Oleh: Nabilah Nazar
“Dandannya jangan lama-lama ya, Ayah tunggu di depan”. Ucap Ayah sembari mengetuk pintu kamarku kemudian berjalan ke garasi di depan rumah.
“Oke, Yah.” Jawabku.
Bulan ini usia Ayah bertambah, terlahir bulan November 75 tahun yang lalu, semakin senja, namun matanya masih sangat awas, pendengarannya juga. Ayah masih sanggup mengendarai mobil VW Kodok merahnya untuk sekedar pergi ke kantor lamanya di Bekasi Barat.
Aku? Aku adalah seorang anak bungsu, perempuan dari tiga bersaudara, kedua abangku lelaki dan keduanya telah berpindah singgah bersama istri dan anaknya. Sekarang, dirumah hanya tinggal kami berdua, aku dan Ayah.
Jangan bertanya dimana Ibuku, karena beliau telah berpulang tiga puluh tahun yang lalu ketika ia melahirkanku. Dahulu Ibu sangat menginginkan seorang anak perempuan untuk melengkapi kebahagiannya karena sebelumnya telah melahirkan dua orang anak laki-laki, damba itu bersambut namun ia tidak pernah melihatnya.
Seorang ibu yang berharap selalu bersiap; baju bayi dan pita berwarna merah muda, sarung tangan dan sarung kaki bayi berhias kupu-kupu. Lalu selimut kecil berbahan kasmir yang hangat dan berat berwarna kopi susu telah dipersiapkan untuk menyambut kelahiranku. Namun sekali lagi, ia tak sempat melihat fantasi itu. Sebuah ironi, bukan?
“Cepet Dek, keburu siang nih” tambah Ayah.
Terdengar di halaman Ayah tengah menghidupkan mesin mobil tuanya, ia starter beberapa kali namun tak kunjung hidup, barangkali masih ada sisa gigil setelah Bekasi semalaman bermandi hujan.
“iya Yaah, bentaar!” aku bergerak tergesa dihadapan cermin, klip! Jarum pentul tuntas merekat setiap lipat kerudung biru pekat yang aku kenakan untuk membungkus kepalaku yang sedikit pusing pagi ini akibat begadang semalaman karena harus menuntaskan nilai murid-muridku di sekolah.
Aku telah siap sekarang, kerudung hingga celana berwarna senada, hanya sepatu yang berbeda, sepatu kulit sintetis berwarna putih gading yang retak di setiap tepinya, sepatu yang tampak kuat saja bisa rusak dan retak ketika kubawa menembus belukar Rawalumbu-Rawamangun setiap pagi dan sore. Sepatuku rusak karena suhu dan polusi, lantas bagaimana pikiran para pekerja di ibukota yang rusak karena ambisi?
Klakson mobil berbunyi 2 kali, Ayah telah sedia, kedua tangannya sigap menggenggam stir mobilnya. Aku bergegas keluar, lalu mengunci pintu dan pagar. Kubuka pintu mobil lalu duduk di depan disamping Ayah.
“Pintu, pagar sudah aman?” Tanya Ayah.
“Berees.”
“Bismillah” Ayah menginjak pedal gas dan kodok tua ini mulai melaju.
Aku tak tahu kemana pagi ini Ayah akan membawaku, agenda pagi ini begitu mendadak Ayah utarakan sehabis subuh sepulang dari masjid.
“Udah rame ya, Dek.” ucap Ayah sambil memalingkan wajahnya ke arahku.
“Kan tau sendiri Yaah minggu pagi, pasar tumpah.”
Setiap minggu pagi Jalan Rawalumbu jembatan 6 hingga 8 dipenuhi pedagang makanan hingga pakaian, ada juga beberapa yang menjual ikan hias dan anak-anak kelinci, yang jelas jalanan begitu ramai pagi ini.
“Jadi, kita mau sarapan di mana, Yah?”
“Kita makan di alun-alun aja, gimana? Udah lama juga Ayah ga kesana” jawab Ayah.
Mendengar kami akan menuju Alun-alun kota Bekasi pikiranku terheran-heran. Kenapa baru kali ini Ayah mengajakku pergi kesana? Seingatku Ayah selalu menghindari Alun-alun. Aku kemudian teringat kekecewaan pertamaku kepada Ayah, karena dulu ia tak ingin mendampingiku saat lomba baca puisi tingkat sekolah dasar yang diadakan di alun-alun, hingga pada akhirnya aku hanya didampingi oleh guru, dan Ayah hanya menjemput setibanya aku di sekolah.
“Tumben-tumbenan, Yah” ucapku.
Ayah hanya diam, pandangannya terlihat fokus, pundak dan punggungnya lebih tegang dari biasanya. Batinku bergumam,
“Äda apa?”
Lampu berpindah dari kuning ke hijau di Perempatan Kemang Pratama, kami belok ke kanan. Lurus dijalan Siliwangi menuju Simpang Cut Meutia. Sepagi itu keluh telah menggagahi kami, hawa yang beranjak panas, serta aroma yang menyengat dari truk sampah berderu menuju persemayamannya di Bantar Gebang.
