff pemerintah setempat tidak dilakukan penyeleksian. Semua pelamar dipanggil satu per satu untuk melakukan wawancara, tanpa terkecuali. Memang terlihat ribet. Namun bagi staff pemerintah setempat, merasa ribet hanya berlaku bagi orang-orang yang cukup malas.
Seorang pelamar pun dipanggil menuju sebuah ruangan untuk wawancara. Staff pemerintah setempat membaca surat lamarannya berikut daftar riwayat hidupnya.
“Melalui video yang kami sebarkan, pekerjaan apa yang hendak saudara lamar?”
“Saya hendak melamar sebagai kucing yang tertidur di sebelah kakek.”
Raut wajah pelamar terlihat biasa saja, datar. Nampak tidak terkesan sedang mengalami depresi atau gangguan mental.
Staff pemerintah setempat memeriksa curriculum vitae-nya yang polos. Informasi menarik barangkali usianya yang menginjak seperempat abad. Pendidikannya strata dua. Pengalaman kerja belum ada. Penguasaan bahasa serba nanggung. Tidak memiliki riwayat utang piutang, catatan kriminal, juga tak sedang memiliki masalah mental.
Kening mengerut, berpikir agar memberdayakan manusia yang serba nanggung ini. Setelah melihat pendidikan terakhir, ah, bukan jurusan yang ramah pasar kerja.
Staff pemerintah setempat menunda keputusannya untuk mengabulkan keinginannya untuk menjadi kucing taman. Sebab ketika ia menjadi kucing, siapa pengadopsinya?
Pelamar kucing taman pun dikarantina oleh staff pemerintah setempat, bukan lantaran covid-19, namun dipantau mengenai kebiasaan untuk kemudian dicarikan pekerjaan yang cocok.
Pelamar selanjutnya. Mendapat panggilan.
Ia tidak menyertakan surat lamaran. Namun tetap melampirkan curriculum vitae. Kepada staff pemerintah setempat, sang pelamar membuka obrolan bahwa ia merupakan seorang bupati Kabupaten Paten. Ia merasa tidak sanggup lagi menjabat. Banyak kekurangan dalam pelayanannya terhadap masyarakat. Daripada diteruskan, kinerjanya akan menurun. Ia merasa lebih baik mencari pekerjaan lain yang disanggupinya.
Staff pemerintah setempat kembali mengernyitkan dahinya.
Pelamar kucing taman sudah selesai menjalani masa karantina. Hidupnya memang nampak biasa-biasa saja. Melalui karantina, diketahui bahwa ia memiliki satu kebiasaan rutin: membuat tulisan diary, berisi refleksi terhadap apa yang ia jalani dalam kehidupannya.
Staff pemerintah setempat pun mengutusnya agar bekerja pada suatu sekolah dengan tambahan embel-embel suatu agama di bekalang jenjang pendidikannya.
Sementara itu, seorang pelamar sudah tak menjabat Bupati Paten. Ia kini bekerja menuruti hobinya: memancing. Ia sudah tahu di mana harus menemukan tempat yang baik.
Embung Lobalauk, di Kabupaten Paten. Tak terdeteksi google map.
Konon di embung tersebut banyak sekali ikan. Setiap harinya di embung ini banyak sekali pemancing. Setiap pagi, banyak pula muda-muda mudi hingga orangtua berolahraga mengitari.
Mantan bupati ini sejatinya terdapat tiga misi memancing. Pertama, daripada mengonservasi banyak tempat alam dengan kemampuan yang terbatas untuk memperhatikan banyak tempat, lebih baik fokus kepada satu namun dengan usaha maksimal menjaga agar tetap asri dan bebas limbah.
Kedua, sudah lama sekali ia tidak pergi sebagai orang asing, lalu berbincang dengan orang asing. Ia hanya berharap bertemu dengan orang asing, lalu melakukan perbincangan apapun yang sederhana. Toh selama seminggu berlalu, bahkan tidak ada yang mengenalinya sebagai mantan bupati.
