Bulan: November 2020

Puisi Hujan #11

aldiantara.kata

 

Hujan mengencani malam dengan intim. Tanpa busananya, memburu dengan gairah. Desahan bercinta mereka yang menjadi terapi sulit tidur. Kecuali trauma yang sulit disembuhkan. Atau kecemasan yang buat mata enggan terpejam. Dada yang tak berhenti berdebar. Hati tak kunjung bersabar. Dirimu yang tak jua sadar.

Langit hari kembali nyanyikan nada instrumental. Orkestra langit yang hanya bisa direkam manusia dengan alat-alat kekinian, tanpa bisa ditiru romansanya.

Meski rintik yang ditemani angin menggerakkan tirai-tirai jendela, mengapa suaranya tak sampai pada indera pendengaran. Tak terdengar. Apa mungkin ia terhalang pikiran manusia yang padat. Kesibukan yang menghiraukan sekeliling. Ambisi menjadi kapas menulikan. Hingga hirau kepada suara alam.

“Tidak. Ini adalah hal biasa. Apa mungkin kau sahaja lah yang tak punya kerja. Terlalu banyak waktu untuk menjadi peka. Tak biasa beraktifitas rutin.” Jawab waktu.

Seperti terdapat dua pilihan di masa depan, wajah pekerja dengan job deskripsi kerja yang sama, atau berhenti lantaran pekerjaan lama tersingkirkan tenaga muda.

Pada abad ini, mudah sekali orang menjadi iri. Senyum yang terlihat lewat feed medsos tak menularkan kebahagiaan bagi yang melihatnya. Pemandangan indah latar foto tak buat orang ingat penciptanya. Semakin menyadarkan agar kembali kepada rutinitas dan bekerja lebih keras! Dapat uang lalu cari pemandangan bagus.

Suara hujan kini tak lebih dari suara musik latar kafe yang berlalu. Hujan adalah isyarat alam yang ditakuti menjelang sore. “Keburu hujan.”

Adalah tanda orang panik selamatkan diri. “Yah.”

Hujan yang tak dinanti.

Bawa aku kembali kepada memori silam, bersama orang-orang yang berarti.

Hujan tlah kembali. Tidak lagi menyeruak wangi tanah. Tlah berganti dengan bau hand sanitizer.

Wangi hujan yang samar oleh bau tajam alkohol, kelamin dan pejuh. Sekaligus.

Akhlak (11)

Oleh: Um Sab’ah

 

Akhlak itu ada dua macam. Di antaranya ada yang berupa watak dan tabiat. Dengan memiliki watak, hal ini diperoleh tanpa dengan usaha dan jerih payah. Dalam sebuah hadis riwayat Imam Muslim. “Sesungguhnya pada dirimu ada dua perkara yang Allah swt. cintai keduanya, yaitu santun dan sabar.”

Maka yang seperti ini adalah keutamaan dan karunia dari Allah swt. barangsiapa yang tidak diberikan, maka seseorang diberi beban tanggung jawab untuk bersungguh-sungguh terhadap dirinya, sehingga akhirnya seseorang memiliki akhlak yang didapat dari hasil usaha, setelah dilakukan pembiasaan dan kesungguhan melakukannya, lalu dengan berjalannya waktu, akhlak tersebut akan berbalik menjadi tabiat yang stabil dan akhlak yang murni. Inilah macam akhlak yang kedua yaitu hasil dari usaha, diperoleh dengan usaha, dan beban yang berat, hingga menjadi tabiat dan karakter. Oleh karena itu dalam sabda Nabi saw., “Barangsiapa yang menjauhkan diri dari dosa, niscaya Allah swt. akan menjauhkan dirinya dari dosa, dan barang siapa yang merasa cukup terhadap kebutuhan dirinya, niscaya Allah swt. akan memberikan kecukupan baginya, dan barangsiapa yang berusaha sabar, niscaya Allah akan berikan akan memberikan kesabaran padanya, dan seseorang tidak diberikan satu pemberian yang lebih baik dan lebih luas, dari kesabaran.” (Muttafaq ‘Alaih).

Maka dengan murah hati akan menjadi orang yang pemaaf. Dengan enggan melakukan perbuatan buruk, maka seseorang akan menjauhi maksiat, demikian seterusnya dengan akhlak-akhlak yang lainnya. Ya Allah berilah kami hidayah dengan akhlak yang terbaik, tidak ada Dzat yang memberi petunjuk kepada akhlak terbaik kecuali Engkau dan palingkanlah dari kami akhlak yang buruk. Tidak ada Dzat yang dapat memalingkan dari kami akhlak yang buruk kecuali Engkau. Wallahu a’lam bishshawab.

Perempuan Asing

aldiantara.kata

 

Bila aku mengatakan “tiba-tiba”, diksi itu menurutku, tidak menurut semesta. Sebab aku tidak tahu proses yang terjadi di belakang. Di luar sepengetahuanku. Semua seakan terjadi begitu saja tanpa ada aba-aba. Waktu dan takdir menemukan titik temu, menemukanku. Terjadilah. Sesuatu.

Tiba-tiba.

Seorang perempuan asing mengucap salam via WhatsApp. Mengenalkan dirinya, lalu memintaku untuk menyimpan nomernya.

Saved. OK.”

“Wah. Terimakasih, Kak Al.”

(Taudarimana nomerku?)

Masih online. Aku penasaran apa maksud pembicaraan. Jemari dalam mode otomatis melihat foto profilnya. Kemampuanku yang cukup ahli dalam bahasa buaya menerjemahkan pandanganku ketika melihat foto profil sang gadis, “Menipu! Menipu! Barangkali wajahnya tak secantik fotonya.”

“Saya perwakilan dari panitia Pekan Raya Jurusan Quote dan Jiwa Sosialita 2020 bermaksud menyampaikan ulang rundown kegiatan. Berikut link pendaftarannya, Kak. Bersamaan pula, mohon bantuannya ya Kak untuk sebarkan informasi acara ini pada teman-teman Kakak angkatan 2013. Terimakasih banyak, Kak.”

