Bulan: November 2022

Narapidana

aldiantara.kata

 

Di mana kita berada di atas kursi panjang, menghadap pada lalu lalang kendaraan yang tiada henti-hentinya, engkau selalu bertanya, perihal kursi taman tersebut. Walaupun suaramu kau arahkan kepada dedaunan dan lampu taman bernyala redup, yang sesekali engkau menengadahkan kepala ke langit bertanya, apakah sudah sewaktunya embun serta air-air langit mulai temurun. “Bangku taman ini untuk siapa, tiada pejalan kaki selain kita, kursi mobil dengan pendingin udara lebih digandrungi ketimbang bangku besi tempat duduk embun-embun pagi, daun gugur, serta pengembara yang sedang mengambil nafas panjang sebelum ia melanjutkan perjalanannya.”

Kita secara garib malah menyalakan lilin, membakar dingin, sekaligus membakar pertanyaan yang engkau utarakan. Jelas saja aku tak bisa menjawab pertanyaanmu, mencarinya dengan mesin pencari (yang engkau katakan selalu dapat jawaban), atau melalui buku-buku pada rak berdebu.

Sesaat sebelum pulang ke rumah, engkau malah bercerita perihal penglihatanmu yang sedikit terganggu beberapa akhir ini. Cecunguk yang terbang kesana kemari menghinggapi helm pengendara bermotor di lampu merah, pengendara mengambilnya, meletakkannya pada ujung jari telunjuk, membiarkannya terbang. Cecunguk yang dipelihara dan dianggap khalayak suatu keindahan. Kupu-kupu terusir dari bunga, dari simbol keberagaman yang indah. Senantiasa terusik lalu pergi lantaran dianggap memuakkan.

Bimbang rasanya apakah harus membawamu ke dokter atau ahli hikmah. Tapi aku mengatakan kepadamu malam itu, perihal cecunguk dan kupu-kupu itu bukan satu-satunya keanehan di bawah matahari.

Sesaat sebelum pulang ke rumah, aku memecah keheningan dengan menceritakan kepadamu mengenai seorang yang kujumpai pada suatu malam, ia belum lama ini bebas dari masa tahanan setelah dihukum lantaran menghabisi tiga nyawa sekaligus pada tahun delapan enam. Delapan belas tahun berada di sel. Tanpa tahu dan besuk dari sanak keluarga. Ia bercerita pula tak tahu perihal ayahnya yang telah meninggal.

Kau malah memarahiku, meskipun jelas aku tak seperti yang kau tuduhkan, aku merasa risih dan paling suci, seakan tak punya dosa.

Mawar Malam

aldiantara.kata

Kau tahu yang mengurangi keindahan mawar malam adalah aku masih menghafal lirik lagu yang seharusnya kuhafalkan, untuk kubisikkan pada telingamu. Sebagai bait yang baik, untuk melagukannya secara datar sebagai pengantar tidurmu. Nada-nada itu yang menjadi mawarnya. Pada jedanya, itu akan membentuk arsiran mawar pada ingatan, sesaat kemudian membentuk tangkai, hingga kelopaknya.

Maukah kau berbalik badan, bersuara rendah tanpa perlu mengalahkan derasnya hujan di luar ruang? Aku masih dapat membacanya dengan melihat gerak bibir, meskipun dalam terang temaram, di balik hati berbunga.

Jalan Simongan

aldiantara.kata

Meski pada malam itu, aroma yang menyeruak adalah amis tak sedap, di tengah kota. Dari selokan-selokan yang berisi sampah-sampah. Kemudian kita menyaksikan air-air memancar pada samping jembatan pada waktu-waktu tertentu, bersahutan, berhias lampu-lampu.

Engkau bertanya, “Seberapa lama jarak waktu yang dibutuhkan agar suasana malam dapat dengan indah terkenang pada muara ingatan, tanpa perlu dipantiknya lalui gambar kamera tanpa perlu mendengar cuplikan obrolan yang tak sengaja didengar kedai-kedai kopi yang naik daun (janda bolong?) tanpa perlu di antara kita membahasnya tanpa perlu di antara kata mencari-cari pembahasan sebagai bahasa kenang tanpa perlu melihat buah tangan yang terpampang di atas almari ruang tamu tanpa perlu kau terjemahkan air wajahku sebagaimana kita pernah laluinya tanpa perlu lama-lama tertegun mengenang hingga takut rencanakan perjalanan mendatang.

Di Jalan Simongan, tak terhitung jemari tangan engkau tunjuk satu per satu bangunan asing, engkau bisikkan aksara-aksara yang mewujud, terbaca dalam alam pikiranmu dari jalanan panjang terik menuju senja. Hingga pada batas kota, yang sama-sama kita lalui dengan perasaan asing, menerima keramahan, rencana untuk mengunjungi kembali, tanpa perlu mengosongkan memori masa lalu.

