Pengemudi

Malam barangkali kagum pada sang pengemudi. Di luar nampak purnama. Bapak pengemudi tak kehabisan cerita.

Yang kuingat, ia pernah bercerita perihal babi-babi hutan yang tetiba melintas di jalan tol. Sementara aku acap bertanya tentang pengalamannya nyopiri hingga batas terluar Pulau Jawa. Adalah hutan-hutan, yang tersulap menjadi aspal. Rumah-rumah yang tetiba kosong terpaksa penghuninya pindah.

Contraflow, beko pengangkut pasir, pembatas jalan darurat, hingga peringatan darurat…

Sang pengemudi tetap asik bercerita.

Dan para pekerja tak mengenal waktu dengan head lamp yang menempel di kepala.

Pada lain waktu, di mana seorang bapak paruh baya yang menjadi induk semang, mengajakku berkeliling ring road.

Panther tua, soto ayam, hingga bagaimana aku dikenalkan oleh budaya Jawa.

Kehidupan selalu berhutang kepada pengemudi dan cerita-cerita yang mengasuh penumpang perjalanan. Sementara di luar purnama. Pengemudi tak kehabisan cerita.

Lalu cerita, memanggil dedaun kering, yang menjadikannya kehidupan yang baru sebagai tanaman, yang manusia rawat dan ruwat.

Martir

Bahkan jika memang seorang telah berada dalam lorong-lorong gelap, jika secercah harapan itu tiba, serupa api kecil, yang rawan padam, pada awal bulan penghujung tahun yang dingin, masih sepi dari bunyi rintik-rintik hujan.
Yang sepaginya ranting-ranting sisa unggun telah lama padam didekap embun. Serta rusa kecil menari dan menghilang dalam kabut menuju hutan. Batang-batang pohon yang tak lagi menakutkan. Tak ada guratan-guratan padanya sebagai mitos.
Tidak ada kehidupan nyaman bagi seorang martir. Yang telah mengingatkan seorang yang mabuk kecubung kekuasaan. Ada pada bibir waktu, semua doa-doa baik menyertai sang martir, setelah menjadi sejarah, setelah tragedi berdarah.

Ada yang Kukira akan Abadi

Ada yang kukira akan abadi. Ada yang tak terbaca algoritmanya. Ada yang luput tak tersusun kata-kata. Tak cepat berlalu, yang telah lalu, setelah disimpannya pada brankas yang kita sembunyikan rapat-rapat kuncinya.

Segala kenang dan potret buram tertinggal pada mesin-mesin kehidupan, yang membawa kita jauh. Hari-hari yang akan terangkum pada bayang samar-samar. Serta bisik kata melalui bibirmu yang terdengar sebagian. Jeda koma, perjalanan yang kukira akan menjadi abadi.

Seberapa jauh bagaimana manusia menjangkau angkasa yang tak pernah kita bayangkan, manusia tak pernah selesai menyelami dirinya sendiri, menjangkau dasar atmanya sendiri. Seberapa jauh jangkau cahaya kota yang kita saksikan malam itu, manusia tak pernah selesai memahami kerinduannya sendiri, merangkai alasan-alasannya sendiri.

Ada yang kukira akan abadi. Pertanyaan itu, yang engkau utarakan selepas jeda tidur malam panjang, pada sebuah ranjang di antara daun kering ketapang di balik pintu, dan bunyi air kolam.

Ada yang kukira akan abadi. Perayaan itu. Waktu tidak berputar menziarahi sekon yang pernah dilewatinya. Bukankah manusia lah yang gemar menapaki fragmen-fragmen ingatan?

Ia gemar menandai waktu. Pada hari ini, yang lalu, atau esok. Lalu menulis ini dan itu sebagai hari istimewa. Petanda-petanda yang kemudian seperti memudar. Itu mungkin hanya menunggu sebuah luka.

Just try not to worry, you’ll see them someday, Cobalah untuk tidak khawatir, kita akan melihatnya suatu hari nanti, kata suatu lagu.

Rembulan Pada Bahu Lampu Merah

Rembulan pada bahu lampu merah, dan gemintang yang berada di timur lautnya. Siapa mau menjemput sesuap sepi yang terbit pada rentang waktu yang kita mengira berlalu begitu lama. Adakah kita menerima, kepada sebuah jawaban yang tidak kita inginkan. Sementara gerimis, berada di luar jendela, ditemani kaca berembun.

