Bulan: Desember 2020

Akhir dari Cerita Hujan (2020)

aldiantara.kata

 

Kau tau sebab manusia senang dengan momen rewind? Suatu tanda manusia senang berefleksi. Mengingat-ingat. Bukankah benar suatu ungkapan bahwa seseorang tidak bisa merubah masa lalu, namun bisa merencanakan masa depan?

Rintik hujan selalu punya sejarah.

Masih dengan lagu-lagu yang sama, perasaan yang dipaksa untuk merasa lega.

“Tafsir terhadap hujan: turunlah hujan atas kuasa Tuhan agar sang penjaja koran dan sang pengamen mampu berteduh di tempat khalayak ramai. Agar nurani manusia saling merangkul. Agar khalayak tahu pentingnya menyalurkan hartanya kepada mereka, tanpa menegaskan siapa yang dermawan, siapa dhuafa.” (Puisi Hujan #2)

“Tiga hari ini hujan datang pada pagi hari. Adakah seseorang menemani. Manusia datang menghampiri berbincang dengan bahasa yang tidak dimengerti. Sudah kukatakan bila hujan datang sebagai teman. Ia turun mewakili air mata yang memilih untuk tidak dialirkan mata. Bahkan seorang kesepian enggan menjadikan air matanya sebagai temannya sendiri.” (Puisi Hujan #3)

“Kepada hujan yang kelak datang menjelang fajar…
Ubahlah rindu menjadi kesyahduan yang tersampaikan pada kekasihnya.”
(Puisi Hujan #4)

Hujan adalah pesan. Hujan adalah bait doa.

“Hujan. Posisimu berada lebih dekat dengan Tuhan. Bungkuslah makanan-makanan surga-Nya dengan lapisan air. Agar si yatim dan piatu bisa makan buah pada musim hujan. Bungkus pula batang-batang emas surga-Nya dengan lapisan air. Agar si Bapak mampu membayar bunga rentenir yang kian mencekik guna keperluan pendidikan anaknya.” (Puisi Hujan #5)

Hujan adalah tragedi manusia tanpa kenal reda.

Kala musim hujan, setiap manusia membuat tenda ketjil di depan rumah-rumah mereka. Agar para musafir bisa berteduh dan mengunyah goreng pisang panas dan sebuah jeruk, serta segelas teh manis panas.” (Tenda Hujan)

Kekasih. Bila keesokan pagi kau temukan air yang tergenang di depan rumahmu sisa semalam, barangkali airnya mengandung pesan puisi yang mengetuk pintu hatimu. Bila malam ini kau sulit tidur, dengarlah rintik-rintiknya, meski diksi-diksi ini tak seagung air dari langit. Tak se-syahdu malam yang menyatukan para pecinta di bawah derasnya.” (Puisi Hujan #6)

Hujan adalah rayuan.

“Hujan tlah dan sebelum
Bumi basah tanah terinjak
Kau datar menjadi alas bagi demonstran juga aparat.
Kau yang tak berpihak tanpa sebut sepatah kata
Kau yang punya cinta tanpa mau buka suara
Kini kau sibuk bersetubuh dengan hujan tanpa mau berpuisi”
(Puisi Hujan #7)

Bila hujan mengusap jejak langkahmu agar aku tak bisa mengikuti,  jangan bersedih sebab isak tangismu tlah tertinggal di banyak bekas baju sisa pelukan. Menuntunku menjadi pelabuhanmu meski enggan dikau bersuara apa sebab.

Izinkan aku menjadi hujan dalam deras dan rintiknya. Membuatmu tertegun sesaat, mengenangku lalu, dalam ketiadaan. Menyambut pelangi sebagai tanda permulaan baru. Terlupaku.” (Puisi Hujan #8)

Hujan adalah bekas air yang mengering terinjak, terlupa.

Rindu merupakan kepedihan dari rintik menuju deras hujan, yang takkan pernah terbasahi. Setelah sekian lama rentang waktu tak bertemu, tak bisa luka rindu terobati dalam esa pertemuan. Ia akan terus mencari sabtu, dan waktu.” (Puisi Hujan #9)

Seseorang mengatakan kepada sang gadis, “Jalan menuju rumahmu yang berandanya berdebu dahulu merupakan jalan rusak, tengoklah, kini tiada lagi jalanan berlubang dan berbatu tajam ke arahmu, kini sudah diperbaiki. Bahkan kini rintik menziarahi tiap jengkalnya.” (Puisi Hujan #10)

Hujan menjadi perantara penyembuh ajaib!