“Iya. Kayanya udah ada yang share ini di grup angkatan.”

Ia kemudian mengucap terimakasih. Kubaca. Aku tak menjawab apapun.

Setelah menjadi alumni jurusan Quote dan Jiwa Sosialita, sepertinya organisasi mahasiswa jurusan ini semakin berkembang. Biasanya berkutat pada bedah buku dan seminar-seminar di teatrikal fakultas, tujuannya tentu untuk mencari quote-quote buku, lalu upload medsos dan dapat banyak like. Namanya juga jurusan Quote.

Tak lama kemudian, perempuan asing ini mengirim pesan baru. Isinya ia mulai dengan diksi yang cukup sopan. Cocok seperti slogan yang populer akhir-akhir ini dalam bahasa komunikasi, “Anda sopan, kami curiga.” Sembari mengingat rumus, jari jemariku mencoba menerka-nerka kemungkinan maksudnya, ia masih mengetik pesan setelah ucap permohonan maaf mohon bantu barusan.

Menawarkan produk? Sepertinya tidak.

Kampanye caleg? Sepertinya bukan orang part-tai.

Aha! Terkaan opsi ketiga yang masih bergumul dipikiran bersamaan satu detik dengan munculnya pesan baru darinya, permohonan dana! Ia bilang siapa tahu alumni berkenan bantu sumbang dana.

Memang, mengumpulkan quote banyak tokoh tidak bisa menutup kebutuhan kegiatan. Tapi ketika quote-quote itu muncul pada baju, tote bag & barang-barang lain tentu memiliki daya jual.

Masa pandemi ini memang tidak mudah mengajukan sponsorship. Hembuskan udara perhatian, berpura menanyakan berapa dana yang telah terkumpul sejauh ini. Membahas alternatif. Mencoba bermaksud berbagi pengalamanku sebelumnya, namun  di strata-satu dulu, acara jurusan begitu konservatif bahkan kurang terdengar gaungnya. Lantas, pengalaman apa yang bisa kubagi?

“Beberapa teman yang punya kegelisahan yang sama, menilai acara jurusan isinya cuma seminar dan khotbah dosen tanpa bantahan. Mahasiswa kurang baca, dosen kurang penelitian. Himpunan Mahasiswa Jurusan vacuum. Sama seperti keadaan Liga 1 sepakbola sekarang. Beku! Namun kupikir kala itu, mahasiswa tetap harus punya kegiatan. Dahulu segelintir mahasiswa yang dirasa punya kegelisahan yang sama memilih kegiatan penanaman pohon, dengan harap, semoga sahabat-sahabat mahasiswa jurusan Quote dan Jiwa sosialita ini dalam mencintai, menyayangi dan menyetubuhi alam tidak hanya berakhir pada mulut yang berbuih, overdosis quote! Hingga mabuk sempoyongan lalu kembali sibuk rebahan.”

“Biasanya kalau lakukan penanaman di Jogja, banyak orang menyarankan tempat di lereng Merapi. Namun kami tidak mau sekedar seremoni. Apalagi di tempat-tempat yang biasa orang banyak lakukan. Ketika itu, entah tiba-tiba konsep mestakung (semesta mendukung) itu nyata. Ketika kita punya suatu keinginan kuat, semesta seakan bersatu membantu mewujudkannya. Tiba-tiba kami dipertemukan dengan salah satu LSM di Yogyakarta, mereka menyarankan agar melakukan penanaman bersama masyarakat Petani di suatu tempat.”

Tidak biasanya aku berbicara banyak. Aku tahu diriku sebetulnya tak nyaman. Aku tak suka bercerita ini, takut terkesan agul, membanggakan diri, tapi aku harus berbicara yakinkan diriku, ini suatu sejarah yang harus disampaikan. Seseorang takkan sanggup melawan part-tai kuat yang mabuk kuasa di kampus cukup dengan perlawanan normatif-struktural. Cari alternatif, buat suatu perlawanan kultural.

Tapi aku cukup kagum perempuan asing ini masih online, aku merasa didengarkan. Meskipun aku tak tahu barangkali dia sibuk berkomunikasi dengan pihak lain. Aku seakan hendak menyampaikan pesan sebagai alumni jurusan Quote dan Jiwa Sosialita, ingin mengapresiasi acara panitia pekan raya 2020. Himpunan jurusan pada zamanku yang dikuasai partai kuning biru yang membawa status quo memang sudah sepatutnya dilawan! Bila tidak bisa melalui perlawanan struktural, memenangi pemilihan umum mahasiswa, mahasiswa harus bergerak mencari alternatif melawan kacung part-tai. Membuat kegiatan yang diinisiasi oleh mahasiswa non-organisasi, merangkul semua kalangan, berdiskusi, agar kelak pada waktu dalam menjalankan roda organisasi, jalankan dengan cara yang sehat. Sebagaimana kata Rendra, beda antara pemimpin dan penguasa.

“Kami menginisiasi kegiatan kala himpunan jurusan sedang mati suri. Meski kami tahu tidak ada suntikan dana dari fakultas, tapi teman-teman kami berani meminta dosen sumbangkan dananya, namun tujuan kegiatan kami jelas, kami lakukan survei ke lokasi masyarakat petani, lalu kami buatkan proposal sebaik-baiknya, sebenar-benarnya. Sebelum “bertamu” ke ruang dosen, teman-teman sudah berjualan di Sunmor untuk menambah uang kegiatan, hasil keuntungan lumayan mencapai 500k dalam dua hari berjualan. Belum dari uang sukarela teman-teman yang berkenan ikut kegiatan, sekitar 60 orang, juga mereka turut menyumbang. Lebih dari 2000k terkumpul tanpa anggaran dari fakultas yang sesungguhnya ada untuk kegiatan mahasiswa.”

“Betul, Kak. Meskipun dana yang masih kurang sebetulnya bisa ditutup dengan dana fakultas ketika nanti cair, selain dari sponsorship, sementara dengan menggalang dana iuran dari panitia dalam keadaan mendesak seperti ini toh tidak semua setuju.” timpal perempuan asing.

