Bulan: Januari 2020

Puisi Hujan #5

Hanya saja hujan tidak bisa bernafas seperti halnya manusia. Ia bahkan tidak bisa memilih takdirnya sendiri kala jatuh pada pelukan bumi. Kaukah itu hujan. Malam ini kau seperti halnya daku. Tidak bisa memilih takdirnya sendiri kepada siapa aku harus marah. Aku marah kepada siapa pun. Aku yang tak bisa marah dengan marah. Aku marah dengan enggan berbicara. Menyukai keindahan bait sastra Gibran nan mudah tersulut emosi.

Amarah tak dapat diturunkan melalui butir-butir hujan. Aku terisak menuju kebinasaan diri. Siapa sesungguhnya yang merasa mampu mengenali dirinya. Kau yang butuh sesuap sepi untuk menggubah story media. Keindahan alam yang kau cari, lalu kau bakar ladang dan hutan. Kau yang sebut negeri ini agraris, tapi rasa jijik untuk menjadi-melihat-bergaul bersama petani. Kau yang banggakan kekayaan alam, limbah kantormu kotori bumi. Bahkan tak dapat dibedakan mana sampah dan mana seekor manusia.

Kau sebut agama, namun seekor manusia menyirami tanaman dengan darah dan air mata. Sebuah manusia membawa mobil seekor diri ditengah hiruk pikuk kemacetan jalan. Seekor manusia mengaku beriman memamerkan istri barunya dan bersedekah kepada yatim piatu bersama awak media. Bahkan daku malu menyebut diriku ‘seorang’! sebuah-seekor manusia layaknya daku bahkan menunjukkan makhluk penyembah kebendaan, yang serakah.

Hujan. Apakah semenjak Nabi Adam kandungan airmu selalu sama. Ah, apakah alam tetap pada konservatif. Mengapa tidak kau bedakan kandungannya pada setiap wilayah. Sisipkan sedikit air yang mengandung pupuk berikut pembasmi hamanya agar petani miskin tak perlu menghabiskan modalnya.

Hujan. Posisimu berada lebih dekat dengan Tuhan. Bungkuslah makanan-makanan surga-Nya dengan lapisan air. Agar si yatim dan piatu bisa makan buah pada musim hujan. Bungkus pula batang-batang emas surga-Nya dengan lapisan air. Agar si Bapak mampu membayar bunga rentenir yang kian mencekik guna keperluan pendidikan anaknya.

Puisi Hujan #4

Kepada hujan yang kelak datang menjelang fajar.
Sirnakan lapar pada orang yang susah bahkan dalam mencari tempat berteduh
Sirnakan ketakutan pada orang yang bahkan mencari keamanan dalam hidup
Ubahlah rindu menjadi kesyahduan yang tersampaikan pada kekasihnya

Puisi Hujan #3

Puisi Hujan #3

Jiwa manusia tidak bisa lepas dari rasa sepi. Seseorang memeluk kakinya diantara malam dan cuaca hujan. Ribuan orang mengantar kepulangan pahlawan nasional pada peristirahatan terakhir. Ribuan orang bersorak mensyukuri kedigdayaan pembalasan dendam. Tetapi tak seorang pun yang datang berbicara kepadaku.

Tiga hari ini hujan datang pada pagi hari. Adakah seseorang menemani. Manusia datang menghampiri berbincang dengan bahasa yang tidak dimengerti. Sudah kukatakan bila hujan datang sebagai teman. Ia turun mewakili air mata yang memilih untuk tidak dialirkan mata. Bahkan seorang kesepian enggan menjadikan air matanya sebagai temannya sendiri. Hujan masih turun sementara aku melihatnya dengan dada sesak.

Rabu, 08 Januari 2020

Puisi Hujan #2

Awal tahun 2020 langit tiada jemu menurunkan air. Semalam, rintiknya secara konstan, memaksaku untuk berkaca lewat genangan yang ditinggalkannya. Sebagian orang meyalakan kembang api menghabiskan sisa-sisa seremoni kemarin. Diriku tak sempat melihat langit lalu sibuk memperhatikan sudut-sudut kota. Seorang Ibu penjaja koran, difabel, berjalan dengan terseok, masih berjalan dengan langkah tegas. Namun mulutnya menganga, matanya terbelalak, sekilas bertarung antara tanggung jawab terhadap keluarganya dan keterbatasan diri dan tubuh yang kian termakan usia. Di lampu merah orang memanggilnya.

Sementara di pelataran sebuah kampus, seorang ayah yang tak bisa menyembunyikan rasa letihnya. Tangan kiri menggenggam gitar kecil, tangan kanannya menahan anaknya yang sedang digendongnya dengan kain samping. Sang anak tak kunjung membuka mata dengan sisa nafas di paru-parunya. Sang ayah yang tak kuat berjalan lagi dengan kaki yang gemetar. Menjadi miskin tak selalu mengemis dengan meminta. Tidak banyak yang tersentuh pemandangan menyakitkan ini. bersandar bahu sang ayah di dinding pinggir kampus. Sang anak yang tertidur di tanah tak beralaskan apapun terlunglai lemas menahan lapar dan penyakit yang dideritanya.

