Bulan: Oktober 2020

Akhlak (7)

Oleh: Um Sab’ah

 

Akhlak dalam Islam sumbernya adalah agama dan bersifat ketuhanan. Tujuan dari akhlak yang bersifat ketuhanan, maka dengan akhlak seseorang hanya mengharapkan wajah Allah dan ridha-Nya Semata.

Diantaranya ada yang diperintahkan, seperti jujur dan berbuat baik, dan juga ada yang dilarang, seperti berdusta dan kikir, akhlak yang diperintahkan memiliki tingkatan-tingkatan dan yang dilarang juga memiliki tingkatan-tingkatan.

Betapapun seseorang berusaha memiliki akhlak yang baik, sesungguhnya tetap akan menjadi sebuah bentuk tanpa ruh selama pemiliknya tidak menginginkan wajah Allah dan ridha-Nya.

Maka tujuan dari akhlak bukanlah hanya sekedar ada wujud gambaran luarnya saja, tetapi pengaruhnya bersumber dari hati, dan asalnya adalah bersihnya batin, sehingga hati dapat menguasai seseorang, iman mendorongnya untuk akhlak yang baik, senantiasa berpegang teguh dengan keimanan karena itu merupakan ibadah.

Maulid Muhammad

Oleh: Abenza’idun

 

Malam ini,
Menggema sejuta shalawat.
Terdengar di seluruh penjuru jagat.
Terlantunkan oleh para hati beriman
penghuni bumi.
Oleh para malaikat penghuni langit.
Bahkan, Tuhan pun bersholawat.
Memperingati maulid Muhammad.
Nabi pembawa syafa’at.

Penutup segala Nabi.
Rasul penyempurna ajaran ilahi.
Manusia segala cahaya
Manusia segala cinta
Engkau Kekasih-Nya.
Engkau Kekasih-ku.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad…

Tegowanu, 28 Oktober 2020

Moncong

aldiantara.kata

 

Aku menulis apa malam ini.

Seseorang katakan padaku bila sudah memasuki bulan dengan akhiran –ber, pertanda telah masuk musim hujan. Siang tadi nyatanya tidak. Mendung segera berganti terik. Kabar langit yang diramal ‘jadian’ dengan hujan, harus disapu angin membuka jalan sinar surya.

Aku melihat sebuah video singkat sepasang kekasih yang berdansa di bawah hujan. Diberi efek hitam putih, kesan klasik, singkat terlihat memberi kesan romantis.  Meski kuulang, dengan pandangan sinis, aku tak sampai berharap keduanya disambar petir. Namun aku sedikit gemas, harapan saat hujan adalah bercinta! Jarang harus memaksa menerobos hujan kala di atas kendaraan seperti Dilan.

Hanya berteduh di sebuah toko yang tutup, kemudian melihat dari kejauhan bagaimana antrean khalayak di halte meski saat pandemi. Aku membayangkan bila ada seorang pejabat yang ikut di dalamnya. Dikenali. Kemudian berbincang banyak dengan tukang becak yang banyak tahu soal politik istana.

Dengan tiba-tiba, ide datang hampiri, sama tiba-tiba nya dengan kilat yang sesekali menyambar. Aku bergumam, kalau kau cari pejabat, carilah pada desak halte atau terminal bau kencing, pada hiruk pikuk sipil bercangkul, bukan di belakang sipil bersenjata lengkap. Lagi-lagi ide utopis!

Spontan pula, menjadikan pemerintahan bahan gunjingan pikiran, malah membuatku mengurutkan lagi sila-sila pancasila yang sebetulnya sudah di luar kepala. Namun dengan konyol aku malah berusaha mengurutkannya dari sila-5 ke-1, takut-takut kedapatan tak pakai masker di warung kopi, lalu beranjak diberi hukuman.

Ah andai APBN dipegang oleh rakyat, pejabat kemudian memunguti uang-uang pajak dari rumah ke rumah bila ada kebutuhan. Militer seharusnya berdiri di depan rakyat yang menggaji mereka, bukan di depan pemerintah. Agar moncong senjata bisa dengan benar diarahkan kemana.