Perempuan asing lalu memintaku untuk bercerita lebih banyak soal penanaman. Ia merasa bersyukur ada pada masa himpunan jurusan kini lebih terbuka, baik kepada organisasi ekstra di luar ‘kuning biru’, juga kepada mahasiswa non organisasi ekstra.

“Ah, andai kita bisa ngobrolin ini secara langsung ya, Kak.”

“Betul. WA sangat terbatas.” timpalku dengan wajahku menghijau buaya. Namun obrolanku kadung serius.

Perempuan asing ini memintaku sekali lagi, untuk bercerita mengenai kegiatan penanaman silam.

Aku katakan bahwa penanaman yang dilakukan olehku dan teman-teman setidaknya sangat signifikan.

“Kok bisa, Kak?”

Setidaknya seorang tokoh masyarakat setempat katakan, bahwa kini mereka membutuhkan banyak pohon kelapa untuk mencegah abrasi pantai, setidaknya hal tersebut berdasar data penelitian ilmiah. Entah bagaimana Tuhan menggerakan kami untuk belajar menanam di sana. Setahun lalu aku pernah ikut kegiatan penanaman  di lereng Merapi. Namun, prosesi penanaman pohon di lereng Merapi dan di tempat kami lakukan kegiatan penanaman sangat berbeda. Caranya tidak normatif sebagaimana dalam buku-buku cara menanam pohon.

Seseorang yang menanam pohon di tempat di mana kami menanam itu harus tahu kapan hari baik dalam menanam. Masyarakat setempat meyakini, waktu menanam yang baik itu setidaknya pada dua hari raya besar: Idul Fitri dan Idul Adha. Masyarakat banyak menanam pada hari-hari besar. Namun menariknya, masih ada pula sebagian masyarakat yang meyakini, hari baik menanam itu ditentukan oleh perhitungan Jawa.

Seorang warga setempat katakan,

Niku nek nanem pohon setunggale nggih ngangge hitungan Jowo. Uwid, godhong, kembang, uwoh. Sa’derenge nanem niku diitung riyin, nek nanem ojo sampe tibo sa’liyane tibo uwoh. Nek diitung jumlah dino karo pasaran iku tibo uwid yo ojo dilakoni. Nek nandur ngenteni tibo uwoh. Nek taun iki saene nanem nggih dinten kemis utowo jemuah pon atau jemuah pahing. Dados itungan Jowo dino lan pasaran kui tujuane kanggo ngadohake homo lan sing ditandur bisane urip subur akeh uwoh-uwohane.

(“itu kalau menanam pohon salah satunya ya menggunakan perhitungan Jawa. Uwid (pohon), godhong (daun), kembang (bunga), uwoh (buah). Sebelum menanam itu dihitung dulu, kalau menanam jangan sampai jatuh selain tibo uwoh (buahnya lebat). Jadi kalau menanam harus menunggu tibo uwoh. Tahun sekarang bagusnya menanam pada hari Kamis atau Jumat Pon atau Pahing. Jadi perhitungan Jawa hari dan pasaran itu tujuannya untuk menjauhkan hama dan yang ditanam agar tumbuh subur dan banyak buahnya.”)

Setelah ditentukan hari baik, idealnya seorang yang hendak menanam tidak boleh tidur pada hari tanam. Sebelum melakukan penanaman, harus dalam keadaan suci (berwudhu), melakukan kumandang adzan dan iqamah, dan dzikir-dzikir tertentu. Masyarakat menganggap penanaman merupakan prosesi sakral, memperlakukan tanaman sebagaimana manusia yang lahir. Cuaca ketika itu sedikit mendung. Tidak ada yang tidak merinding kala itu.

Menariknya, seorang petani sepuh bilang, “kalau mau tanamannya kokoh, ketika menanam, penis harus dikempit.” Ada pula yang katakan, ketika menanam, harus sembari menggendong anak kecil, seperti sebuah keyakinan dan harap, agar tanaman tumbuh subur dan berbuah lebat.

Kegiatan memang tidak selancar yang diceritakan. Banyak kekhawatiran sebelumnya, bahwa masyarakat yang kami kunjungi, tanah yang kami lakukan penanaman di atasnya merupakan tanah sengketa antara masyarakat dengan aparat TNI-AD. Secara tidak langsung, di samping penanaman bertujuan untuk mencegah abrasi, juga secara tidak langsung sebagai bentuk solidaritas, bahwa tanah tempat menanam merupakan tanah milik masyarakat, bukan milik militer. Dzikir yang dibacakan ketika menanam bukan dzikir dalam rangka menghindari hama dan meningkatkan kualitas hasil penanaman, juga tolak bala. Kenyataannya setelah beberapa waktu setelah penanaman oleh petani setempat dibantu oleh para mahasiswa, ada seorang militer yang mencabut kelapa, tidak lama kemudian terkena bala, istrinya meninggal. Seorang militer tersebut lantas datang mengunjungi tokoh masyarakat dan meminta maaf.

Beberapa hari kemudian,

Status WA. Perempuan asing membuat satu status salah satu kegiatan seminar nasional dengan caption, “Sukses!”

(gumam hati, nomerku disave-nya.)

“Selamat!” aku berkomentar.

“Alhamdulillah, Kak. Dana terpenuhi. Lancar jaya.”

“Alhamdulillah. Uang dari fakultas cair?”

“Ngga, Kak. Kami panitia akhirnya jual semacam kaos marchandise.”

Perempuan asing mengirimi foto baju. Baju tersebut bertuliskan, “Rektor kampus kami bukan Guru besar, tapi Pebisnis kelas kakap.”

“Aku heran, Kak, kok bisa kaos yang justru tidak ada hubungan dengan acara malah laku keras.”

“Ohya, Kak.” Lanjut perempuan asing.

“Namaku Farah, aku laki-laki, Kak. Mohammad Farah. Mohon maaf, foto profil kupakai foto pacarku, Kak.”

Aku hanya menjawab dengan emoticon senyum.

Brainsex! Ngapain aku harus tiktokan chat dengan cowok yang dalam pikirku dia adalah seorang perempuan!?

