Hanya saja hujan tidak bisa bernafas seperti halnya manusia. Ia bahkan tidak bisa memilih takdirnya sendiri kala jatuh pada pelukan bumi. Kaukah itu hujan. Malam ini kau seperti halnya daku. Tidak bisa memilih takdirnya sendiri kepada siapa aku harus marah. Aku marah kepada siapa pun. Aku yang tak bisa marah dengan marah. Aku marah dengan enggan berbicara. Menyukai keindahan bait sastra Gibran nan mudah tersulut emosi.
Amarah tak dapat diturunkan melalui butir-butir hujan. Aku terisak menuju kebinasaan diri. Siapa sesungguhnya yang merasa mampu mengenali dirinya. Kau yang butuh sesuap sepi untuk menggubah story media. Keindahan alam yang kau cari, lalu kau bakar ladang dan hutan. Kau yang sebut negeri ini agraris, tapi rasa jijik untuk menjadi-melihat-bergaul bersama petani. Kau yang banggakan kekayaan alam, limbah kantormu kotori bumi. Bahkan tak dapat dibedakan mana sampah dan mana seekor manusia.
Kau sebut agama, namun seekor manusia menyirami tanaman dengan darah dan air mata. Sebuah manusia membawa mobil seekor diri ditengah hiruk pikuk kemacetan jalan. Seekor manusia mengaku beriman memamerkan istri barunya dan bersedekah kepada yatim piatu bersama awak media. Bahkan daku malu menyebut diriku ‘seorang’! sebuah-seekor manusia layaknya daku bahkan menunjukkan makhluk penyembah kebendaan, yang serakah.
Hujan. Apakah semenjak Nabi Adam kandungan airmu selalu sama. Ah, apakah alam tetap pada konservatif. Mengapa tidak kau bedakan kandungannya pada setiap wilayah. Sisipkan sedikit air yang mengandung pupuk berikut pembasmi hamanya agar petani miskin tak perlu menghabiskan modalnya.
Hujan. Posisimu berada lebih dekat dengan Tuhan. Bungkuslah makanan-makanan surga-Nya dengan lapisan air. Agar si yatim dan piatu bisa makan buah pada musim hujan. Bungkus pula batang-batang emas surga-Nya dengan lapisan air. Agar si Bapak mampu membayar bunga rentenir yang kian mencekik guna keperluan pendidikan anaknya.