Bulan: Januari 2023

Template Percakapan Januari

aldiantara.kata

Selamat malam, aksara, diksi dan kata.
Melalui lelap mimpi yang tetap butuh penafsiranmu, terbangun seakan mendapat utang tulisan yang berisimu tentang tuangan ide. Pengungkapan-pengungkapan selain bahasa tubuh. Bisikan selain lenguhan menuju pagi. Aksara, diksi, serta kata. Sembunyikan makna bersembunyi dibalikmu. Termasuk pesan-pesan berita yang banyak dibookmark tanpa sedikit pun dibaca mendalam hari ini. Sebelum tidur. Penanda buku sudah berpindah halaman setidaknya, yang dibaca beberapa halaman.

Aksara, diksi dan kata. Yang selalu lahir saban detik menjadi media perantara. Bagaimana jika kini giliranmu yang berkata-kata. Aksara yang berdiksi, diksi yang berkata-kata, serta kata yang mengejawantah kepada aksara? Atau kata-kata yang gunakan isyarat, bahasa tubuh? Lekas tulisan ini menjadi penanda berganti bulan. Setelah Januari yang telah lelah menggendong banyak template percakapan.

Sudah Berada Di Lampu Merah

aldiantara.kata

Sudah berada di lampu merah. Ada yang terburu-buru melaju, melesat, sehijaunya lampu memberi aba. Ada yang termangu. Seakan tersadar, sudah seharusnya ia berhenti sejenak, menghentikan laju dan kecepatan waktu matematis yang objektif. Lainnya, sadar seharusnya ia berhenti, sekonyong lampu merah berganti menjadi hijau, ia dipaksa maju, mendapatkan bim menghalangi kendaraan belakang yang sudah seharusnya melaju.

Di depan ada kendaraan yang bertabrak, tidak hanya satu atau dua. Ada yang bangkit, kembali tancap gas, merasa banyak tertinggal berhutang kepada waktu. Sisanya merebah, menepi, memesan air di kedai terdekat, meski rimis tanpa aba tetap turun, dalam cuaca panas dan suara tongeret bersahutan.

Ada yang menakar rencana. Mungkin seketika cepat berubah setelah tikungan dekat perumahan.

Sudah benar seharusnya aku berhenti. Kini berada di lampu merah. Tanpa merasa panas jika lainnya melaju dengan kalap tanpa perhitungan tanpa pertanyaan tanpa tafsiran-tafsiran terhadap sekitar tanpa ide-ide alternatif.

Paman Coelho yang Sejatinya Dekat

aldiantara.kata

Renungkan! Betapa Paman Coelho (Paulo Coelho), asal dari benua Amerika Latin itu yang membisikkan kata-kata ajaibnya lintas samudra hingga Asia. Ia menulis buku, penerjemah mengalih-bahasakan, terbaca hingga ku salah satunya. Memang benar kiranya jika seseorang yang menulis hakikatnya ia sedang bekerja menuju kepada keabadian.

Secara sederhana, keabadian itu berupa ide-ide, yang dapat dipahami, relate dengan keadaan pembacanya, kemudian mengenang terhadap penulisnya. Begitu kagumku, jika telah sampai pada titik orgasme saat membaca, termenung, menikmati sejenak pikiran-pikiran yang menggelinjang, terbang pada alam imajinasi, mengamini. Terlebih jika aku kemudian menceritakan ide-ide hasil membaca tadi kepada kerabat-kerabat dekat yang mau mendengarkan.

Padahal siang tadi, aku tak menghabiskan waktu lama untuk membaca buku Manual Do Guerreiro Da Luz, yang telah diterjemahkan menjadi berjudul Kitab Suci Kesatria Cahaya. Sekilas di antara kalimat-kalimat yang kubaca dan kuingat, “Dulu aku menjalani hidup semata-mata karena keharusan. Tetapi kini aku hidup karena aku seorang kesatria dan karena aku berharap suatu hari nanti aku akan tinggal bersama Dia yang menjadi tujuan perjuanganku selama ini.”

Entahlah, mungkin Kesatria Cahaya itu sedang mengutip kata-kata John Bunyan, seorang penulis asal Inggris.

Kesan pertamaku, kesatria yang dibayangkan adalah seorang prajurit yang gemar berperang, memakai baju zirah, menunggang kuda, serta tak memiliki rasa lelah. Namun jika direnungkan lebih dalam, yang dimaksud dengan kesatria cahaya yang dimaksud adalah kita. Kita hidup tak ayal sedang berada di ‘medan pertempuran’, menyelesaikan misi masing-masing.