Kublok.

Tuntut(an)

Oleh: Alqasam

 

Bagi muda/mudi berumur 20an, pertanyaan kapan nikah lazim ditanyakan oleh saudara, teman bahkan orang asing dalam bis. Sebagian menjawabnya dengan tenang, sebagian lain hanya mampu menghela napas panjang. Bahkan dinobatkan sebagai pertanyaan terhoror bagi kaum rebahan plus jomblo ngenes. Jangankan ditanya langsung, membayangkan ditanya saja sudah cukup membuat hati resah gundah gulana. Padahal kita paham bahwa setiap orang punya garis waktunya sendiri, takdirnya sendiri dan nasibnya sendiri.

Mungkin kita terlalu lama masuk sekolah formal dimana setiap orang akan naik kelas dalam kurun waktu yang sama, menjalani takdir yang sama, seragam, serupa. Sehingga tertanam keyakinan semua akan menikah dalam waktu berbareng. Padahal ada yang menikah umur 23 tahun punya anak umur 25, ada yang menikah umur 25 punya anak umur 23.

Tidak bisa dipungkiri, meliat anaknya menikah adalah impian setiap orang tua, menggendong cucu selagi sehat adalah nikmat yang mereka dambakan. Harapan ini disematkan kepada anaknya. Jika menikah adalah sebuah  tuntutan, maka bijaklah untuk menanggapinya.

Jangan sampai menikah karena tuntutan orang lain dan berharap mereka bahagia setelah itu. Ingatlah akan datang tuntutan sosial lain setelah menikah, seperti: punya anak, rumah, motor, mobil, kulkas, tv, dll. Seperti boneka matryoshka yang selalu menyimpan boneka lain setiap kali membukanya.

Bagi yang telah menikah selamat berbahagia dan bagi kaum jomblo selamat berjuang. Laluilah setiap fase kehidupan dengan bijak, sehingga kita bisa menanggapi segala macam “tuntunan” dengan baik dan bijak.

Investasi Bodong

Oleh: Karina RSF

 

Aku disini menjadikanmu darah daging,
Para kolektor sudang gulung tikar
Tapi aku, tetap dengan kebodohanku

Di penghujung musim panas,
Saat angin menghembuskan asap durimu
Saat para kelelawar menertawakan kebodohanku

Tapi aku,
Selalu bertulikan nafsu
Aku, sedang menabung bencana
Bencana yang kau undang dari durimu

Kalaulah kau itu tikus
Pasti ular merangkak lari
Karena durimu menarik nadinya secara perlahan

Ingatan

Oleh: Hilmy Dzulfadli

 

Tiba pengelana tua mengetuk
Wajahnya kusut terbalut
Tajamnya malam, bersamanya hinggap
Sebuah masa, orang tak lagi ingat
Itu banjir darah, bibirnya

Merah terlontar sumpah serapah
Saat kukecup mesra
Basah, merekah
Ah…

Sorot matanya terkokang
Senjata, nyanyian parade tawa luka
Keras tangannya merengkuhku
Layaknya tembok penjara, ditopang
Campuran peluh, jarinya

Menyibak untaian rambutku pelan
Namun terasa, guratan keras menyembul
Hasil terpaan kekuasaan

Kuajak kakinya melangkah ke lorong
Berselimut duka, diterangi lampu redup
Beberapa saja
Menyala riuh rendah, tubuhnya

Terlentang meregang
Pagar sekitarnya adalah nisan
Tak bernama, lapuk
Dimakan tangis yang hilang
Suaranya, saat

Kukecup bibir merahnya
Lagi, tersiar kabar aneh
Orang orang berang, kala
Kami meradang

 

2015

Yang Membuncah

Oleh: Nabilah Nazar

 

“Dandannya jangan lama-lama ya, Ayah tunggu di depan”. Ucap Ayah sembari mengetuk pintu kamarku kemudian berjalan ke garasi di depan rumah.

“Oke, Yah.” Jawabku.

Bulan ini usia Ayah bertambah, terlahir bulan November 75 tahun yang lalu, semakin senja, namun matanya masih sangat awas, pendengarannya juga. Ayah masih sanggup mengendarai mobil VW Kodok merahnya untuk sekedar pergi ke kantor lamanya di Bekasi Barat.

Aku? Aku adalah seorang anak bungsu, perempuan dari tiga bersaudara, kedua abangku lelaki dan keduanya telah berpindah singgah bersama istri dan anaknya. Sekarang, dirumah hanya tinggal kami berdua, aku dan Ayah.

Jangan bertanya dimana Ibuku, karena beliau telah berpulang tiga puluh tahun yang lalu ketika ia melahirkanku. Dahulu Ibu sangat menginginkan seorang anak perempuan untuk melengkapi kebahagiannya karena sebelumnya telah melahirkan dua orang anak laki-laki, damba itu bersambut namun ia tidak pernah melihatnya.

Seorang ibu yang berharap selalu bersiap; baju bayi dan pita berwarna merah muda, sarung tangan dan sarung kaki bayi berhias kupu-kupu. Lalu selimut kecil berbahan kasmir yang hangat dan berat berwarna kopi susu telah dipersiapkan untuk menyambut kelahiranku. Namun sekali lagi, ia tak sempat melihat fantasi itu. Sebuah ironi, bukan?

“Cepet Dek, keburu siang nih” tambah Ayah.

Terdengar di halaman Ayah tengah menghidupkan mesin mobil tuanya, ia starter beberapa kali namun tak kunjung hidup, barangkali masih ada sisa gigil setelah Bekasi semalaman bermandi hujan.

“iya Yaah, bentaar!” aku bergerak tergesa dihadapan cermin, klip! Jarum pentul tuntas merekat setiap lipat kerudung biru pekat yang aku kenakan untuk membungkus kepalaku yang sedikit pusing pagi ini akibat begadang semalaman karena harus menuntaskan nilai murid-muridku di sekolah.