Lalu engkau bertanya perihal kemana kini hujan berlabuh. Mega senja yang mulai nampak oranye, jingga, hingga menuju gelap yang tiba-tiba tanpa kita sadari saksikan, setelah sekian lama kita menjumpai sore dengan langit kelabu berhari-hari. “Hujan rintik-rintik, amat kecil, yang bahkan tak bisa untuk mencuci tangan.” Bisikmu pada suatu sore. Ia hendak menjemput siapa, yang rindu pada hujan, disangkakan sebab bencana, menggenang-genang barang di kota.

Di Jalan Simongan, engkau memutar siaran televisi yang memuat berita-berita terpilih untuk dibacakan. Sesekali bosan, engkau gulirkan visual-visual gawai yang engkau lihat sambil merebah. Rilis lagu-lagu baru, peristiwa-peristiwa baru, kasus-kasus baru, usaha-usaha baru seleb centang biru, foto-foto baru, sudut pandang baru, komentar-komentar baru, rekayasa baru.

La-la-la-la-la-la-la
Boleh lupa kain dan baju
Jiwa manis, indung disayang
La-la-la-la-la-la-la-la, oh, janganlah lupa
Janganlah lupa kepada saya……
Keroncong Kemayoran, yang kita dengarkan pada malam, sembari mengantri pesanan es kopi, bekal menghadapi malam yang cerah gerah.

Nun jauh lagu merdu nada malam
Berkumandang melarasi
Tebaran cahya candra nan indah adi
Menghiburkan risau hati

Senandung hati
Ingin pula menggugah indahnya alam
Namun tiada sebentuk kata pujangga
Sepadam untuk memuja
Ah…. Giliran lagu Keroncong Candra…

Kavling Rumah

aldiantara.kata

Kapan terakhir engkau berjalan menuju suatu tempat menyusuri jalan yang berbeda? Rumah-rumah yang tampak baru akan kau temui, perasaan asing, samar-samar, menerka-nerka arah angin, hingga kembali berjalan putar arah atau justru menemukan jalan baru.

Tanah-tanah dengan banderol tinggi. Kavling-kavling rumah, angsuran-angsuran penuh intrik, bumi hunian dengan ragam tawaran. Peduli amat kawasan hijau!

Di antara jajar rumah, dengan lampu beranda yang terus menerangi siang. Rerumput yang telah meninggi. Kolam-kolam kering yang telah disinggahi gugur dedaun yang basah sisa hujan tadi sore. Senyatanya, kavling rumah harus segera terjual, terserah pemiliknya menjadikannya rumah keempat atau kelima. Toh si tuna wisma masih menyusur alir sungai serta mengukur atap langit yang tak perlu ia ganti di usia yang memasuki separuh abad.

Seorang masih mencari rumah untuk tinggal, rumah tempat menetap banyak kosong tak berpenghuni. Apa engkau hendak menetap pada rumah yang dingin dan sudah lama tak ditinggali. Sementara pada hatinya, sudah terbangun kavling-kavling rumah yang siap dijual pada yang lain. Apakah jangan-jangan rumah kini sudah milik pengembara yang asik melihat orang-orang sibuk berlalu lalang, terjebak pada alegori manusia gua Plato, atau pada traffic light dengan jalur berputar, lalu bermuara pada titik yang sama. Tak menemukan jalan yang baru, selain kejemuan-kejemuan.

Standar-standar harga rumah dengan banderol tak masuk akal, pencapaian-pencapaian yang melulu melihat sosok popular, yang masyhur di perkotaan, serta banyak viral di media sosial. Jangan-jangan saat senja tiba, mereka seperti kebingungan menentukan arah pulang, macet menunggu giliran standar terpenuhi, menjadi rumah idaman, lalu sosok popular tersebut menepi dan berdoa agar saja menjadi pengembara… yang punya channel YouTube, dan popular, mengaku punya rumah, dan mengaku sebagai rumahnya itu sendiri.

 

Jibril

aldiantara.kata

Jika suatu kesadaran kita diarahkan kepada suatu hal yang membuat seakan terlahir kembali. Bertahan dari segala sakit, menempuh, mendaki, sesekali harus terombang-ambing tenggelam pada rutinitas yang seakan hendak memadamkan bara api. Ide-ide itu, suatu pencerahan yang membuat sulit untuk tidur saat waktu menunjukkan larut. Sementara kata-kata mencapai batasnya. Fenomena-fenomena yang terlihat, buku-buku yang berada pada rak baca, hingga berita-berita yang berseliwer seakan tanpa jemu, malah semakin menguatkan kepada penunjukkan siapa diri kita. Sejatinya kita belum menjadi apa-apa, meski dengan proyeksi seakan kita sudah tahu untuk apa tujuan hidup, serta slice peran yang hendak diemban.