“Meski rintik yang ditemani angin menggerakkan tirai-tirai jendela, mengapa suaranya tak sampai pada indera pendengaran. Tak terdengar. Apa mungkin ia terhalang pikiran manusia yang padat. Kesibukan yang menghiraukan sekeliling. Ambisi menjadi kapas menulikan. Hingga hirau kepada suara alam.” (Puisi Hujan #11)

Hujan menjadi…cerita yang terlupa. Diantarakata.

Kangkang Kuasa

aldiantara.kata

 

Pejam mata. Badan yang tak bisa rehatkan hasrat. Bibir telanjur tergigit. Nafas keburu memburu. Singkirkan benda asing penghalang! Tanggalkan. Memburu lahan basah. Organ jiwa mana yang meminta padahal. Kerap bertiarap membidik tuju yang tanpa rencana.

Menjilatinya. Menghisap anu.

Mengusap itu. Menampar yang sedang terdampar.

Mengecup ini. Menerus.

Iyakah memanjai dadamu adalah petanda kekanak-kanakan yang boleh kubawa lari pada alam imaji?

Anganku kata, hendak melihat tubuhmu berguncang.

Goyang!

Semua orang suka dirangsang birahinya. Buat urat-urat manusia yang ramai menegang! Tak enak bila dinikmati hanya berdua. Tambahkan es batu, usap sela dada yang mulai mengerang. Campur saja sensasi-sensasi lain biar gaduh!

Nafasmu sudah tak karuan? Tiada lagi pemuas selain kursi-kursi kekuasaan yang tak temukan titik puncak. Harapan yang selalu luruh seperti tetes embun yang jatuh ke tanah, tak tumbuhkan apapun. Atau puaskan dahaga binatang kecil yang kehausan.

Kangkangkan harapan agar pasrah. Sudilah ia takkan mau. Ia butuh mahar. Berupa bejana kenyataan yang buat kita menderita mengejar. Tunggu saja urat-uratnya lunglai lemas. Ia akan mumet lagi diganyang birahi.

Gie, tentangmu.

aldiantara.kata

 

Selalu pada tanggal belasan Desember, aku selalu teringat-ingat repetisi bacaan dahulu. Tanggal 17 Desember 1942 lahirnya Soe Hok-Gie, sementara 16 Desember 1969 Hok-Gie meninggal.

Bacaan buku Mereka yang Mati Muda, membicarakan biografi singkat mengenai tokoh-tokoh Indonesia inspiratif yang meninggal pada usia muda. Diantaranya ada Chairil Anwar, Ahmad Wahib, Hok-Gie, Jenderal Sudirman, dan lain-lain.

Hok-Gie, yang sederhana kupahami sebagai aktivis mahasiswa yang idealis, menginginkan perubahan di negerinya, memiliki cinta dan kepedulian yang teramat besar kepada manusia yang lain, penyuka sastra dan film, hingga naik gunung.

Tentang Hok-Gie pertama kali dikenalkan oleh Kakakku, yang memberi pinjam buku Mereka yang Mati Muda. Juga buku ekslusif tentang Hok-Gie secara khusus, Soe Hok-Gie: Sekali Lagi. Hingga Kakakku mengajakku di kamarnya yang (ketika itu) penuh nyamuk untuk menonton Film Gie. Melihat bagaimana idealisme kemanusiaan, sikap protes terhadap keadaan yang menurutnya tak sesuai dengan hati nurani, pecinta sastra dan film, anak muda yang hobi untuk naik gunung, hingga Hok-Gie yang sama seperti kebanyakan anak muda lain, yang juga menonton film blue.

Membicarakan Hok-Gie, seperti mendengarkan lagi lagu-lagu seperti Donna Donna – Joan Baez, Nurlela, Badai Selatan, hingga genjer-genjer yang dianggap identik dengan PKI. Kesemuanya menjadi OST. Dalam film Gie.

Pembawaan aktris Sita Nursanti dalam menyanyikan lagu donna donna dalam film Gie begitu memikat. Tak terlupakan. Kakakku yang bahkan meminjamiku mp3 sekitar tahun 2008 atau 2009 untuk dengarkan lagu Joan Baez ini.

Suasana yang kuingat, berada di ruang beranda rumah, suasana kelabu, hujan turun dengan deras. Mendengarkan lagu ini berulang-ulang tanpa jemu.