Aku telah siap sekarang, kerudung hingga celana berwarna senada, hanya sepatu yang berbeda, sepatu kulit sintetis berwarna putih gading yang retak di setiap tepinya, sepatu yang tampak kuat saja bisa rusak dan retak ketika kubawa menembus belukar Rawalumbu-Rawamangun setiap pagi dan sore. Sepatuku rusak karena suhu dan polusi, lantas bagaimana pikiran para pekerja di ibukota yang rusak karena ambisi?

Klakson mobil berbunyi 2 kali, Ayah telah sedia, kedua tangannya sigap menggenggam stir mobilnya. Aku bergegas keluar, lalu mengunci pintu dan pagar. Kubuka pintu mobil lalu duduk di depan disamping Ayah.

“Pintu, pagar sudah aman?” Tanya Ayah.

“Berees.”

“Bismillah” Ayah menginjak pedal gas dan kodok tua ini mulai melaju.

Aku tak tahu kemana pagi ini Ayah akan membawaku, agenda pagi ini begitu mendadak Ayah utarakan sehabis subuh sepulang dari masjid.

“Udah rame ya, Dek.” ucap Ayah sambil memalingkan wajahnya ke arahku.

“Kan tau sendiri Yaah minggu pagi, pasar tumpah.”

Setiap minggu pagi Jalan Rawalumbu jembatan 6 hingga 8 dipenuhi pedagang  makanan hingga pakaian, ada juga beberapa yang menjual ikan hias dan anak-anak kelinci, yang jelas jalanan begitu ramai pagi ini.

“Jadi, kita mau sarapan di mana, Yah?”

“Kita makan di alun-alun aja, gimana? Udah lama juga Ayah ga kesana” jawab Ayah.

Mendengar kami akan menuju Alun-alun kota Bekasi pikiranku terheran-heran. Kenapa baru kali ini Ayah mengajakku pergi kesana? Seingatku Ayah selalu menghindari Alun-alun. Aku kemudian teringat kekecewaan pertamaku kepada Ayah, karena dulu ia tak ingin mendampingiku saat lomba baca puisi tingkat sekolah dasar yang diadakan di alun-alun, hingga pada akhirnya aku hanya didampingi oleh guru, dan Ayah hanya menjemput setibanya aku di sekolah.

“Tumben-tumbenan, Yah” ucapku.

Ayah hanya diam, pandangannya terlihat fokus, pundak dan punggungnya lebih tegang dari biasanya. Batinku bergumam,

“Äda apa?”

Lampu berpindah dari kuning ke hijau di Perempatan Kemang Pratama, kami belok ke kanan. Lurus dijalan Siliwangi menuju Simpang Cut Meutia. Sepagi itu keluh telah menggagahi kami, hawa yang beranjak panas, serta aroma yang menyengat dari truk sampah berderu menuju persemayamannya di Bantar Gebang.

”Yah, kenapa kok ke Alun-alun, kalo pengen sarapan kan di Kemang banyak yang jual jajanan? Lagi ga pengen Zuppa Zup?” aku penasaran.

Ayah menjawab, “Ayah pingin ziarah”

“Ziarah kemana, Yah? Makam Ibu? Kok ke Alun-Alun?” tanyaku heran.

“Ayah pingin ziarah ke makam Abah, Ayah juga kangen Ibumu’’

 

Jalanan yang riuh mendadak hening,

 

“Oh ya, Yah, kapan terakhir Ayah ziarah ke makam Abah?”

“Sehari sebelum Ibu melahirkanmu”

Lidahku tertahan, keingintahuanku terbungkam, meskipun banyak yang aku ingin tahu. Apa hubungan Ayah, mendiang Ibu, pusara kakek dan Alun-alun.

Matahari terasa sedepa begitu kami berhenti di perempatan Bendung Bekasi, lalu belok kiri menuju jalan Veteran, melewati Polres Metro Kota Bekasi, dan akhirnya sampailah pula di Alun-alun. Namun Ayah masih menginjak pedal gas sepeda mobilnya.

“Yah, kok kita ga berhenti di Alun-alun aja?” aku heran.

“Kita ke Masjid Agung Al-Barkah” jawab Ayah.

Tiba di Masjid, kami parkirkan mobil tua ini di tepi halaman, tepat dibawah bayangan pohon kurma yang menjulang.

“Masjidnya sepi, mungkin masih pagi.” gumamku.

Masjid besar ini nampak kokoh, berdiri dengan gagahnya dengan jubah yang anggun kehijauan. Membuat teduh setiap hamba yang bersujud, membuat nyaman setiap musafir yang mencoba merilis lelahnya.

Selepas keluar dari mobil, Aku melihat Ayah terpaku memandangi bangunan Masjid, matanya berkaca-kaca, seperti ada yang ingin Ayah tumpahkan segera.

“Ayah ambil wudhu dulu, Adek wudhu juga, sholat Dhuha dulu” ucap Ayah.

“Tapi Adek lagi libur Yah, Adek tunggu diluar aja” timpalku.

Ayah, melepas sandalnya lalu berjalan ke kanan masjid menuju tempat wudhu pria. Sementara aku melepas sepatu, lalu duduk di teras masjid.

Entah kenapa setiap masjid selalu memiliki daya tarik magis yang bisa membuat siapapun yang ada di dalamnya mengantuk. Lantai yang dingin, ruangan yang besar, udara yang sejuk, angin dari baling-baling besar di langit-langit bertiup lembut membuat kelopak mata ini berat, sungguh!

Aku masih memikirkan apa yang sesungguhnya terjadi dengan Ayahku di masa lalu, kenapa tempat ini menjadi begitu Ayah hindari. Oh ya dimana ia, dimana Ayahku?

Mataku mencari Ayah dari luar ruangan masjid, pintu gerbang yang luas memungkinkanku untuk melihat keseluruhan masjid dari luar, Aku melihatnya di sudut kanan shaf terdepan, kuperhatikan kening Ayahku rebah di lantai. Sujudnya lama sekali, tubuhnya bergetar, Ayah Nampak seperti menangis.

Dikedalaman hati ini bertanya, “Ayah ada apa? Lekas ceritakan kepadaku.”