Misi ketiga, ia hendak menemukan ikan legendaris di embung ini, yaitu ikan berkepala buaya berekor hiu, yakni pengalaman ketika ospek sekolahnya, sang senior pernah menyuruhnya untuk mencari jenis ikan itu. Sementara itu, pada usianya yang senja, banyak orang menertawakan imajinasinya. (termasuk aku?)
Pelamar kucing taman berhasil menjadi seorang penulis refleksi selama sebulan di sekolah yang ditugaskan. Laporannya menjadi pertimbangan staff pemerintah setempat dalam menentukan suatu sikap. Setelah membaca refleksi selama sebulan, sang staff tidak terlihat terkejut menemukan sebuah fenomena menyedihkan. Setiap seminggu sekali di sekolah tersebut terdapat pertemuan guru bersama seorang HRD sekaligus murabbi. Pertemuan itu diisi dengan ceramah kerohanian kepada guru-guru. Diantaranya dimaksudkan agar senantiasa sabar dan ikhlas dalam mendidik para siswa.
Sementara itu, SPP para siswa terbilang tinggi, sementara gaji yang diterima oleh para guru terbilang pas-pasan. Kerja pelamar kucing taman sederhana, ia hanya duduk di mana pun di dalam sekolah. Sesekali berada di sudut dapur, lalu mendengar cerita ibu-ibu dapur yang sedari pagi menyiapkan makan siang setiap harinya untuk para siswa. Sesekali berada di sudut ruang guru, mendengar keluh kesah cicilan dan pemasukan yang tidak seimbang, namun diakhiri dengan tawa getir kepasrahan. Seperti kucing, ia memantau aktifitas yang terjadi di sekolah. Barangkali, dalam catatan pelamar kucing taman, uang SPP para siswa, bukan untuk mensejahterakan para guru dan aparaturnya, melainkan menambah pinak saudara-saudara semen, kerikil, batu bata untuk menciptakan bangunan baru, menarik anak sebanyak mungkin agar daftar sebagai siswanya. Rupanya hal yang dibaca oleh staff pemerintah setempat yang menangkap keresahan tulisan refleksi ini, bahwa ceramah rohani digunakan agar menenangkan para guru meskipun diupah kecil, hendaknya bersabar dan ikhlas, jangan melakukan protes, sebab upaya tersebut barangkali termasuk sebentuk tak bersyukur atas pemberian-Nya.
Demikianlah kisah pelamar kerja di kota ini. Setiap akhir cerita entah mengapa banyak orang butuh penegasan apakah berujung bahagia atau durjana? Aku hanya bermaksud menambahkan pada penghujung cerita ini, meski pelamar berdatangan melakukan wawancara kerja, nyatanya seorang yang mengaku sebagai staff pemerintah setempat akhirnya ditangkap. Ia dituduh sebagai staff gadungan! Sebab mana mungkin ia melayani masyarakat dengan baik. Jika demikian halnya, maka nama yang disandang seharusnya staff pelayan setempat. Sifat itu mustahil diampu, sama mustahilnya dengan keadaan si mantan bupati itu, yang hidup-hidupan mencari ikan berkepala buaya, berekor hiu!
Seorang kakek yang duduk di taman membaca surat kabar, sementara seekor kucing di sebelahnya masih tertidur pulas. Barangkali menyadari matahari semakin tinggi, ia harus segera beranjak melakukan aktifitas rutin. Surat kabar dibiarkan tergeletak di bangku taman.
Pada surat kabar itu tertulis, “Seorang staff pemerintah gadungan ditangkap.”
Berjalan berlalu, sang kakek bergumam, “Gadungan yang jelas bermaksud baik untuk negeri ini saja bisa ditangkap, apalah lagi jika hanya seorang pengkritik!”
Tiba-tiba seorang lelaki berlari tergopoh-gopoh menghampiri kakek, memanggil, “Pak Bupati Paten…”
Menyukai ini:
Suka Memuat...