Manusia-manusia yang kalap kepada materi, belum juga tidur malam ini. Pun turis-turis yang berziarah pada kota lama. Juga puan dan tuan yang kalap melahap kerinduannya, belum juga tidur malam ini. Mereka sama, menatap rembulan pada bahu lampu merah, dan gemintang yang berada di timur lautnya.

Hanya pada saat tidur, manusia menjadi manusia itu sendiri. Tidak ketika ia terbangun. Ada yang menjadi diksi, mata air, api, kata-kata, angan-angan, bait lagu, sutradara yang bermain peran, hingga menjadi cerita masa lalu yang kerap ingin diziarahi.

Suara yang Senyap

Setiba-tibanya, teramat kuatnya pikiran terjaga menuju pagi. Rindu menjumpaimu sebagai embun. Serta lanskap yang menjemput kerlap mata tanpa kabut, menyebut namamu dalam cemas. Dalam suara yang senyap, memanggilmu. Tersisa puisi Hujan Bulan Juni yang kubaca lamat-lamat, diksi-diksi Sapardi menari, membawaku kepada suasana lawas. Tapi sosok Pingkan telah menjelma dirimu. Muara bagi larik larik sajak. Namun lekas senyap tinggal bayang-bayang. Dirimu tanggal dalam pikiran. Suara parau. Tawa yang memecah kesunyian malam.

Serenada yang lekas habis menuju gelap cahaya. Bait-baitnya yang berkemul menuju pagi. Jeda kata. Ada di antara kita. Di antara waktu. Di antara hujan. Di antara jarak celah dan rumpang.

Engkau mengisi. Aku dan kata-kataku mengaisnya sebagai puisi. Menyabotase pandang pada alam ingatan. Tentang ujaranmu, malam itu. Seperti puisi Sapardi “Kukirimkan Padamu”, ujarnya “Aku tentu saja, tak ada di antara mereka. Namun ada.” Maka engkau, tentu saja ada, meski tak wujud hadir menyapaku dalam nyata. Bukankah ada, yang tiada?

 

Cinta yang Beriman kepada Tanya

Apakah cinta hanya beriman kepada hal yang tunggal, menafikan kata “dan, serta, bersama, dengan”? Bukankah kini “dan” menjadi sedemikian wajar dan menjadi jaminan kebahagiaan?

Ujar sebuah tanya, suatu kali.

Sudahkah tanya menemuimu, yang tanpa tanda tanya, serupa tanda, nir-bentuk, kata-katanya tersusun seperti pertanyaan, yang enggan dinamainya sebuah tanya kepadamu, agar tak lagi berdebat soal siapa yang hendak memulai tanya, meminjam lengkung bertitik bawah itu, sebagai sapaan yang bernada asing, kepada rindu yang terpasung.

Maka waktu datang malam itu kepadamu, ia bertanya perihal tafsiran-tafsiran atas pembacaanmu, pada antologi puisi Sapardi, yang dawam engkau baca saban bulan Juni. Engkau bilang selalu berhenti pada kata sederhana yang tak sederhana itu, sembari menuntun hujan yang kau bawa membersamai puisi.

Engkau juga kerap mendaku berhenti pada “yang fana adalah waktu, kita abadi”. Kau tafsirkan kalimat itu dengan sederhana yang tak pernah sederhana itu, bukankah bukan tugas kita mengurusi keabadian itu? (dengan tanda tanya)

Aku sempat menitip kalimat kepada tanya, agar disampaikan kepadamu tanpa tanda tanya, “Sudah sampai halaman berapa engkau mengasuh puisi-puisi bulan Juni Sapardi. Bak kehidupan, yang tak menemukan lembar epilog. Jumlah halamannya bertambah engkau baca. Pada pertengahannya ia terjatuh pada kata-kata. Pada selanjutnya ia menemukan kerikil tajam. Pada selanjutnya ia kembali jatuh cinta.”

Engkau tak memberi jawaban atas pernyataanku (sebuah tanya). Engkau malah tak beriman kepada kata-kata, yang engkau sangka kata-kata itu bukan milikku, tapi milik tanya, tanpa menanyaiku.