Dalam salah satu buku, aku melihat kakakku menuliskan namanya yang disandingan dengan Hok-Gie. Kakakku menulis, “Arra-gie”. Aku bahkan mengenal kakakku yang juga tumbuh dengan idealisme yang serupa, namun juga kepedulian yang tinggi kepada yang papa.

Melalui buku Soe Hok-Gie: Sekali Lagi, kecintaan Hok-Gie pada alam sangat besar. Hok-Gie mendaki Gunung tertinggi Jawa Barat, Jawa Tengah, hingga Pulau Jawa. Dalam buku itu diceritakan bagaimana perjalanan menuju Gunung Semeru hingga menceritakan Hok-Gie dan Idhan Lubis meninggal setelah menghirup gas beracun di puncak gunung tertinggi di Pulau Jawa.

Hal tersebut yang membawa keinginanku untuk dapat mendaki suatu puncak gunung. Akhirnya terealisasi dimulai dari kelas tiga menengah atas hingga duduk di bangku perkuliahan kini, tentu jauh sebelum viral film 5 cm.

Ketika duduk di sekolah menengah pertama, ada cerita menarik. Teman-teman angkatan yang hendak menawarkan untuk membuat kaos tim futsal, aku memilih nomer punggung 16 dan nama Soe Hok-Gie. Akhir-akhir ini beberapa kali aku tertawa sendiri mengingatnya.

Angka enam belas yang kupilih secara tak sengaja tepat menunjuk tanggal wafat Hok-Gie, dan nama Soe Hok-Gie sendiri aku bawa dan kenakan di sekolah Islam. Padahal Hok-Gie bukan seorang pemain futsal (mungkin ia gemar bermain bola), dan terlebih Hok-Gie beragama Katolik. Bila ditafsir-jauh, apa ini bentuk toleransi yang tlah kupupuk sejak dini? HAHAHA. Toh waktu itu belum populer istilah kafir-mengkafirkan di telingaku.

Dalam menyusun tulisan ini, aku kembali menyaksikan talkshow dari Najwa, Kick-Andy, atau film dokumenter soal Soe Hok-Gie di kanal YouTube. Tidak sedikit orang-orang yang mendapatkan inspirasi dari sosok Hok-Gie, hingga aku sampai pada suatu titik, “Gie tidak (benar-benar) mati, kehidupannya adalah inspirasi. Gie hidup dalam hati dan pikiran pengagumnya.”

Aku kini sedang membaca kembali buku diari Hok-Gie yang terkenal, Catatan Seorang Demonstran (CSD). Daniel Dakhidae bahkan memberi pengertian bahwa diari adalah “potret dengan sinar rontgen dan penjelmaan diri paling dalam dari seseorang.”

Harsja W. Bachtiar dalam CSD mengenang Hok-Gie sebagai “seorang cendekiawan yang ulung yang terpikat pada ide, pemikiran dan yang terus menerus menggunakan akal pikirannya untuk mengembangkan dan menyajikan ide-ide yang menarik perhatiannya.” Hok Gie juga merupakan “seorang pemuda yang penuh cita-cita dan terus menerus berjuang agar kenyataan-kenyataan yang diwujudkan oleh masyarakat kita dapat diubah sehingga lebih sesuai dengan cita-citanya yang didasarkan atas kesadaran yang besar akan hakikat kemanusiaan.”

“Kecaman yang dilontarkan oleh Soe Hok-Gie dilancarkan atas pemikiran yang jujur, atas dasar itikad baik. Ia tidak selalu benar, tapi ia selalu jujur. Ia pun tidak melancarkan kritikan-kritikan dan kecaman-kecamannya tanpa merasa prihatin.”

Percakapan dengan kakaknya, Arief Budiman, diabadikan pula salah satu percakapannya dengan Hok-Gie yang aku kutip dari CSD, kata Hok-Gie,

“Makin lama, makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Dan kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi apa sebenarnya yang saya lakukan? Saya ingin menolong rakyat kecil yang tertindas, tapi kalau keadaan tidak berubah, apa gunanya kritik-kritik saya? Apa ini bukan semacam onani yang konyol? Kadang-kadang saya merasa sungguh-sungguh kesepian.”