”Yah, kenapa kok ke Alun-alun, kalo pengen sarapan kan di Kemang banyak yang jual jajanan? Lagi ga pengen Zuppa Zup?” aku penasaran.
Ayah menjawab, “Ayah pingin ziarah”
“Ziarah kemana, Yah? Makam Ibu? Kok ke Alun-Alun?” tanyaku heran.
“Ayah pingin ziarah ke makam Abah, Ayah juga kangen Ibumu’’
Jalanan yang riuh mendadak hening,
“Oh ya, Yah, kapan terakhir Ayah ziarah ke makam Abah?”
“Sehari sebelum Ibu melahirkanmu”
Lidahku tertahan, keingintahuanku terbungkam, meskipun banyak yang aku ingin tahu. Apa hubungan Ayah, mendiang Ibu, pusara kakek dan Alun-alun.
Matahari terasa sedepa begitu kami berhenti di perempatan Bendung Bekasi, lalu belok kiri menuju jalan Veteran, melewati Polres Metro Kota Bekasi, dan akhirnya sampailah pula di Alun-alun. Namun Ayah masih menginjak pedal gas sepeda mobilnya.
“Yah, kok kita ga berhenti di Alun-alun aja?” aku heran.
“Kita ke Masjid Agung Al-Barkah” jawab Ayah.
Tiba di Masjid, kami parkirkan mobil tua ini di tepi halaman, tepat dibawah bayangan pohon kurma yang menjulang.
“Masjidnya sepi, mungkin masih pagi.” gumamku.
Masjid besar ini nampak kokoh, berdiri dengan gagahnya dengan jubah yang anggun kehijauan. Membuat teduh setiap hamba yang bersujud, membuat nyaman setiap musafir yang mencoba merilis lelahnya.
Selepas keluar dari mobil, Aku melihat Ayah terpaku memandangi bangunan Masjid, matanya berkaca-kaca, seperti ada yang ingin Ayah tumpahkan segera.
“Ayah ambil wudhu dulu, Adek wudhu juga, sholat Dhuha dulu” ucap Ayah.
“Tapi Adek lagi libur Yah, Adek tunggu diluar aja” timpalku.
Ayah, melepas sandalnya lalu berjalan ke kanan masjid menuju tempat wudhu pria. Sementara aku melepas sepatu, lalu duduk di teras masjid.
Entah kenapa setiap masjid selalu memiliki daya tarik magis yang bisa membuat siapapun yang ada di dalamnya mengantuk. Lantai yang dingin, ruangan yang besar, udara yang sejuk, angin dari baling-baling besar di langit-langit bertiup lembut membuat kelopak mata ini berat, sungguh!
Aku masih memikirkan apa yang sesungguhnya terjadi dengan Ayahku di masa lalu, kenapa tempat ini menjadi begitu Ayah hindari. Oh ya dimana ia, dimana Ayahku?
Mataku mencari Ayah dari luar ruangan masjid, pintu gerbang yang luas memungkinkanku untuk melihat keseluruhan masjid dari luar, Aku melihatnya di sudut kanan shaf terdepan, kuperhatikan kening Ayahku rebah di lantai. Sujudnya lama sekali, tubuhnya bergetar, Ayah Nampak seperti menangis.
Dikedalaman hati ini bertanya, “Ayah ada apa? Lekas ceritakan kepadaku.”
Beberapa saat kemudian selepas doa-doa panjang, Ayah beranjak dari tempatnya bersila lalu berjalan kearahku. Matanya merah sembab, hidung Ayah yang bangir memerah seperti jambu air yang mulai masak. Ayah menepuk pundakku, mengatakan sesuatu dengan suaranya yang parau,
“Dek, ayo kita ke tempat Abah”
Aku hanya mengangguk, beranjak dan berjalan mengikuti Ayahku menuju bagian belakang masjid. Terdapat area pemakaman para tokoh Agama, tokoh masyarakat, hingga pejuang kemerdekaan, dan Abah, kakekku, ia bersemayam disana. Ini kali pertama Ayah mengajakku berziarah ke makam Abah. Tanpa berkata-kata, Ayah bersimpuh di tepi makam, menundukkan kepala dan berdoa.
Tangisnya pecah lagi, tapi kali ini aku mendengar suaranya. Baru kali ini aku melihat Ayah seperti ini, ia seperti membuncahkan segalanya. Belum tuntas aku berdoa, aku segera beringsut ke samping Ayah, mengusap punggung dan pundaknya hingga ia menuntaskan doa-doanya.
Selesai berdoa, ia memelukku. Kehangatan yang sama seperti yang pernah aku rasakan ketika aku melakukan kesalahan pada waktu kecil dulu. Dahulu biasanya, ketika aku melakukan kesalahan, Ayah tidak memarahiku, ia memelukku dan spontan saja aku merasa bersalah dan memohon maaf pada Ayahku, kebiasaan ini berhenti setelah aku beranjak dewasa.
Namun kali ini berbeda, Ayah berbisik lirih,
“Maafkan Ayah, Dek. Maafkan Ayah.”
