Bulan: Desember 2022

Buih Resolusi, Perbincangan Natal

aldiantara.kata

 

Natal sudah berlalu, namun apakah masih akan menyisakan pertanyaan-pertanyaan yang sama tahun depan? Mengendapkan kecurigaan-kecurigaan yang sama, bebal dan kepandiran yang sama, kefanatikan yang sama, fatwa keharaman yang sama meski dalam bingkai menghormati atau sekadar basa basi?

Sesudah tahun ini mencari jawaban, barangkali pemahaman terhadapnya diletakkan di atas air, yang digiring riak dari angsa-angsa danau berwarna putih. Tahun depan akan kembali mengulang pertanyaan yang sama, “Bolehkah mengucapkan”?

Portal berita media massa gemar mencari celah apa yang akan ramai, sementara jawaban yang dibaca kemudian ditinggal sibuk hingga kembali lupa untuk dipahami. Sepaham-pahamnya malah didapat dari penjelasan singkat, dangkal nan sempit.

Akhir tahun akan banyak orang beresolusi untuk tahun depan. Bak buih-buih, semua menjadi catatan dan status media sosial. Hidup terkadang perlu api yang sedikit membakar, perlu seonggok dendam untuk setidaknya memiliki tujuan hidup.

Membuka kembali apa yang sudah menjadi markah media-media sosial, inspirasi (sesaat) yang telah di screenshot, atau catatan-catatan random yang sempat ditulis, namun mendadak terkejut melihat tanggal penulisan… “Awal tahun lalu silam!”

Cepat sekali berlalu waktu, namun nampak tak ada perkembangan apa-apa?

“Resolusi cuan, cuan!”

Semua harus instan, terburu-buru, sesak enggan menunggu proses.

Sementara sebagian ada dalam ruang gelap, merebah, sembari melamun memeluk lembaran-lembaran sesal. Teringat dengan amtsal Rene Descartes tentang pentingnya untuk berkontemplasi. Ibarat seseorang yang membawa sekeranjang apel, sementara ia yakin bahwa di dalamnya terdapat apel yang busuk, maka ia harus mengeluarkan semua apel yang ada di keranjang, memilih dan memilah guna memisahkan antara apel yang masih bagus dengan yang sudah busuk. Sudah terlalu lama hidup seorang mencomot beragam informasi, namun tidak dipilah mengenai kebenaran dari ragam informasi tersebut.

Kontemplasi musiman saban akhir tahun?

Seperti tak ada kesempatan untuk menepi, memilih melanjutkan kembali rutinitasnya tanpa merenungkan kembali apa yang menjadi tujuan hidupnya.

Penghujung Desember, malam ini hujan barulah reda. Saat membaca buku Jokpin berjudul Kabar Sukacinta, aku meletakkan pembatas bersebelah puisinya berjudul “Tukar Salam”,

Pada suatu sore yang religius
kumandang azan dan dentang
lonceng gereja berjumpa
dan bertukar salam di udara,
mendoakan kesembuhan
dan kewarasan umat manusia.

Ah, Jokpin! Aku malah jadi teringat pesan seorang Khatib di desaku, baru saja menyampaikan pada jamaah, “Berbhineka Tunggal Ika merupakan keharusan, Menjaga persatuan dan toleransi sesama merupakan keharusan, namun khatib menghimbau kepada para jamaah, agar jangan sekali-kali mengucapkan Selamat Hari Natal.” Sembari menyitir QS. 18: 42 yang ia pahami sebagai bentuk kemusyrikan.

Setiap akhir tahun fatwa-fatwa tersebut seakan menjadi alarm pengingat. Belum lagi potongan-potongan video penjelasan ustas yang tersebar melalui grup WhatsApp keluarga, yang dibaca di sela istirahat menikmati libur sekolah, menjelang tidur, sambil mengingat-ngingat gelaran bagi rapot, panitia dengan lahap makan snack, sementara siswa melayangkan protes perihal prosesi hingga tercium bau lambung serta perut yang sudah keroncongan, matanya melirik pada box snack yang terbuka setengah. Namun bukan jatahnya.

Ritual Akhir Tahun, Membaca Kembali Gie

aldiantara.kata

Gie, aku kembali. Mengenangmu (lagi). Sebelum berpijak pada bulan ini, aku sempat kelimpungan mencari catatan harianmu yang sempat ketelingsut. Kucari pada rak buku yang belum kunjung bertambah jumlahnya, pada kantor lama di mana kini aku bekerja, hingga pasrah bahwa aku harus kembali membelinya lagi. Sudah bertahun-tahun aku memilikinya, aku hanya bayangkan tanda-tanda stabilo dan catatan pinggir yang pernah diselipkan di dalamnya. Lalu harus memulai lagi memberi tanda jika harus membeli lagi.

