Aku hanya bertanya pada diriku sendiri. Apakah ihwal gawai, teknologi, dan jajarannya merupakan hal yang baru? Pada masa mendatang, apakah menggunakan gawai sama terbiasanya sebagaimana manusia makan dan berjalan.
Ongkos hari ini saja manusia seakan harus babak belur mengontrol diri mengatur waktu. Teralienasi dengan dirinya sendiri.
Bergelut dengan gawai, manusia menuntut perasaan. Melalui gawai, manusia sedang belajar agar tidak salah paham. Lalu terbawa pada dunia nyata.
Tulisanku sebelumnya berjudul “Ritjuh” harus kusinggung di sini.
Dalam sebuah percakapan, “Maaf, Pak. Sungguh minta maaf, aku benar-benar harus memegang hp, menjawab pesan ini.”
Apakah kalimat di atas merupakan suatu etika kesepakatan, kelak, kala harus menduakan teman nyata di hadapan?
Atau dunia terbagi dua, prioritas maya dan prioritas nyata.
Kemungkinan selanjutnya, orang ngga harus baper ketika ditinggal teman hadapnya cekikikan dengan gawai. Akhirnya, gawai jadi teman ketiga, kawan penengah, dalam keberduaan. Seperti halnya menjadi teman obrolan lain yang disapa secara bergantian.
Anggap sajalah seperti adegan threesome yang senyatanya bisa harmonis. Multitasking. Bergantian. Saling memuaskan setiap kebutuhan. Heuheuheuheu.
Sementara di sebuah sekolah, seorang guru sedang menjelaskan bagaimana etika bermedsos dan gawai kepada para murid. Agar para murid tidak hanya mendapat larangan atau hukuman ketika bermain dengan gawai dan bermedsos. (tulisan Ritjuh)
Menikmati pertemuan, menyembunyikan gawai. Asik membahas novel apa yang selesai habis dibaca kali pertama. (tulisan Ritjuh)
Apa kelak etika menggunakan gawai dan medsos menjadi pelajaran di sekolah?
Momen henpon rusak, sesekali jadi momen damai merasa hidup tenang nan enteng. Blas gamikirin apa-apa. Tapi nyatanya pun ngga bisa lama-lama. Aku tak bisa hidup seperti anak kecil yang nyamper teman dengan memanggil nama depan pagar rumah. Lagi.
Atau menjadi manusia yang mengidamkan keadaan di mana jalan komunikasi satu-satunya adalah melalui pertemuan atau tulisan surat. Agar setidaknya menjadi manusia yang sedikit punya sabar. Menikmati proses. Bertemu dengan jalan bicara lalu menepuk bahu teman, rintik droplet tak kuasa menahan tawa, mata yang sesekali peka terhadap suara sekitar dalam obrolan, mata yang sedikit berair, seperti memastikan kemanusiaannya.
Ongkos jalan menuju rumah berganti menjadi pulsa kuota. Tawa berganti emoticon. Sesungguhnya tak mewakili perasaan. Sekalipun pesan suara. Hanya melalui intonasi suara dikenal, ciri khas. Tak sejernih suara manusia yang terdengar merdu saat bangun tidur tiba-tiba ditamui, berbincang dengan orang rumah. Suara yang keluar ditangkap oleh telinga, tak lalui perantara apapun.
Pertemuan langsung seringkali memicu pertengkaran. Kini ditambah status medsos. Status WhatsApp yang menunjukkan foto teman yang sedang wisata saja sudah bikin iri dan salah paham. Apalagi singgung-menyinggung melalui diantarakata nya.
Apakah soal gawai dan medsos ini hal baru? Sekali lagi kubertanya pada diriku sendiri. Teknologi kukira harus jadi peacenologi. Peace = damai. Peacenologi = teknologi yang membawa kedamaian. Utopis memang. Kuncinya memang teknologi dan siapa penggunanya.
Kok bisa aku berkhayal memaksa teknologi lah yang harus punya perasaan. Hingga ketika mau upload status WhatsApp, akan ada peringatan dari aplikasi tersebut, “Yakin akan mengupdate status Anda? Status anda barangkali akan membuat kontak merasa iri.” Atau “Juminten memberikan reaksi negatif terhadap status Anda. Berkenan untuk menyapa Juminten?” nada-nada peringatan akan muncul seperti:
“Sepertinya berita yang akan anda unggah mengandung unsur hoax. Batalkan pengiriman?”
Apakah menjadi penting kelak, keluar grup WhatsApp setidaknya harus ada basa-basi agar tak terasa sedikit janggal. Semacam permohonan izin.
Apakah menjadi penting kelak, seseorang harus melihat dan merespon pesan-pesan pribadi terlebih dahulu sebelum niatan mengupdate status?
Satu sisi menjadi penting sebab kitab-kitab babon akhlak tentu tak mengakomodir aturan-aturan semacam ini.
Rasanya pun, sisi yang lain, manusia harus lebih cerdas dari kreasinya. Tidak menyerah kepada teknologi. Seakan segala hal yang menjadi kekurangan manusia harus menunggu dan menyerahkan pada kerja teknologi yang memudahkan, membuat segalanya instan, tentu dengan jalan biaya yang tak murah.
Manusia berbondong mencari jalan mudah. Mempermudah jalan kerja. Membanggakan hal-hal yang disebut modern.
Ah, entahlah. Mungkin aku yang terlalu sensitif.
Hingga suatu saat, peacenologi menegur seseorang.
“Yakin anda tetap tawar? Booking out gunakan dana prakerja?”
Menyukai ini:
Suka Memuat...