Rasanya stimulus itu mencapai titik orgasme pemikiranku, barangkali bersamaan setelah aku mempelajari Sokrates, Plato, hingga Descartes. Rasanya hidup terlalu berharga jika dipandang sebagai suatu keharusan, bak aliran sungai yang mengalir tanpa berhenti dan bertanya. Kesatria cahaya tahu apa yang menjadi tujuan hidupnya, hingga tak berpuas diri dengan apa yang telah menjadi pencapaiannya.

Aku jadi teringat Eyang Sapardi pada sebuah podcast, ia ditanya sebagai seorang penyair mengenai puisi terbaiknya, Eyang Sapardi menjawab bahwa puisi terbaiknya adalah puisi yang belum dilahirkan. Puisi yang belum ia tuliskan.

Berarti?

Seorang Blogger yang baik, sejatinya tak merasa puas dengan halaman-halaman sejarah masa lalu, bahkan ketika tulisan ini di posting, bukan? Tetap menjalani proses, jauh dari menjadi. Dan ia harus kembali merasa bukan siapa-siapa, tanpa menoleh ke belakang.

Jebakan Semut Api, Jebakan Kemanusiaan

aldiantara.kata

Semut-semut api keluar dari balik tombol Qwerty laptop. “Bisa bisanya mereka mendekam cukup lama di sana?” sebuah tanya nada heran.

Mungkin tertinggal rasa manis remah-remah makanan yang sempat masuk pada sela-sela keyboard-nya? Mereka beranak dan membuat sarang, bertelur dan berjumlah tak terhitung jari.

Laptop menyala, mesin semakin panas, lalu sebagian keluar mencari tempat teduh dari ‘mesin’ yang siap menghanguskan masyarakat mereka.

Mengapa semut-semut api berada di sana. Mengikuti bau gula, di mana ada gula, (tanpa pikir panjang) di sana semut-semut berlari dan mengajak koloninya. Di sana ada tren, di sana ada masa? Ada berita viral apa hari ini.

Semut api menjadi semut air, setelah mereka tak bisa berenang, di atas meja warung kopi, di atas genang air es kopi gula aren yang sudah mencair.

Di mana ada tren, di sana…? Apa?

Tanpa berpikir panjang, tenggelam pada tradisi dan tren masa kini. Sebagian menjadi jenuh dan jengah, panas lama-lama berita bejibun dan teknologi ‘menghanguskan’ kemanusiaan kita.

Jalan Bali

aldiantara.kata

Di Jalan Bali, Klaten, selepas Maghrib, aku mendongak ke arah langit adakah hujan yang tiba-tiba akan turun. Kendaraan roda dua berjalan dengan lamban melihat-lihat adakah jajanan sesuai selera.

“Mau duduk di atas kursi taman itu, yang sudah diklaim Wedang Ronde Indri?”Tanya pengunjung.

Es potong yang payu memancing hujan di tengah gerah.

Ayam goreng presto Bu Eny, terbalut telur dan sambal segar.

Mencari awal kata, kini sulit sekali membuka obrolan. Sama halnya mencari awal kata memulai tulisan. Sebelum semua kembali menunduk dan menatap layar gawai. Video terputar tanpa konteks real time, mengabaikan kawan. Terbahak mengetuk kembali pintu-pintu maya.

Suara lato-lato. Sambatan-sambatan online di jagat Twitter.

Sepi ramai pengunjung bergilir mendatangi pedagang.

Aku hanya takut jika siang dan malam adalah sama, sebagai tempat transaksi. Adakah suatu tempat yang terlepas dari transaksi. Bahkan para pejalan malam bertransaksi menukar sepi dengan ramai. Di Jalan Bali. Adakah sesuatu yang tak bisa ditawar, yang tak bisa dibeli. Kehidupan yang sejatinya bebas, harus ditukar dengan rutinitas-rutinitas yang tak diinginkan, menggadainya untuk berjudi pada masa depan mencukupi standar-standar hidup tak masuk akal. Takut berbeda dan dianggap tak normal?

Kebebasan barangkali ada pada tanggal merah, kerap ditukar pula untuk upload-an sosial media.