Arief Budiman juga menuturkan, “Saya tahu di mana Soe Hok-Gie menulis karangan-karangannya. Di rumah di Jalan Kebon Jeruk, di Kamar Belakang, ada sebuah meja panjang. Penerangan listrik suram, karena voltase yang selalu turun kalau malam hari. Di sana juga banyak nyamuk. Ketika orang-orang lain sudah tidur, seringkali masih terdengar suara mesin tik dari kamar belakang Soe Hok Gie, di kamar yang suram dan banyak nyamuk itu, sendirian, sedang mengetik membuat karangannya.”

Buku CSD menemukan banyak pengagum, salah satunya Mira Lesmana, sutradara, yang memunculkan tokoh Rangga pada film Ada Apa Dengan Cinta sebagai manifestasi dari Gie, yang ia bayangkan sebagai sosok yang dingin dan angkuh serta gemar membaca.

Meskipun beberapa tahun berikutnya sebelum menggarap film Gie, Mira Lesmana sempat untuk melakukan riset dengan bertanya kepada kerabat-kerabat dekat Hok-Gie, bahwa Hok-Gie “bukanlah sosok yang pendiam, dingin, pemikir dan angkuh. Melainkan sosok yang riang, tidak bisa diam, lincah, penyayang, senang berdebat, supel, dan ramah. Namun, hampir semua sepakat, Gie adalah sosok yang sederhana, berani, jujur, dan tidak mau berkompromi dengan kekuasaan. Apalagi bila kekuasaan itu menihilkan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan.”

Tahun 16 Hok-Gie sudah membaca Romeo and Juliet. Pada tahun yang sama juga ia sudah mulai suka filsafat. Gila! “Sekarang sastra bagiku tak ada apa-apa. Biasa saja. Aku mulai suka akan filsafat.” Dalam CSD, Jum’at, 14 Februari 1958.

Pada usia 16 pula Hok-Gie sudah bisa merangkai kata, “Cinta murni lebih baik masuk ke keranjang sampah. Tak ada. Sesuatu yang dihayal-hayalkan.”

“Harus diakui oleh semua orang bahwa membicarakan mengenai perempuan adalah obrolan (kosong) yang terenak….Bagi Perempuan apakah yang paling aktuil sebagai bahan pembicaraan?”

“Semalam datang anjing hitam di rumah kami. Dan anjing itu harus mati ke akhirat yang lebih baik, dari dunia yang kotor ini.”

Membaca keluguanmu ketika masa remaja, “Aku nulis karena iseng-iseng. Hari Sabtu mulai Puasa. Si Sungkar sebagai Islam Ortodox Puasa sedangkan si Sahib puasa tapi ada pause. Kalau pause boleh makan rambutan.”

Kau juga bicara soal perempuan, Gie, katamu, “Dasar perempuan. Perempuan akan selalu di bawah tingkat laki-laki, kalau begitu, yang diurusin baju dan kecantikan. Akhirnya ditendang ke lubang dapur.”

Membaca buku harianmu yang sering debat dengan Pak Effendi di sekolah. Rasanya iri mengetahuimu yang sejak usia 16 sudah mengenal sastrawan India, R. Tagore, atau N. St. Iskandar, Leo Tolstoy, Amir Hamzah, dan lain-lain.

Melalui buku harian itu aku memahami dinamika pikiranmu, Gie. Sekitar usia 18 tahun, bahkan mengenai ada atau tidaknya cinta suci itu, Gie katakan, “Bagiku cinta bukan perkawinan. Kurang lebih 1-2 tahun yang lalu aku yakin bahwa cinta = nafsu. Tapi aku sangsi akan kebenaran itu. Aku kira ada yang disebut cinta suci. Tapi itu akan cemar bila kawin…Aku kira aku pun akan bersikap seperti itu. kalau aku jatuh cinta aku tak mengawininya.”

Maaf, Gie. Aku picik. Mencari kata-katamu yang bagus untuk kupamerkan. Masih sangat banyak lagi tentu, tapi tak mungkin kutuangkan melalui satu tulisan ini saja.

Dalam buku dokumenter yang disusun Tempo, di dalamnya dalam sebuah fragmennya menceritakan bagaimana Hok-Gie menginisiasi penyebaran pamflet dan poster berisi Tritura agar bisa sampai di Jawa, kala itu belum ada FB dan medsos lain. Namun Hok-Gie menemukan solusi, penyebaran lewat gerbong kereta!

