Bulan: April 2024

Tafsir terhadap Waktu

Pada momen aku menangkap tatapmu, menatapku, yang tak berjarak, maka bagaimana engkau menafsirkan waktu, yang kini tak bisa kau peluk? Sayangnya, aku tebak engkau lupa mencatat bagaimana detak-detak jam pada malam itu, saban waktu, menggubah kata-kata.

Almanak pada dinding, di mana beberapa hari engkau lupa mengguratkan tanda pada masa yang telah lalu. Catatan-catatan kecil, mengenai kapan aku baru saja menukar lampu, kapan engkau baru saja mengucap rindu, yang tentu saja tak tertulis pada pinggir angka almanak itu.

Bagaimana jika tak perlu nyalakan lampu sementara waktu, purnama yang sinarnya akan segera masuk begitu aku menyibakkan tirai.
Engkau mau aku menyalakan flashlight yang kuarahkan pada dinding kamar, tubuh yang segera menjadi wayang-wayang siluet. Kita bisa memulai cerita mengenai manusia-manusia yang takut akan sebuah ruang terbuka. Pada perjalanan, kesendirian.

Sinar purnama yang masuk begitu engkau menyibakkan tirai, menerangi mawar yang dingin di atas sebuah vas yang engkau isi dengan air. Merahnya yang nampak berwarna hitam, oleh bayang-bayang malam. Engkau tak perlu membandingkan mana yang lebih terang antara purnama malam ini dengan firasat yang kerap engkau khawatirkan.

Apa yang engkau tafsirkan mengenai waktu?
Jika suatu hal yang muncul pada benakmu, maka sesuatu itulah yang tak boleh engkau utarakan tepat pada jarum yang bernama kebenaran, yang segera cepat-cepat engkau alihkan. Ia harus lekas tenggelam. Gelap itu, bukankah penyair yang kau kagumi itu katakan, melindungi semua warna, semua rahasia?

Bukankah dinding kamar ini adalah opium yang menekan rasa sakit sementara? Bahkan pada sebuah ruang yang kedap dari kebenaran, justru kita takut kepada kejujuran.

Maka apa yang engkau tafsirkan mengenai waktu? Premis-premis yang dapat dikalkulasikan sebagai kepastian? Atau sebagai proyeksi-proyeksi kemungkinan, yang tiba sebagai dejavu.

Artifisial

Lirik menarik yang mengusik didengar setelah jeda. Kertas yang berisi lirik-lirik lagu yang huruf-hurufnya tercetak kecil terurai dibaca sembariku mendengarkan nada-nadanya. Dulu rasanya seorang selalu membaca kertas lirik sembari mendengarkan kaset lagu. Kini seperti sia-sia. Tiada saat teduh yang membuat seorang tertegun menikmati seni itu. Yang indah itu.

Apalagi bait dari seorang penyair asing, yang kini tak lagi dirapal, dihafal, dibahas, didebat, yang diejek diksi susunannya, yang diberi nada, yang menggugah. Seni kata-kata (puisi) harusnya tidak bisa jadi artifisial. Sebab ia adalah inti, yang tidak bisa ditiru.

Seorang mendengarkan lagu yang dianggapnya baik, ia lalu jalankan aplikasi untuk identifikasi. Sesekali, jika ingat, ia akan titip sejarah-sejarah pada sebuah kolam bernama ingatan. Sementara liriknya bisa kita jumpai pada buku digital yang bisa ditamui saban waktu.

Sementara, kepada kantung waktu pula kita semestinya menitipkan keajaiban-keajaiban itu, lalu kita berada pada jeda keheningan. Membiarkan keindahan itu menubuh melalui selipat jarak. Karena lupa kepada jarak dan jeda itu sendiri, seni menjadi sesuatu yang bising, yang terulang-ulang hingga jemu. Dan kita tak bisa menikmatinya lagi.

Kabari jika nada-nada itu berkemul pada selimut waktu sementara, lalu kita kembali kepada percakapan-percakapan klasik, dengan senang hati aku akan menikmati lagu yang berisi kecanggungan-kecanggungan, sembari kulihat kedua matamu yang berputar menjemput bait-bait percakapan selanjutnya. Pada suatu waktu tanpa kita terka. Meski akan terlupa. Fragmen yang akan menjadi masa lalu itu tetap bisa kita jemput melalui lagu yang akan membawa kita kesana.

Engkau menjuluki seorang sebagai penyair, barangkali ia hanya mengunjungi makam ingatannya.

Benjamin dan Kopiah Bapak

Setelah engkau perhatikan lama-lama, di atas meja belajar, terserak dokumen-dokumen serta buku-buku. Juga sticky note bekas yang sudah selesai kutipan-kutipannya diketik ulang pada sebuah komputer tua, yang sering meminta restart.

Seorang yang memanggilmu “Ben”, Benjamin. Anak lelaki harapan Ibu yang lucu. Kau perhatikan lamat-lamat, di samping headset yang sudah tak berfungsi sebelah. Tidak untuk kali ini kau perhatikan kopiah yang sudah pudar warnanya, yang biasa dipakai Bapak untuk sembahyang malam, ada yang mengusikmu membersihkannya.

Ternyata kau malah temukan secarik kertas yang semula kau kira merupakan potongan matsurat di sela-sela kopiah. Kertas usang yang merupakan sisa lembar jawab ujian perguruan tinggi, yang digunakan untuk menulis puisi-puisi Bapak. Penuh coretan memilih diksi, memilin kata. Sebelum ia disusun dan menjadi kata-kata digital yang diketik dengan tangan Bapak sendiri, tanpa perlu Ibu tahu, untuk siapa sebenarnya puisi-puisi Bapak.

Bait-bait puisi milik Bapak terbuat dari tatapan Bapak yang melihat ceruk mata berwarna cokelat Ibu, saat Ibu melihat gerimis di beranda. Secarik kertas yang berisi bait puisi yang tak sengaja terambil di sela-sela kopiah itu berjudul, “Benjamin dan Leila Azhar, saat kalian masih berupa ide”

Kepada Leila Azhar, anak perempuan harapan Bapak yang cantik. Tidak biasanya selepas witir, Bapak berzikir. Malah memegang kopiahnya, mengambil secarik kertas, lalu menggubah puisi. Tak hanya soal kerinduan Bapak dalam pisah jarak dengan Ibu. Tak jarang pula cerita-cerita Bapak yang saksikan ragam peristiwa di layar kaca.

Bapak kadang meminta Leila untuk menuliskan untuknya puisi-puisi Sapardi. Atau Aan Mansur, atau Bakdi Soemanto, atau Amir Hamzah, atau Rendra, atau penyair-penyair yang terdengar asing namanya. Setelahnya, giliran Benjamin diminta Ibu membacakan untuknya puisi sebelum tidur, yang kemudian merengek meminta dibikinkan susu. Sembari mendengarkan suara tik tak keyboard komputer tua milik Bapak yang belum selesaikan tulisannya untuk media massa.

Sebab, Benjamin dan Leila Azhar adalah perwujudan dari ide-ide itu sendiri, yang sudah saatnya kembali dari lamunan Bapak yang menafsirkan senyum Ibu dalam nyenyak kembang tidurnya. Masuklah pada secarik kertas di sela kopiah itu.