Apakah pengetahuan dapat menyejahterakan si Ibu penjaja koran dan si Ayah pengamen. Tolong jelaskan sejak kapan permusuhan antara pengetahuan dan kesenjangan sosial terjadi.

Tafsir terhadap hujan: turunlah hujan atas kuasa Tuhan agar sang penjaja koran dan sang pengamen mampu berteduh di tempat khalayak ramai. Agar nurani manusia saling merangkul. Agar khalayak tahu pentingnya menyalurkan hartanya kepada mereka, tanpa menegaskan siapa yang dermawan, siapa dhuafa.

Ah, Sang penjaja koran dan sang pengamen tak memiliki tempat berteduh, memilih untuk berguyur di bawah derasnya hujan. Sementara khalayak nyaman pada kendaraan roda empat. Tangan si kaya menggerakan harta untuk dirinya sendiri. Tangan si miskin menggerakan tangan Tuhan untuk turunkan peringatan. Sang ‘ustadz populer’ pun sibuk mencitrakan diri sebagai tangan Tuhan yang lain dengan berderma pada korban banjir, dengan teman wartawan, pastinya.

Kamis, 2 Januari 2020

Pemikiran Progresif ‘Iqra’

Sejak kecil Eko memang telah diwarisi semangat membaca oleh ayahnya. Dimulai dari membaca koran mingguan yang dibawa oleh ayahnya, hingga majalah-majalah Islam yang mengaitkan antara iman dan gerakan sosial. Melalui Kyai Khasanuddin, Eko mulai tertarik akan diskusi. Membaca menyuguhkan kepadanya ide, gagasan dan petualangan.

Melalui pengalaman masa kecilnya, Eko seringkali menggandrungi setiap bacaan, hingga geram hendak mengubah bahasa ide menuju tindakan. Dengan demikian beliau tidak pernah menyukai buku pelajaran. Ditulis dengan dingin tanpa emosi. Sangat membosankan. Baginya, buku tidak sekedar bacaan, tetapi juga senjata. Setelah masuk kampus UII dan memimpin lembaga pers Keadilan, melalui wadah itu Eko mengasah kemampuan menulisnya sekaligus mempertemukannya dengan tokoh berikut ide dari ‘Dewa ilmu sosial’ seperti Paulo Freire, Antonio Gramsci Hingga Michel Foucault. Eko telah menemukan pasangan hidup sebenarnya: buku dan tulis menulis.

Bagi Eko, ‘Takkan pernah ada wahyu yang begitu progresif dan mendorong manusia untuk memeluk pengetahuan, kecuali perintah iqra…Maka saya memahami iqra sebagai perintah yang punya makna beraneka: meminta kita untuk tak menanggalkan kegiatan membaca, terus mendorong kita untuk membaca dalam kondisi apa saja dan jadikan bacaan sebagai ibadah utama. Melalui membaca saya benar-benar merasa punya iman.’

Buku Eko Prasetyo ini tidak saja kaya akan informasi, melainkan juga kritik sosial. Tanpa tiang pengetahuan, maka pengajian hanyalah ekspresi dogma dan doktrin. ‘Tak membuat ummat menjadi kritis dan pintar, tapi ngawur dan bodoh. Semua kreasi manusia dianggap bid’ah.’ Kebanyakan orang meyakini ajaran yang buta pada toleransi. Lebih banyak lagi orang yang percaya kalau agama tugasnya menghakimi.’

Eko juga mengkritik mengenai kondisi pendidikan sekarang. ‘Sekolah-sekolah agama dengan bayaran tinggi menjamur di mana-mana. Kerapkali metode mereka hanya hapalan dan disiplin buta. Tradisi pengetahuan yang membekali dengan kesadaran kritis dan kesangsian sirna. Anak-anak dilatih jadi pasukan penghafal yang gampang sekali diarahkan untuk membela maupun memusuhi yang berbeda. Pusat-pusat perbelanjaan yang memanfaatkan agama sebagai sentimen untuk meraup pelanggan. Bisnis agama apapun kini menghasilkan laba yang tinggi seiring dengan melonjaknya basis kelas sosial umat. Maka umat menjadi konsumen yang gila pada apapun yang berbau agama, film, kosmetik, busana hingga tempat kediaman.’

Semua hal di atas bagi Eko lantaran kita memang tak lagi mengamalkan iqra. ‘Mustinya beragama berarti merubah keadaan. Iqra merupakan jembatan kita memahami kitab suci. Diperkenalkan kita tentang potensi diri. Diberitahu tentang ancaman. Sekaligus disampaikan pada kita harapan. Melalui perantaraan Iqra kita jadi manusia yang memahami hakikat, peran dan fungsi. Itulah para utusan Tuhan yang menjadi monumen perubahan sosial. Iqra bukan kegiatan membaca saja melainkan aktivitas progresif yang menumbuhkan kesadaran paling militan.

Iqra tak lagi sebagai perintah ‘membaca’ tapi ‘mengubah, mengilhami dan menerangi’ jalan sejarahnya.’