Beberapa saat kemudian selepas doa-doa panjang, Ayah beranjak dari tempatnya bersila lalu berjalan kearahku. Matanya merah sembab, hidung Ayah yang bangir memerah seperti jambu air yang mulai masak. Ayah menepuk pundakku, mengatakan sesuatu dengan suaranya yang parau,

“Dek, ayo kita ke tempat Abah”

Aku hanya mengangguk, beranjak dan berjalan mengikuti Ayahku menuju bagian belakang masjid. Terdapat area pemakaman para tokoh Agama, tokoh masyarakat, hingga pejuang kemerdekaan, dan Abah, kakekku, ia bersemayam disana. Ini kali pertama Ayah mengajakku berziarah ke makam Abah. Tanpa berkata-kata, Ayah bersimpuh di tepi makam, menundukkan kepala dan berdoa.

Tangisnya pecah lagi, tapi kali ini aku mendengar suaranya. Baru kali ini aku melihat Ayah seperti ini, ia seperti membuncahkan segalanya. Belum tuntas aku berdoa, aku segera beringsut ke samping Ayah, mengusap punggung dan pundaknya hingga ia menuntaskan doa-doanya.

Selesai berdoa, ia memelukku. Kehangatan yang sama seperti yang pernah aku rasakan ketika aku melakukan kesalahan pada waktu kecil dulu. Dahulu biasanya, ketika aku melakukan kesalahan, Ayah tidak memarahiku, ia memelukku dan spontan saja aku merasa bersalah dan memohon maaf pada Ayahku, kebiasaan ini berhenti setelah aku beranjak dewasa.

Namun kali ini berbeda, Ayah berbisik lirih,

“Maafkan Ayah, Dek. Maafkan Ayah.”

Bukan lidahku yang menjawab permintaan maaf Ayah, tapi air mataku yang meluncur keluar. Aku menangis terisak, tanpa tahu apa yang sebenarnya Ayah tangisi, aku menangis hanya karena tak sanggup melihat Ayahku menangis.

Waktu menjadi sedemikian lambat, Ayah menangis di pundakku, airmatanya yang hangat merembes hingga ke hatiku. aku mengusap punggung Ayah hingga isak itu mereda. Ayah menyeka air matanya dengan saputangan lusuh berwarna abu yang selalu ia bawa kemanapun. Ayah pernah berkata,

“Sapu tangan ini dari Ibu, hadiah pernikahan tahun kedua.”

“Ayah laper, Dek, kita cari makan, yuk.”

Aku mengangguk tanpa berkata-kata, kami meninggalkan komplek pemakaman dan menuju ke seberang masjid. Banyak pedagang makanan disana, terlebih ini minggu pagi, Alun-alun begitu ramai.

Akhirnya kami memilih bubur Ayam, seperti biasanya Ayah tak menambahkan kacang dan aku tak suka daun bawang, kami pesan dua porsi, ditambah sate telur puyuh tiga tusuk, Ayah satu, Aku dua!

“Dek, Desember tahun ‘45 dulu Bekasi pernah menjadi lautan Api, Bekasi dibakar Inggris, ratusan rumah dibakar, ratusan keluarga menjadi abu, ribuan manusia kehilangan nyawanya, termasuk Abah. Abah begitu heroik, sebelum tentara Inggris merangsek memasuki kampung, Abah meminta Nenek untuk bersembunyi di rawa-rawa dekat kali Bekasi, bersama Ayah dalam gendongan yang saat itu baru berusia 2 Bulan.”

“Kau tahu, Dek? Api dapat menghanguskan apapun, namun Api tidak dapat menghanguskan keberanian. Itulah mengapa kota ini disebut Kota Patriot. Karena keberanian dan semangat rakyat Bekasi pantang surut, rakyat Bekasi selalu melawan dari segala bentuk penindasan yang dilakukan para penjajah.” ucap Ayah.

Aku hanya terdiam, mataku melihat kebawah, melihat ke tanah.  Terbayang bahwa di setiap jengkal tanah ini sarat akan semangat perjuangan dan patah hati. Ya, patah hati. Karena dimana ada yang gugur, pasti ada yang ditinggalkan.

“Abah dan Ibumu adalah pahlawan yang sesungguhnya. Berkat Abah, Nenek dan Ayah sebagai generasi penerus selamat. Berkat Ibumu, dirimu sebagai jantung hatinya selamat dan tumbuh menjadi dambaan keluarga. Abah dan Ibumu sama-sama tak sempat melihat permatanya tumbuh.” tambah Ayah.

Mataku berkaca-kaca, mata Ayah juga. Mataku hanya menatap nanar segelas teh tawar. Aku menyadari bahwa hidup adalah soal berpindah, dari penderitaan satu ke penderitaan lainnya. Hidup hakikatnya adalah sebuah perjalanan menuju kematian, namun yang membedakannya ialah tidak semua manusia mati dengan bermartabat.

”Masjid itu, adalah tempat dimana Ayah dahulu melangsungkan ijab qabul dengan ibumu. Tempat yang bagi Ayah begitu Istimewa, namun sepeninggal Ibumu, Ayah selalu mengindari tempat ini, bahkan mengingatnya saja menjadi sesuatu yang menyakitkan. Ditinggalkan seseorang yang menjadi tempat bersandar, ditinggalkan pasangan hidup ketika dianugerahi sesuatu yang diidam-idamkan membuat dada Ayah menjadi sesak. Ketika melihat masjid itu Ayah melihat senyum Ibumu, ketika melihat masjid itu Ayah melihat ketulusan Ibumu saat melayani Ayah sepulang bekerja dan membesarkan kakak-kakakmu.

Sekarang Ayah telah berdamai dengan tempat ini, tempat kepedihan dan kebahagiaan bersemayam, tempat Abah berakhir dan kehidupan Ayah dengan Ibumu bermula. Kini, Ayah telah berdamai dengan diri sendiri.”

Lagi-lagi airmatanya jatuh, Ayah langsung menyekanya dengan saputangan yang hampir sepenuhnya basah. Kini aku mengerti apa yang berkecamuk di kedalaman Ayahku. Ia adalah pahlawanku, pahlawan kakak-kakak ku, pahlawan keluarga kami. Ayah meneruskan pengorbanan Ibuku, sebagaimana Nenek yang meneruskan pengorbanan Abah.

