Suara, “Lima ribu?” baru saja pecah pada pikiranku, mengingat seorang lelaki paruh baya yang membeli koin-koin untuk bermain claw machine pada pukul sepuluh malam.

Sesekali ia melenguh, boneka yang ia capit, harus terjatuh. Aku masih membenarkan tas berisi kudapan malam yang baru saja kubeli pada sebuah toko kecil yang jauh dari tempatmu berada kini.

Pria tersebut sesekali, kuperhatikan membenarkan tas yang menyelempang pada bahunya yang lebar, lalu ia menghitung sisa-sisa koin tersisa untuk kemudian bermain lagi.

“Lima ribu?” sebagaimana suatu tanya, yang kemudian membuatku teringat, tentang siapa yang berujar tanya, malam itu, yang baru kuingat malam ini, ternyata merupakan suara kasir penjaga yang memastikan pria tersebut hendak bertransaksi membeli koin-koin claw machine untuk kemudian memainkan “dadu”-nya.

Pria tersebut tuna wicara. Berpakaian berbeda, dengan tas yang sama, lenguhan yang sama.

Aku tetap membeli susu untuk malam itu, dengan tas berisi kudapan malam yang kurapikan pada bidang kendaraan, sembari melihat pria paruh baya tersebut memainkan claw machine. Malam itu. Dengan sisa koin-koin yang dengan erat ia genggam.

Aku pulang. Ke rumah.

Ia tercapit oleh keinginannya, kerinduannya, kesepiannya, serta angannya yang membuatnya datang, sekaligus. Malam itu.