Unjuk rasa Gie—sebagai sosok dibalik layar—dan mahasiswa Sastra dan Psikologi selalu menarik. Hok-Gie salah satu di antara perancang aksinya. Herman Lantang katakan, “Demo anak Sastra selalu menarik perhatian karena pesertanya sebagian besar perempuan. Gaya mereka beda.”

Ide lain Hok-Gie dalam berunjuk rasa seperti mahasiswi meletakkan bunga di pucuk senapan tentara seraya berkata, “Bapak-bapak juga punya anak dan istri , bukan?” yang membuat para tentara kemudian terdiam dan hatinya lumer atau Gie mengusulkan mahasiswa UI membuat tanda pengenal sebagai antisipasi jika terjadi chaos, dengan satu celana dilipat yang menandakan itu aksi mahasiswa UI, selain memakai jaket almamater kuning.” Atau Gie mengusulkan pengempisan ban-ban mobil anggota Kabinet Dwikora agar tak bisa bergerak.

Atau cara unjuk rasa menarik lain, ketika suasana memanas karena sebagian mahasiswa tidur di jalanan menghadang panser, para mahasiswa duduk di jalanan, mahasiswa yang beragama Islam melakukan salat di tengah jalan.

Sepertinya hatiku akan berdebar-debar bila hidup pada masa itu, sekaligus bangga lantaran mahasiswa selalu punya cara kreatif dalam menyuarakan aspirasi.

Ah, Gie. Kini berbeda. Mahasiswa berdemonstrasi sebagiannya kulihat hanya simbolis mengospek juniornya untuk berani turun ke jalan. “Menguji”. Suatu niat konyol yang merendahkan nilai berunjuk rasa. Berunjuk rasa bukankah tidak semain-main itu kan, Gie? Hanya bermodal suara dan nyali. Di samping itu, meskipun idealis, pergerakan masih terkotak-kotak. Tidak salah kini unjuk rasa sebagian mahasiswa malah meresahkan masyarakat. “Mengganggu”, kata sebagian masyarakat. Terdengar menyakitkan. Kini negeri ini butuh sosok penggerak massa kreatif sepertimu.

Aku ingin bertanya Gie, sepulang kamu berdemonstrasi, apa kamu merasa bahagia? Atau kembali merasa kesepian?

Sudah akhir tahun, Gie. Ketika tulisan ini ditulis. Hujan di luar masih begitu awet, di sela angin.

Apa pada akhir tahun kamu juga merayakan natal, Gie? Orang-orang di sini sibuk merencanakan tahun baru.

Gie, bukankah di negeri kita tinggal orang-orang belum bisa berdamai dengan perbedaan? Seorang yang mengaku moderat, namun pada saat yang sama juga mengebiri sebagian hak yang lain, merasa waswas. Merasa terancam dengan kelompok yang berbeda hingga akhirnya tebang pilih. Kita belum benar-benar merayakan perbedaan, bukan? Menonton televisi dengan program siraman rohani agama lain saja sudah berdebar dan merasa berdosa, buru-buru lalu mengalihkan program.

Selamat hari natal dan ulang tahun, Gie. Panjang umur, untuk hal-hal yang baik. Dirimu dikenang, bertambah usia “kehidupan”mu. Tulisan ini bukan apa-apa, semoga berkesempatan juga untuk membaca catatan-catatanmu dan karyamu yang lain!

Tragedi

aldiantara.kata

 

Tanpa tragedi, sejarah manusia akan memasuki bab penutup. Langit kelam yang menakuti bumi. Kendaraan umum yang sepi peminat di kota besar. Manusia semakin menginginkan privasi yang terjaga. Namun juga pengakuan keberadaan.

Tawa-tawa keras manusia kesepian. Mencari yang tidak hilang diambang lupa. Mata yang tak buta, namun terpejam sibuk membayangkan kejadian.

2021

Oleh: Alqasam

 

Secangkir kopi terisi setengah
Setengah hati diisi ragu
Setengah lagi terisi galau

Hujan masih belum reda
Seperti kekecewaan di hati
Semakin lama semakin bergejolak
Liar tak tentu ujungnya

Tiba tiba hujan menghentikan tangisannya
Mengizinkan matahari menghangatkan bumi
Setelah kedinginan tak berselimut

Saat logika menduga jalan buntu
Ternyata disana ada tikungan
Mengarahkan aku ke jalan lain
Menemukan takdir Tuhan lain

Semuanya berujung
Baik sekarang atau nanti
Kalau sudah waktunya, diikhlaskan saja
Apapun yang terjadi patut disyukuri
Karena hidup harus dijalani dan pusing jika dipikirkan.

