aldiantara.kata
Menyambut tahun baru, dengan mewarisi cara pikir mengulang-ulang rutinitas yang lama.
Bukankah, kita tidak (pernah) kembali pada Januari yang sama? Takkan beranjak pulang pada bulan yang sama saban tahunnya. Kini kita berada pada Januari yang baru, bulan baru yang bertamu.
Bukankah, kita tidak (pernah) berputar pada titik yang sama, hingga sehari setelah ‘page 365 of 365’, pada bulan yang kerap dianggapnya sama.
Padahal kita terus berjalan pada Januari-Januari lain yang berjalan tanpa repetitif menuju titik akhir yang tak satu pun tahu. Januari macam apa yang masih kita akan hadapi masa mendatang. Berpikir repetitif, semua masih mengulang-ngulang, seakan kita terjebak pada rutinitas dan kalimat ‘biasanya’.
Berani kah kita terus beranjak, lalu mempertanyakan dengan berani kemana arah tujuan?
Bookmark-bookmark tanda merah libur peringatan hari, tanda-tanda cuti bersama, awal semester dimulai, hari merdeka pada bulan Agustus, rekaman peristiwa akan datang yang menjadi catatan pinggir menunggu kompilasi pada Rewind media sosial. Tanggal tertentu menerima gaji. Semua menjadi repetisi yang seakan menandakan ini semua sejatinya berulang. Bukankah, tiada hari yang sama setiap harinya?
Problem-problem kemanusiaan tidak lantas saja seketika hilang seiring bergulirnya waktu, bergantinya angka tahun. Peringatan-peringatan suatu hari penting yang pernah menjadi, akankah tetap menjadi suatu seremonial, atau akankah ada pilihan yang diambil, di mana tiada hari peringatan terhadap sesuatu, namun semua bekerja pada senyap menyelesaikan masing-masing urusannya. Peringatan hari pendidikan kini berarti keniscayaan lupa terhadap problem yang mengitari pendidikan, lalu beranjak pada persiapan memperingati hari lain, hingga tak sadar waktu cepat sekali berlalu, kemudian sudah ada lagi perdebatan, “Apakah boleh mengucapkan selamat natal dan tahun baru?” Mengapa tidak seremoni hari pendidikan ditiadakan, sementara setiap orang bekerja dalam senyap evaluasi dan perbaiki apa yang bisa dilakukan? Tanpa melalui seremonial yang seakan-akan peduli.
Seakan kini semua orang pandai memetakan permasalahan, menganalisis faktor-faktor, menyebut analisis pertama, kedua, ketiga, keempat, kelima, dan seterusnya…
Keadilan sosial bukanlah musim, sebagaimana bisa ditunggu. Kesejahteraan sosial, juga bukanlah sebuah slogan yang bisa diteriakkan lalu seakan-akan kita merasa sudah sejahtera jika sudah diwacanakan. Kesenjangan sosial juga bukanlah penantian sama halnya terhadap peniupan terompet penanda awal tahun yang dapat disulap agar semua dapat menjadi makmur seketika dengan menunggu.
Lantas, aktivitas ‘memperingati’ akankah menjadi simbol bahwa manusia sudah keterlaluan penyakit lupa-nya, hingga perlu diperingatkan, agar tidak melulu teralihkan oleh rutinitas luaran yang tidak menginti.
Tugas kita masih sangat panjang dari sekedar merayakan peringatan. Hendaknya tidak menjadi seperti musim yang ditunggu.
Menyukai ini:
Suka Memuat...