aldiantara.kata
Natal sudah berlalu, namun apakah masih akan menyisakan pertanyaan-pertanyaan yang sama tahun depan? Mengendapkan kecurigaan-kecurigaan yang sama, bebal dan kepandiran yang sama, kefanatikan yang sama, fatwa keharaman yang sama meski dalam bingkai menghormati atau sekadar basa basi?
Sesudah tahun ini mencari jawaban, barangkali pemahaman terhadapnya diletakkan di atas air, yang digiring riak dari angsa-angsa danau berwarna putih. Tahun depan akan kembali mengulang pertanyaan yang sama, “Bolehkah mengucapkan”?
Portal berita media massa gemar mencari celah apa yang akan ramai, sementara jawaban yang dibaca kemudian ditinggal sibuk hingga kembali lupa untuk dipahami. Sepaham-pahamnya malah didapat dari penjelasan singkat, dangkal nan sempit.
Akhir tahun akan banyak orang beresolusi untuk tahun depan. Bak buih-buih, semua menjadi catatan dan status media sosial. Hidup terkadang perlu api yang sedikit membakar, perlu seonggok dendam untuk setidaknya memiliki tujuan hidup.
Membuka kembali apa yang sudah menjadi markah media-media sosial, inspirasi (sesaat) yang telah di screenshot, atau catatan-catatan random yang sempat ditulis, namun mendadak terkejut melihat tanggal penulisan… “Awal tahun lalu silam!”
Cepat sekali berlalu waktu, namun nampak tak ada perkembangan apa-apa?
“Resolusi cuan, cuan!”
Semua harus instan, terburu-buru, sesak enggan menunggu proses.
Sementara sebagian ada dalam ruang gelap, merebah, sembari melamun memeluk lembaran-lembaran sesal. Teringat dengan amtsal Rene Descartes tentang pentingnya untuk berkontemplasi. Ibarat seseorang yang membawa sekeranjang apel, sementara ia yakin bahwa di dalamnya terdapat apel yang busuk, maka ia harus mengeluarkan semua apel yang ada di keranjang, memilih dan memilah guna memisahkan antara apel yang masih bagus dengan yang sudah busuk. Sudah terlalu lama hidup seorang mencomot beragam informasi, namun tidak dipilah mengenai kebenaran dari ragam informasi tersebut.
Kontemplasi musiman saban akhir tahun?
Seperti tak ada kesempatan untuk menepi, memilih melanjutkan kembali rutinitasnya tanpa merenungkan kembali apa yang menjadi tujuan hidupnya.
Penghujung Desember, malam ini hujan barulah reda. Saat membaca buku Jokpin berjudul Kabar Sukacinta, aku meletakkan pembatas bersebelah puisinya berjudul “Tukar Salam”,
Pada suatu sore yang religius
kumandang azan dan dentang
lonceng gereja berjumpa
dan bertukar salam di udara,
mendoakan kesembuhan
dan kewarasan umat manusia.
Ah, Jokpin! Aku malah jadi teringat pesan seorang Khatib di desaku, baru saja menyampaikan pada jamaah, “Berbhineka Tunggal Ika merupakan keharusan, Menjaga persatuan dan toleransi sesama merupakan keharusan, namun khatib menghimbau kepada para jamaah, agar jangan sekali-kali mengucapkan Selamat Hari Natal.” Sembari menyitir QS. 18: 42 yang ia pahami sebagai bentuk kemusyrikan.
Setiap akhir tahun fatwa-fatwa tersebut seakan menjadi alarm pengingat. Belum lagi potongan-potongan video penjelasan ustas yang tersebar melalui grup WhatsApp keluarga, yang dibaca di sela istirahat menikmati libur sekolah, menjelang tidur, sambil mengingat-ngingat gelaran bagi rapot, panitia dengan lahap makan snack, sementara siswa melayangkan protes perihal prosesi hingga tercium bau lambung serta perut yang sudah keroncongan, matanya melirik pada box snack yang terbuka setengah. Namun bukan jatahnya.