“Yah buburnya dingin nih, kerupuknya udah melempem.” ucapku.

Ayah mengambil sendok, menambahkan sedikit merica, menambahkan lagi kaldu, kecap manis, lalu mengaduknya.

”Bismillah.” ucap kami berdua kompak.

Bubur di mangkok ini  terasa begitu asin, seperti airmata.

Semut Revolusioner

aldiantara.kata

 

Sejak kecil aku terbiasa disuguhkan film-film dokumenter semacam Harun Yahya, di dalamnya menjelaskan ayat-ayat suci agama yang selaras dengan fakta-fakta sains modern. Beberapa di antaranya misal menjelaskan mengenai binatang-binatang yang disebutkan eksplisit di dalam al-Qur’an seperti semut, lebah, dan lain-lain.

Kalau kini aku akan membahas semut, jelas aku tidak sedang mengulas materi film dokumenter, atau soal yang sudah dibahas para motivator dengan meneladani sifatnya.

Yang jelas, saat tulisan ini ditulis, mayat-mayat semut yang tak bisa kuhitung bergelimpangan. Membuat banyak keluarga mereka menjadi yatim, piatu, dhuafa, janda, hingga duda. Sebagian orang menganggap remeh, ketika mau disuntik, analogi seperti digigit semut menjadi amsal yang menyebalkan.

Bayangkanlah. Kini aku sudah membantai sebagian dari mereka. Mayat-mayatnya jelas sekali di sekitarku. Seolah, inilah buah hasil pembacaan semenjak kecilku membaca buku-buku (komik) Indahnya Surga Pedihnya Siksa Neraka, ada yang karangan Abu Khalid, Irsyadul Anam, dan lain-lain, kuhabisi makhluk ketjil yang sama sekali tak berdosa. Kusiksa dengan ragam cara. Aku jadi seakan mendapatkan referensi bagaimana caranya menyakiti, tidak cukup menumbuhkan keberagamaan yang berbuah cinta kasih.

Jumlah makhluk bertubuh mungil ini bukan semakin sedikit, sebagian dari mereka menghampiri mayat temannya, yang kemudian mereka angkut entah kemana.

Dua hari silam aku malah pernah bertemu dengan “semut revolusioner”! Mereka adalah semut yang kutemui ketika aku santap malam dengan nasi goreng, suatu ketika. Dua ekor semut yang secara revolusioner menerobos masuk menyentuh nasi, kusapu dengan sendok, hingga selain keduanya terlempar, namun juga remah-remah tak sengaja terhambur. Semut-semut lain rupanya sudah siap menyambut ‘bola muntah’. Dengan sigap mengerubungi remah-remah nasi goreng yang tercecer. Aku pikir, apakah kedua semut tadi kusebut semut revolusioner? Sebagai umpan mendatangkan rizki untuk semut-semut yang lain.

Sebetulnya aku sudah membaca buku Quraish Shihab yang dinilai sebagian kalangan merupakan buku kontroversial, Dia Di Mana Mana: “Tangan” Tuhan Di Balik Setiap Fenomena. Di dalamnya beliau mengutip kisah inspiratif mengenai Timur Lank, cucu Genghis Khan, yang menguasai dan menundukkan Iran, Delhi sampai Damaskus dan Turki, mengambil pelajaran dari semut yang mengangkut muatan besar menuju tebing yang tinggi, meskipun berkali-kali jatuh, namun tetap bangkit dan mencoba hingga berhasil.

Makhluk mungil ini berjalan melintas di sekitar, mereka tidak menggigit, atau mengganggu, bahkan tak sedang melakukan invasi. Aku lah yang justru ‘mengundang’ mereka lantaran aroma manis (sisa) makanan. Bahkan sebetulnya aku yang menumpang pada alam ini, habitat mereka sudah ada sebelum aku tinggal. Apa aku tidak bisa diam berdampingan, bahkan berbagi makanan?

Bisakah seseorang membuat semut tak tertarik dengan rasa manis? Ada garam ada semut? Kapan semut hijrah menjadi makhluk liberal? Tidak melulu bertahan kepada cinta yang konservatif terhadap rasa manis?

Apa mungkin seseorang membunuh tanpa membenci? Memberi tanpa merasa tinggi, menerima tanpa merasa hina. Menegur dengan kasih sayang. Memerintah tanpa rasa angkuh. Mencintai… selain kepadamu?

Akhlak (10)

Oleh: Um Sab’ah

 

Akhlak seseorang tidak akan berubah ketika dia menjadi seorang pemimpin atau yang dipimpin, orang yang dihormati atau orang yang dizalimi. Maka hendaknya seseorang tetap stabil pada akhlaknya sebagaimana yang telah Tuhan perintahkan. Adapun seseorang yang tak berakhlak niscaya akan berubah-rubah berputar sesuai kebutuhan dan hawa nafsu.

Dan di antara manusia ada yang menyembah Allah hanya di tepi, maka jika dia memperoleh kebajikan, dia merasa puas dan jika dia ditimpa suatu cobaan, dia berbalik ke belakang. Dia rugi di dunia dan di akhirat. Itulah kerugian yang nyata.” Al-Qur’an (22): 11.

Akhlak mencakup keseluruhan, sempurna, yang menutup seluruh sisi kehidupan manusia, mencakup seluruh kondisinya dan seluruh hubungannya.

Bersama Tuhannya, bersama manusia di rumahnya, dan di tempat kerjanya, pada saat jual beli, pada saat makan, dan minum, pada saat terjaga, dan tidur, pada saat sehat, dan sakit, pada lahir, dan batinnya, pada hati, dan anggota badannya. Dan setiap akhlak adalah tertuntut, adil, berbuat ihsan, kasih sayang, tegas, dan sebagiannya tidak menyalahkan sebagian lain, dan masing-masing akhlak ada kondisi dan tempatnya.