Iya-iya selama ini kebijakan yang tak pro-rakyat disebabkan karena pemangku kebijakan kurang berolahraga? Selama ini media menyoroti mereka yang terlelap tidur kala rapat karena memang kurang berjalan kaki?

Alah. Moncongku ini! Aku harus segera mengalihkan topik yang membosankan ini pada urusan semula: bercinta!

Terlelap pada suatu siang, malah buatku mimpi basah keringat. Sebangunnya ku tak genap hingga sejam, nyatanya aku lupa arahkan kipas.

Aku juga lupa mengarahkan mimpi kepada apa yang aku sering bayangkan. Mimpi siang kadang kejam. Bila bablas, kadang sampai buat linglung apa ini langit fajar atau senja. Meski isi mimpi siang yang kadang serius, aku hanya percaya bahwa itu mimpi siang bolong.

Seorang perempuan tiba-tiba memintaku memuaskan keresahannya. Menjilati segala sepi, membuat tanda pada beberapa sesi bagian tubuh kehidupannya. Dipaksa melayani dirinya yang tlah terbaring di atas meja belajar, mata yang terpejam seolah menunggu permainanku berikutnya. Mata saling beradu. Cahaya minim arah temaram, ia tak malu-malu lagi rahasiakan kehidupan. Aku panasi dengan sentuhan titik rangsang sunyi yang belum orang lain jamah. Aku menyadari dia sedang berpuisi dalam sadarku. Aku hanya mencoba memancingnya dengan pelukan yang memberinya banyak referensi untuk tentukan diksi. Dia malah berdesah.

“Apa ini tak, apa-apa?” tanyaku.

“Kau tak perlu membayarnya.”

“Tapi kau pacar temanku, aku tak sedang ingin berkelahi.”

“Dunia tak cuma dibangun oleh kekuatan supranatural dan asumsi-asumsi yang logis-rasional, namun juga oleh rahasia perempuan yang takkan pernah terungkap.” Jelasmu.

Aku terbangun. Moncong senjataku sudah siaga. Cepat kusadari bahwa aku bukan seorang serdadu.

Ah, aku menulis apa malam ini. Aku sedang berada pada sebuah cafe dengan suasana hijau tanaman, perhatianku teralihkan lantaran gonggong dua anjing yang sedang bermain. Kasian si Oren kucing yang hanya melihat mereka dari jarak dekat.

Doggystyle! Doggystyle! Apa manusia sadari kontribusi anjing yang membuat hidup manusia terasa lebih menggairahkan?

Kebaikan versus Kebenaran

Oleh: Atropal Asparina

 

Tempe, Roti, dodol, dan makanan lainnya, apakah anda tahu bagaimana proses pembuatannya? Dan apa hubunganya dengan tema “Kebaikan versus Kebenaran” yang menjadi sajian utama tulisan ini? Demikianlah pertanyaan yang ditempatkan di awal menjadi salah satu metode supaya tulisan tetap dibaca.

Begini, sering terdengar bahwa dakwah—dalam artian seorang penceramah menyampaikan ajaran agama kepada khalayak—diibaratkan dengan hal-hal yang berbau produk dagangan. “Dakwah itu harus dikemas secara menarik… Jelas supaya orang tertarik kepada isi dakwah.” Begitulah salah satu bebauan produk dagangan itu. Sebagai sebuah pengibaratan tentu tidak ada yang salah. Malah justru kebijaksanaan para pedagang dalam menempatkan mana “kebenaran” dan di mana “kebaikan” penting ditiru dalam (ber)dakwah.

Kacang kedelai yang berasal dari Amerika Serikat itu, direbus dalam drum besar. Pasca matang, kedelai yang ingin mengelupaskan kulitnya ditumpahkan pada tolombong bambu. Kemudian—inilah—kedelai Amerika itu akan diinjak-injak oleh kaki-kaki berbulu lebat secara terus menerus sambil sesekali diguyur air bersih. Ketika ditanya “Kenapa dengan mesin?” jawabnya enteng, “Modal. Dan rasanya jadi lain”.

