aldiantara.kata
Seketika, melihat alir sungai Serayu. Jembatan yang menjadi penopang batas setiap ujungnya. Kota ini, yang bernama. Wilayah ini yang miliki fajar dan senja. Tempat ini, yang ramai dan sepi. Subur dan luas.
Di Kesugihan, bagaimana cara jelaskan sawah yang membentang. Pada ufuk yang buram, cerobong asap pabrik mengepul menafkahi langit.
Ada padi-padi itu tumbuh. Banyak petani-petani menyulap lahan menjadi pangan.
Tamu itu datang, mengetuk pintu gaib kota. Mendengarkan satu sisa lagu. Lagu dengan lirik yang sama. Pernah menjadi lagu kesukaan. Diselingi dengan percakapan yang asing, rencana yang menguap menjelang pulang.
Kota ini, sepertinya tak membutuhkan kemajuan untuk menjadi asri dan otentik. Ia juga tak perlu tercapture melalui gambar atau kata-kata.
Seperti kebisuan, aku lupa caranya menyapa keadaan. Apa nanti akan mengubah jalannya sejarah. Dikau pernah kemari? Melihat rumah-rumah sebagaimana aku menatap? Mengingatkan kepada masa-masa yang lalu?
Aku hendak menceritakan, bahwa pepohonan meninggi mendekati matahari, meski takkan sampai, ia akan mengering dan gugur, lalu menjadi puisi.
Bagaimana dengan mendoan panas yang dimakan saat perjalanan malam melewati terminal Adipala. Soto Sokaraja di alun-alun yang rela menunggu antri.
Gerimis mengundang kabut, Slarang yang dingin dilepas malam yang menjadikannya liar.
Dahulu kau berkata apa, aku harus menyimpan tanda yang akan kau singgahi. Aku sedemikian sibuk meraba tanah, apa ini bekas jejakmu?
Konon terdapat dua nasib bagi kata-kata. Ia akan terkubur dan menjadi kembang ingatan. Ataukah ia menjadi pesan yang diamini yang lain. Namun aku memilih kata-kata yang terasing dari nasib. Bersembunyi seperti ranting tipis yang enggan dihinggapi burung pagi.
Belum kutemukan titik pada akhir cerita. Zaman menjadi seperti kereta yang akan tiba membawaku berlari. Kini sudah tiba. Asinglah kata-kata. Cerita.
Menyukai ini:
Suka Memuat...