Setelah engkau perhatikan lama-lama, di atas meja belajar, terserak dokumen-dokumen serta buku-buku. Juga sticky note bekas yang sudah selesai kutipan-kutipannya diketik ulang pada sebuah komputer tua, yang sering meminta restart.

Seorang yang memanggilmu “Ben”, Benjamin. Anak lelaki harapan Ibu yang lucu. Kau perhatikan lamat-lamat, di samping headset yang sudah tak berfungsi sebelah. Tidak untuk kali ini kau perhatikan kopiah yang sudah pudar warnanya, yang biasa dipakai Bapak untuk sembahyang malam, ada yang mengusikmu membersihkannya.

Ternyata kau malah temukan secarik kertas yang semula kau kira merupakan potongan matsurat di sela-sela kopiah. Kertas usang yang merupakan sisa lembar jawab ujian perguruan tinggi, yang digunakan untuk menulis puisi-puisi Bapak. Penuh coretan memilih diksi, memilin kata. Sebelum ia disusun dan menjadi kata-kata digital yang diketik dengan tangan Bapak sendiri, tanpa perlu Ibu tahu, untuk siapa sebenarnya puisi-puisi Bapak.

Bait-bait puisi milik Bapak terbuat dari tatapan Bapak yang melihat ceruk mata berwarna cokelat Ibu, saat Ibu melihat gerimis di beranda. Secarik kertas yang berisi bait puisi yang tak sengaja terambil di sela-sela kopiah itu berjudul, “Benjamin dan Leila Azhar, saat kalian masih berupa ide”

Kepada Leila Azhar, anak perempuan harapan Bapak yang cantik. Tidak biasanya selepas witir, Bapak berzikir. Malah memegang kopiahnya, mengambil secarik kertas, lalu menggubah puisi. Tak hanya soal kerinduan Bapak dalam pisah jarak dengan Ibu. Tak jarang pula cerita-cerita Bapak yang saksikan ragam peristiwa di layar kaca.

Bapak kadang meminta Leila untuk menuliskan untuknya puisi-puisi Sapardi. Atau Aan Mansur, atau Bakdi Soemanto, atau Amir Hamzah, atau Rendra, atau penyair-penyair yang terdengar asing namanya. Setelahnya, giliran Benjamin diminta Ibu membacakan untuknya puisi sebelum tidur, yang kemudian merengek meminta dibikinkan susu. Sembari mendengarkan suara tik tak keyboard komputer tua milik Bapak yang belum selesaikan tulisannya untuk media massa.

Sebab, Benjamin dan Leila Azhar adalah perwujudan dari ide-ide itu sendiri, yang sudah saatnya kembali dari lamunan Bapak yang menafsirkan senyum Ibu dalam nyenyak kembang tidurnya. Masuklah pada secarik kertas di sela kopiah itu.