Bukan lidahku yang menjawab permintaan maaf Ayah, tapi air mataku yang meluncur keluar. Aku menangis terisak, tanpa tahu apa yang sebenarnya Ayah tangisi, aku menangis hanya karena tak sanggup melihat Ayahku menangis.
Waktu menjadi sedemikian lambat, Ayah menangis di pundakku, airmatanya yang hangat merembes hingga ke hatiku. aku mengusap punggung Ayah hingga isak itu mereda. Ayah menyeka air matanya dengan saputangan lusuh berwarna abu yang selalu ia bawa kemanapun. Ayah pernah berkata,
“Sapu tangan ini dari Ibu, hadiah pernikahan tahun kedua.”
“Ayah laper, Dek, kita cari makan, yuk.”
Aku mengangguk tanpa berkata-kata, kami meninggalkan komplek pemakaman dan menuju ke seberang masjid. Banyak pedagang makanan disana, terlebih ini minggu pagi, Alun-alun begitu ramai.
Akhirnya kami memilih bubur Ayam, seperti biasanya Ayah tak menambahkan kacang dan aku tak suka daun bawang, kami pesan dua porsi, ditambah sate telur puyuh tiga tusuk, Ayah satu, Aku dua!
“Dek, Desember tahun ‘45 dulu Bekasi pernah menjadi lautan Api, Bekasi dibakar Inggris, ratusan rumah dibakar, ratusan keluarga menjadi abu, ribuan manusia kehilangan nyawanya, termasuk Abah. Abah begitu heroik, sebelum tentara Inggris merangsek memasuki kampung, Abah meminta Nenek untuk bersembunyi di rawa-rawa dekat kali Bekasi, bersama Ayah dalam gendongan yang saat itu baru berusia 2 Bulan.”
“Kau tahu, Dek? Api dapat menghanguskan apapun, namun Api tidak dapat menghanguskan keberanian. Itulah mengapa kota ini disebut Kota Patriot. Karena keberanian dan semangat rakyat Bekasi pantang surut, rakyat Bekasi selalu melawan dari segala bentuk penindasan yang dilakukan para penjajah.” ucap Ayah.
Aku hanya terdiam, mataku melihat kebawah, melihat ke tanah. Terbayang bahwa di setiap jengkal tanah ini sarat akan semangat perjuangan dan patah hati. Ya, patah hati. Karena dimana ada yang gugur, pasti ada yang ditinggalkan.
“Abah dan Ibumu adalah pahlawan yang sesungguhnya. Berkat Abah, Nenek dan Ayah sebagai generasi penerus selamat. Berkat Ibumu, dirimu sebagai jantung hatinya selamat dan tumbuh menjadi dambaan keluarga. Abah dan Ibumu sama-sama tak sempat melihat permatanya tumbuh.” tambah Ayah.
Mataku berkaca-kaca, mata Ayah juga. Mataku hanya menatap nanar segelas teh tawar. Aku menyadari bahwa hidup adalah soal berpindah, dari penderitaan satu ke penderitaan lainnya. Hidup hakikatnya adalah sebuah perjalanan menuju kematian, namun yang membedakannya ialah tidak semua manusia mati dengan bermartabat.
”Masjid itu, adalah tempat dimana Ayah dahulu melangsungkan ijab qabul dengan ibumu. Tempat yang bagi Ayah begitu Istimewa, namun sepeninggal Ibumu, Ayah selalu mengindari tempat ini, bahkan mengingatnya saja menjadi sesuatu yang menyakitkan. Ditinggalkan seseorang yang menjadi tempat bersandar, ditinggalkan pasangan hidup ketika dianugerahi sesuatu yang diidam-idamkan membuat dada Ayah menjadi sesak. Ketika melihat masjid itu Ayah melihat senyum Ibumu, ketika melihat masjid itu Ayah melihat ketulusan Ibumu saat melayani Ayah sepulang bekerja dan membesarkan kakak-kakakmu.
Sekarang Ayah telah berdamai dengan tempat ini, tempat kepedihan dan kebahagiaan bersemayam, tempat Abah berakhir dan kehidupan Ayah dengan Ibumu bermula. Kini, Ayah telah berdamai dengan diri sendiri.”
Lagi-lagi airmatanya jatuh, Ayah langsung menyekanya dengan saputangan yang hampir sepenuhnya basah. Kini aku mengerti apa yang berkecamuk di kedalaman Ayahku. Ia adalah pahlawanku, pahlawan kakak-kakak ku, pahlawan keluarga kami. Ayah meneruskan pengorbanan Ibuku, sebagaimana Nenek yang meneruskan pengorbanan Abah.
“Yah buburnya dingin nih, kerupuknya udah melempem.” ucapku.
Ayah mengambil sendok, menambahkan sedikit merica, menambahkan lagi kaldu, kecap manis, lalu mengaduknya.
”Bismillah.” ucap kami berdua kompak.
Bubur di mangkok ini terasa begitu asin, seperti airmata.
Menyukai ini:
Suka Memuat...