Akhlak (15)

Oleh: Um Sab’ah

 

Tingkatan yang kedua, memperbaiki akhlak kepada Allah. Bentuk sikap memperbaikinya adalah dengan menyadari bahwa setiap yang datang dari Allah wajib diberikan syukur. Hamba itu juga menyadari bahwa setiap yang muncul dari Allah kepada hamba-Nya merupakan sesuatu yang bermanfaat dan agung, wajib disyukuri.

 

Kesempatan

aldiantara.kata

 

Bila ada kesempatan kedua,
akankah aku tetap lanjutkan niat berbuat baik?
Bila ada kesempatan selanjutnya,
akankah aku memaksa senyum
demi kau takkan takut dengan marahku?
Bila ada kesempatan selanjutnya,
akankah aku akan meletakkan gawaiku tuk perhatikanmu?
Bila ada kesempatan selanjutnya,
akankah aku mengikuti ajakanmu demi buatmu senang?
Bila ada kesempatan selanjutnya,
akankah aku lalui hujan menuju senja pantai meski keadaan gelap cuaca?
Bila ada kesempatan selanjutnya,
akankah kuurungkan nasihat berbalut ego?
Bila ada kesempatan nanti,
akankah aku ingat puisi ini?

Hari Ibu

aldiantara.kata

 

Seperti hal konyol, tulisan tak penting ini kumulai dari ‘bokong’ truk yang melahirkan quote-quote maknyus. Tadi saja, sebuah truk berjalan membelakangiku, ada tulisan, “Papa bekerja, Mama berdoa.”

Apa Papa tak berdoa dan Mama tak bekerja?

Apa kerja Papa menafkahi keluarga, atau doa Mama yang merayu Tuhan bukakan jalan kemudahan?

Hari Ibu. Semesta berterimakasih. Orang-orang berucap salam, sebagian berdoa dalam kesendirian, menabur rupa bunga di atas tanah pembaringan.

Takdir sudah benar untuk hari ini. Jangan ada lagi yang gugat keadilan-Nya. Kuasa yang tak terlihat menegur kemanusiaan yang lupa bagaimana cara Ibu merawat anaknya.

Dunia sedang terluka, manusia-manusia perlu bermanja dengan seorang Ibu, yang sedang minggat lihat anaknya sibuk penuhi ambisi.

Dunia di bawah kuasa tangan bapak pertiwi yang tiran, keibuan yang saksikan dari dalam tertawa gila melihat keadaan.

Ibu sudah berubah. Kini nakal dan jahil. Bapak yang melahirkan anak-anak bengis dari rahim yang gelap. Ibu tak berahim, enggan hamil lantaran trauma keguguran.

Selamat hari ibu adalah perayaan kasih sayang dan cinta yang hilang diantarakata, diantarakita. Perayaan kehilangan dengan membeli brand-brand barang feminim, ucapan puitis, pertaruhkan lapar demi kebahagiaan seharian.

Ibu tidak senang, menahan tawa. Air mata apa ini? Ibu tertawa dan menangis. Meski suci dan tulus, membentuk cekung sungai yang takkan bertahan lama, sebelum tercemar oleh sampah keserakahan putra-putrinya.

Sudah sekian lama putra Ibu tak mengabari. Kini sudah berpisah jasad berada pada rentang jarak yang teramat jauh, tiada pelukan, tiada cium di kening, tiada kehangatan kehalusan perasaan.

Ibu tak curiga putranya mengabari hanya hendak memohon doa restu untuk terjun dalam politik. Ibu tak suka berjudi. Ibu hanya suka memberi dan menerima ketiadaan. Ibu hanya suka mengobati tanpa lisensi kedokteran, Ibu hanya suka menjadi teladan tanpa memberi ceramah, tanpa baju agama.

Ibu dan Ayah bukan pelacur bagi kehidupannya. Mereka tak suka menuntut sesuatu dari kehidupannya. Ibu dan Ayah keduanya merupakan pejalan kaki yang senang menanam pohon pada setiap pijakan langkah kakinya. Putra-putrinya bisa bermain di bawah teduh daun yang rimbun, buahnya yang dapat mengganjal lapar.