Proyeksi tersebut, apakah bisa kusebut sebagai Jibril yang memberikan wahyu? Ia semacam pencerahan. Di mana Jibril yang salih tetap terjaga di sisi-Nya, bersujud, tak kenal saatnya matahari terbit atau waktu yang kian larut.

Tak Lagi Doa

aldiantara.kata

Setelah gerhana bulan, apa yang ramai menjadi kebisingan kini berada di dunia maya. Apa yang tersisa dari obrolan kedai kopi yang ramai dibahas melalui urut kata yang populer di Twitter?

Menurutmu bisakah kita tak usah bercerita agar tak banyak orang tahu? Usah kau memberi pesan kepada yang kau tuju, tanpa harus memancing-mancing siapa dahulu yang memulai obrolan lewat meja status. Ah, aku lupa, orang malas berjalan sekedar melewati rumah, siapa tau kau berada di sana, berada di beranda? Engkau mesti berada di dalam kamar, berselancar dan asik buat diskusi pada alam maya.

Engkau tahu, aku selalu membuat markah setiap kali scroll postingan lucu dan sedikit saru. Berharap apakah engkau mau untuk melihatnya? Setidaknya apakah tanda-tanda ini yang kususun sekaligus dapat menghiburmu? Atau kutandai video-video yang ditake dan sudah menjadi dingin, kusimpannya sebagai rencana untuk kutonton nanti, sembari setiap-tiapnya tertimbun oleh kuantitas konten yang jauh dari padam api. Namun tetap kutaruh tanda juga.

Apa naif bila aku ingin selalu menutup hari dengan melihat konten-konten lucu, (tidak lagi doa)? Bukankah sama baiknya jika tak ingin cepat menua?

Apendiks yang Tak Engkau Ceritakan

aldiantara.kata

Ada malam yang menggenap, tenggelam berganti. Lalu ada malam yang mengganjil, di mana percakapan tiba-tiba hanya tersisa sebagai isyarat serta bahasa tubuhmu. Ada malam yang menjadi panjang, di mana rindu yang tiada batasnya, memuncak.

Seperti pada halaman kedua, pada sebuah buku di mana kita sama membaca. Banyak sekali jeda dan tanda baca koma, sesekali dijadikannya titik dengan terlelap mendengkur.

Lalu membangunkanku di sebuah pagi, engkau menjadi halaman ketiga, pada sebuah buku di mana kita sama-sama membaca. Sebagiannya berdasar kosong, kita mengarsirnya tipis-tipis dengan sebuah gambar, sembari mengeluh hujan yang datang terlalu awal, di sela kesibukan.

Engkau bilang arsiran yang membentuk mawar tetap perlu dipupuk dan disirami, kadang sesekali dibiarkan berembun, hingga dibacakan kata berisi doa-doa baik.

Engkau juga kadang tak bercerita suatu hal yang engkau tak berkenan untuk terbuka, “nanti pada kalanya,” ujarmu. Aku enggan menagih saat kala itu tiba. Biarkan saja menjadi rahasia, dan aku tak mesti tahu, apa yang seharusnya tetap tak diketahui. Kecuali jika ingin buku menjadi sedikit lebih tebal. Apendiks-apendiks yang datang kemudian, hanya bahasa tubuhmu yang berusaha kutafsiri. Namun aku tak hendak memaksamu bercerita.

Seperti pada halaman keempat, pada sebuah buku, kata-kata yang mendapat garis koreksi, digantikan kata baru yang seide dengan maksudnya. Engkau bilang tidak boleh sebal pada kata-kata yang keliru.

Sesekali engkau memintaku untuk membuka halaman buku dengan acak, aku membukanya tepat pada tanda daun kering yang menjadi pembatas baca, yang sudah tersedia puisi sederhana dan memintaku bersedia membacakannya sebelum tidur.

Hingga suatu kali engkau nampak tertawa melihat buku kita yang terbasahi tetes kopi tak sengaja. Lalu tepat pada pinggirnya aku menuliskan keterangan peristiwa kala saat itu di mana engkau merasa sebal. Tentang dinginnya udara malam, serta kudapan yang kau sisakan untukku.

Halaman-halaman buku yang sering kita bicarakan, di dalamnya tak melulu berisi fiksi, ia dapat berarti bukti perjalanan hidup, dengan kertas yang nampak usang, dan tinta-tinta yang nampak memudar.