Sekarang tepug terigu meluncur, tersentak dan bersarang dalam ember besar. Dibantu beberapa teknik, bahan penyerta serta air yang sudah diolah, jadilah adonan roti sebesar karung-karung terigu yang berjejer di pinggir pabrik. Kemudian—inilah—adonan sebesar badan manusia tambun itu, langsung dipanggul, disimpan di pundak seorang pria paruh baya yang tak memakai baju untuk diantar ke ruang pemotongan yang penuh ibu-ibu. “Gerahnya…” begitulah jawaban saat ditanya kenapa ia tak memakai baju saat memanggul adonan roti.

Untuk dodol kita lewat saja. Jangan tanya kenapa. Intinya, itulah proses kebenaran makanan-makanan yang tak asing di lidah kita. Dapur-dapur kebenaran rapi ditempatkan dengan bijak, sehingga hanya diketahui oleh orang yang berniat untuk mengetahui—seperti saya yang sengaja main ke pabrik tempe atau roti. Bijaksananya mereka, yang disajikan dan “didagangkan” ke khalayak, bukan kebenaran itu, tapi kebaikan. Tempe yang begitu ekonomis dan bergizi, serta roti yang sangat cocok untuk orang sakit, itulah kebaikan-kebaikan yang dimaksud—misalnya.

Dalam dunia dakwah sekarang, yang terjadi justru sebaliknya. Etalase yang ditawarkan  kepada khalayak beramai-ramai dipenuhi oleh kebenaran. Sedangkan kebaikan entah disimpan di mana. Akhirnya dunia dakwah menjadi kancah perang yang sangat rentan ditumpangi berbagai kepentingan lain—politik misalnya?—yang semakin menambah riuh dunia dakwah kita—dari waktu ke waktu.

Padahal setiap dapur punya resep dan cara sendiri untuk menghasilkan makanan yang dinilainya baik. Alangkah pandir jika sesama pemilik  pabrik roti atau tempe ribut soal resep dan teknik membuat produknya. Dalam skala yang lebih kecil, setiap rumah juga punya cara sendiri-sendiri meramu dan menyiapkan santapannya sendiri. Jangankan soal agama, soal masak pun jika kebenaran yang selalu dibahas dan ditampilkan pada orang lain, maka kegegeran yang akan semerbak.

Entahah silakan dijawab, kebenaran yang menghasilkan kebaikan atau sebaiknya? Atau keduanya tidak bisa diturutkan begitu? Atau keduanya tidak bsa dipisah dengan kata “versus”? atau malah semuanya boleh dan sah-sah saja? Lagi-lagi semua berhak memberikan jawabannya sendiri. tapi bagi saya sebagai penutup begini.

Kebenaran proses pembuatan makanan dengan cara “tradisional-ahigienis” seperti tempe, roti, dodol, saus, bakso ikan, lada bubuk, dan seabreg lainnya  bukan berarti tanpa tantangan. Atas dasar higienisitas kesehatan dan keselamatan konsumen, cara-cara produksi makanan-makanan itu ramai digunjingkan dan beberapa diganti oleh serba mesin. Tapi bagi kaum bawah, itu artinya beberapa orang akan libur kerja, selamanya. Berarti memang, soal makanan semua pihak mempertimbangkan kebaikan yang dapat dihasilkan dengan caranya masing-masing.

Kecuali dunia dakwah kita, sebagai makanan rohani, yang pada saat bersamaan, masih ngotot bersikukuh dan terus hanya mempertimbangkan kebenaran masing-masing. Tanpa kita tahu di mana mereka menyimpan kebaikan-kebaikan yang sangat ditunggu oleh orang-orang goblok dan susah seperti saya.