Ibu, pintu rumah menjadi sepi, derap langkahmu sebelum masuk rumah yang selalu buatku senang, dunia kini menjadi tempat yang tak menyenangkan tanpamu. Yang sedang sakit, tanpa diagnosa yang jelas, tanpa pengakuan. Tanpa lebam. Anak-anakmu, terluka.

Ibu. Hari ini. tentang langkanya saling berkasih sayang. Diantarakata. Diantarakita.

Kecemburuan Hujan

Oleh: Atropal Asparina

 

Saat itu tampias hujan sungguh tak sopan
Tiba-tiba saja menyentuh tanganmu padahal
Gaun kondangan itu cantik mutlak paripurnamu

Hujan semakin kurang ajar!
Membesar mulai membelai pipimu
Kupacu motor demi berteduh dari sikap tak senonohnya
Senyummu lewat spion entah pada siapa
Kupasang badan sebelum menepi di pinggir rumah ibadah
Jika saja salah satu tetesmu ada yang merayap menyelinap ke selain wajah dan tangannya
Doaku pada Tuhan menantimu hujan!

Akhirnya kita berteduh dalam diam
Kau lebih suka memandang hujan ternyata, sialan!
Kerongkonganku tercekat saat
tanganmu mengayun mencoba meraba tetes hujan yang tak sopan itu
Meski ada tetes hujan yang paling edan
Yakni mereka yang tak berhasil menyentuh tanganmu lantas terjun membanting aspal seperti kalah lalu memantul menuju bawah rokmu, goblok!

Emosiku reda akibat senyum yang jelas mengarah padaku
Seharusnya senyum itu diabadikan jadi warisan UNESCO
Tapi persetan
Kini hujan mulai merasakan aroma kekalahan
Awan-awan hitam tak lagi dapat menahan nur sejati
Mereka terbirit-birit hilang kekompakan
Seperti dalam hatiku awan gelap cemburu terkikis nur yang merekah terus dan terus

Ba’da senyum itulah
Bibirmu siap mengucapkan sesuatu katamu: “Makasih ya… Udah nganter. Aku selalu suka hujan kok.”
Lalu cepat kujawab: “Sama kok.”
Dalam hati… Anjing!

Motivasi Pohon

aldiantara.kata

 

Maka, aku melihat kehidupan adalah hutan penuh pepohonan. Pohon-pohon semakin meninggi ke arah matahari setiap harinya. Dalam jeda waktu tertentu, pohon baru akan tumbuh. Sementara aku adalah pohon baru yang mendongak ke atas, memandangi pohon-pohon tua yang tak terlihat pangkal pucuknya. Apakah mereka barangkali masih bertambah tinggi ataukah telah mati.

Pohon baru sepertiku barangkali merasa rendah diri melihat pohon-pohon tua dengan sedemikian akbar. Apakah aku mampu tumbuh sebesar itu?

Aku miliki cermin diri yang kupandangi batang tubuh yang tak kunjung menebal. Sementara pohon-pohon tua yang menjulang tlah hasilkan buah dan bermanfaat bagi semesta.

Kalaulah aku, pohon baru, sudah congkak hasilkan buah, maka buahnya tiada bukan hanyalah buah iri dan sambat yang mungkin beracun.

Penyakit pohon-pohon baru serupa. Iri dengan sesamanya tak tumbuh pada senti yang sama. Sempat mengira dan saling melempar tuduh, apakah salah tanah atau takdir yang nampak tak adil.

Semua berdaun, semua berayun, dihembus angin.

Kuasa alam jadikan masing-masing pertumbuhan sedemikian berbeda untuk keharmonisan yang estetik. Bagaimana rupa keseragaman yang melahirkan kejemuan.

Saat ini posisimu berada di bawah sinar mentari yang cukup, hingga kau bisa tumbuh dengan baik dan sedikit lebih cepat. Sementara dia terhalang pohon tua hingga tak cukup dapat asupan sinar matahari lalu tumbuh lebih lamban. Suatu saat, pada gilirannya penghalang itu, yang menjelma sebagai daun-daun, atau ranting-ranting, akan gugur, membuka cahaya yang terang, memberi ruang untuk tumbuh, pada gilirannya.

Kalaulah aku adalah pohon yang tak tumbuh tinggi, aku cukup bahagia bila menjadi tempat bersandar teduh bagi sepasang kekasih, mendengar tawa manusia dalam kehangatan, serta tangis pedih yang kunjung sembuh meminta restu semesta.