Apabila yang dominan pada manusia adalah sifat kuat, berani, perkasa, maka manusia akan memohon pertolongan kepada Allah dari permusuhan, paksaan, dan kesombongan. Apabila yang dominan pada nya adalah sifat pemaaf, tidak mempermasalahkan, serta tenang, barangkali manusia melihatnya rendah dan hina kepada-nya. Apabila yang dominan pada nya sifat berani terus terang dan nasihat, barangkali mereka akan mengadu karena buruk adab dan sedikit penghormatannya.

Maka akhlak dengan kesempurnaannya begitu seimbang, yang menyeru kepada sifat perkasa sebagaimana juga mengajak kepada mengalahkan dan memaafkan. Wallahu A’lam bishawab.

‘Zina atau Nikah Anak’, Pilihannya Itu Aja?

Oleh: Karina RSF

 

Linimasa pemberitaan tanah air, akhir-akhir ini kebanyakan dihiasi oleh potret bobroknya karakter umat manusia. Bagaimana tidak, hampir di setiap sudut kota ada saja pencurian, pelecehan seksual, pembunuhan, hingga pernikahan anak yang justru dilakukan dengan dalih menutupi kebutuhan ekonomi lah, balas dendam lah sampai-sampai hanya memenuhi keinginan semata. Dasar manusia.

Ngomong-ngomong soal pernikahan anak, kenapa dinamakan pernikahan anak? Nah, biasanya ini dikaitkan dengan aturan batas usia minimal menikah dari negara. Awalnya, usia minimal Perempuan 16 Tahun dan Laki-laki 19 Tahun (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974). Tapi, akhirnya UU itu direvisi, dan akhirnya hari ini aturannya bahwa dua sejoli itu sama-sama berusia 19 tahun. Tapi kok kayak tetep masih kemudaan banget ya…kalo kata saya.

Miris banget kalau lihat para krucil rambut pirang yang suka kebut-kebutan di jalan naik motor dempet tiga, justru harus jadi istri dan ibu sekaligus di masa mudanya. Yang disayangkan lagi, mereka dipaksa masuk dalam lingkar rumah tangga yang tentunya belum “mapan”. Mapan secara emosional, finansial, mungkin juga spiritual. Biasanya dari sinilah KDRT gampang banget terjadi.

Nikah Anak : Perempuannya siap?

Di banyak acara hajatan, nikah itu ya antara laki-laki dan perempuan. Tapi, lebih dari itu apakah pertanyaan kesiapan juga ditanyakan ke perempuan juga laki-laki? Kesiapan resiko dari berhubungan seksual setelah nikah, kesiapan gonjang-ganjing karena cicilan rumah, sampe bayar listrik. Bukan cuma kesiapan “pacaran setelah menikah” a la selebgram hijrah loh, ya. Kalau itu sih semua juga siap (pake) banget.

Fokus ke kesiapan berhubungan seksual. Jangan anggap ini selalu tabu untuk para kaum muda, apalagi yang mau nikah.

Gini, udah jadi pengetahuan mainstream, kalau melahirkan itu sakit. Bahkan ibu saya pernah bilang, “Seperti putus semua urat di tubuh”. Ya bisa dibayangkan gimana sakitnya mengeluarkan tubuh bayi kisaran 1-3 kg dari lubang vagina yang walaupun elastis tapi juga tetep punya batas maksimal keelastisannya.

Ibu melahirkan dalam usia dewasa aja masih bilang kalau melahirkan apalagi proses dari mulai berhubungan seksual, 9 bulan masa mengandung hingga melahirkan itu berat dan pasti ada fase ngilu yang dialamin, apalagi yang ngerasain semua itu anak usia 16 tahun atau bahkan lebih belia dari itu.

Sempat saya berbincang dengan teman sejawat laki-laki tentang “fenomena ‘pacaran’ anak muda” sekitar 3 tahun lalu, ketika masih duduk di kelas tiga Aliyah. Bisa dibilang, dia termasuk sosok akhi-akhi kajian hijrah, yang juga dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang agamis.

Kenapa saya bisa mengkategorikan dia seperti itu? Jadi gini, saya nanya lebih spesifik dengan kalimat gini, “Aya rencana bade nikah yuswa sabaraha tah?” Biar netizen gak bingung, saya terjemahin, “Kamu punya rencana nikah usia berapa” Nah kurang lebih gitu.

Jawabnya, “Kalo aku disuruh sama Bapak mending nikah muda aja kalo emang udah suka ke satu perempuan dan ngerasa yakin, daripada zina. Kan zina pun banyak bentuknya. Jadi lebih baik ngejaga deh.” Ucapnya.

Sungguh jawaban yang kala itu bagi saya asing. Saya secara pribadi yang dibesarkan dalam keluarga yang tidak terlalu agamis, ngerasa kalau pola didik itu cenderung berani mempertaruhkan masa depan anak. Jadi, karena pada saat itu saya pun termasuk golongan ukhti-ukhti pengagum kajian akhi ganteng, ya nerima aja. Malah sempet terinspirasi juga.

Tapi hari ini, bisa dibilang saya udah jadi ukhti-ukhti pengagum kajian gender Bu Nur Rofiah, semua ucapan temen laki-laki saya itu sangat membuat saya geleng-geleng. Kegeleng-gelengan saya pun diperkuat ketika saya coba untuk mencari informasi di YouTube atau Instagram tentang nikah muda. Hasilnya ya, sama aja. Semua karena takut zina. Kasian banget mereka yang lagi kasmaran malah dikatain “zina” jadinya.

Refleksi saya, secara seksual di pernikahan anak, tidak ada dampak yang berarti kalau laki-laki menikah di usia muda atau berhubungan seksual (secara sah) di usia muda. Gimana urusannya sama perempuan? Yakin safety? Berhubungan seksual, lalu mengandung, melahirkan, menyusui usia muda loh.

Itu kasusnya kalau dua sejoli sama-sama masih muda, ya. Diperparah dengan kalau perempuannya masih belia, dinikahkan dengan yang usianya jauh lebih sepuh dari dia. Ah ngebayanginnya aja udah serasa nonton film Pengabdi Setan di bioskop 4D!