Berulang-Ulang

Oleh: Atropal Asparina

 

Lagi-lagi mimpi-mimpi terkubur
Kemarin meninggi bagai kupu-kupu
atau layang-layang

Lama-lama meredup tak ubah kunang-kunang
Menyelinap tak mau diajak berandai-andai, berlari-lari

Tetangga bertanya-tanya
Sedikit-sedikit teman-teman meronta-ronta tiap-tiap waktu
Apalagi keluarga tak henti-henti berdoa, jampi-jampi

Keadaan-keadaan serentak menjadi alasan-alasan
Pandemi dituduh sebab-sebabnya
Padahal tubuh
Hanya lapuk dimakan leha-leha
Dibanting pikir-pikir panjang-panjang
Seakan diri
Telah mati sejak esok hari

Garut, 22 Oktober 2020
Pukul 02.30 WIB

Untuk Kau dan Aku Yang Sedang Mengepakkan Sayap

Oleh: @ncii.chan

 

Untuk kau-aku yang sedang mengepakkan sayap,
tadi, sambil menekuni emasnya langit di barat senja
kubayangkan, besama kita pulang dengan alunan
ah,bayangan. Kutitip saja salam dari teras kota
jangan lupa, sampaikan itu kepada sejak dan akan kita.

Untuk kau-aku yang sedang mengepakkan sayap,
kalau-kalau nanti kepakanmu melemah, rehatlah.
tak berarti itu kita tak gagah
tak berarti juga kita terlewat selangkah
tapi, kalau-kalau kita lelah, mari rehatlah

Untuk kau-aku yang sedang mengepakkan sayap,
nanti, andai tiba-tiba aku disergap rindu
jika boleh, beri izin aku mendengarmu,
atau tak usahlah kau tahu,
biar dalam doa syahdu kuajukan namamu.

Untuk kau-aku yang sedang mengepakkan sayap,
kuberitahu, lembaran surat yang kukumpulkan tak akan sampai
dan laguku tentangmu juga tak kunjung usai
bukan, bukan sebab aku jadikan ia selayak zikir,
tapi, syairku tentangmu memang tak menemukan akhir.

 

Yogyakarta, pertengahan 2015.

Akhlak (6)

Oleh: Um Sab’ah

 

Akhlak ada dua macam. Akhlak baik yang terpuji dan akhlak buruk yang tercela. Akhlak yang baik adalah adab dan keutamaan, dan terlahir darinya perkataan dan perbuatan yang indah, seperti jujur, sabar, murah hati, berbuat baik, memaafkan, mengutamakan orang lain, dan sebagainya.

Sedangkan akhlak yang buruk adalah adab yang jahat dan hina, dan terlahir darinya perkataan dan perbuatan yang buruk, seperti dusta, tergesa-gesa, bodoh, kikir, iri, zalim, tamak, dan sebagainya.

Ilmu akhlak dalam Islam berkisar antara mengatur akhlak manusia, memperingatkan manusia akan kebaikan, agar dapat melaksanakannya dan memperingatkan manusia akan keburukan, agar dapat menghindari atau meninggalkannya.

Ilmu akhlak itu adalah ilmu yang membahas tentang hukum yang dengannya dapat diketahui keutamaan-keutamaan agar manusia dapat berhias dengannya., Mengetahui hal-hal yang hina agar manusia dapat menghindar darinya dengan misi penyucian jiwa berdasarkan pada wahyu ilahi.

Peacenologi

Aku hanya bertanya pada diriku sendiri. Apakah ihwal gawai, teknologi, dan jajarannya merupakan hal yang baru? Pada masa mendatang, apakah menggunakan gawai sama terbiasanya sebagaimana manusia makan dan berjalan.

Ongkos hari ini saja manusia seakan harus babak belur mengontrol diri mengatur waktu. Teralienasi dengan dirinya sendiri.

Bergelut dengan gawai, manusia menuntut perasaan. Melalui gawai, manusia sedang belajar agar tidak salah paham. Lalu terbawa pada dunia nyata.