Ternyata…

Sepekan silam aku pulang, aku menemukan catatan harian itu terselip di rak buku rumah. Mama juga tak pernah bilang perihal bukuku yang ketinggalan.

Ah, membaca kembali catatan harianmu ini seakan sudah menjadi ritual wajib akhir tahun. Anggap sebagai perayaan ulang tahunmu? Sembari mendengar lagi lagu-lagu klasik (hujan deras yang turun sore tadi malam ini berangsur reda).

Lagu dalam playlist berhenti. Aku enggan beranjak. Tersisa suara dari aku yang membalikkan kertas dari catatan harianmu ini. Sunyi sekali,

Sesekali terdengar obrolan di luar rumah dari orang-orang yang sedang ronda. Aku seakan sedang ‘menghisap rokok’ dengan apa yang sedang kunikmati. Air putih pada botol minuman di atas meja yang tersisa untuk dua tiga tegukan.

“Kadang-kadang saya berpikir mengapa manusia harus kejam dan memeras orang-orang yang tidak berdaya?” (CSD, 16/07/1969)

“Malam itu amat manis. Simpati saya pada Ani yang gelisah dan ia banyak sekali bicara. Terasa persahabatan yang dekat dan dalam kegelisahan dia perlu banyak perhatian dan pengertian. Mungkin saya yang akan memberikan perhatian pada saat-saat yang sulit untuk Ani. Saya tak sampai hati membicarakan persoalan-persoalan emosional saya dengan Maria pada Ani (walaupun ada kebutuhan dari saya) karena justru dia-lah yang harus banyak bicara. Agar beban emosinya menjadi lebih ringan.” (CSD, 9/5/1969).

Waktu senggang kusempatkan pula untuk mencari hal baru dalam referensi lain, kusempatkan untuk membaca buku Daniel Dakhidae, Menerjang Badai Kekuasaan (Kompas) yang di dalamnya membahas Soe Hok Gie: Sang Demonstran, tapi ternyata kurang dan lebih aku sudah tahu informasi di dalamnya sebelumnya melalui referensi lain tentang Gie.

Ohya, bagaimana Gie pengalamanmu menjadi seorang dosen? Apakah sama sebalnya menghadapi sebagian mahasiswa yang malas membaca, berdiskusi, masuk kelas tanpa membawa ‘bahan bacaan’ sebelumnya? Zaman sudah banyak berubah Gie, pendidikan masih menjadi slogan yang dianggap penting, media sosial menjadi organ tubuh pelengkap manusia, yang kelimpungan ketika baterai menipis. Seakan layar-layar gawai yang terhubung wifi menjadi paru-paru ketiga.

Gie, apa kini kamu sedang bersama Maria? Menyiapkan perayaan natal? Apa Maria masih cemburuan seperti dulu ia terhadap Rina?

Malam ini juga aku banyak membaca cerita dalam catatanmu mengenai kepenatanmu saat menyelesaikan skripsi, namun pada akhirnya setelah sidang, justru kamu sendiri yang merasa kehilangan tentang dunia kampus: buku, pesta dan cinta, yang dianggap sudah selesai seiring dengan selesainya masa studi.

Mengikuti berita pada hari kelahiranmu beberapa waktu silam, ternyata banyak juga yang (masih) merayakan, mengenang, menyebut kembali kata-kata ajaib yang dicrop menjadi quote. Aku sendiri masih suka membayangkan ketekunanmu di kamar yang penuh nyamuk, penerangan yang seadanya, sementara yang tersisa adalah suara mesin tik yang menjadi saksi jembatan pengejawantahan pemikiranmu kala membuat suatu tulisan.

Bencana alam, sidang di layar kaca mengusut pembunuhan berencana seorang polisi, hingga konten-konten digital yang takkan berhenti menjadi asupan manusia. Penat rasanya. Barangkali awal-awal tahun depan aku mesti mencari lagi waktu untuk berkontemplasi di alam bebas. Melihat lagi lampu-lampu kota, kerlap-kerlipnya pada jarak yang jauh, sementara hembus angin kencang menggoda untuk tetap teruskan perjalanan.

Gie, sebelumnya tak pernah terbayangkan bukan, pada dunia yang sama, di mana kita tak pernah bertemu. Aku masih menjadi seorang yang gandrung membaca tulisan-tulisanmu. Sudah setengah abad di mana kau wafat, aku baru menyadari bahwa ada yang benar-benar abadi. Ada yang benar-benar mewarisi dan diwarisi.