Ruang Rahasia

Ada suara yang memanggil-manggil dari kejauhan. Ia menembus ruang, sekaligus waktu. Ia beri pesan melalui pena dan tik-tik suara keyboard yang memberi kesempatan. Ia kabarkan tentang hujan dan kabut. Diceritakannya ujaran-ujaran ruang digital tak terbendung. Warta yang tak habis dibaca headline-nya. Segera saja diambil pesan itu dari masa yang lalu. Didengarkannya, dibacanya pada masa mendatang. Sampai aksara itu menemukan pembacanya. Yang menyelam pada ruang hari ini. Berbeda dan otentik. Aksara dan diksi selalu punya keterbatasan untuk bercerita. Nanti pada masa mendatang. Saat pengarang sudah mati, tersisa perdebatan-perdebatan tafsir yang abadi. Tentang siapakah yang lebih dahulu tiba. Apakah cinta yang ciptakan kehidupan. Atau kehidupan yang jiwanya bersalinkan cinta. Manuskrip-manuskrip yang tak bertuan. Menggunakan nama samaran. Tentang ruang yang paling rahasia. Bukankah ia akan tetap beresonansi, tanpa mengenal konsep waktu?

Fana Pertemuan

Ada pada jalan yang lengang, rindu itu. Ada dalam bayang ingatan, wajah itu. Ada dalam kefanaan, pertemuan itu. Gemerlap kota yang disaksikannya waktu malam. Lampu-lampu, serta cemas, yang kupandang melalui pantul cermin kecil ke arahmu, sementara waktu, ada, menitip jejak-jejak kaki, sebelum ia kian tak terjangkau, oleh suara-suara yang resah. Lalu muncul tanya, keterbatasan kata-kata, bisakah langsung saja kita terbuka.

Ada, pada rintik-rintik hujan itu, yang lama tak turun kehadirannya. Tiba waktu petang. Ada derit kereta yang melaju tanpa ampun menurunkan palang. Pernah membawamu pulang, pernah membawaku datang. Ada, kau saksikan semua itu ada, meski hanya bayang-bayang. Apakah bayang, yang merupakan ketiadaan itu, satu-satunya ada, yang disebut keabadian?

Perjalanan waktu, yang tiba sebagai skrinsut-skrinsut kecil, kian menggema sebab seseorang yang senang merawat ingatannya.

Menunggal

Yang tanggal, memilih tinggal. Setelah rindu itu kian menjadi tunggal. Ingatan berbaris mengitari unggun malam. Menyalakan tanya: kita hanya dapat bertemu pada ketiadaan waktu. Serta cemas yang menjadi kudapan.

Sebelum gelap, sebelum lelap. Catatan terbuka tak kuasa mencatat harap. Ia murni tak tertangkap. Berpendar bersama kunang-kunang dan satwa malam. Ibadah senyap adalah upaya mengosongkan keriuhan dalam pikiran. Bagaimana ia bisa ditepikan, jika ia sudah mewujud menjadi jiwa itu sendiri pada dasar atma yang sakral.

Menunggal, tak bisa ditinggal.

Mengeja Sejarah

Sementara, di antara dua musim yang saling menyapa, musim hujan dan musim kemarau, berita tentang penyair yang telah berpulang tuntas menunaikan ibadah puisi, hanya tersisa kutipan-kutipan puisinya yang banyak dicari.

Anak-anak di sekolah sibuk mengeja sejarah, namun adakah bangsa ini mau belajar, dari masa lalu.

Kehidupan ini sejatinya adalah suatu berkat, dari doa-doa yang hinggap pada bunga dandelion, yang selalu engkau bincangkan ketika senja, di mana butir-butir bunganya beterbangan pada seluruh penjuru mata angin, dari orang-orang masa lampau, yang menitip suatu harapan pada generasi selanjutnya.

Berdoalah. Kata-kata terapal menjadi doa adalah mustajab saban waktunya. Ia tidak hanya tertuju secara vertikal kepada Tuhannya, melainkan huruf-hurufnya yang terurai, sampai kepada “kabulkanlah”. Ia menjadi udara, yang dihirup semua makhluk hidup dan mati, yang membantu menjadikannya mewujud.