Tulisanku sebelumnya berjudul “Ritjuh” harus kusinggung di sini.

Dalam sebuah percakapan, “Maaf, Pak. Sungguh minta maaf, aku benar-benar harus memegang hp, menjawab pesan ini.”

Apakah kalimat di atas merupakan suatu etika kesepakatan, kelak, kala harus menduakan teman nyata di hadapan?

Atau dunia terbagi dua, prioritas maya dan prioritas nyata.

Kemungkinan selanjutnya, orang ngga harus baper ketika ditinggal teman hadapnya cekikikan dengan gawai. Akhirnya, gawai jadi teman ketiga, kawan penengah, dalam keberduaan. Seperti halnya menjadi teman obrolan lain yang disapa secara bergantian.

Anggap sajalah seperti adegan threesome yang senyatanya bisa harmonis. Multitasking. Bergantian. Saling memuaskan setiap kebutuhan. Heuheuheuheu.

Sementara di sebuah sekolah, seorang guru sedang menjelaskan bagaimana etika bermedsos dan gawai kepada para murid. Agar para murid tidak hanya mendapat larangan atau hukuman ketika bermain dengan gawai dan bermedsos. (tulisan Ritjuh)

Menikmati pertemuan, menyembunyikan gawai. Asik membahas novel apa yang selesai habis dibaca kali pertama. (tulisan Ritjuh)

Apa kelak etika menggunakan gawai dan medsos menjadi pelajaran di sekolah?

Momen henpon rusak, sesekali jadi momen damai merasa hidup tenang nan enteng. Blas gamikirin apa-apa. Tapi nyatanya pun ngga bisa lama-lama. Aku tak bisa hidup seperti anak kecil yang nyamper teman dengan memanggil nama depan pagar rumah. Lagi.

Atau menjadi manusia yang mengidamkan keadaan di mana jalan komunikasi satu-satunya adalah melalui pertemuan atau tulisan surat. Agar setidaknya menjadi manusia yang sedikit punya sabar. Menikmati proses. Bertemu dengan jalan bicara lalu menepuk bahu teman, rintik droplet tak kuasa menahan tawa, mata yang sesekali peka terhadap suara sekitar dalam obrolan, mata yang sedikit berair, seperti memastikan kemanusiaannya.

Ongkos jalan menuju rumah berganti menjadi pulsa kuota. Tawa berganti emoticon. Sesungguhnya tak mewakili perasaan. Sekalipun pesan suara. Hanya melalui intonasi suara dikenal, ciri khas. Tak sejernih suara manusia yang terdengar merdu saat bangun tidur tiba-tiba ditamui, berbincang dengan orang rumah. Suara yang keluar ditangkap oleh telinga, tak lalui perantara apapun.

Pertemuan langsung seringkali memicu pertengkaran. Kini ditambah status medsos. Status WhatsApp yang menunjukkan foto teman yang sedang wisata saja sudah bikin iri dan salah paham. Apalagi singgung-menyinggung melalui diantarakata nya.

Apakah soal gawai dan medsos ini hal baru? Sekali lagi kubertanya pada diriku sendiri. Teknologi kukira harus jadi peacenologi. Peace = damai. Peacenologi = teknologi yang membawa kedamaian. Utopis memang. Kuncinya memang teknologi dan siapa penggunanya.

Kok bisa aku berkhayal memaksa teknologi lah yang harus punya perasaan. Hingga ketika mau upload status WhatsApp, akan ada peringatan dari aplikasi tersebut, “Yakin akan mengupdate status Anda? Status anda barangkali akan membuat kontak merasa iri.” Atau “Juminten memberikan reaksi negatif terhadap status Anda. Berkenan untuk menyapa Juminten?” nada-nada peringatan akan muncul seperti:

Sepertinya berita yang akan anda unggah mengandung unsur hoax. Batalkan pengiriman?

Apakah menjadi penting kelak, keluar grup WhatsApp setidaknya harus ada basa-basi agar tak terasa sedikit janggal. Semacam permohonan izin.