Tetiba aku rindu pada Lawu. Pada seorang pendaki paruh baya yang bertemu di tengah pendakian. Ia seorang diri dan kerap melakukan perenungan-perenungan pada tanah landai sebelum beranjak pada pos sebelum puncak. Rutin ia mendaki seorang diri saban bulan. Baginya, Lawu adalah tempat paling pribadi antara dirinya dan kekasihnya semasa hidup.

Kini, apakah penyair ada bertransaksi menjual kata-kata, kerelevanan, kalimat yang ‘mengena’.

Banjir yang menggenang sebagian kota, permasalahan kemanusiaan yang urung rampung, adakah menjadi bahan transaksi dan janji-janji politik.

Sementara, aku teringat pada seorang lelaki dengan pakaian atasan compang-camping, tak bercelana, berjalan bebek di bawah hujan, mencabuti rumput-rumput liar sepanjang jalan sebelah perguruan tinggi. Adakah justru ia yang terjaga kewarasannya di tengah arus budaya yang barangkali sejatinya tak waras. Ia bertransaksi untuk apa dan siapa.

Setelah Page 365 of 365 Berlalu

aldiantara.kata

Menyambut tahun baru, dengan mewarisi cara pikir mengulang-ulang rutinitas yang lama.

Bukankah, kita tidak (pernah) kembali pada Januari yang sama? Takkan beranjak pulang pada bulan yang sama saban tahunnya. Kini kita berada pada Januari yang baru, bulan baru yang bertamu.

Bukankah, kita tidak (pernah) berputar pada titik yang sama, hingga sehari setelah ‘page 365 of 365’, pada bulan yang kerap dianggapnya sama.

Padahal kita terus berjalan pada Januari-Januari lain yang berjalan tanpa repetitif menuju titik akhir yang tak satu pun tahu. Januari macam apa yang masih kita akan hadapi masa mendatang. Berpikir repetitif, semua masih mengulang-ngulang, seakan kita terjebak pada rutinitas dan kalimat ‘biasanya’.

Berani kah kita terus beranjak, lalu mempertanyakan dengan berani kemana arah tujuan?

Bookmark-bookmark tanda merah libur peringatan hari, tanda-tanda cuti bersama, awal semester dimulai, hari merdeka pada bulan Agustus, rekaman peristiwa akan datang yang menjadi catatan pinggir menunggu kompilasi pada Rewind media sosial. Tanggal tertentu menerima gaji. Semua menjadi repetisi yang seakan menandakan ini semua sejatinya berulang. Bukankah, tiada hari yang sama setiap harinya?

Problem-problem kemanusiaan tidak lantas saja seketika hilang seiring bergulirnya waktu, bergantinya angka tahun. Peringatan-peringatan suatu hari penting yang pernah menjadi, akankah tetap menjadi suatu seremonial, atau akankah ada pilihan yang diambil, di mana tiada hari peringatan terhadap sesuatu, namun semua bekerja pada senyap menyelesaikan masing-masing urusannya. Peringatan hari pendidikan kini berarti keniscayaan lupa terhadap problem yang mengitari pendidikan, lalu beranjak pada persiapan memperingati hari lain, hingga tak sadar waktu cepat sekali berlalu, kemudian sudah ada lagi perdebatan, “Apakah boleh mengucapkan selamat natal dan tahun baru?” Mengapa tidak seremoni hari pendidikan ditiadakan, sementara setiap orang bekerja dalam senyap evaluasi dan perbaiki apa yang bisa dilakukan? Tanpa melalui seremonial yang seakan-akan peduli.

Seakan kini semua orang pandai memetakan permasalahan, menganalisis faktor-faktor, menyebut analisis pertama, kedua, ketiga, keempat, kelima, dan seterusnya…

Keadilan sosial bukanlah musim, sebagaimana bisa ditunggu. Kesejahteraan sosial, juga bukanlah sebuah slogan yang bisa diteriakkan lalu seakan-akan kita merasa sudah sejahtera jika sudah diwacanakan. Kesenjangan sosial juga bukanlah penantian sama halnya terhadap peniupan terompet penanda awal tahun yang dapat disulap agar semua dapat menjadi makmur seketika dengan menunggu.

Lantas, aktivitas ‘memperingati’ akankah menjadi simbol bahwa manusia sudah keterlaluan penyakit lupa-nya, hingga perlu diperingatkan, agar tidak melulu teralihkan oleh rutinitas luaran yang tidak menginti.

Tugas kita masih sangat panjang dari sekedar merayakan peringatan. Hendaknya tidak menjadi seperti musim yang ditunggu.