Apakah menjadi penting kelak, seseorang harus melihat dan merespon pesan-pesan pribadi terlebih dahulu sebelum niatan mengupdate status?

Satu sisi menjadi penting sebab kitab-kitab babon akhlak tentu tak mengakomodir aturan-aturan semacam ini.

Rasanya pun, sisi yang lain, manusia harus lebih cerdas dari kreasinya. Tidak menyerah kepada teknologi. Seakan segala hal yang menjadi kekurangan manusia harus menunggu dan menyerahkan pada kerja teknologi yang memudahkan, membuat segalanya instan, tentu dengan jalan biaya yang tak murah.

Manusia berbondong mencari jalan mudah. Mempermudah jalan kerja. Membanggakan hal-hal yang disebut modern.

Ah, entahlah. Mungkin aku yang terlalu sensitif.

Hingga suatu saat, peacenologi menegur seseorang.

“Yakin anda tetap tawar? Booking out gunakan dana prakerja?”

Ziarah Elingan (Ngapaknese)

Oleh: Azki Khikmatiar

 

Kota sewu kembang kwe seberkas kecewa sing kudu dewek ziarahi bareng
Sadar sing ngambung sneng gur nyisakna sesak kebek pitakonan
Seneng sing nyenyak nang kuburan kur anjoge sewates aran tanpa arti

Perjalokan ngampura
Omongan maturnuwun
Nangisan selamet tinggal
Awean sampai jumpa
Dadi perayaan sing paling pait nang panggonan ora katon mata

Pandonganpandongan sederhana kayane teka dadi obat mujarab nyembuhna lara
Katakata sing pernah dewek sepakati bareng melu ngeja bahagia
Dalandalan sing pernah dewek lewati bareng gentenan guyoni rasa
Kabeh wis rampung!

Magelang, 12 Oktober 2020

 

Ziarah Ingatan

Kota sejuta bunga adalah seberkas
kecewa yang harus kita ziarahi bersama
Sadar yang terendus bahagia hanya menyisakan sesak penuh tanya
Renjana yang terlelap dalam pusara hanya berujung sebatas nama tanpa makna

Permintaan maaf
Ucapan terimakasih
Tangisan selamat tinggal
Lambaian sampai jumpa
Menjadi perayaan paling getir dalam singgasana tak kasat mata
Semuanya habis tak tersisa!

Doadoa sederhana seakan hadir
sebagai obat mujarab penyembuh luka
Katakata yang pernah kita sepakati
bersama ikut serta mengeja bahagia
Jalanjalan yang pernah kita lewati bersama
bergantian menertawakan rasa
Semuanya telah purna!

Puisi Hujan #8

Gerangan hujan mengetuk bumi tiba-tiba. Mengapa melalui jendela harus kuterawang menengadah. Saat hujan lima detik awal manusia bisu. Khusyu mendengar alun, sesekali membayangkan kendaraan yang basah buat tubuh menggigil.

Bila hujan ini direnungi sebagai sebuah kidung, dan puisi ini dibacakan secara mendatar, maukah seseorang mengaransemen ulang jalan hidup agar indah tak sebatas lagu kesunyian?

Bila tanganmu yang kembali kutarik sementara mataku melihat kepada punggungmu yang hendak berlari, maukah kau bawakan terlebih dahulu segelas air yang kelak menjadi temanku selepas kau menjemput takdirmu?

Bila hujan mengusap jejak langkahmu agar aku tak bisa mengikuti,  jangan bersedih sebab isak tangismu tlah tertinggal di banyak bekas baju sisa pelukan. Menuntunku menjadi pelabuhanmu meski enggan dikau bersuara apa sebab.

Izinkan aku menjadi hujan dalam deras dan rintiknya. Membuatmu tertegun sesaat, mengenangku lalu, dalam ketiadaan. Menyambut pelangi sebagai tanda permulaan baru. Terlupaku.